Aku menghindari orang pada saat mereka hidup selayaknya zombie. Namun, pada saat semua orang telah menjadi zombie, aku mulai merindukan manusia.
Kalimat di atas adalah kutipan dari tokoh Columbus di film Zombieland (2009) garapan Ruben Fleischer. Film tersebut adalah film komedi dengan tema zombie. Zombie merupakan produk budaya populer yang berangkat dari imajinasi manusia modern tentang praktek voodoo di Kuba. Ia lantas menjelma menjadi sebuah genre dalam cerita-cerita populer melalui film ataupun novel.
Namun, dalam perkembangannya, beberapa cerita tidak menggambarkan zombie sebagai sesuatu yang menyeramkan. Ia justru menjadi sebuah parodi komikal tentang tingkah laku manusia di era pascamodern.[1] Kutipan di muka merupakan salah contoh bagaimana Columbus sebagai tokoh utama mempertontonkan ironi tentang masyarakat pascamodern. Pernyataan tersebut menyiratkan seolah-olah tidak ada perbedaan pada saat mereka hidup sebagai manusia dengan ratio dibandingkan pada saat mereka hidup kembali sebagai zombie dengan insting.
Contoh lain adalah film Shaun of The Dead (2004) yang menceritakan Shaun sebagai seorang salesman yang hidupnya sangat membosankan. Hampir setengah awal film tersebut menceritakan ketidaksadaran Shaun bahwa orang-orang di sekitarnya telah menjadi zombie. Kisah tersebut digambarkan, lagi-lagi, secara ironik dan komikal. Kehidupan Shaun dibandingkan dengan para zombie: tanpa arah dan mungkin sedikit membosankan.
Kedua film tersebut merupakan sebuah satire komikal yang menyindir masyarakat yang terus berhasrat untuk mengonsumsi. Penggambaran zombie dalam budaya-budaya populer tersebut hampir selalu seragam: tanpa ratio dan selalu ingin memakan manusia yang masih hidup. Dalam beberapa kasus, demikianlah yang terjadi di masyrakat: selalu berhasrat untuk mengonsumsi dan, acapkali, tanpa menggunakan ratio. Ratio dalam konteks ini diartikan bahwa masyarakat mengonsumsi objek atas nilai-guna-nya. Apabila objek dikonsumsi tanpa nilai-guna, maka objek dikonsumsi atas dasar simbol.
Beberapa waktu yang lalu, kota-kota besar di Indonesia digemparkan oleh kolaborasi restoran cepat saji McDonald dengan kelompok musik Korea, BTS. Keduanya mengeluarkan produk makanan cepat saji dengan bungkus edisi khusus bernama “BTS Meal”. Gerai-gerai McDonald di beberapa kota di Indonesia, seperti Jakarta, Malang, dan Surakarta dipenuhi oleh para penggemar BTS. Beberapa gerai bahkan terpaksa tutup disebabkan membludaknya pembeli.
Fenomena ini mirip seperti apa yang dengan satire digambarkan dalam film-film zombie di muka. Masyarakat, dengan fanatismenya terhadap sebuah kelompok musik Korea, rela mengantre untuk membeli produk-produk tersebut. Namun, apakah yang sebenarnya dibeli oleh mereka? Apakah produk makanan yang diproduksi McDonald sebagai restoran cepat saji? Ternyata tidak. Motivasi untuk membeli BTS Meal didorong oleh fanatisme terhadap BTS. Pertanyaan selanjutnya adalah, apakah berarti konsumen membeli produk tersebut atas dasar simbol seperti yang diutarakan Baudrillard? Inilah yang membuat fenomena tersebut menjadi lebih problematik.
Menurut Baudrillard, alih-alih mengonsumsi objek sebagai komoditas, masyarakat justru mengonsumsi simbol-simbol yang tertanam, atau ditanam, ke dalam objek tersbut. Melalui argumen tersebut, Baudrillard berusaha menggeser pendapat yang menyatakan bahwa fetisisme komoditas itu bekerja terhadap objek. Bagi Karl Marx, fetisisme komoditas dilihatnya sebagai bagaimana nilai-guna objek menjadi faktor pendorong untuk meongonsumsi. Karenanya, objek diputus proses produksinya dan dilihat sebagai sebuah barang bernilai-guna tanpa melihat ada nilai kerja oleh buruh di dalam produk tersebut.
