Kategori
Society

Salah Kaprah Privasi di Internet

Seiring tumbuh remaja, anak-anak menginginkan ruang yang khusus untuk dirinya sendiri. Misalnya, mereka ingin berkuasa atas kamarnya. Jika seseorang ingin masuk, walaupun itu orang tuanya sendiri, harus mengetuk pintu. Ia mulai sadar bahwa ia punya hak melakukan sesuatu tanpa diketahui oleh orang lain. Ia mulai menyadari bahwa privasi adalah sesuatu yang berharga.

Hasrat manusia untuk mendapatkan privasi ini terus tumbuh dan menguat hingga dewasa. Termasuk ketika berhadapan dengan internet. Manusia tidak ingin seluruh aktivitasnya di internet, terutama data-data pribadinya, bisa diakses bebas atau dikuasai oleh pihak-pihak tertentu. Privasi di internet kini sudah menjadi sebuah tolok ukur martabat manusia. Manusia tidak ingin ditelanjangi.

Namun sayangnya, persepsi umum tentang bagaimana privasi dilanggar di internet menurut saya salah kaprah. Kebanyakan orang menganggap pengawasan (surveillance) di internet bagai ada mata-mata yang mengintai gerak-gerik setiap manusia, setiap detik. Model pengawasan yang sering dijadikan contoh yaitu novel berjudul “1984” karya George Orwell. Novel ini bercerita tentang sebuah negara yang rakyatnya berada dalam pengawasan penuh. Setiap perilaku dimonitor. Perangkat pengawasan bahkan memasuki ruang-ruang yang sangat privat, yakni tempat tidur. Sosok yang memonitor bernama Big Brother. Cara ia memonitor tersampaikan dengan jelas dalam sebuah poster yang berisi tulisan: Big Brother is watching you. Ya, Big Brother selalu mengawasimu. Maka kamu harus selalu berhati-hati dalam bertindak dan berucap.

Novel Orwell ini adalah sebuah distopia, yaitu suatu dunia yang tidak diinginkan, karena terlalu otoriter, mengatur segala hal dengan menerapkan pengawasan. Karena tidak diinginkan, maka para pembaca novel ini akan terdorong untuk menolak hal-hal yang mengarah pada situasi yang digambarkan di dalam cerita. Selain itu, jika menggunakan cara pandang novel ini, sebuah pengawasan dipahami sebagai aktivitas pemantauan oleh suatu kelompok berkuasa yang membuat manusia yang dipantau merasa tidak bebas, tidak nyaman, dan tidak aman.

Dengan cara pandang yang seperti ini, solusi yang kemudian muncul adalah meminta negara dan perusahaan-perusahaan digital untuk tidak melanggar privasi. Boleh mengeruk banyak data, tapi jangan data pribadi. Boleh memonitor aktivitas-aktivitas yang memang sudah dikeluarkan ke ruang publik secara sadar oleh penggunanya, seperti postingan di media sosial, aktivitas berbelanja, unggahan video di Youtube, tapi jangan sekali-sekali mengawasi obrolan privat di ruang chat dan video call.

Pemahaman semacam ini sudah tidak cocok lagi dengan aktivitas pengawasan hari ini. Mengapa? Karena pemahaman yang demikian mengandaikan pengawasan sebagai sebuah tindakan yang tidak kita sukai. Dan kita yakin bisa menghindar dari aktivitas pengawasan tersebut. Misalnya, dengan menolak piranti-piranti pengawasan masuk ke dalam ruang-ruang privat kita. Padahal, bukan seperti ini yang terjadi. Perangkat pengawasan adalah barang, alat, layanan, dan infrastruktur yang kita butuhkan dalam kehidupan sehari-hari. Tanpa infrastruktur ini, kita akan sangat kesulitan dalam menjalani hidup saat ini.

Agar lebih jelas, saya akan beri contoh. Mari kita selidiki bagaimana hari ini kita mengakses informasi dan berinteraksi dengan orang lain. Sebagian besar manusia zaman sekarang, yang terhubung dengan internet, jika ingin mengetahui sesuatu, mereka membuka Google Search. Mengapa Google Search? Sebab Google Search menyediakan berbagai macam informasi sesuai dengan kata kunci yang kita masukkan. Selain itu, Google Search terus meningkatkan layanannya, sehingga kita bisa langsung melihat rangkuman informasi yang kita cari di halaman pertamanya. Perusahaan ini juga secara otomatis memilih beberapa website yang menurut mereka paling relevan dengan kata kunci untuk diangkat ke permukaan.

Selama beraktivitas di Google Search, data perilaku dan persepsi kita disimpan oleh Google. Google selalu mengawasi kita, bahkan sampai hal-hal yang bersifat privat. Pertanyaannya, jika kita sudah tahu bahwa Google selalu memantau aktivitas penggunanya, mengapa kita masih saja menggunakannya? Jawabannya singkat dan jelas: karena tidak ada pilihan lain. Nah! Dari sudut pandang inilah masalah pengawasan semestinya ditinjau. Aktivitas pengawasan bukanlah sesuatu yang kita tidak sukai, bukan sebuah distopia seperti yang digambarkan oleh novel “1984”. Aktivitas pengawasan adalah kegiatan yang kita senangi bahkan kita butuhkan. Karena tanpanya, kehidupan hari ini sulit dijalani.

Google pun tidak dapat memberikan layanan seperti yang ada sekarang (yang sangat kita sukai), tanpa mengawasi setiap aktivitas kita di dalamnya.

Kondisi yang sama juga terjadi pada media sosial, yang saat ini hampir semua orang memerlukannya untuk berinteraksi dengan orang lain atau melihat aktivitas dunia. Perusahaan media sosial jelas setiap saat mengawasi aktivitas penggunanya. Namun pertanyaannya, apakah kita menjadi tidak suka menggunakan media sosial? Ternyata tidak. Kita menyukainya. Kita menikmati pengawasan yang dilakukan oleh perusahaan-perusahaan medos tersebut agar layanan yang mereka sediakan semakin menarik.

Dalam kerangka berpikir seperti inilah, menurut saya, kita perlu memahami masalah pengawasan dari sudut pandang infrastruktur. Persoalannya bukan pada niat baik para perusahaan dan negara untuk tidak mengawasi seluruh pengguna internet, tapi karena infrastruktur layanan internet yang banyak digunakan hari ini hanya bisa berjalan dengan sistem pengawasan. Dari awal penyusunan infrastrukturnya memang sudah jahat. Jadi ketimbang meminta negara dan korporasi untuk tidak mengawasi dan mengintip data-data pribadi dan perilaku, kita perlu melawannya dengan menyusun infrastruktur layanan internet yang baru. Sebuah infrastruktur internet yang tidak mengharuskan pengawasan data-data pengguna untuk beroperasi.

Seperti apa model infrastruktur yang semacam itu? Saya juga belum tahu. Ini perlu dipikirkan bersama. Tujuan artikel ini hanya untuk memperjelas apa sebenernya masalahnya. Agar perlawanan yang kita lakukan tidak salah alamat karena keliru mengidentifikasi masalah. Sekian.

Oleh Dandy Idwal

It is easier to imagine the end of capitalism than the end of family

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Gambar Twitter

You are commenting using your Twitter account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s