Ada dua jenis teknologi. Pertama, teknologi yang hanya berfungi sebagai alat. Teknologi jenis ini membantu pengguna (sebagian besarnya adalah manusia) dalam mengoptimalkan aktivitas sehari-harinya. Sepeda membantu manusia berpindah dengan jarak yang lebih jauh untuk setiap energi yang dikeluarkan oleh otot-otot kakinya. Gelas membantu manusia untuk meminum air dengan leher tetap tegak, tanpa harus menjulurkan kepala langsung ke dalam ember, seperti kambing.
Selain berfungsi sebagai alat, jenis teknologi yang kedua juga beroperasi dalam ranah epistemologi. Selama beroperasinya, teknologi ini memunculkan pemahaman dan konsep-konsep baru yang tidak diduga sebelumnya, baik oleh para kreatornya maupun penggunanya. Misalnya, teknologi mikroskop. Para pembuat mikroskop tahu bahwa dengan memodifikasi cermin dan mengaturnya sedemikian rupa dengan cahaya, kita bisa melihat sesuatu dengan lebih detail. Akan tetapi, pengungkapan-pengungkapan ragam permukaan (mulai dari permukaan wajah semut, darah, daun, abu vulkanik, hingga salju) selama penggunaan mikroskop bukan sesuatu yang mereka antisipasi. Sejak kehadiran mikroskop, kita tak lagi melihat permukaan dengan cara yang sama.
Untuk memperjelas maksud teknologi epistemologi ini, mari ambil satu contoh teknologi lagi: teleskop. Sebagai alat, teleskop membantu manusia melihat benda-benda di luar angkasa yang sebelumnya sangat sulit dibedakan dengan mata telanjang. Namun demikian, tidak hanya sampai di situ pengaruh teleskop. Setelah banyak mengamati benda-benda langit, manusia akhirnya bisa tahu bahwa bumi bukan pusat tata surya, apalagi pusat semesta. Ini adalah salah satu priceless accomplishments (pencapaian yang begitu berharga) dari sebuah teknologi epistemologi.
Berbekal kesadaran bahwa teknologi juga beroperasi di ranah epistemologi, Benjamin H. Bratton 1 mengidentifikasi konsep-konsep apa saja yang bermunculan atau menjadi efek dari beroperasinya sebuah teknologi megastruktur yang ia sebut planetary-scale computation (komputasi skala planet) dalam bukunya yang berjudul The Stack: On Software and Sovereignty. Sebagian besar orang mungkin akan menyebutnya internet. Akan tetapi, kata “internet” kurang tepat karena konotasi kata ini terlalu terbatas pada layanan seperti browser, social media, aplikasi, dan game. Sementara itu, istilah “komputasi skala planet” merujuk pada teknologi komputasi secara umum, yang tidak hanya terbatas pada User manusia tapi juga non-manusia, seperti penerapan teknologi komputasi dalam bidang logistik, mobil tanpa pengemudi, pemodelan iklim, dan sistem transportasi.
Salah satu implikasi epistemologis dari teknologi komputasi skala planet ialah di ranah arsitektur kedaulatan di bumi. Sampai hari ini, kedaulatan di bumi dibagi-bagi berdasarkan bidang-bidang yang berbentuk dasar loop (bidang datar yang tertutup, kadang bentuknya hampir kotak, heksagon, atau lingkaran). Tiap bidangnya kita beri nama negara, lengkap dengan atribut yang menyertainya: bendera, lagu kebangsaan, lambang negara, rakyat, dan seterusnya. Di dalam masing-masing loop, kedaulatan sepenuhnya menjadi urusan penguasa yang mendapatkan legitimasi. Penguasa di suatu loop tidak boleh ikut campur urusan di loop lain, kecuali hal-hal yang disepakati bersama di bawah naungan “perjanjian internasional”.
Orang-orang bisa saja mengolok-olok kaum yang percaya bumi datar, tetapi konsepsi dan imajinasi mereka tentang desain arsitektur kedaulatan di bumi tetap terbatas juga pada bidang-bidang datar (dua dimensi).
