Ada 2 cara untuk menunjukkan bahwa sejarah itu penting dan berguna. Pertama, menyesuaikan fungsi sejarah agar sesuai dengan kriteria kegunaan yang ditetapkan oleh sistem yang ada. Kedua, memeriksa kembali, secara kritis, apa sebenernya kegunaan sejarah tanpa harus terjerat oleh kriteria kegunaan yang populer, bahkan kalau perlu merombak kriteria populer tersebut.
Bambang Purwanto, profesor di Departemen Sejarah UGM, menulis artikel berjudul “Mengapa Indonesia Memerlukan Ilmu Sejarah? Beberapa Gagasan untuk ‘Hilirisasi’ Historiografi” di jurnal Bakti Budaya. Melalui artikel tersebut, ia ingin menjelaskan fungsi sejarah.
Bambang Purwanto memulai tulisannya dengan uraian tentang betapa tidak dihargainya ilmu sejarah, juga sejarawan, dalam percaturan kehidupan di Indonesia. Ia bahkan menyebut sejarah sebagai “ilmu yang selalu dipinggirkan”. Bambang menulis, “… pendapat profesional para sejarawan, seperti juga para ilmuan humaniora lainnya, tidak pernah mau didengar. Keikutsertaan sejarawan dalam menentukan kepentingan bangsa, seperti membangun kerangka berpikir dalam penyusunan kebijakan atau strategi keunggulan bangsa, sangat terbatas, kalau tidak mau disebut tidak ada sama sekali sebagai sebuah sistem”. Peminggiran ilmu sejarah ini bisa dilihat dalam kerangka ‘hilirisasi’ penelitian (pengaplikasian hasil penelitian). Menurut Bambang, jika kita membaca berita-berita dan dokumen ‘hilirisasi’ penelitian nasional perguruan tinggi, baik yang ada di laman-laman resmi maupun di media massa populer, maka hanya akan muncul tiga kata kunci, yaitu industri, teknologi, dan ekonomi. Pendekatan ini, menurut Bambang, mereduksi konsep ‘hilirisasi’ riset karena hanya berorientasi pada keuntungan siap saji, terutama yang bersifat ekonomis, dengan mengharuskan sebuah penelitian menjadi produk yang bisa dikomersialkan. Tentu saja akan sulit menemukan kegunaan dan ruang keterlibatan ilmu sejarah dalam kerangka berpikir yang demikian.
Uraian Bambang tentang peminggiran ilmu sejarah ini menurut saya valid. Apalagi ia sudah berpengalaman dalam seluk-beluk pengajaran dan penelitian sejarah.
Berangkat dari masalah ini, Bambang menguraikan apa sebetulnya “fungsi sejarah bagi kemajuan suatu bangsa”. Pertama-tama ia mengkritik argumen yang tertera dalam dokumen Agenda Riset Naisonal 2016-2019, bahwa kesejahteraan rakyat akan tercapai melalui pertumbuhan ekonomi yang didukung oleh keunggulan dalam bidang iptek (ilmu pengetahuan dan teknologi), seperti pengalaman negara-negara maju. Bambang meragukan penyusun dokumen tersebut sudah memahami faktor apa sebenarnya yang membuat negara-negara maju mencapai kondisinya hari ini. Menurut Bambang, faktor itu adalah “perkembangan ide dan filsafat, yang membangun mentalitas serta karakter sebagai sebuah kebudayaan produktif dan menyejahterakan”. Jadi, kemajuan industri, keunggulan ekonomi dan teknologi bukanlah sebab, melainkan akibat. Negara-negara di Eropa, Amerika Serikat, kemudian menyusul Jepang, Korea Selatan, dll bisa menggapai kemajuan industri karena mengalami revolusi cara berpikir. Terjadi perubahan luar biasa dalam karakter, mentalitas, dan kebudayaan masyarakat negara-negara tersebut sehingga tumbuhlah ide-ide kemajuan, yang salah satunya mewujud dalam inovasi teknologi. Bagi Bambang, salah besar jika sebuah agenda riset hanya memprioritaskan ilmu-ilmu yang berkaitan langsung dengan industri, ekonomi, dan teknologi, lalu meminggirkan ilmu-ilmu yang berkaitan dengan kebudayaan, mentalitas, dan cara berpikir, yakni ilmu humaniora pada umumnya, dan sejarah pada khususnya.
