Kategori
Society

Anakmu Bukan Anakmu: Memikirkan Ulang Konsep Keluarga

Kasih sayang tidak hanya bisa didapatkan dari orang-orang yang punya hubungan darah. Tapi mengapa kita terus menganggap keluarga yang diikat dengan hubungan darah lebih ideal?

Apabila muncul fakta bahwa kamu bukan berasal dari sperma bapakmu atau sel telur ibumu saat ini, apakah mereka akan tetap mencintaimu? Apakah mereka akan tetap menganggapmu sebagai anak dengan curahan kasih sayang yang sama? Sebaliknya, apakah kau akan tetap mencintai ibu-bapakmu jika salah satu atau keduanya ternyata bukan induk genetikmu?

Sebagian besar keluarga dibentuk dan diikat oleh hubungan darah. Pembentukan dan pengikatan ini jarang sekali dipertanyakan. Mengapa? Karena kita sudah menganggapnya sebagai sesuatu yang natural. Alamiah. Sebuah keluarga yang terdiri dari suami, istri, dan anak angkat sudah banyak terbentuk. Tapi, umumnya kita menganggap ini sebagai sebuah pengecualian saja.

Bagaimana mungkin seorang perempuan yang mengandung janin selama kurang lebih sembilan bulan, lalu melahirkannya, tetapi kemudian tidak mencintainya? Lumrahkah seorang laki-laki yang sudah tahu pasti spermanya turut membentuk bayi yang baru saja lahir, tapi ia tidak mencintainya dan tidak ingin merawatnya? Umumnya orang akan berucap bahwa ini adalah hal yang tidak wajar dan tidak lumrah. Bahkan bisa sampai disebut sebagai kegilaan.

Jika kau mencintai orang tua dan anak kandungmu, kabar baik untukmu. Jika kau dicintai oleh orang tua dan anak kandungmu sepenuh hati dan itu terjadi di sebagian besar hidupmu, beruntunglah dirimu. Tapi tidak semua orang mendapatkan itu. Dan mereka harus tetap berusaha mencari jalan untuk bisa mencintai dan dicintai hanya karena hal tersebut adalah ketetapan alam. Sebuah keharusan. Sebuah takdir.

Kau lahir ke dunia dan telah ditetapkan padamu sepasang orang tua yang mesti kau cintai, apapun dan bagaimanapun karakter serta kondisi kedua orang ini. Kau memang menginginkan anak yang berasal dari genetikmu, lalu ia lahir dan tumbuh dengan cara yang hanya sebagian kecilnya berada dalam kendalimu, tapi kau dituntut menerima dan mencintainya secara apa adanya, sepanjang hidupmu. Apakah ini tidak berlebihan?

Seorang anak bisa tumbuh menjadi manusia dewasa tidak hanya karena peran orang tuanya. Seluruh manusia yang pernah berinteraksi dengannya sedikit-banyak ikut berperan. Tetangganya ikut memberi senyum manis padanya, mengajaknya ngobrol, membantunya saat ia kesulitan, kadang-kadang juga memberinya makanan. Teman sebayanya di sekitar rumahnya sangat berperan dalam perkembangan emosinya. Teman-teman seumurannya saling berbagi deretan mimpi kanak-kanak yang seringkali tak terduga, sehingga merangsang perkembangan otaknya. Tak jarang pula orang tua dari teman-temannya memberikan kasih sayang yang lebih membuat nyaman. Mereka lebih bisa memahami kegelisahannya ketimbang orang tuanya sendiri yang ditetapkan padanya oleh “hukum alam”.

Kasih sayang, cinta, dan pengasuhan yang tulus bisa datang dari siapa saja. Tidak mesti dari orang yang punya hubungan DNA.

Setelah tumbuh dewasa, anak-anak tersebut akan memberi dampak (baik maupun buruk) pada masyarakat. Ia mungkin menjadi dokter yang akan membantu banyak orang agar tetap sehat, atau ia mungkin menjadi seorang kriminal yang sering menghabisi nyawa orang. Efek yang ditimbulkan anak-anak ini juga bisa didapatkan oleh siapa saja.

Hingga hari ini, kita menganggap anak seperti properti. Mentang-mentang ia berasal dari DNA kita, lantas ia sepenuhnya menjadi milik kita. Kita pikir punya anak itu seperti punya mobil. Orang lain boleh turut memuji, menyukai, mengasihani, meng-èman-èman-i, tapi kepemilikannya sepenuhnya adalah hak kita. Mau diapain itu mobil terserah kita. Mobil itu pun harus nurut pada kita.