Arsitektur teknologi komputasi skala planet memberikan kesempatan pada kita untuk insaf dari konsepsi yang terbatas pada bidang datar tersebut (tapi bukan berarti menanggalkannya sama sekali). Bentangan fiber optik lintas benua yang digunakan untuk menjangkau dan dijangkau oleh pengguna dari seluruh sudut dunia tanpa mendapat hambatan berarti dari batas negara; data center yang ditempatkan di laut lepas dan di luar yurisdiksi negara manapun, tapi menampung berbagai data berharga dari User di berbagi lokasi; IP address yang terus bergerak di dalam batas negara maupun antar-batas negara (berbeda dengan alamat pos yang terus diam di tempat); mineral kobalt di Kongo yang banyak ditambang oleh tangan telanjang anak-anak dan menjadi bahan dasar smartphone yang terdistribusi ke berbagai penjuru dunia untuk terhubung ke internet; perdebatan tentang data pribadi yang tidak mampu memahami bahwa terbentuknya, mengalirnya, dan tersimpannya data tidak bisa dibatasi oleh batas negara; ini semua adalah fakta sehari-hari yang semestinya mendorong kita untuk mengeksplorasi kedaulatan yang strukturnya vertikal.
Bratton memodelkan arsitektur komputasi skala planet yang vertikal ini, yang ia sebut The Stack, sebagai sebuah megastruktur yang mempunyai enam layer (lapisan), yaitu Earth, Cloud, City, Address, Interface, dan User. Metahaven membantu mengilustrasikan struktur enam layer ini dengan gambar berikut:

Arsitektur Aksidental
Tidak seperti beberapa akademisi, teoritikus, dan penulis yang menganggap atau setidaknya curiga kemunculan megastruktur komputasi skala planet sebagai proyek Neoliberal (salah satu mutasi kapitalisme), Bratton melihat megastruktur ini sebagai sesuatu yang aksidental (tidak terencana). Komputasi skala planet muncul bukan karena adanya sebuah master plan, peristiwa yang revolusioner, ataupun pengesahan sebuah hukum tertulis. Megastruktur ini lahir secara tidak terencana dari akumulasi berbagai efek peristiwa, konflik, proyek, dan berbagai masalah spesifik dalam desain komputasi. Bratton menyebut beberapa: sorak ramai para jurnalis dalam menarasikan dan mengklaim kesuksesan sosial media, khususnya Twitter, sebagai aplikasi yang punya peran penting dalam berbagai peristiwa Arab Spring (klaim ini kekurangan bukti pendukung2 ); konflik Google-China dalam memperebutkan legitimasi terhadap sebuah ruang, masyarakat, dan siapa yang berhak mendefinisikan ruang dan masyarakat tersebut; kesuksesan Wikipedia dalam memformalkan taksonomi pengetahuan; dan WikiLeaks yang berhasil mengguncang negara.
Sifat aksidental ini ditandai dengan berbagai kebingungan kita dalam mendeskripsikan, mendefinisikan, apalagi memahami berbagai macam situasi yang dimunculkan oleh teknologi komputasi skala planet. Misalnya, dalam melihat penetrasi Facebook ke berbagai penjuru dunia dan keberhasilannya menggaet 2.936 miliar manusia (data per April 2022) untuk kecanduan pada layanannya dan patuh-patuh saja pada aturan yang secara sewenang-wenang dibuatnya, banyak orang membuat kesimpulan bahwa Facebook telah beraksi layaknya negara. Para penggunanya adalah warga negaranya. Tentu, Facebook telah mampu menjalankan berbagai hal yang biasanya dilakukan oleh negara. Akan tetapi, Facebook tidak mewujud menjadi negara seperti yang selama ini kita pahami. Teritori Facebook tidak dibatasi oleh garis-garis imajiner di atas peta datar yang dibuat berdasarkan deretan perjanjian. Wujud fisik Facebook (infrastrukturnya) tersebar di berbagai sudut bumi. Warga negaranya juga tidak dikurung di dalam sebuah wilayah tertentu di permukaan bumi, yang apabila ingin melewati garis pembatas harus menunjukkan berbagai macam dokumen. Warga negara Facebook bisa bebas bergerak di seluruh permukaan bumi dan tetap bisa menikmati layanan yang diberikan Facebook (berbeda dengan warga negara Timor Leste yang tak bisa lagi menikmati layanan negaranya di Kota Makassar).
