Pengarang telah lama mati. Kita membunuhnya. Seorang pengarang kini tak lagi pantas mengklaim bahwa karya yang ia produksi adalah murni ciptaan dirinya. Begitu juga dengan interpretasi atas karya yang ia hasilkan. Ia tak lagi bisa bilang bahwa hanya pemaknaan dari dirinyalah yang paling valid. Seluruh tafsiran yang muncul dari para penikmat karyanya patut juga dipertimbangkan.
Setidaknya ada 4 hal yang membunuh pengarang. Pertama, dekonstruksi. Makna sebuah karya tidak berada di dalam dirinya sendiri, juga tidak terikat pada tujuan pengarang. Makna selalu tertunda. Ia akan muncul, bergeser, dan berubah sepanjang karya itu bertemu dengan pemirsa-pemirsa baru. Makna tak pernah final. Pengarang tak punya kuasa menahan laju pemaknaan yang terus berkembang. Tepat di momen karyanya terbit dan menemui pemirsa pertamanya, pengarang mati bagi karya itu.
Kedua, psikoanalisis. Manusia tidak punya kontrol atas pikirannya sendiri. Well, kita bisa mengaku punya kontrol. Akan tetapi, jika kita memeriksa tanpa lelah keputusan-keputusan yang kita ambil hari demi hari dengan pertanyaan “mengapa saya melakukannya?”, kita akan mencapai suatu titik yang tidak bisa kita jawab. Ada kerja ketidaksadaran yang berisi tumpukan trauma masa lalu yang mempengaruhi keputusan kita. Begitu pula dengan pengarang. Ia secara sadar tak punya kontrol atas kreasi yang dibuatnya. Kata-kata yang ia pilih dalam tulisannya; bentuk dan warna yang muncul dalam lukisannya; bunyi yang membentuk musiknya; sudut tembak kamera di dalam filmnya; ia tak sepenuhnya sadar dalam memilih. Subjek pengarang buram bagi dirinya sendiri. Ia hanya medium bagi hasrat untuk memproduksi karya.
Ketiga, strukturalisme. Ide sebuah karya yang muncul di kepala sang pengarang terbentuk karena efek dari percakapan, perdebatan, kritik, dan sirkulasi ide yang formal maupun informal di dalam masyarakat. Subjek pengarang selalu historis. Ide selalu punya sejarah, tidak tiba-tiba muncul tanpa sebab di pikiran seorang pengarang. Pengarang layak dibunuh, atau ia sedari awal sadar diri bahwa ia tak layak hidup.
Pengarang bukanlah pencipta. Di dalam dunia tulis-menulis, misalnya, ia hanyalah buruh di dalam pabrik kata-kata.
Keempat, pengarang mati karena marxisme. Status pengarang adalah sebuah efek dari desain sosial-ekonomi bernama hak cipta. Status ini divalidasi dengan sebuah fiksi yang menganggap pengarang seperti layaknya Tuhan Sang Pencipta. Tuhan menciptakan Adam dan Hawa dengan kerja-kerjanya sendiri, sementara pengarang tidak demikian dalam memproduksi karya. Ada kerja-kerja orang lain sebelumnya yang ikut berkontribusi pada kesuksesan ia berkreasi. Pengarang bukanlah pencipta. Di dalam dunia tulis-menulis, misalnya, ia hanyalah buruh di dalam pabrik kata-kata.
Kematian pengarang (the death of the author) tidak bicara tentang kematian seorang manusia. Membunuh pengarang bukan membunuh manusia. Yang dibunuh adalah konsep. Sebuah konsep yang memungkinkan sebuah subjek menganggap dirinya terlepas dari berbagai pengaruh sekitar dalam proses pembuatan karya dan memonopoli tafsir atas karya yang dihasilkan. Kita membunuh pengarang agar kita tak lupa bahwa manusia adalah makhluk sosial. Cukup Tuhan saja yang berada di luar segala hukum. Cukup Tuhan saja yang individualis.