Untuk memperjelas argumennya, Bambang menyajikan sejarah singkat perkembangan industri pasca-Perang Dunia II. Menurutnya, perkembangan industri dan teknologi di Amerika, Eropa, dan Jepang sampai batas tertentu, tidak lepas dari berkembangnya konsep ekonomi Keynesian di tahun 1930-an. Konsep ekonomi ini berhasil membuka ruang-ruang ekonomi baru yang membangkitkan kemajuan industri dan teknologi dengan mengizinkan, bahkan mendesak pemerintah dan bank sentral untuk ikut campur dalam perekonomian melalui kebijakan moneter dan fiskal. Untuk lebih menekankan lagi pentingnya reproduksi ide dalam perjalanan industri dan inovasi teknologi, Bambang bilang, “Kekuatan ide, atau yang kadang-kadang disebut ideologi, juga menjadi sebab berakhirnya industri manufaktur dan beralih ke industri jasa serta akhirnya industri informasi beserta perangkat teknologi yang menyertainya”.
Bambang melakukan kesalahpahaman yang fatal terkait “kekuatan ide” ini. Ia tidak membaca sejarah perubahan industri secara kritis. Ini ironis karena artikelnya dimaksudkan sebagai tinjauan kritis terhadap sejarah dan ilmu sejarah. “Kekuatan ide” sebagai penggerak perubahan model industri memang banyak diamini oleh para intelektual. Muasal kepercayaan ini salah satunya bisa dilihat dari bagaimana Alfred Chandler, profesor sejarah bisnis dari Harvard University, menganalisis perubahan model industri di akhir abad ke-19. Di masa itu, terjadi peralihan model perusahaan yang awalnya berupa perusahaan keluarga menjadi perusahaan manajerial. Chandler menyebut masa ini sebagai era munculnya managerial capitalism. Perusahaan keluarga yang dimaksud di sini bukan berarti sekadar bisnis yang dimiliki oleh suatu keluarga, tapi adalah suatu perusahaan kecil yang hanya bergerak di bidang produksi saja. Urusan marketing sampai distribusi dilakukan oleh orang atau lembaga di luar perusahaan. Bisa dibilang, dua urusan ini dibiarkan terjadi di pasar.
Kemudian, menurut Chandler, muncullah ide untuk membawa urusan-urusan yang di luar perusahaan ini ke dalam struktur perusahaan. Perusahaan menjadi lebih gemuk, lebih banyak yang diurus. Untuk mengatur berbagai hal ini, dibutuhkan para manajer. Dari sinilah istilah managerial enterprise dan managerial capitalism dimunculkan oleh Chandler. Walaupun perusahaan kini semakin gemuk (dibandingkan dengan era sebelumnya), tapi model pengelolaan yang seperti ini berhasil membuat perusahaan berjalan lebih efektif dan efisien: biaya produksi menurun, distribusi lebih terkoordinasi (tidak lagi diserahkan pada pasar yang semrawut), dan tentunya harga yang ditawarkan menjadi lebih murah. Model yang seperti ini juga yang memungkinkan perusahaan berproduksi secara lebih massal karena antar-lini sudah terkoordinasi secara lebih profesional.
Chandler membungkus narasi sejarah di masa ini sebagai sebuah perubahan paradigma pengelolaan suatu perusahaan, atau dalam bahasa Bambang: “kekuatan ide”. Idelah yang menjadi sumber utama yang menggerakkan perubahan tersebut. Sehingga, perubahan terjadi secara “natural”, mengikuti kemajuan cara berpikir seiring dengan perkembangan zaman.
Chandler hanya memotret dinamika yang terjadi antara para manajer/pengelola perusahaan dengan pekerja. Dengan kata lain, narasi sejarahnya hanya berkutat pada persoalan alur kerja, metode kerja, sampai struktur perusahaan. Singkatnya, hanya hubungan industrial.
Chandler menyingkirkan pertarungan kepentingan antara pemilik modal dengan pemilik tenaga kerja (labour power). Kepentingan pemilik modal untuk meningkatkan akumulasi keuntungannya, memonopoli pertukaran di pasar, menguasai ketersediaan bahan baku, yang berhadapan dengan perlawanan pekerja yang terus berusaha meniadakan eksploitasi terhadap dirinya, tidak masuk dalam analisis Chandler. Padahal, dalam menuliskan sejarah, kita perlu terbuka terhadap berbagai kemungkinkan penjelasan alternatif. Sebab kita tidak tahu apa yang benar-benar terjadi di masa lalu. Dari berbagai alternatif narasi sejarah itulah, sejarawan kemudian membenturkannya, menganalisisnya, dan menilainya, sehingga bisa ditentukan narasi atau gabungan narasi sejarah yang lebih valid.