Sayangnya, berbagai negara masih memaksa Facebook untuk mengikuti atau diatur dengan logika negara konvensional. Mereka memaksa, misalnya, data yang masuk ke Facebook dari warga sebuah negara diatur dengan aturan hukum negara tersebut, seakan data yang diproduksi tersebut hanya muncul, tersirkulasi, terolah, dan tersimpan di wilayah tersebut saja. Ini adalah sebuah contoh kebingungan dalam menghadapi sesuatu yang masih terasa asing karena munculnya tidak terencana.
Layer
Enam lapisan (layer) The Stack yang dimodelkan oleh Bratton mempunyai karakteristiknya masing-masing. Tiap-tiap lapisan juga punya efek konseptual yang khas. Namun, enam lapisan tersebut tidak berdiri sendiri-sendiri. Antar-lapisan saling berkaitan. Menurut Bratton, keenam lapisan tersebut berinteraksi dengan pola U. Sederhananya, User mulanya memicu lima lapisan di bawahnya mulai dari Interface, Address, City, Cloud, sampai dengan Earth dengan informasi atau kejadian tertentu, kemudian kembali lagi ke atas sampai kepada User tersebut atau User lainnya.
Stack tidak tunggal. Ada berbagai macam Stack yang ada hari ini, misalnya American Stack, Russian Stack, China Stack, Europe Stack, dll. Pola U tidak hanya eksklusif terjadi di dalam sebuah Stack, tapi juga terjadi antar-Stack.
Keenam lapisan Stack tidak kaku dan saklek. Teknologi yang mengisi tiap lapisan bisa diganti dengan teknologi lain yang lebih maju. Namun tetap, teknologi tersebut akan mengikuti logika penataan yang dibangun oleh arsitektur ini. Misalnya, mungkin di masa depan akan muncul teknologi yang lebih canggih dari IPv6 (internet protocol version 6). Teknologi ini bisa langsung digunakan untuk mengganti lapisan Address tanpa merusak arsitektur Stack yang ada.
1.Earth
Dalam rangka kepedulian terhadap lingkungan, belakangan ada beberapa orang yang mengajak kita untuk rutin menghapus hal-hal yang sudah tidak penting di dalam e-mail3 . Menurut mereka, setiap byte data yang mengendap di e-mail kita membutuhkan energi. Energi tersebut dibutuhkan untuk mengoperasikan infrastruktur penyimpanan. Oleh karena itu, jika kita tidak menghapus data-data yang sudah tidak digunakan tersebut, maka kita turut membuang-buang energi bumi. Menghapus data di e-mail dianggap sebagai salah satu bentuk nyata dalam berperan menyelamatkan bumi.
Kampanye tersebut tentu saja terlalu menggantungkan harapan pada aksi individu untuk menyelesaikan masalah yang sifatnya struktural, sehingga ironisnya, tidak bisa kita harapkan. Akan tetapi, kampanye seperti ini sedikit-banyak turut berperan dalam menyadarkan orang-orang bahwa komputasi itu material. Dunia digital itu tidaklah virtual. Ia tidak maya. Ia begitu nyata.
Deretan teks di lini masa Twitter bukan sesuatu yang maya. Ia dibentuk oleh material-material yang berasal dari bumi. Kita bisa melihat teks-teks itu karena penambangan silikon, besi, aluminium, kaca, plastik, batu bara, dan material-material lainnya terus dilakukan untuk memproduksi smartphone, laptop, fiber optik, cloud storage, satelit, pembangkit listrik dan infrastruktur komputasi lainnya.
Infrastruktur komputasi skala planet adalah mega-teknologi yang haus energi. Ia melahap dan mengisap material dan energi bumi hari demi hari. Kenyataan ini memicu pertanyaan krusial dalam bidang desain. Untuk apa semestinya teknologi komputasi skala planet ini digunakan?
Sampai hari ini, mega-teknologi ini digunakan secara menyedihkan. Ia lebih banyak digunakan untuk memodelkan hasrat-hasrat narsis individu. Mineral dan energi bumi yang begitu berharga dipakai untuk melayani manusia bergosip di aplikasi Tiktok, mencaci-maki orang lain di Twitter, pamer dan mencari pujian di Instagram, serta galau di Facebook, yang pada akhirnya lebih banyak menguntungkan pebisnis iklan. Bagi Bratton, yang ditekankan di sini bukan tentang bagaimana media sosial tersebut bisa digunakan dengan lebih bijak, beradab, saling menghargai, dan berdiskusi secara sehat, seperti motivasi kebanyakan para peneliti media dan penulis isu-isu soal media. Sebab, model media sosial hari inilah masalahnya. Unit analisis yang digunakan oleh media sosial adalah individu manusia. Data psikologis individu inilah yang dikumpulkan, dianalisis, dan diberi feedback. Bagi media sosial hari ini, data inilah yang paling penting untuk diolah.
