![]() |
Foto: Josh |
Anak kecil di sampingku berteriak sambil mengayunkan kedua tangannya di atas kepalanya bersamaan dengan roda pesawat yang meninggalkan landas pacu Bandar Udara Juanda. Anak kecil itu sepupuku. Ia baru berada di jenjang kelas 1 SD. Aku sendiri kaget setan kecil itu tiba-tiba berteriak. Aku periksa sabuk pengamannya, masih terpasang. Setan bedebah, ia ternyata berteriak sambil memasang wajah semringah.
Dua kursi di depanku tapi di banjar yang lain, seorang dewasa menoleh ke belakang, tepatnya ke kursiku, saat pesawat baling-baling itu belumlah mencapai posisi stabil. Anak setan di sampingku juga masih berteriak. Dari sorot matanya, aku merasa seorang dewasa itu memendam rasa kesal dan olok-olok. Di bundaran hitam matanya, aku dan sepupuku bagaikan makhluk norak yang baru kali pertama naik pesawat. Awalnya aku merasa hina ditatap olehnya. Namun melihat sepupuku masih riang tak terkira – bangsat kau setan kecil! – aku akhirnya senyum-senyum juga.
Setelah puas cengengesan, aku sadar bahwa seperti orang dewasa itulah aku beberapa tahun belakangan. Setiap kali pulang ke Madura dan melihat tingkah orang-orangnya yang menggelikan saat menghadapi perubahan atau teknologi baru, aku mencibir. Setelah aku pikir-pikir lagi di dalam pesawat, ternyata bukan tingkah mereka yang menggelikan, tapi kesombongan diriku yang memuakkan.
Pesawat rute Surabaya-Sumenep ini bisa dibilang baru. Terhitung mulai 27 September 2017, rute ini setiap hari dilayani oleh Wings Air yang berkapasitas 70 orang. Pesawat kecil ini langsung mengambil jalan pulang pergi: pukul 12:45 WIB terbang dari Juanda dan 14:20 WIB sudah ongkang-ongkang sayap di bandara yang sama. Perjalanan tiap hari ini menandakan dimulainya layanan komersial pertama di Bandara Trunojoyo, Sumenep. Sayang, saat itu penumpang yang ikut terbang bersama diriku hanya dua puluhan orang.
Sebelumnya, bandara ini baru beroperasi sebagai bandara perintis di tahun 2015, dengan dua rute, yaitu ke Jember dan Surabaya. Susi Air melayani rute ini dengan pesawat yang hanya berkapasitas 12 orang. Rute Sumenep-Jember dan sebaliknya satu kali seminggu serta Sumenep-Surabaya dan sebaliknya dua kali seminggu. Sayangnya, karena minim jumlah penumpang, penerbangan ke Jember dihentikan di tahun 2016.
Tidak biasanya aku menempuh jalur udara ke Sumenep. Jalur bus yang sering menjadi pilihan terutama karena biayanya yang murah. Hari itu aku, nyannya (tante), om, dan dua anak mereka harus bergegas pulang karena minimal sore hari harus berada di rumah. Jenazah kakek yang sudah meninggal sehari sebelumnya belum juga dimakamkan, menunggu kedatangan kami berlima. Akhirnya pesawat jadi pilihan, dengan harapan perjalanan menjadi semakin singkat.
Setelah terbang selama tiga menit, pesawat berada di atas selat Madura. Dari posisi ini aku bisa melihat jembatan Suramadu yang tampak mungil dan daratan Bangkalan, kabupaten yang paling dekat dengan Surabaya. Sebentar saja aku dibuat kaget oleh pemandangan di daratan Bangkalan yang dekat selat. Aku bagai melihat lahan tambang kapur yang begitu luas dengan selimut warna putih keabu-abuan. Sejenak kemudian aku sadar, itu tambak garam. Dalam hati aku hanya berharap tambak-tambak itu tidak lagi dikotori ampas makanan manusia. Sebab dulu aku tiap hari melakukannya di tambak garam di Sampang ketika mengunjungi kerabat yang tinggal di sana. Aku bahkan jongkok di tepian tambak itu saat siang sedang terik.
Kami mendarat di Bandara Trunojoyo pukul 13.20 WIB. Sejenak keadaan menggelitik hati. Masih ada rasa tidak percaya, sekarang bisa secepat ini memindahkan badan dari Surabaya ke Sumenep. Karena sebelumnya kita harus menumpang bus selama empat jam. Belum lagi kalau uang terbatas sehingga terpaksa naik bus yang kotor, bau, dan sesak. Dengan bantuan burung besi, ada harapan kami bisa sampai di rumah lebih cepat. Terima kasih Jokowi, tim Jokowi, dan Tuhan, yang telah mewujudkan akses yang lebih cepat ke wilayah ini. Perlu menunggu 72 tahun setelah merdeka untuk membuat bandara komersial di kabupaten yang bahkan sama sekali tidak terletak di pinggiran negara ini.
Angkot kosong yang sudah aku pesan ketika masih di Surabaya telah menunggu di parkir bandara. Kami berlima langsung naik ke angkot. Sopir angkot pun langsung memacu kendaraannya. Kami menuju pelabuhan Dungkek yang terletak agak di utara. Butuh setengah jam perjalanan darat ke sana, sehingga kami sampai di pelabuhan itu pukul 14:00 WIB.
