Kategori
Politik

Reforma Agraria (Masih) Sebuah Angan-Angan

Jokowi bagi-bagi sertifikat | Foto: Antara

Sengketa tanah di Kulon Progo, Daerah Istimewa Yogyakarta, menguras tenaga dan pikiran rakyat di enam desa. Sengketa terjadi antara warga dengan PT Angkasa Pura I. Masalah pelik ini bermula sejak rencana pembangunan New Yogyakarta International Airport mengemuka tahun 2012. Pihak keraton Yogya juga terlibat dalam pusaran konflik karena ada klaim lahan calon bandara adalah Paku Alam Ground (PAG). Rakyat yang bersengketa harus terus-terusan menghadapi proses hukum formal yang melelahkan. Terlepas dari menghakimi pihak mana yang paling benar, nyatanya rakyat beberapa kali menjadi korban eksekusi karena buramnya penegakan hukum.

Kasus di Kulon Progo adalah salah satu dari deretan panjang sengketa tanah yang terjadi di Indonesia.

Para pengurus Indonesia di zaman setelah kemerdekaan sebenarnya sudah memahami potensi munculnya konflik kepemilikan tanah. Sebab tanah adalah sumber kehidupan. Dari tanah, tumbuh sumber pangan. Tapi tanah juga bisa menjadi sumber penggelembung kekayaan. Harga tanah akan terus naik dan semakin cepat bila sudah dihinggapi bisnis properti. Makanya, kemudian disahkan UU No 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria atau lebih dikenal dengan UU Pembaruan Agraria (UUPA). Undang-undang ini mengganti UU agraria Kolonial.

Ide dasar dari UUPA: tanah untuk rakyat. Melalui penerapan UU ini, kepemilikan lahan bisa menjadi lebih adil. Ada harapan agar tidak ada lagi seseorang memiliki tanah yang sangat luas melampaui batas, sementara para petani hanya punya sepetak kecil lahan di samping rumahnya. Ini memang salah satu akibat dari ulah penjajah yang sudah terlalu banyak mencaplok tanah rakyat Indonesia untuk dieksploitasi atau disewakan pada para orang-orang kaya saat itu. Beberapa hal yang diatur di UUPA adalah pembatasan penguasaan tanah, pengakuan hukum adat, dan warga negara asing tidak boleh punya hak milik. UUPA adalah wujud nyata dari semangat reforma agraria.


Namun, sebelum berbicara tentang sejarah penerapan UUPA, muncul sebuah pertanyaan. Apakah saat ini reforma agraria masih dibutuhkan? Pertanyaan ini muncul, karena realitas berbicara bahwa jumlah petani semakin sedikit. Anak para petani mulai banyak yang tidak melanjutkan profesi orang tuanya. Sedangkan para sarjana pertanian juga sangat banyak yang tidak terjun ke dunia pertanian. Berkarir di sebuah bank atau media dianggap lebih menguntungkan.


Baca juga: Kambing Hitam Kecelakaan Konstruksi

Untuk menjawab pertanyaan tersebut, perlu disadari bahwa semakin merosotnya jumlah petani bukanlah sebuah sebab. Itu adalah sebuah akibat. Maksudnya, itu adalah akibat dari minimnya jaminan harga dari pemerintah terhadap suatu komoditas pertanian saat terjadi kelebihan produksi. Dan juga, tidak pastinya jaminan dari pemerintah bila sewaktu-waktu petani mengalami gagal panen. Cabai adalah salah satu komoditas yang mengalami fluktuasi harga yang sangat tajam.

Akibatnya, profesi petani cukup cepat ditinggalkan. Profesi ini tidak menjanjikan masa depan yang nyaman.

Tetapi manusia tetap butuh makan, entah makan nasi, singkong, atau sagu. Semua sumber makanan tersebut memerlukan tanah. Untuk itulah, reforma agraria tetap penting untuk terus diperjuangkan. Agar para petani yang tersisa tidak ikut-ikutan alih profesi karena hidupnya menjadi lebih makmur. Dan, si sarjana pertanian bisa mulai lebih melirik bidang pertanian sebagai lahan karirnya.

Pertanyaan selanjutnya, mengapa di masa pemerintahan Bung Karno reforma agraria gagal dilakukan?

Setelah UUPA disetujui oleh DPR-GR (Gotong Royong) pada 24 September 1960, program reforma agraria mulai dijalankan. Beberapa kebijakan teknis mulai dikeluarkan, antara lain: program pendaftaran tanah, penentuan batas maksimum kepemilikan tanah, dan UU No 2 Tahun 1960 tentang Perjanjian Bagi Hasil (UUPBH).

Namun, ketiga program tersebut tidak berjalan mulus, bahkan bisa dibilang macet. Hal-hal yang menghambat program ini muncul dari pihak pemerintah dan juga rakyat. Dari pihak pemerintah, kesiapan pengelolaan administrasi masih buruk. Padahal, proses pendaftaran tanah yang begitu banyak membutuhkan sistem administrasi yang tertata. Selain itu, praktik korupsi dari para penyelenggara semakin memperburuk jalannya program. Kejadian ini muncul akibat kondisi perpolitikan nasional yang sangat labil pada saat itu. Pertarungan ideologi begitu kencang. Akibatnya, negara tidak punya cukup kekuatan untuk menyelenggarakan agenda reforma agraria yang berskala besar.