Akan tetapi, bagi Baudrillard, fetisisme komiditas itu tidak hanya bekerja pada nilai-guna, tapi lebih dari itu adalah nilai simbol. Hal ini menjadi pendorong bagi konsumen untuk membeli sebuah produk atas nilai simboliknya. Meski demikian, Baudrillard sebenarnya berangkat dari basis yang sama dari Karl Marx: bahwa fetisisme komoditas merupakan sebuah ilusi. Ilusi komoditas oleh Marx diselimuti nilai-guna dari sebuah komoditas. Sedangkan oleh Baudrillard, ilusi tersebut bersembunyi di balik simbol.
Konsumsi simbol yang dinyatakan Baudrillard diperjelas oleh Bourdieu, bahwa dengan mengonsumsi simbol, otomatis seorang individu menandakan “kelasnya”. Kelas dalam tanda kutip dikarenakan pemaknaannya berbeda dengan kelas Marxis ortodoks yang berkutat pada persoalan sosio-ekonomi. Kelas yang dimaksud adalah kelas simbolik yang merupakan sekumpulan sistem tanda. Seorang individu, dengan demikian, mampu membuat garis batas antaranya dengan orang lain yang beda kelas. Konsumsi simbol tersebut dielaborasi lebih jauh oleh Bourdieu melalui konsep kekerasan simbolik dan arena. Kedua konsep tersebut sejatinya saling berkaitan. Kekerasan simbolik adalah pada saat sebuah kelompok individu, dengan modal simbolik yang besar dapat menekan kelompok individu dengan modal simbolik yang kecil. Namun apa yang membuat seseorang memiliki modal simbolik yang besar dan kecil? Hal tersebut sangat bergantung dengan konteks arena simbolik dimana kedua kelompok atau lebih tersebut saling bertemu. Arena dapat dimaknai sebagai ruang fisik maupun virtual.
Namun, dalam fenomena BTS Meal, simbol ternyata tidak berperan seperti yang dikatakan Baudrillard maupun Bourdieu. Konsumsi sebuah paket makanan dengan desain wadah khusus, dapat dilihat melalui dua cara. Yang pertama adalah makanan itu sendiri, burger, French fries, minuman soda, dan saus-sausnya, merupakan produk fisik yang diproduksi oleh McDonald. McDonald di Indonesia telah menjadi sebuah penanda kelas. Konsep restoran yang serba Barat, harga makanan yang tidak murah, dan menu makanan yang sangat Amerika, memberikan pesan bahwa pembelinya merupakan kelas elite yang beradab (civilized).
Pada tahap ini, McDonald dapat dikatakan sebagai komoditas simbolik dan karenanya dapat dipertentangkan di dalam sebuah arena apabila diperbandingkan dengan makanan lain.
Yang kedua adalah dengan melihat bungkus makanan sebagai daya tarik. BTS Meal merupakan menu khusus hasil kolaborasi antara BTS dengan McDonald. Keduanya merupakan produk budaya populer dari dua negara berbeda, Amerika Serikat dan Korea Selatan. Namun, nampaknya, logo dan desain BTS menjadi daya dorong bagi beberapa kelompok masyarakat untuk membeli hingga rela mengantre sebegitu panjang dan mengakibatkan kemacetan.
Pada titik ini, McDonald tidak lagi dilihat sebagai objek komoditas. Mengoleksi bungkus dan wadah dengan desain dan logo BTS menjadi hal yang lebih penting. Hal ini dibuktikan dengan dijualnya wadah dari BTS Meal yang ternyata juga memiliki pembeli. Pertanyaannya, bukankah hal ini termasuk mengonsumsi simbol? Jawabannya bisa jadi iya dan bisa jadi tidak. Masyarakat mengonsumsi simbol BTS tanpa melihat objek riil, atau dalam sudut pandang Marxis Ortodoks, nilai-guna objek. Di sisi lain, konsumsi simbol tersebut tidak untuk dipertarungkan dalam sebuah arena. Pada tahap ini, orang mengonsumsi tidak untuk nilai-guna maupun modal simboliknya, namun untuk penguatan identitas semu dirinya. Identitas semu dikarenakan identitas dibentuk oleh sebuah industri budaya. Menjadi fans dari K-Pop artinya memiliki semua pernak-perniknya untuk mendukung kelompok-kelompok musik yang digemari. Subjek tidak lagi berdaya atas objek-objek yang ia konsumsi.
Catatan kaki
[1] Meminjam argumen Frederic Jameson, bahwa pascamodernisme tidak hanya sebuah kumpulan sudut pandang atau kritik terhadap modernisme, namun juga sebagai pembabakan sejarah manusia.