Barangkali kita kadung santai-santai saja atau bahkan berontak hasrat kita lantaran bualan-bualan modernisasi. Yang dimaksud dengan istilah “bualan” ini adalah statement yang “berani-berani takut” untuk melempar klaim bahwa modernisasi sudah cukup banyak merampas lumbung makanan lalu meninggalkan sampah busuk bagi peradaban. Ya, enggak selalu gitu sih. Okelah, tapi di setiap “enggak selalu gitu” biasanya emang ada sampah-sampahnya. Lalu apa yang kita lihat sebagai bualan itu? Oke, kita mulai bongkar khusnudzonnya manusia ini terhadap modernisasi dengan segala atributnya.
Kalau kita bicara soal modernisasi, maka tentu kita akan bicara tentang segala atribut, perangkat (teknologi), budaya beserta macam utilitasnya. Apa yang tak kita sadari adalah, bahwa kita perlahan-lahan dan secara bersamaan sedang memindahkan sentral peradaban dari manusia kepada perangkat modern tadi. Sehingga pelan-pelan kita pun mengalami kebingungan eksistensial tanpa ketemu jawaban. Diperlakukan dengan cara apa kita sehingga manusia bisa mengalami yang demikian? Adalah utilitas dan fungsi yang dijadikan jaminan bagi manusia untuk mencapai imajinasi ideal tentang kehidupan versi mereka. Sementara, apa yang menjadi indikator utilitas tadi? Siapa yang meletakkan indikator tersebut? Berikutnya akan muncul pertanyaan di mana secara eksistensial letak subjek manusia di tengah establish-nya teknologi?
Bagi Heidegger, teknologi merupakan manipulasi, ini bisa diterjemahkan bahwa manusia dan alam sudah memiliki hakikatnya masing-masing, sedangkan teknologi adalah memperantarai keduanya. Ibarat wedhus itu sudah ada dan beranak pinak dari dulu dengan sendirinya, manusia pun ada. Namun, teknologi memberikan akses di antara keduanya sehingga jadilah ternak kambing. Kalau kita perselisihkan dengan budaya hari ini, sesungguhnya ada kebingungan soal relasi antara manusia, teknologi dan alam, atau bahkan manusia, teknologi dan manusia. Heidegger percaya bahwa secara ontologis teknologi telah menggeser pandangan mengenai keberadaan manusia dan makna yang melekat padanya. Pada tahap ini, kita menemukan keadaan terbalik ketika manusia telah menjadi objek yang dimaknai oleh perangkat. Dengan kata lain, keberadaan kita saat ini ditentukan oleh teknologi itu. Kita bisa akui, bahwa sebagian dari subjektivitas yang ada jauh di dalam diri kita, luntur dan lenyap seketika sampai di ujung jari, lantas kemudian teknologi menghadirkan kita sebagai diri yang lain asalkan suitable dengan pola-pola yang ada di antara kerumunan manusia lainnya.
Teknologi berperan dalam membentuk pola-pola dalam peradaban. Manusia pada akhirnya disusun dalam bentuk deretan data-data statistik, nilai-nilai dan spiritualitas disederhanakan dalam angka dan kurva. Sangat mungkin dengan kondisi ini manusia ditata dalam struktur kelas tertentu, atau bahkan muncul kelas-kelas baru dalam relasi sosial ketika manusia dengan mudahnya dicacah, didefinisikan dan dibatasi oleh struktur tersebut. Maka pandangan bahwa “technology as salvation” perlu dipikir ulang kalau kita mau. Ini karena adanya kemungkinan dominasi kelas dalam hal peruntukan teknologi. Tak bisa rasanya bagi kita untuk menjamin bahwa kendali perangkat teknologi mungkin diakses semua kelas sehingga mau tidak mau sebagian di antara manusia yang menjadi objek kendalinya. Anggapan bahwa perangkat dapat mengeliminasi kesenjangan kelas justru berakhir pada manusia kehilangan dirinya sendiri di hadapan komputer. Ketidaknetralan perangkat itu jadi niscaya, dan bahayanya pola pikir kita ngikut-ngikut aja, gimana ndak ngikut? Kita udah dikuasai kok.