Bratton memberi contoh penggunaan teknologi komputasi skala planet yang lebih penting dan memberi harapan. Salah satunya ialah penggunaan di bidang climate science (ilmu iklim) dan earth science (ilmu bumi). Unit analisisnya dalam hal ini adalah aliran dan perubahan material di bumi yang kemudian dimodelkan untuk membandingkan kondisi bumi di masa lalu, masa sekarang, dan prediksinya di masa depan. Pemodelan ini lebih berguna bagi manusia karena berhubungan langsung dengan keberlanjutan eksistensinya. Manfaatnya sepadan dengan energi bumi yang harus digunakan.
2. Cloud
Konflik China dan Google di tahun 2010 umumnya dinarasikan dalam dua kerangka. Pertama, konflik ini dianggap sebagai salah satu bentuk perseteruan antara kebebasan berpendapat dan penyensoran. Google yang dianggap mengusung secara teguh nilai-nilai kebebasan berpendapat dan berekspresi dihalangi oleh China yang memaksa Google untuk menyensor beberapa topik di dalam mesin pencarinya (search engine). Alhasil, karena Google tidak terima dengan pemaksaan tersebut, ia hengkang.
Narasi kedua dibingkai dalam kerangka negara versus pasar. China dianggap sebagai pihak negara yang maunya mengatur berbagai hal secara terpusat, termasuk dalam urusan penyebaran informasi. Sementara itu, pihak pasar direpresentasikan oleh Google. Google search engine dapat berkembang karena beradaptasi dengan kemauan para pengguna secara bebas dan cepat, sehingga bisa menyediakan layanan pencarian yang memenangkan persaingan. Kemauan China untuk mengaturnya secara terpusat, menurut narasi ini, tak pelak berujung pada konflik.
Menurut Bratton, kedua narasi ini gagal menyingkap yang sebenarnya terjadi. Dua narasi tersebut masih terjebak dalam nostalgia perang dingin (cold war), sehingga konflik China-Google masih diarahkan ke dalam kerangka negara versus pasar dan kebebasan berekspresi versus penyensoran. Konflik tersebut lebih pas jika dipahami sebagai konflik dua logika penataan ruang dan kedaulatan. China dan Google mempunya logikanya sendiri dalam mendefinisikan ruang kekuasaan dan objek-objek yang masuk ke dalam kedaulatannya. Bagi China, kedaulatannya dibatasi oleh garis imajiner berupa batas negara. Seluruh objek di dalam bidang tertutup (loop) tersebut, benda hidup maupun mati, dikuasai olehnya dan harus tunduk pada hukum dan keputusan yang disahkan olehnya. Sementara itu, wilayah kedaulatan Google tidak berupa bidang utuh yang berbentuk loop. Wilayah kedaulatan Google terpisah-pisah di berbagai titik dan garis di bumi, mulai dari lokasi data center, fiber optik, menara sinyal, personal device, dan para pengguna (User).
Konflik paling kentara terjadi di level User. Bagi China, manusia pengguna internet di dalam batas wilayahnya adalah warga negaranya, sehingga China-lah yang layak mengatur hal-hal yang dapat diakses manusia tersebut. Bagi Google, manusia yang sama juga merupakan “warga negaranya”, yang harus ikut aturan main Google. Ketidaksinkronan logika seperti inilah yang memicu ledakan konflik tersebut.
