![]() |
Sumber: Go-Jek |
Saat ini, mencari pekerjaan bagi mayoritas orang di Indonesia tidaklah mudah. Hal tersebut berbanding lurus dengan angka pertumbuhan penduduk dan pengangguran yang terus meningkat. Kebutuhan untuk membeli makan, minum serta kebutuhan sehari-hari lainnya mendesak setiap orang untuk terus mencari uang.
Layanan ojek online, datang bagaikan malaikat penyelamat bagi sebagian orang yang masih pengangguran ataupun bekerja namun belum cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Layanan ini dirasa menjadi “solusi” atas kebutuhan manusia yang saat ini sudah tenggelam dalam dunia smartphone. Dengan paket data ataupun Wi-Fi gratis, kini makanan yang diinginkan sudah dapat hadir di depan pintu dengan cepat, tak perlu lagi repot menyetir ataupun basah karena hujan.
Di sisi lain, masyarakat merasa kurang nyaman dengan layanan taksi, ojek konvensional, dan transportasi umum. Sehingga, layanan ojek online ini pun semakin diminati. “Saya memesan taksi dari stasiun ke rumah. Yang biasanya 25 ribu rupiah bisa jadi 100 ribu rupiah. Ya saya milih yang online saja kan, lebih jelas harganya, dan nggak diputer-puterin. Naik angkot juga pernah dilecehkan sama penumpang lain. Apalagi kadang ada copet,” ucap salah satu teman saya mengenai pendapatnya tentang alasan memilih layanan ojek online.
Peluang tersebut dimanfaatkan oleh para driver ojek online untuk memperbaiki kualitas hidup. Apalagi, banyak yang menganggap bahwa pekerjaan ini lebih menjanjikan daripada pekerjaan yang lain. Oleh sebab itu, pekerjaan ini banyak diminati mulai dari orang yang hanya ingin sekadar mengisi waktu luang dan mendapat uang jajan, hingga orang yang memang menumpukan pekerjaan ini bagi nafkah untuk istri dan keluarga di rumah.
Namun, di balik pekerjaan itu, banyak masyarakat yang kurang setuju. Beberapa konflik terjadi di kota-kota besar seperti Tangerang dan Bandung. Hal tersebut semakin ramai setelah Dinas Perhubungan Jawa Barat melarang transportasi online. Hal ini menjadi dilema bagi orang yang menjadikan ojek online sebagai pekerjaan utama.
Saat ini sedang terjadi pro dan kontra yang hebat antara konsumen dan pembuat kebijakan. Mayoritas masyarakat menginginkan adanya layanan transportasi yang praktis, mudah, aman, dan nyaman. Sedangkan pemerintah ingin menata agar masyarakat mendapatkan hak-hak mereka, terutama tentang transportasi.
Pemerintah semestinya dapat melihat kenyataan bahwa apabila ojek online ini benar-benar dilarang di semua daerah, maka angka pengangguran akan meningkat. Sementara hak-hak konsumen terhadap layanan transportasi yang ideal juga belum dapat terpenuhi. Di kota Jogja sendiri, Trans Jogja belum beroperasi 24 jam. Kemudian, apabila sudah larut malam dan sepi, tarif taksi dan ojek konvensional kian menjadi-jadi.
Apabila memang pemerintah akan menegaskan kebijakan tersebut, sebaiknya para driverlayanan transportasi online yang benar-benar bertumpu pada pekerjaan tersebut diberikan ruang untuk mencari nafkah lain. Mereka dapat diberikan pelatihan serta modal yang cukup untuk menjalani pekerjaan yang pemerintah tawarkan. Melarang sesuatu dengan memberi solusi tentu saja akan meningkatkan kepercayaan dan mengurangi konflik. Dengan diperbaikinya layanan transportasi umum menjadi lebih aman, nyaman, dan terjangkau masyarakat bisa benar-benar mendapatkan haknya. Apabila tidak, maka perselisihan ini akan terus menghasilkan “lagu-lagu” klasik lainnya.
Dewanto Adi Nugroho
Mahasiswa Teknik Sipil dan Lingkungan UGM