Teknologi digital yang begitu pesat berkembang beberapa dekade belakangan ini membuat semakin banyak orang ingin menerapkannya ke berbagai bidang kehidupan. Salah satunya perpustakaan. Sebuah institusi yang menyediakan bahan bacaan secara gratis ini sedang diusahakan untuk hadir di ruang digital.
Telah ada beberapa lembaga yang berusaha membangun perpustakaan digital, baik lembaga negara maupun swasta. Salah satu contohnya adalah Perpustakaan Nasional (Perpusnas) yang menghadirkan aplikasi iPusnas pada pertengahan Agustus 2016. Aplikasi ini berisi sekitar 20 ribu koleksi buku digital saat peluncurannya. Masyarakat dapat membaca koleksi buku ini di perangkat digital masing-masing tanpa perlu ke gedung Perpusnas. Pembaca hanya perlu meminjamnya langsung di iPusnas.
Walaupun semangat membangun perpustakaan digital datang dari berbagai kalangan, sejatinya pemahaman mereka tentang perpustakaan digital sama saja. Perpustakaan digital dianggap sebagai sebuah perwujudan usaha mentransformasikan buku cetak menjadi buku elektronik (e-book). Dengan pemahaman yang seperti ini, tujuan utama dari perpustakaan digital adalah melaksanakan digitalisasi buku cetak sebanyak mungkin dan menyajikannya di sebuah platform digital yang mudah diakses oleh banyak orang.
Kerangka berpikir dan program seperti di atas sangat tidak memuaskan karena miskin imajinasi. Berdasarkan pemahaman tersebut, teknologi digital hanya dianggap sebagai sebuah alat atau seperangkat alat (tools) yang menunggu untuk diterapkan pada perpustakaan konvensional. Padahal, teknologi digital tidak hanya sebuah alat yang berfungsi di level operasional. Hadirnya teknologi digital juga menyadarkan kita untuk berpikir dan memeriksa ulang apa sesungguhnya tujuan pembentukan perpustakaan, apa perannya, dan bagaimana ia melaksanakan perannya.
Membayangkan proyek perpustakaan digital hanya sebagai program digitalisasi buku juga berarti memiskinkan definisi perpustakaan. Perpustakaan bukan hanya institusi penyedia jasa peminjaman buku dan ruang membaca buku. Definisi lain yang lebih krusial bagi perpustakaan adalah sebuah institusi yang mengkurasi bahan bacaan, menyusunnya dengan rapi, mengkategorikannya, lalu menyajikannya kepada para pembaca.
Peran perpustakaan sebagai kurator ini sangatlah penting dan dampaknya amat krusial pada arah program perpustakaan digital. Dengan menyadari peran ini, imajinasi kita tidak hanya berkutat pada produksi buku elektronik dan aplikasi membaca buku (walaupun ini tetap penting), tapi juga tentang bagaimana perpustakaan digital dapat mengkurasi model-model informasi baru yang dimungkinkan oleh internet dan teknologi digital. Contohnya, bagaimana peran perpustakaan digital dalam mengkurasi, menyusun, mengkategorikan, dan menyajikan tulisan blog, berbagai opini orang di media arus utama dan alternatif, siniar (podcast) di berbagai platform, diskusi-diskusi di Youtube, serta jurnal-jurnal ilmiah yang dipublikasikan secara digital? Dengan kata lain, apa program perpustakaan digital dan bagaimana desainnya sehingga ia bisa membuat kita tak lagi perlu menyia-nyiakan waktu serta emosi dan perasaan tidak diaduk-aduk oleh informasi-informasi sampah di ruang internet?
Saya termasuk orang yang ditakdirkan lahir di daerah pelosok dan sama sekali tidak mendapatkan layanan perpustakaan selama belasan tahun hidup. Ketika saya memasuki perpustakaan yang dikelola dengan baik di kota, saya sangat terbantu dengan kerja pustakawan yang memilih buku apa saja yang akan ditampilkan di rak dan memisahkannya sesuai kategori. Saya tidak perlu banyak menghabiskan waktu dan tenaga untuk memutuskan mana yang akan saya baca.
Pengalaman ini sungguh berbeda ketika saya membuka Google Search. Untuk mencari informasi atau topik bacaan yang saya inginkan, saya harus berhadapan dengan informasi yang muncul hanya karena si empunya informasi membayar Google, dan juga informasi-informasi sampah yang terpampang di halaman depan hanya karena ia memicu emosi, memainkan perasaan dan empati, sehingga mendapatkan banyak klik. Alhasil, saya kesulitan menemukan informasi yang berkualitas tentang topik tertentu, atau bahkan berakhir tidak menemukannya sama sekali. Google Search adalah desain yang sangat buruk dalam pengelolaan informasi dibandingkan dengan desain perpustakaan. Walaupun, tentu saja, banyak perpustakaan yang dikelola dengan buruk dan menyisakan kenangan yang tidak mengenakkan.
Saya membayangkan perpustakaan digital, terutama yang punya sumber daya yang besar, sebagai sebuah institusi yang melakukan pemindaian (scanning) pada segala informasi yang terproduksi di ruang digital tiap satu jam, satu menit, bahkan satu detik. Hasil pemindaian ini adalah kumpulan informasi yang sudah bersih dari informasi-informasi sampah, lalu disusun dan dikategorikan. Pekerjaan yang luar biasa besar ini tentu saja tidak mungkin dilakukan secara manual oleh manusia. Proyek semacam ini perlu mengombinasikan teknologi komputasi dengan tenaga manusia. Pustakawan, dalam hal ini, bertugas sebagai tim editor yang berperan dalam seleksi akhir pemilihan konten.
Saya, secara pribadi, akan sangat berbahagia jika hadir institusi semacam ini.