Konflik Google-China lebih tepat disebut sebagai konflik negara vs negara. Namun, “negara Google” bukanlah negara seperti yang selama ini kita pahami. Teritori “negara Google” didefinisikan oleh distribusi infrastruktur Cloud (data center, fiber optik, satelit, dll) yang tersebar di permukaan, di bawah permukaan, dan di atas permukaan bumi. Berdasarkan pemahaman inilah, sebetulnya kita perlu sadar bahwa komputasi skala planet, atau secara sederhana sering kita sebut dunia digital, bukanlah terra incognita sebagaimana dipahami banyak orang. Dunia digital bukanlah sebuah teritori yang belum dijelajahi dan dipetakan atau menunggu dipetakan. Kita sebaiknya tidak memposisikan diri seperti para penjelajah Eropa yang sedang memandang Asia Tenggara atau Afrika. Konflik di dunia digital tak seperti perebutan lahan jajahan: lahannya ada, tinggal dijelajahi, direbut, lalu dipetakan. Konflik di dunia digital terjadi di level pendefinisian untuk suatu objek yang sama. Seperti konflik China-Google. Mereka bertarung karena merasa sama-sama punya kekuasaan atas seorang manusia, dengan logika kedaulatannya masing-masing.
3. City
City, di dalam struktur The Stack, adalah titik temu. Ia adalah arsitektur yang menata infrastruktur Cloud. Dalam konteks ini, City tidak muncul dari sebuah keputusan untuk menetap, membangun perkampungan, lalu berkembang menjadi kota. City layer dibangun oleh pergerakan. Gerak elektron di kabel fiber optik, misalnya, menjadi salah satu tulang punggung beroperasinya teknologi komputasi skala planet. Gerak elektron tersebut, yang menjalar sepanjang garis-garis bentangan fiber optik, membentuk simpul-simpul di berbagai City. Di City inilah fiber optik dan infrastruktur Cloud secara umum menempati ruang-ruang yang spesifik, sehingga membutuhkan penataan ruang yang bukan berdasar pada identitas, tetapi pada fungsi.
Setiap arsitektur adalah kekerasan. Sebab, arsitektur itu tentang menempatkan sesuatu di suatu ruang tertentu. Ketika ruang tersebut telah diputuskan untuk ditempati oleh sesuatu, maka sesuatu yang lain tidak dapat menempatinya, kecuali sesuatu yang pertama dikeluarkan/dipindahkan terlebih dahulu dari ruang tersebut. Pada arsitektur, kekerasan terjadi setiap saat.
Begitu juga dengan penataan infrastruktur komputasi skala planet di City layer. Merambahnya perangkat teknologi komputasi skala planet ke berbagai kota di dunia berefek pada logika penataan ruang di kota-kota tersebut. Sebuah gedung tidak lagi hanya dibangun untuk ditempati oleh manusia, entah itu menjadi tempat tinggal, kantor, atau tempat nongkrong. Kini sebuah gedung bisa hanya difungsikan untuk menampung mesin-mesin yang menyimpan status Facebook-mu.
Menurut Bratton, status warga kota kini tak lagi hanya bisa didefinisikan dengan garis batas sebuah kota yang ia tinggali, tetapi juga melalui proses penggunaan dan digunakan oleh infrastruktur komputasi skala planet. Kita tak lagi menjadi warga sebuah kota saja, misalnya orang yang tinggal di Jakarta, Rio de Janeiro, atau Vienna. Akan tetapi, kita menjadi warga gabungan berbagai kota, yang saling terhubung dengan pertukaran elektron, energi, dan informasi.
4. Address
Address dalam konteks ini berbeda dengan alamat rumah yang didasarkan pada sebuah ruang spesifik yang statis. Rumah di suatu alamat bisa dirobohkan lalu dibangun rumah baru yang lebih megah, atau dibangun kios untuk berjualan air galon, tetapi alamat lokasi tersebut tidak berubah. Jika rumah tersebut tidak dihancurkan, tapi dipindah secara utuh ke gang lain, maka alamatnya berubah walaupun itu adalah rumah yang sama.
Di dalam The Stack, Address tidak diam di tempat. Ia mengacu pada segala hal yang bisa disematkan sebuah alamat, entah itu sebuah benda, kejadian, dan relasi. Smartphone-mu punya sebuah alamat. Walaupun smartphone itu kamu bawa keliling kota, atau bahkan ke luar negeri sekali pun, alamat smartphone tersebut bagi The Stack tetaplah sama. Smartphone-mu mengakses dan diakses oleh The Stack melalui alamat yang itu-itu juga.
Peristiwa mobil yang terseret kereta di Tambun Bekasi pada hari Selasa, 21 Juni 2022, juga punya sebuah Address. Kejadian tersebut ditangkap oleh sensor sebuah User, kemudian disimpan di sebuah Cloud dengan sebuah Address spesifik. Berbagai User lain dapat mengaksesnya melalui Address yang telah disematkan pada kejadian tersebut. Walaupun waktu telah lama berlalu, Address tersebut tidak berubah.
