Kategori
Society

Kutukan Punya Kontol

Ketika seonggok daging di selangkangan menghancurkan hidup seseorang

Ia mendapatkan permintaan cerai dari istrinya dua bulan lalu. Tanpa basa-basi lagi, istrinya minta ia minggat. Kedua orang tua pasangan ini tak kunjung memahami penyebab perpisahan anak-anaknya. Duduk perkaranya menjadi terang ketika kepala desa ikut campur, meminta sang istri memberi penjelasan. Sang istri akhirnya buka suara, menjelaskan alasannya ingin pisah: kontolnya kecil, pas ngaceng juga ga keras.

Sejak remaja ia memang lebih suka bermain dengan anak-anak perempuan ketimbang laki-laki. Ia memainkan permainan yang dimainkan oleh para gadis di masanya: membangun denah rumah dari pasir lalu mengisi kotak-kotak itu dengan tiruan peralatan rumah, membongkar-pasang baju boneka berbie, memasak daun-daun dengan wajan karet berukuran mungil, dan jualan rujak-rujakan.

Sejak remaja pula ia mendapatkan ejekan, cemoohan, dan hardikan dari para lelaki sebayanya karena dianggap berperilaku tidak sesuai dengan takdir manusia yang punya kontol. Orang-orang dewasa mengingatkan para pencemooh ini bahwa yang mereka lakukan adalah hal yang buruk. Tapi sampai di situ saja. Tidak ada pembelaan dan penjelasan bahwa tak apa-apa punya kontol tapi suka membongkar-pasang baju boneka berbie. Orang-orang dewasa ini juga setuju, orang yang punya kontol tapi tak suka main bola sepak adalah sebuah keganjilan.

Perisakan saat remaja saja sungguh sudah bikin ia tak nyaman menjalani hidup. Apalagi saat ini, kata-kata menyakitkan tentang kontol dan caranya berperilaku datang dari orang yang dicintainya. Orang yang ia harapkan dapat memahami dirinya, walau pelan-pelan sekalipun, ternyata telah menghempaskannya.

Keluarga besarnya dulu tak mempermasalahkan caranya berjalan, berbicara, berinteraksi, dan bereaksi. Tapi kini, setelah insiden pengungkapan “kontol kecil dan pas ngaceng ga keras” itu terjadi, mereka mulai mengintervensi. Ia digiring dari satu dukun ke dukun yang lain, untuk memberi terapi pada perilakunya. Mereka juga berharap para dukun ini bisa membuat kontolnya mengembang dan berdiri kokoh. Mungkin kalau bisa juga punya sayap. Kontolnya kini jadi sesuatu yang menentukan martabat keluarga besar. Samar-samar ocehan dari anggota keluarga istrinya sampai juga ke telinganya: nggak apa-apa melamar nggak bawa barang apapun, asal bawa kontol yang besar dan keras.

Sangat berat bagi laki-laki untuk menolak seks. Ada banyak tatapan penuh tanya, heran, iba, benci, dan penghakiman yang menunggu diarahkan pada laki-laki yang menyia-nyiakan kesempatan untuk ngeseks.

Manusia yang punya kontol dibebani berbagai macam ekspektasi. Yang paling brutal: jika di depanmu ada manusia punya memek sedang telanjang atau hampir telanjang, maka kontolmu wajib mengeras, dan berusahalah semaksimal mungkin untuk memasukkan kontolmu ke memek itu. Kelaki-lakianmu akan dipertanyakan oleh manusia-manusia berkontol lainnya jika kau gagal melakukan hal itu.

Sangat berat bagi laki-laki untuk menolak seks. Ada banyak tatapan penuh tanya, heran, iba, benci, dan penghakiman yang menunggu diarahkan pada laki-laki yang menyia-nyiakan kesempatan untuk ngeseks. Jika perempuan sering kali kesulitan untuk bilang “tidak” pada seks karena ancaman dari orang yang punya kuasa lebih besar, laki-laki kesulitan karena di momen yang sama ia menolak seks, atau melakukan seks yang dianggap payah (tidak lama, tidak gagah), dirinya dicampakkan.

Selain urusan seks, manusia berkontol juga dikutuk untuk berperilaku sesuai dengan garis ketetapan yang telah diwariskan turun-temurun. Jika kau punya kontol, maka jalanmu harus gagah, tidak gemulai, tak gampang menangis, kuat, berani, tangguh, dan hal-hal semacamnya. Daging mungil seperti belalai yang menggantung di selangkanganmu dipakai untuk mendefinisikan seluruh hidupmu. Seseorang berkontol yang menjalani hidup di luar garis ketetapan tersebut, seperti yang dilakukan oleh orang di awal tulisan ini, akan menjalani hidup yang sangat berat. Hanya gara-gara ia punya kontol.

Begitulah kutukan orang berkontol. Eksistensinya bisa terus berlanjut dengan cara membangun perasaan bahwa ia dominan. Seseorang merasa dominan jika ada yang didominasi. Oleh karena itu, wacana untuk terus memproduksi sikap dan perilaku yang dianggap lemah, lembut, gemulai, juga menjadi kepentingan orang-orang yang menganggap kontol adalah simbol kegagahan. Mereka tidak ingin subyek-subyek yang lemah ini hilang. Karena dengan merepresi para subyek lemah inilah mereka bisa terus ada. Tanpa ada yang direpresi, perasaan dominan mereka akan musnah.

Menyedihkan sekali, memang. Orang-orang berkontol dipaksa bertahan hidup dengan cara menjalankan kekerasan, baik pada orang lain maupun dirinya sendiri.

Oleh Dandy Idwal

It is easier to imagine the end of capitalism than the end of family

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s