Chandler tidak membenturkan berbagai penjelasan sejarah alternatif. Ia langsung mengimani kerangka managerial capitalism-nya, lalu mengumpulkan berbagai contoh penerapannya di berbagai perusahaan. Setelah terkumpul data yang banyak, ia kemudian mencocokkan dinamika perubahan yang terjadi di berbagai data tersebut dengan kerangkanya. Lalu, puff… jadilah sejarah industri. Dalam bahasanya Evgeny Morozov: ini bukan sejarah, tapi kegiatan memancing.
Metode sejarah Chandlerian ini, sialnya, dipakai oleh generasi-generasi selanjutnya dalam melihat perjalanan industri, termasuk Bambang. Contohnya, seperti yang sudah saya tulis di atas, Bambang menganggap perubahan model ekonomi di tahun 1930-an, yang mendorong kemajuan industri dan teknologi, bisa terjadi karena konsep ekonomi Keynesian. Memang betul ide John Maynard Keynes banyak digunakan pada saat itu. Namun jangan lupa, pemicu utama perubahan ekonomi yang drastis di zaman tersebut adalah krisis berat bernama The Great Depression. Krisis tersebut, dan krisis-krisis selanjutnya, bisa terjadi karena memang pada dasarnya kapitalisme selalu menghancurkan fondasi kehidupannya sendiri. Selain itu, para pekerja yang diekploitasi dan dijarah akan terus-menerus melakukan perlawanan, sehingga sistemnya tidak akan pernah stabil. Bagi para pemilik modal, krisis tidak bisa dibiarkan lama-lama, karena akumulasi profit menjadi lamban dan bahkan terhenti. Oleh karena itu, pemilik modal mau tidak mau harus selalu mencari cara agar krisis cepat berlalu, dan sebisa mungkin bisa terlepas dari ketergantungan pada pekerja.
Pembacaan seperti ini juga perlu diterapkan ketika kita mau membicarakan peralihan dari industri manufaktur ke industri jasa. Ketimbang kita mengikuti cara berpikir Bambang yang menganggap pemicunya adalah “kekuatan ide”, perubahan ini sebaiknya dilihat sebagai merosotnya pertumbuhan industri manufaktur dan krisis yang mengikutinya. Karena industri manufaktur tak lagi dapat diandalkan sebagai ladang tempat mengeruk keuntungan, dan kemandekannya menyebabkan peningkatan pengangguran di mana-mana (tentunya diikuti gelombang protes), pemilik modal lagi-lagi harus mencari ruang kerukan baru. Dan industri jasalah yang dijadikan kolam barunya. Begitu juga dengan munculnya so-called industri berbasis informasi dan teknologi-teknologi 4.0, kita sebagai kelas pekerja harus melihatnya sebagai sebuah usaha perambahan sumber-sumber akumulasi profit baru yang dijadikan pelarian oleh para pemilik modal. Sebab kolam lama sudah berada di ujung krisis.
Kekeliruan penafsiran sejarah industri yang dilakukan Bambang ini berefek pada solusi yang ia tawarkan terkait fungsi sejarah. Karena ia percaya “kekuatan ide” yang menjadi penggerak utamanya, maka ia menawarkan sejarah dan ilmu sejarah sebagai sebuah kolam ide dan budaya yang akan menjadi insprasi dan mendorong tumbuh-kembangnya berbagai macam inovasi demi kemajuan bangsa. Walaupun Bambang di dalam artikelnya beberapa kali menyatakan ketidaksetujuannya pada sistem kapitalisme, tapi tawaran idenya inilah yang justru dikehendaki oleh kapitalisme. Sebab kapitalisme sangat membutuhkan kolam ide, atau dalam bahasa gaulnya marketplace ide dan inovasi, agar ia bisa terus lari dari krisis dan mengeruk ladang baru.
Jika kita kembali ke paragraf pembuka tulisan ini, maka akan jelas terlihat bahwa Bambang lebih memilih cara yang pertama untuk menjelaskan bahwa sejarah itu penting dan berguna. Ia membuat fungsi sejarah sesuai dengan kemauan dan kebutuhan sistem ekonomi yang ada saat ini, yaitu kapitalisme, dengan menjadikannya danau ide dan inspirasi. Padahal, sejarah seharusnya mampu untuk membongkar dan menjelaskan kekuatan dan kepentingan macam apa, struktur yang seperti apa, yang selama ini membuat ide dan inovasi pekerja tidak dinikmati oleh pekerja sendiri, malahan berbalik sebagai alat-alat untuk menundukkan dan mengeksploitasi pekerja lebih sadis lagi. Sejarah dan analisis sejarah yang tidak mewadahi kepentingan kelas pekerja ini, dan malah menawarkan diri sebagai penopang dan penjamin keberlanjutan sistem kapitalisme, adalah seburuk-buruknya sejarah.