Bagi sebagian orang, kemampuan infrastruktur skala planet dalam menyematkan sebuah Address pada berbagai hal sehingga dapat dikenali, diakses, dan dianalisis, adalah salah satu efek negatif dari teknologi ini. Bahkan beberapa pihak menyebutnya sebagai ancaman terhadap privasi. Selain itu, teknologi ini memungkinkan sebuah pengawasan yang dilakukan secara semena-mena (arbitrary surveillance). Pernyataan semacam ini tentu saja dapat diterima.
Namun, bagi Bratton, kita sebaiknya tidak mengabaikan fakta bahwa sebuah tindakan pengawasan juga bisa berarti sebuah layanan. Memperluas sensor dengan memperbanyak hal-hal yang masuk ke dalam lapisan Address akan memungkinkan hal-hal tersebut dapat dikenali, sehingga dapat menggunakan fasilitas tertentu. Misalnya, tes keberadaan Covid-19 di tubuh manusia. Dengan memperluas, mempermudah, dan mempermurah layanan tes Covid-19, maka akan lebih banyak manusia yang bisa segera diidentifikasi lalu diberikan layanan apabila terkonfirmasi positif Covid-19. Akan lebih banyak nyawa yang terselamatkan. Akan lebih sedikit nyawa yang hilang gara-gara pembawa virus tidak tahu bahwa dirinya positif Covid-19 sehingga menyebar ke keluarga dan orang-orang di sekitarnya yang rentan. Dalam hal ini, infrastruktur pengawasan (surveillance) dengan sensornya yang berupa alat tes dan tiap-tiap kejadiannya diberi alamat (Address) sedang menjalankan pelayanan dasar, yaitu kesehatan. Berbeda dengan tuntutan budaya privasi yang menekankan pentingnya hak untuk tidak diawasi dan dipantau tanpa persetujuan, dalam konteks Covid-19, manusia yang tidak diawasi dan dipantau berarti dibiarkan berjuang sendiri dan membahayakan orang-orang di sekitarnya yang mungkin sangat dicintainya.
5. Interface
Interface yang dimaksud di sini bukan hanya tentang desain tampilan aplikasi android, website, atau software untuk personal computer (PC), yang biasa disebut sebagai graphical user Interface (GUI), tapi mengacu pada pengertiannya yang lebih umum:
Segala titik kontak antara dua sistem yang mengelola syarat-syarat interaksi antar-dua sistem tersebut.
Benjamin Bratton
Saklar lampu, setir mobil, keyboard laptop, dan batas negara, ini semua adalah Interface. Di garis batas antar-negara terdapat berbagai macam hukum internasional baik yang berlaku untuk banyak negara maupun antar-dua negara tersebut saja. Hukum-hukum inilah yang menjadi acuan cara mengatur berbagai hal yang bisa melintas atau tertahan di garis tersebut, entah itu barang, hewan, tanaman, maupun manusia. Karena garis tersebut berada di titik kontak antara dua sistem (negara), dan mengelola aturan main interaksi antar-dua sistem tersebut, maka ia adalah bagian dari Interface.
Interface menyederhanakan mekanisme, protokol, cara kerja, dan proses pengambilan keputusan yang kompleks ke dalam menu sederhana yang bisa dipahami dengan mudah oleh User. Mari ambil contoh. Tata kelola dan mekanisme pengambilan keputusan dalam jaringan perpipaan air bersih di suatu kota sangatlah rumit jika harus dipahami oleh tiap-tiap warga kota. Mulai dari tata cara dan standar pengambilan air baku, alur kerja dan takaran bahan kimia dalam proses pengolahan, sampai pada proses pengambilan keputusan dalam pembagian distribusi air hasil produksi, semua ini berjalan dan saling terjalin dalam sebuah sistem yang elusif. Oleh karena itu, User hanya diberi dua pilihan saja di interface-nya: membuka atau menutup kran. Di pagi hari, User tidak perlu tahu dan tak usah ikut memikirkan atau bahkan berdebat soal air akan dialirkan lewat pipa mana saja untuk sampai ke rumahnya. Yang penting bagi User, ketika ia membuka kran di kamar mandi, air mengalir.