Selama perjalanan di angkot, tanteku sempat berandai-andai. Andai dibangun jembatan antara Pulau Madura dan Pulau Sapudi. Kami bisa lebih cepat lagi sampai di rumah. Menurutnya, tidak susah membangun jembatan itu. Dananya kan ada. Menurutnya, cukup alokasikan semua dana desa di Sapudi untuk membiayai pembangunan jembatan. Toh, jembatan itu untuk kepentingan orang-orang Sapudi juga.
Masalahnya, aku menanggapi angan-angan tanteku, jembatan itu akan melewati perairan yang butuh tiga sampai empat jam perjalanan laut. Sedangkan laut di bawah Jembatan Suramadu saja hanya butuh satu jam perjalanan kapal untuk melintasinya. Berarti biayanya akan beberapa kali lipat lebih besar daripada Suramadu. Dan, berapa orang saja yang akan dilayani?
Tentu saja tanggapanku terlalu serius untuk ide tanteku yang hanya berupa angan-angan yang muncul dari perjalanan yang tergesa-gesa. Tentu saja tanteku bercanda. Tapi aku pikir angan-angan itu diakibatkan oleh permasalahan yang serius. Mengapa orang-orang kepulauan kini juga keranjingan memimpikan jembatan yang menghubungkan pulau? Mengapa orang kepulauan sendiri kini lupa bahwa kapal dan perahu bisa dijadikan andalan penyeberangan? Sebab, tidak hanya tanteku saja, belakangan kerap aku dengar angan-angan serupa.
Aku menduga, angan-angan ini muncul dari rasa muak yang menerpa orang-orang kepulauan selama ini. Apa yang akan kau pikirkan saat melihat ibumu mati di tengah laut karena terlambat mencapai daratan di seberang? Kau harus membawa ibumu ke daratan itu karena di pulau yang kau huni, tenaga dan perkakas medisnya tidak memadai. Cerita tentang kematian seseorang di tengah lautan semacam ini kerap menjadi perbincangan di Pulau Sapudi. Kembali ke pertanyaan tadi, apa yang akan kau pikirkan? Mungkin mengumpat, mungkin juga mengelus-elus dada agar bersabar. Tapi mungkin juga terpikirkan pertanyaan, kenapa tidak ada jembatan yang nangkring di perairan ini? Kenapa puskesmas di dekat rumah begitu menyedihkan?
Setahun yang lalu, aku asik menonton tetanggaku di Sapudi sedang membuat rangka perahu. Panjangnya kira-kira tujuh meter dan lebarnya dua meter. Nantinya, rangka perahu ini dijadikan cetakan adonan fiber. Bahan ini dipilih agar nantinya perahu ringan, sampai-sampai bisa digotong oleh hanya satu orang. Perahu seringan ini tentu akan melaju kencang apalagi jika menggunakan mesin bertenaga tinggi.
Perancang perahu ini bukanlah lulusan perguruan tinggi. Ia hanya lulusan SMP. Ia dibantu temannya yang sehari-hari mengurusi bengkel di dekat rumah dan tower sinyal operator. Ia sempat berkelakar, perahu ini akan sangat berguna di saat-saat darurat. Misalnya, seperti kami yang diburu waktu untuk mengejar pemakaman. Selain itu, untuk membawa orang sakit yang butuh penanganan khusus di pulau seberang. Lagi-lagi ini sebuah angan-angan, yang muncul dari seseorang yang pernah merantau ke Batam. Ternyata, ia mempelajari cara pembuatan perahu semacam itu di perantauan.
Tidak hanya keadaan darurat semacam ini yang menjadi permasalahan transportasi kepulauan. Ketika waktu-waktu tertentu, arus mudik lebaran misalnya, layanan kapal feri tetap mengandalkan satu kapal mungil untuk melayani penumpang di pelabuhan Kalianget Sumenep, Pulau Sapudi, Pulau Raas, dan Pelabuhan Jangkar Situbondo sekaligus. Hanya satu kapal! Seperti hari-hari biasa. Penumpang jadi berdesak-desakan. Jadwal berubah-ubah karena menyesuaikan jumlah penumpang. Dan, yang menyedihkan, kapal naas itu jadi makin sering rusak.
Dua kondisi ini sudah cukup membuat angan-angan orang kepulauan, seperti tanteku, menanggalkan harapan kepada kapal atau perahu yang menyiksa dan beralih ke jembatan. Angan-angan itu, dari pemantauanku, semakin kuat. Pengurus negara maritim ini hendaknya mulai mengambil langkah untuk menyelamatkan pelayaran kepulauan. Sebab teror pola pikir lebih menyakitkan.
Dalam debat publik calon gubernur Jawa Timur awal Mei lalu, kedua pasangan calon saling menawarkan janji untuk membenahi dan memajukan transportasi laut di kepulauan Sumenep. Cerita dariku ini mungkin bisa menjadi sedikit sumbangan pemikiran apabila janji itu memang serius.
Sebab, bagi orang-orang kepulauan Sumenep, layanan penerbangan Surabaya-Sumenep tak banyak membantu apabila transportasi laut masih nggak keruan.