Cerita-cerita heroik tentang peristiwa ini sudah banyak. Jadi, mari kita membahas sisi yang lain. Misalnya, apa latar belakang para pemuda ini?
Bisa jadi kebanyakan orang sudah bisa menjawabnya. Para pemuda ini berasal dari daerah dan etnis yang berbeda-beda. Fakta inilah yang membuat Sumpah Pemuda dianggap momen penting, karena pemuda dari latar belakang yang berbeda bisa menyepakati 3 hal yang monumental. Ini betul.
Tapi jangan lupakan fakta bahwa para pemuda ini adalah pelajar yang mendapatkan kesempatan istimewa mengenyam pendidikan Belanda. Kebanyakan dari mereka adalah anak ningrat (orang keraton), sebagian kecil pejabat yang karirnya mujur di kota, dan pedagang yang kaya. Sekolah model Eropa yang paling berkembang waktu itu berada di Jawa. Maka pemuda yang beruntung lahir di 3 kelompok tadi, berbondong-bondong sekolah ke Jawa – zaman sekarang pun masih sama.
Perlu dicatat, pemuda yang punya kesempatan bersekolah Eropa sangat sedikit. Menurut Widjojo Nitisastro, di tahun 1940, jumlah pemuda Jawa (usia 15-19 tahun) sekitar 5 juta jiwa. Dari jumlah ini, kurang dari satu dalam setiap dua ribu pemuda Jawa yang duduk di bangku sekolah Belanda. Apalagi di tahun 1928. Sangat minoritas.
Para pemuda yang menggelar sumpah di tanggal 28 Oktober 1928 kemungkinan besar tidak berinteraksi dengan sebagian besar manusia sebayanya. Terasing.
Baca juga: Wisuda Kampus Penyumbang Kerusakan Lingkungan
Rasa nasionalisme yang tumbuh di kalangan terpelajar ini, menurut Ben Anderson, adalah hasil pengalaman interaksi antar-mereka yang berasal dari daerah yang berbeda-beda, bukan karena mereka membaca sejarah Eropa. Akibat interaksi itu, mereka yakin bahwa memang ada bangsa Indonesia, tanah air Indonesia, dan dengan demikian Bahasa Indonesia perlu dijunjung sebagai bahasa persatuan yang merekatkan. Imajinasi tentang nasionalisme inilah yang membuat hubungan mereka di sekolah tidak terasa sebagai sesuatu yang ganjil.
Karena nasionalisme pemuda ini didapatkan dari pengalaman bersekolah di lembaga pendidikan Belanda, maka pemuda yang lain, yang nasibnya tidak beruntung, yang jumlahnya jauh lebih banyak, tidak ikut merasakan pengalaman itu. Mereka tidak punya bayangan nasionalisme seperti yang dicita-citakan para pengucap Sumpah Pemuda. Aktivitas politik pemuda di tahun-tahun akhir penjajahan Belanda hanya dilakukan oleh sedikit pemuda yang berasal dari kalangan elit. Mereka ngobrolin politik di lingkaran mereka saja.
Kondisi berubah drastis saat Jepang datang menginvasi. Sekolah Belanda ditutup, kecuali beberapa sekolah dokter. Mungkin Jepang berpikir para dokter bisa dimanfaatkan sebagai tenaga medis perang. Namun yang jelas, Jepang tidak berpikir untuk menyebarkan kebudayaan. Mereka hanya ingin wilayah yang dikuasainya bisa terus dipertahankan dari serangan Sekutu.
Baca juga: Cita-Cita Freelance
Para elit pemuda mengalami guncangan hebat di masa Jepang. Mereka tidak bisa lagi menikmati fasilitas khusus berupa pendidikan Belanda. Sebaliknya, mereka harus mengikuti pendidikan militer Jepang, bareng sama pemuda kebanyakan. Jepang yang sadar sama ancaman Sekutu, membuat banyak tentara pelajar seperti PETA, Gyugun, Heiho, Hizbullah, Sabilillah, dan beberapa kesatuan lain. Di tahun-tahun inilah, mayoritas pemuda menjalani pengalaman yang sama, yakni dilatih untuk berjuang mempertahankan tempat tinggal.
Rasa nasionalisme yang didapatkan dari lingkungan sekolah tentu berbeda dengan yang muncul di hutan bersama senapan. Mana yang lebih baik? Saya tidak tahu. Yang saya tahu, setelah menulis cerita ini, ide-ide baru yang memimpikan kemajuan sulit terwujud jika hanya menjadi kesadaran di lingkaran kecil. Contohnya ide-ide yang hanya dikonsumsi di lingkungan kampus, tanpa pernah keluar menemui realita.
Apakah kamu termasuk orang yang pernah mendengar bahwa kemerdekaan Indonesia adalah kelanjutan dari semangat Sumpah Pemuda? Saya pernah. Nampaknya kita perlu memeriksa lagi klaim ini valid atau tidak.