![]() |
|
Buruh bangunan sedang mengencangkan cetakan kolom sebuah proyek gedung. Mereka sering bekerja lembur sampai kelelahan. Foto: Dandy IM |
Kesan awal yang bakal muncul saat pertama kali berkunjung ke proyek infrastruktur, tidak ada paksaan untuk para buruh mengambil jam lembur. Mereka secara suka rela ingin mendapatkan tambahan upah demi meningkatkan kualitas hidup. Namun, ketika kita melihat-lihat lebih lama, ada suatu kondisi yang membuat mereka melakukan itu.
Kondisi tersebut bisa dikategorikan menjadi tiga hal: cekikan kebutuhan hidup, keputusan manajemen, dan target proyek yang memburu.
Badan Pusat Statistik (BPS) merilis data besaran upah nominal dan riil harian untuk buruh bangunan akhir tahun lalu. Upah nominal adalah jumlah uang yang diterima oleh buruh dari mandor per hari. Per September 2017, jumlahnya rata-rata sebesar 84.438 rupiah. Jumlah ini naik 0,02% secara bulanan dan 2,3% secara tahunan. Sedangkan upah riil adalah daya beli para buruh. Upah riil menggambarkan nilai uang sebenarnya yang bisa digunakan keluarga buruh untuk melanjutkan hidup. Per September 2017, nilainya sebesar 64.867 rupiah. Nilai ini turun 0,11% secara bulanan dan 1,37% secara tahunan.
Data ini menunjukkan, meskipun upah nominal buruh bangunan naik, tapi nilainya mengalami penurunan. Kemampuan buruh membeli kebutuhan pokok semakin lemah. Sehingga, alih-alih meningkatkan kualitas hidup, untuk mempertahankan keberlangsungan hidup saja mereka harus lebih sering mengambil jam lembur. Keputusan untuk lembur pada akhirnya tidaklah muncul dari hasrat, tapi dari keterpaksaan.
Baca juga: Helm Kuning Proyek
Keputusan kontraktor juga sering memaksa buruh lembur bahkan sampai dini hari. Kontraktor inginnya jumlah buruh sedikit mungkin untuk menekan biaya. Sebab, ada keadaan tertentu di lapangan yang memaksa pekerjaan tidak bisa dilanjutkan, seperti keterlambatan suplai material, cuaca yang tidak mendukung, atau progres yang terlalu cepat. Padahal, pihak kontraktor tetap harus membayar upah buruh yang bekerja dengan sistem harian. Dengan minimnya jumlah buruh, uang yang harus dikeluarkan pada waktu semacam ini juga berkurang. Namun, nahas bagi para buruh ketika pekerjaan sedang menumpuk. Mereka dipaksa lembur untuk mengejar target.
![]() |
|
Buruh di proyek pelabuhan. Foto: Farizqi |
Faktor terakhir yang membuat buruh lembur adalah target rampungnya proyek yang memang diburu sejak awal. Pemerintahan Joko Widodo memang mengandalkan program pembangunan yang bertajuk “percepatan infrastruktur”. Beberapa proyek strategis dikebut pengerjaannya. Sayangnya, perhatian terhadap kualitas proyek amat kurang ketimbang jumlah proyeknya. Hal ini dibuktikan dengan maraknya kecelakaan kerja di bidang konstruksi akhir-akhir ini. Salah satu yang berkontribusi pada kecelakaan itu adalah menurunnya konsentrasi para buruh akibat lembur melulu.
Negara sebetulnya sudah mengatur melalui keputusan Menteri Tenaga Kerja Nomor 102/MEN/VI/2004 tentang waktu kerja lembur. Menurut keputusan tersebut, waktu kerja lembur adalah waktu kerja yang melebihi 40 jam dalam seminggu. Jika menggunakan sistem 6 hari kerja, berarti waktu kerja normalnya 7 jam. Sedangkan untuk sistem 5 hari kerja, waktu kerja normalnya 8 jam. Apabila melebihi itu, pekerjaan dianggap lembur dan perusahaan wajib membayar upah lembur.
Untuk menentukan lamanya waktu kerja lembur juga tidak sembarangan. Waktu kerja lembur hanya dapat dilakukan paling banyak tiga jam sehari dan empat belas jam dalam seminggu.
Sayangnya, praktik di lapangan tidak mematuhi peraturan tersebut. Buruh bangunan bisa disuruh bekerja sampai pukul 2 pagi. Apalagi ketika ada pengecoran. Tentu saja hal tersebut sudah sangat melebihi batas waktu lembur yang ditentukan.
Baca juga: Kambing Hitam Kecelakaan Konstruksi
Satu hal lagi yang amat penting: untuk melakukan kerja lembur, harus ada perintah tertulis dari pengusaha dan persetujuan tertulis dari buruh yang bersangkutan. Harus ada daftar tertulis berisi nama-nama buruh yang akan lembur dan ditandatangani oleh mereka. Artinya, pihak kontraktor tidak bisa begitu saja memaksa para buruh untuk lembur.
Kenyataan di lapangan, pihak kontraktor langsung saja bilang ke mandor untuk meminta para buruhnya lembur. Hal ini tentu menyalahi prosedur dan buruh diperlakukan secara tidak adil. Padahal, ketika terjadi kecelakaan kerja, pihak kontraktor enteng saja menuduh para buruh lalai dalam bekerja – seperti yang terjadi pada proyek Jalan Tol Becakayu (Bekasi-Cawang-Kampung Melayu). Itu membuat ketidakadilan menjadi sangat.