Konsep Ayah dan Ibu di dalam keluarga juga perlu dibikin mati. Hampir di seluruh keluarga, Ayah dan Ibu ditentukan berdasarkan ikatan biologis. Ayah adalah seorang manusia yang spermanya berkontribusi dalam pembentukan badanmu. Ibu adalah seorang manusia yang tidak hanya sel telurnya yang ikut membentuk dirimu, tapi juga rahimnya menjadi tempatmu tumbuh selama masih berupa janin. Bagi manusia yang lahir dari rahim Nagita Slavina, sungguh konsep Ibu yang demikian adalah berkah yang tak terkira. Akan tetapi, bagi manusia yang lahir dari pasangan suami-istri yang tinggal di bangunan darurat pinggir sungai dan sehari-hari memulung sampah untuk bertahan hidup, mungkin di sela-sela masa hidupnya yang melarat kendati telah bekerja mati-matian ia akan berpikir, mengapa aku harus lahir di keluarga ini? Mengapa kita tidak bisa memilih Ayah dan Ibu?
Tidak satupun anak di dunia ini yang minta dilahirkan. Oleh karena itu, setiap anak berhak mendapatkan orang tua yang layak, yang tidak selalu harus orang tua biologisnya.
Memaksakan tafsir sebuah karya, misalnya novel, hanya tunduk pada penjelasan-penjelasan yang diberikan oleh si pengarang adalah sebuah kekerasan pada novel. Membiarkan seorang pengarang mengklaim bahwa karyanya murni muncul dari dirinya sendiri tanpa ada pengaruh dari karya-karya lain adalah tindakan zalim pada realita. Dalam konteks keluarga, memaksakan seorang bayi hidup dan tumbuh bersama orang tua biologisnya tanpa memberikan kesempatan pada si bayi untuk mendapatkan perawatan, kasih sayang, dan pendidikan yang memadai adalah sebuah kekerasan pada bayi. Membiarkan Ayah dan Ibu mengklaim bahwa anak kandung mereka harus terus hidup bersama mereka, meskipun mereka adalah Ayah dan Ibu yang toxic meski karya raya, dengan alasan merekalah yang membuat anak tersebut hidup dan tumbuh juga merupakan kekerasan pada anak-anak. Tidak satupun anak di dunia ini yang minta dilahirkan. Oleh karena itu, setiap anak berhak mendapatkan orang tua yang layak, yang tidak selalu harus orang tua biologisnya.
Dalam konteks inilah, konsep Ayah dan Ibu yang ada sekarang, yang bertumpu pada DNA, perlu dibunuh. Hubungan biologis seharusnya bukan penentu siapa yang layak jadi Ayah dan Ibu bagi seorang anak. Sebab, aturan inilah yang membuat sebagian kecil kelompok anak menikmati fasilitas yang nyaman, sementara sebagian besar kelompok anak yang lain rentan terpapar penyakit, kelaparan, gizi buruk, dan minim akses pendidikan. Menyumbang sperma atau menyediakan sel telur dan rahim tak lantas membuatmu berhak jadi Ayah dan Ibu. Sebaliknya, seorang anak yang berasal dari darah-dagingmu dan pasanganmu tak lantas hanya menjadi tanggung jawabmu dan pasanganmu saja. Dengan mengingat ungkapan populer “butuh satu desa untuk merawat dan membesarkan seorang anak”, kita semestinya tidak melepas tanggung jawab perawatan anak kepada dua orang saja.
Membunuh konsep Ayah dan Ibu tak lantas kita menjadi anti pada ikatan Ayah-Ibu-Anak yang dibangun dengan hubungan biologis. Hubungan yang seperti itu bisa saja membuat seorang anak tumbuh bahagia dengan curahan kasih sayang dan perawatan yang luar biasa. Di dalam bukunya Xenofeminism, Helen Hester menulis xenofam ≥ biofam. Xenofam adalah sebuah keluarga yang dibangun berdasarkan kemauan untuk saling memberikan kasih sayang, bukan karena keterpaksaan akibat percaya pada takdir. Keluarga semacam inilah yang dicita-citakan. Namun demikian, tidak menutup kemungkinan keluarga yang dibangun berdasarkan ikatan biologis (biofam) sama kualitasnya dengan xenofam. Karena itulah Helen Hester menggunakan simbol “≥” bukan “>”. Asalkan masing-masing pihak tidak menganggap hubungan mereka sebagai sesuatu yang terberi.
Lalu bagaimana kita membunuh konsep Ayah dan Ibu? Empat hal yang membunuh pengarang seperti yang telah diuraikan di atas bisa menjadi opsi.