Kategori
Society

Cita-Cita Freelance

Waktu sekolah dulu, ada iming-iming menarik yang ditawarkan dunia pekerjaan. Namanya freelance. Orang bilang, kalau kita freelance, bekerja jadi menyenangkan. Waktu bisa kita atur sendiri. Kapan bekerja, kapan istirahat, sudah tidak lagi diatur oleh sistem yang kaku. Kita sendiri yang menentukannya. Barangkali karena sedari kecil sampai dewasa kita dihadapkan pada sistem pendidikan yang senang sekali mengatur-ngatur, freelance bagai angin sorga yang lewat di tengkuk kita. Sejuk.

Namun begitu selesai dengan urusan sekolah lalu masuk dunia kerja, kita mendapati ternyata freelance tak seindah taman istana.

Jika kita bicara freelance secara umum dan mengabaikan sedikit jenis freelance yang bayarannya jumbo, nampak sekali freelance adalah tumpuan saat kepepet. Sebagian besar dari kita bekerja freelance karena belum punya pekerjaan tetap atau pemasukan rutinnya tidak cukup untuk hidup. Parahnya lagi, karena satu freelance tak langsung memenuhi kebutuhan dasar, kita jadi mengambil banyak freelance. Jam kerja jadi lebih panjang. Kita makin sering begadang. Bukannya dulu dibilang, jika freelance, kita bebas mau kerja kapan aja, dan istirahat kapan aja? Tapi kok ini malah bekerja setiap saat? Bahkan saat waktunya istirahat?

Belum lagi, kebanyakan freelance tidak ada hitam di atas putih. Tak ada jaminan. Situasinya menjadi tak pasti. Sebetulnya ini bisa diantisipasi jika si pekerja meneliti lebih jauh pekerjaan yang ditawarkan. Tapi kebutuhan hidup seringkali mendesak. Dan itu menuntut kita mengambil pekerjaan dengan cepat.

Apakah freelance sebagai pembebas kelas pekerja sebetulnya hanyalah mimpi yang mustahil? Sudahkah waktunya kita, kelas pekerja, membuang jauh mimpi itu dan kembali menyerahkan tenaga dan pikiran kita ke pasar kerja yang biasanya?

Sebuah perubahan yang luar biasa mendasar memang akan terlihat mustahil hari ini, tapi belum tentu tak ada harapan di hari esok. Termasuk cita-cita freelance, yang lebih suka saya sebut sebagai pekerja bebas daripada pekerja lepas. Lalu apa yang membuat harapan ini punya peluang untuk menjadi kenyataan?

Jawabannya adalah roda industri 4.0 yang mulai bergulir. Orang sering keliru melihat peluang dari industri jenis ini. Barangkali karena kenyang dengan dongeng pemerintah yang bilang bahwa revolusi industri 4.0 datang membawa banyak ancaman. Persaingan akan semakin ketat. Kelas pekerja dituntut menguasai beragam keahlian baru agar tidak tersingkir dari dunia kerja. “Belajar dan berlatihlah dengan keras. Jangan malas. Jika tidak, kalian (kelas pekerja) akan kehilangan pekerjaan. Dan akan bertahan hidup dengan menjadi freelance (termasuk pekerja kontrak) yang nasibnya tak jelas,” begitu kira-kira kata pemerintah.

Menguraikan tantangan memang perlu. Tapi menjadi tak bijak jika hanya dibuat untuk menakut-nakuti, dan menutupi kesempatan.

Peluang di era industri 4.0 bagi pembebasan pekerja memang perlu diurai dengan panjang dan rinci. Tapi penyederhanaannya kira-kira begini. Kita sama-sama tahu di masa kini, apa-apa jadi serba otomatis. Gerbang tol tinggal tempel kartu. Buka rekening bank tinggal ketuk-ketuk layar hape. Bikin logo tinggal klik. Proses ini tak lagi membutuhkan manusia. Robot yang mengerjakannya. Kalau begitu, ya sudah, biarkan robot-robot ini bekerja. Robot palang pintu tol bekerja untuk penjaga pintu tol. Robot finansial bekerja untuk orang yang bekerja di bank. Robot pembuat logo bekerja untuk para desainer grafis. Kasarnya begitu. Efisiensi semacam ini secara ekonomi cukup untuk membiayai kebutuhan hidup mantan pekerja dan pengangguran. Kelas pekerja punya penghasilan tetap, tanpa bekerja.

Mungkin ada yang bertanya-tanya, orang kalau dikasih duit tanpa bekerja bukannya malah jadi pemalas? Ow… kita perlu cek asumsi ini. Benarkah memang demikian? Soalnya, menurut penelitian terbaru dari Semeru Institute, orang yang dikasih Bantuan Langsung Tunai (BLT) tidak kemudian menjadi malas. Orang tetap bekerja. Orang tetap melakukan hal-hal yang ia suka. Ya… intinya orang bisa melakukan hal lain selain bekerja.

Jika gaji tetap tanpa bekerja ini benar-benar terwujud, si penjaga palang pintu tol, pekerja bank, dan desainer grafis barulah bisa menjadi freelance yang kita cita-citakan. Dalam arti, bekerja karena pengen. Bukan bekerja biar bisa hidup.

Oleh Dandy Idwal

It is easier to imagine the end of capitalism than the end of family

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s