Jika kita ternyata adalah orang tua yang abusive (suka menggunakan kekerasan pada anak), tidak punya kemampuan finansial yang mumpuni, emosi masih labil, mengapa kita masih menuntut anak untuk bertahan bersama kita dan menerima kita apa adanya? Jika ada seseorang atau pasangan lain yang tidak ada hubungan darah sama sekali dengan kita tapi ingin merawat anak tersebut secara sungguh-sungguh, mengapa kita mencegahnya dengan alasan anak tersebut adalah milik kita dan seharusnya tumbuh bersama kita? Mengapa kita membuat hukum di berbagai bidang mulai dari wali nikah, ahli waris, dan catatan kelahiran yang harus berbasis pada hubungan darah?

Kahlil Gibran, penyair kelahiran Lebanon, pernah menulis kalimat ini di salah satu puisinya: anakmu bukan anakmu. Di puisi yang berjudul “On Children” dalam bahasa Inggris tersebut, Kahlil Gibran menegaskan bahwa seorang anak bukanlah milik orang tuanya, “Meskipun mereka (children) hidup bersamamu, mereka bukanlah milikmu”. Tapi, Kahlil Gibran di dalam puisi ini lebih menekankan bahwa masa depan seorang anak, mimpi-mimpinya, dan cita-citanya, semestinya tidak terlalu diatur oleh orang tuanya. Kahlil bilang, orang tua itu bagaikan busur yang menjadi tempat meluncurnya anak-anak panah. Biarlah, kata Kahlil, sang Ilahi menunjukkan arah lengkungan busurmu, dan percayalah anak panah itu mampu melesat untuk mengarungi petualangan di dalam kehidupannya sendiri. Kahlil tidak sedang menggugat hubungan kekerabatan yang diharuskan berbasis hubungan darah. Kritik Kahlil ini, seperti yang dilakukan oleh sebagian besar orang ketika berbicara tentang hubungan orang tua dan anak, tidaklah cukup.

Kita perlu memikirkan ulang konsep keluarga. Seonggok bayi tidak tahu apa-apa ketika dia lahir. Ia tidak minta dilahirkan. Oleh karena itu, ia berhak mendapatkan perawatan, cinta, dan kasih sayang yang sama besarnya dan sama berkualitasnya dengan bayi-bayi lainnya. Seorang bayi yang lahir dari pasangan pemulung punya hak mendapatkan layanan kesehatan dan makanan bergizi yang sama mutunya dengan bayi yang lahir dari pasangan selebriti.

Anak pemulung bukanlah anak pemulung. Ia anak semua anggota masyarakat. Anak selebriti juga bukan anak selebriti. Ia anak kita semua. Yang ingin ditekankan di sini adalah perawatan dan kasih sayang untuk seorang bayi adalah tanggung jawab semua orang. Walaupun anak-anak itu tak punya hubungan darah dengan kita, mereka adalah anak kita. Hak setiap anak untuk mendapatkan kenyamanan selama pertumbuhannya. Tapi hak ini kita hancurkan dengan tetap berkeras kepala mempertahankan konsep keluarga yang berdasar pada hubungan darah. Sebagian besar orang tetap bersikeras, secara terbuka ataupun diam-diam, bahwa hubungan orang tua dengan anak yang sedarah akan lebih berkualitas, harmonis, dan penuh cinta ketimbang hubungan yang tidak sedarah.

Dalam konteks inilah sebetulnya menjadi jelas bahwa perdebatan soal childfree bertumpu pada sebuah pertanyaan yang kurang tepat. Kedua belah pihak mencoba menjawab pertanyaan, “Lebih baik punya anak biologis atau tidak?”. Pertanyaan ini masih memegang teguh konsep keluarga yang berupa unit-unit kecil dan privat (keluarga nuklir atau nuclear family kalau kata akademisi), yang ditentukan secara paksa (walaupun kita mungkin tidak merasa dipaksa) oleh hukum alam bernama hubungan darah. Ujung-ujungnya, perbincangan berakhir di sebuah kesimpulan paling klise dalam sebuah perdebatan: kembali ke masing-masing orang atau keluarga masing-masing, deh. Mau punya anak, silakan. Mau tidak punya anak, ya silakan juga. Asalkan bertanggung jawab dengan keputusan masing-masing dan tidak mengganggu atau mencibir keputusan keluarga lain. See? Kita sudah begitu suksesnya menjadi individualis. Seakan manusia bukan lagi makhluk sosial.

Daripada berdebat soal pertanyaan yang basisnya bermasalah tersebut, kita lebih butuh desain keluarga yang lebih bisa menyediakan kasih sayang dan kerja-kerja perawatan untuk semua anak, bukan hanya yang beruntung lahir di pasangan yang kaya raya. Sebuah desain yang mewajibkan orang-orang yang tidak ngentot sekalipun, atau yang ngentot tapi tidak untuk bikin anak, untuk ikut dalam kerja-kerja merawat anak.

Oleh Dandy Idwal

It is easier to imagine the end of capitalism than the end of family

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Gambar Twitter

You are commenting using your Twitter account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s