Enaknya bagi mereka yang punya kendali infrastruktur teknologi, dengan kata lain mereka punya kendali atas tubuh-tubuh bahkan pikiran manusia lainnya. Ketika manusia sudah bisa dipolakan, atau bahkan di-“angka”-kan, ini artinya sudah ada bayangan berapa angka pula cuan yang masuk ke sakunya. Mungkin dari sinilah muncul apa yang disebut-sebut salvation itu. Betapa komoditas sudah semakin terdiversifikasi dari yang awalnya sesuatu tak bernyawa yang memiliki massa dan relativitas alias materi, kepada manusia, alias manusia yang sudah di-“angka”-kan, alias dialgoritmakan. Dan lagi-lagi kalau bisa dibilang, kita justru menikmati suatu standar nilai yang dikelola oleh sistem dan perangkat di luar tubuh kita yang kemudian disusupkan ke tubuh kita sendiri.
[mks_pullquote align=”right” width=”300″ size=”24″ bg_color=”” txt_color=”#1e73be”]”Anggapan bahwa perangkat dapat mengeliminasi kesenjangan kelas justru berakhir pada manusia kehilangan dirinya sendiri di hadapan komputer.”[/mks_pullquote]
Perihal bagaimana pola pikir dan eksistensi bahkan respon bawah sadar manusia bisa dibentuk oleh sistem, mari kita kembali bicara soal utilitas tadi. Siapa sih yang menentukan utilitas itu adalah X atau Y? Tentu saja mereka yang punya kuasa atas perangkat tadi. Kalau kita bicara kebijakan, negara, kalau ngomongin bisnis, konglomerat. Misal kalau kita dihibur dengan suguhan “cepat lagi mudah”, apakah seutuhnya kita nikmati bagi sekadar pemenuhan hasrat diri? Sebagian tentu dinikmati oleh bos-bos pabrik tempat kita bekerja karena produktivitas yang seiring dengan “cepat lagi mudah” tadi. Sebagian orang boleh jadi justru ingin berlambat-lambat dan bermalas-malas lantaran ia sedang nikmat bermain-main dengan imajinasi bebasnya di atas ranjang, tapi diperah paksa dengan manipulasi “cepat lagi mudah” tadi, ya apalagi yang ditawarkan teknologi pada otak kita kalau bukan ini.
Arena permainan kendali teknologi ini, juga tak jauh, bahkan menempel erat pada sistem politik as simple as we say. Politik mengatur segala hal, sudah jelas lah ya. Oke, agak susah menafikan bahwa tujuan besar negara adalah tidak lain stabilitas politiknya. Ini bisa jadi kabar baik di belakang orasi “demi bangsa dan negara”. Di sisi lain, mungkin berselisih dengan nilai-nilai manusia. Amati, bagaimana China melancarkan mass surveillance system untuk mengawasi bagaimana citizens hidup. Negara coba merekognisi kehidupan masyarakat terbatas pada apa yang terlihat olehnya, meskipun dengan segala perangkat teknologi canggih. Ini kemudian jadi inventaris mahal sebagaimana mereka melihat stabilitas merupakan pencapaian yang juga mahal bagi eksistensi negara. Tujuannya adalah meletakkan legitimasi atas bagaimana pemerintahan bekerja. Sehingga, apa-apa yang menjadi hambatan bagi keberlangsungan kekuasaan dengan mudah diantisipasi dengan testruktur, terukur dan sistematis.
Bagi demokrasi, ini agaknya jadi persoalan, lantaran kemungkinan pembatasan ekspresi atas dasar legitimasi tadi. Kalau mau bicara demokrasi yang katanya harus inklusif, itu barangkali bukan berarti menghentikan pertanyaan supaya ia tak perlu lagi menjawab sesuatu semata-mata data dianggap sudah lengkap, mewakili dan menjawab segala pertanyaan. Sekalipun yang demikian itu ada di dalam pikiran masyarakatnya. inklusif mungkin justru harus memungkinkan adanya kecurigaan di antara negara dan masyarakat untuk terus-terusan diperdebatkan dan dipertanyajawabkan. Harus ada kecurigaan dan jawaban intinya, bukan membatasi kecurigaan seolah-olah sudah terjawab. Tapi, teknologi juga lah yang punya peran membangun batasan itu dan lihat saja bagaimana perangkat itu dimanfaatkan bagi sistem politik hari ini.
Bagaimana? Dari sekian pendapat ini, apakah sudah mencium aroma-aroma busuk di tengah peradaban? Kalau tidak, silakan berhenti pada sisi baiknya saja, sisanya anggap saja saya ngawur, anggap saja, karena saya pikir pengaruh itu nyata secara sistemik. Hanya saja sekilas ia tak terlihat, lebih dalam barangkali memang otak kita sudah diporak-porandakan, dengan iming-iming utilitas, “technology as salvation”, imajinasi peradaban riang gembira yang diperjual-belikan dengan atribut etika dan moral.