Penyederhanaan yang dilakukan oleh Interface jelas adalah sebuah pemaksaan. User dipaksa hanya mendapatkan pilihan yang terbatas di Interface. Karena tanpa penyederhanaan, User tidak akan bisa mengakses dan diakses oleh Address, City, Cloud, dan Earth di dalam struktur The Stack.
Politik penyederhanaan dan pembatasan yang dilakukan oleh Interface sangat kontras dengan semangat demokrasi partisipatoris ekstrem yang belakangan menggejala. Demokrasi baru dianggap hadir ketika setiap anggota masyarakat tahu dan ikut berpartisipasi dalam memutuskan seluruh rancangan dan pelaksanaan kebijakan publik. Pertanyaannya, apakah memang harapan masyarakat itu bisa berpartisipasi penuh dalam segala urusan pemerintahan? Bukankah cita-cita utama masyarakat adalah hidup bahagia dan sejahtera? Para pengguna listrik hanya butuh lampu di rumahnya langsung hidup tiap kali ia menekan saklar (Interface) dan tagihan listriknya tidak bengkak. Buat apa ia harus rutin ikut berpartisipasi dalam membuat keputusan tentang distribusi listrik?
6. User
Hingga hari ini, desain di berbagai bidang kehidupan mulai dari arsitektur, infrastruktur, ekonomi, teknologi, sampai dengan politik, didominasi oleh konsep user centered design (UCD). User dalam UCD adalah manusia. Artinya, segala desain harus berangkat atau didasari dengan pemahaman tentang perilaku manusia. Dengan menerapkan UCD, desain diharapkan lebih ramah pada manusia, lebih bisa memahami kebutuhan manusia, dan ketika digunakan tidak malah menyulitkan manusia. UCD banyak direkomendasikan dan kini banyak diterapkan untuk menghindari desain yang hanya dikonsepkan dan direalisasikan oleh para ahli di suatu bidang, tanpa bertanya terlebih dahulu apa yang sebenarnya dibutuhkan oleh calon pengguna.
Para pendesain kebijakan ekonomi semakin sering menggunakan data consumen behaviour (perilaku konsumen) sebagai basis analisisnya. Algoritma dan tampilan berbagai sosial media dirombak berkali-kali untuk menyesuaikan dengan perubahan perilaku dan hasrat para penggunanya. Para penulis/analis di bidang teknologi tak henti-hentinya mewanti-wanti agar teknologi kecerdasan artifisial tidak malah memperparah diskriminasi pada beberapa kelompok manusia.
Capaian epistemologis dari lapisan User di dalam The Stack, menurut Bratton, ialah membuat kita sadar bahwa User bukan hanya manusia. Stack tidak peduli siapa/apa yang ada di lapisan User, entah itu hewan, benda, atau manusia. Bagi Stack, selama sesuatu itu bisa mengakses dan diakses oleh arsitekturnya, maka ia adalah User yang sah.
Siapa User di dalam infrastruktur self driving car? Bukan manusia. Mereka adalah sensor yang menginput data di sekeliling mobil ke dalam sistem, kemudian memproses keputusan yang diberikan oleh sistem terhadap manuver mobil, sepanjang perjalanan. Manusia yang berada di dalam mobil tersebut bukanlah User, ia hanyalah sebuah benda yang ikut terangkut.
Siapa User yang paling dominan di “internet” hari ini? Bukan manusia, tapi bot.
Hal yang juga penting bagi Bratton ialah kita perlu meninggalkan konsep User centered design. Sebab, menurut Bratton, User dalam artian yang selama ini dimonopoli oleh manusia kini telah mati (death of the user). Daripada mengasumsikan User sebagai sesuatu yang terberi, yang perlu dipahami secara apa adanya, dianalisis perilakunya, seakan ia adalah subjek yang punya kedaulatan total pada dirinya sendiri, kita perlu beranjak ke arah design of the user. Dengan berbagai capaian konseptual yang dihadirkan oleh The Stack di tiap-tiap lapisannya, User seperti apa yang perlu didesain agar energi Earth yang menghidupi The Stack tidak terbuang percuma?
2 https://www.amazon.com/Net-Delusion-Dark-Internet-Freedom/dp/1610391063
3 https://thegoodplanet.org/2020/06/02/how-you-can-save-our-planet-by-deleting-emails/