Gerakan penolakan dari para tuan tanah juga menjadi batu sandungan terhadap jalannya program ini. Tidak mengherankan karena reforma agraria tentu akan mengurangi kepemilikan lahan mereka. Walaupun, sebenarnya negara menyiapkan ganti rugi untuk proses peralihan.


Dari pengalaman ini, dapat dipelajari bahwa, reforma agraria membutuhkan sistem administrasi negara yang baik dan kondisi perpolitikan yang cukup stabil. Agar negara punya cukup kekuatan untuk menjalankan program yang berdasar pada UUPA. Masa sih, negara tidak berani pada tuan-tuan tanah atau korporasi? Kecuali kalau mereka memang bergandengan, bermesra-mesraan.

Kemacetan program ini bukan tanpa gejolak dari rakyat. Aksi sepihak di berbagai daerah di Jawa menjadi catatan protes para petani. Salah satu aksi yang mencuat adalah Peristiwa Jengkol, terjadi di Jember dan Kediri pada November 1961. Aksi sepihak muncul karena panitia landform tingkat desa tidak terlaksana. PKI dan Barisan Tani Indonesia (BTI) yang getol mengorganisir pergerakan ini.

Pada masa pemerintahan Bapak Harto malah jadi aneh. Amanat UUPA praktis tidak dijalankan. Pasalnya, UUPA dianggap sebagai agenda Komunis. Hal-hal yang dianggap beraroma Komunis di era tersebut, sebagaimana kita tahu, disingkirkan – sebenarnya juga sampai sekarang. Padahal, proses pembuatan UUPA melibatkan banyak pihak yang mewakili masing-masing golongan politik di masanya. Perdebatan panjang di parlemen terjadi antara kalangan nasional, agama, dan komunis. Hingga akhirnya mereka satu pandangan mengenai langkah yang harus ditempuh untuk mewujudkan keadilan agraria.

Orde baru semakin membuat petani kehilangan harapan untuk mendapatkan hak-haknya yang diatur dalam UUPA.


Baca juga: Angkot Jogja Zaman Dulu dan Nasibnya Kini

Sekitar tahun 2011, muncul opsi untuk merevisi UUPA. Ada anggapan bahwa UUPA adalah sumber dari berbagai konflik agraria, sehingga perlu diperbaiki. Ini tidak mengherankan karena, dari berbagai pengalaman, kita memang memiliki ingatan yang pendek. Kita bisa lupa bahwa sejatinya berbagai konflik agraria muncul akibat UUPA tidak dijalankan.

Kemudian, muncul rencana dari pemerintahan Jokowi-JK untuk melakukan pembagian 9 juta hektare tanah. Teknisnya berupa legalisasi aset seluas 4,5 juta ha, dan redistribusi seluas 4,5 juta ha. Rencana ini terlihat heroik dan memberikan harapan bagi para petani untuk mendapatkan keadilan agraria. Jokowi-JK pun melabeli program ini sebagai “reforma agraria”.

Namun, bila ditilik lebih jauh, rencana Jokowi-JK ini tidak jauh berbeda dari pegawai negara sebelumnya, SBY-Boediono. Di era SBY, sudah ada target redistribusi tanah yang terdiri dari 1 juta hektare tanah tanaman, 8,1 juta hektare hutan produksi, dan 7 hektar tanah terlantar. Bila dilihat dari segi jumlahnya, sejatinya target pada masa SBY-Boediono sudah melampaui 9 juta hektare. Dan, memang, pendataan objek tanah yang akan diretribusi oleh Jokowi-JK dilakukan sejak era SBY. Jokowi-JK hanya melanjutkan kerangka yang telah ada.

Tidak tercapainya cita-cita reforma agraria saat era SBY disebabkan oleh salah baca orientasi reforma agraria. Sebab, reforma agraria berbicara tentang perombakan struktur kepemilikan dan penguasaan sumber daya alam. Ia termasuk kepemilikan tanah, air, dan udara yang harus diatur ulang karena carut-marut akibat penjajahan, baik penjajahan oleh warga asing maupun bangsa sendiri. Program “reforma agraria” Jokowi-JK juga tidak terlihat memiliki orientasi seperti ini. Tafsir “reforma agraria” diartikan secara sempit menjadi hanya sekadar bagi-bagi sertifikat tanah.

Selain perombakan struktur kepemilikan, reforma agraria juga fokus pada usaha penyelesaian konflik-konflik agraria, penegakan hukum dalam sengketa tanah, dan pencegahan praktek rente. Namun selama masa kepegawaian Jokowi-JK, beberapa konflik agraria terjadi. Menurut Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), sepanjang tahun 2017, jumlah konflik agraria yang terjadi di Indonesia mencapai 659 kasus. Luasnya sampai 520.491,87 hektar (ha). Ini meningkat 50% dari tahun 2016. Fakta ini semakin menunjukkan langkah politik Jokowi-JK masih jauh dari cita-cita UUPA.

Apakah agenda “reforma agararia” di masa Jokowi-JK akan mencapai cita-cita yang tersurat dalam UUPA? Saya sih, pesimis.


Dandy IM
PijakID

Oleh Dandy Idwal

It is easier to imagine the end of capitalism than the end of family

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Gambar Twitter

You are commenting using your Twitter account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s