Kategori
Society

Gotong Royong di Abad Ke-21

“Gotong Royong” sudah menjadi sebuah kata yang agung. Kata ini telah menempati altar pemujaan, sehingga ia menjadi sebuah mitos yang kaku. Ia dianggap sebuah ruh bangsa yang begitu luas: Indonesia. Hampir tak ada lagi ruang untuk mengeksplorasi kemungkinan pengembangan konsepnya. Namun, “hampir” bukan berarti tidak ada sama sekali. Di tulisan kali ini saya akan mencobanya.

Saya akan memulainya dari pidato Soekarno yang menyinggung soal gotong royong:

“Gotong Royong” adalah faham yang dinamis, lebih dinamis dari “kekeluargaan”, saudara-saudara! Kekeluargaan adalah satu faham yang statis, tetapi gotong royong menggambarkan satu usaha, satu amal, satu pekerjaan, yang dinamakan anggota yang terhormat Soekardjo satu karyo, satu gawe. Marilah kita menyelesaikan karyo, gawe, pekerjaan, amal ini, bersama-sama!

Gotong royong adalah pembantingan-tulang bersama, pemerasan-keringat bersama, perjoangan bantu-binantu bersama. Amal semua buat kepentingan semua, keringat semua buat kebahagiaan semua. Ho-lopis-kuntul-baris buat kepentingan bersama! Itulah gotong royong!

Pidato Soekarno di sidang BPUPKI, 1 Juni 1945

Poin utama dari uraian Soekarno tentang gotong royong adalah kebersamaan. Apabila ada sebuah aktivitas yang dikerjakan secara bersama-sama oleh beberapa orang dengan rasa ikhlas dan tanpa pamrih, maka kegiatan tersebut bisa dikatakan gotong royong. Perbedaan apapun menjadi tidak berarti di dalam sebuah suasana gotong royong, baik itu perbedaan agama, suku, ras, kepercayaan, gender, maupun orientasi seksual. Seluruh individu menyingkirkan kepentingan pribadi demi kepentingan bersama.

Gotong royong yang mulanya terjadi di ruang kecil dan terbatas seperti lingkup rukun tetangga (RT), rukun warga (RW), hingga desa, diusulkan oleh Soekarno untuk diterapkan di level negara. Soekarno ingin semangat gotong royong dijalankan di berbagai sendi kehidupan, baik di bidang politik, ekonomi, sosial, maupun kebudayaan.

Salah satu syarat yang sering digunakan untuk membedakan antara suasana gotong royong dan bukan gotong royong adalah interaksi langsung antar-manusia. Jika sekelompok orang di dalam suatu lingkungan tempat tinggal sering saling membantu (dalam hal apapun), maka lingkungan tersebut dianggap masih menjaga nilai-nilai gotong royong. Sebaliknya, jika para warga di suatu kelurahan menjalani hidup sendiri-sendiri, tidak saling bantu, dan berinteraksi hanya karena urusan transaksional, maka nilai-nilai gotong royong sudah dianggap hilang di lingkungan tersebut.

Biar lebih terbayang, saya akan memberikan satu contoh. Dengan mengendarai sepeda motor, seseorang memasuki permukiman padat yang belum terlalu familier baginya. Ia ingin menemui seorang teman lama yang baru saja pindah tempat tinggal ke permukiman tersebut. Ia berbekal ancer-ancer yang diberikan temannya. Sayang, ia tetap saja tersesat. Ia memutuskan untuk bertanya ke warga sekitar yang sedang duduk-duduk di pinggir jalan. Warga antusias membantunya. Bahkan, salah satu warga berinisiatif menghidupkan sepeda motor lalu mengantarkannya ke tempat tujuan. Inilah yang disebut Soekarno sebagai “perjoangan bantu-binantu bersama”. Nilai-nilai gotong royong masih hidup di permukiman tersebut.

Di suatu permukiman padat yang lain, ada juga seseorang lain yang sedang mencari alamat sebuah rumah dengan mengendarai sepeda motor. Ia juga sempat kesasar. Akan tetapi, akhirnya ia bisa menemukan rumah yang dicari dengan bantuan Google Maps. Mbak Google Maps memandunya memilih jalan. Sebelum jalan, ia juga bisa memastikan terlebih dahulu bentuk dan warna rumah yang dituju, di samping kiri-kanan-depannya ada bangunan apa, agar ia bisa lebih mengenali tujuannya. Ia bisa sampai di tujuan tanpa bantuan langsung dari warga sekitar. Apakah ini juga bisa disebut gotong royong? Saya ragu Soekarno akan menyebut kejadian ini sebagai contoh “Ho-lopis-kuntul-baris“. Dan saya yakin kita tidak akan menyebut ada nilai gotong royong di dalam contoh ini. Toh, orang tersebut berjuang sendiri. Tidak ada yang membantu. Tidak ada kebersamaan.

Peristiwa seseorang dibantu oleh alat, bukan orang-orang sekitar, tidak kita sebut sebagai gotong royong karena kita masih sangat kaku dalam mendefinisikan gotong royong. Kita menuntut adanya interaksi langsung antar-manusia, barulah kita mau menyebutnya sebagai gotong royong. Yang membantu langsung manusia. Ada alat yang memediasi tidak apa-apa, asalkan fungsinya hanyalah membantu interaksi langsung agar lebih mudah dilakukan. Misalnya, dengan memanfaatkan smartphone, seorang dokter hewan yang sedang tidak di rumah membantu tetangganya dengan cara memberi saran apa yang harus dilakukan terhadap anjing tetangganya yang tiba-tiba pingsan. Dalam kasus ini, yang terjadi tetaplah manusia membantu manusia, dan kita mau menyebutnya sebagai gotong royong.

Apabila kita ingin gotong royong yang diklaim Soekarno sebagai jiwa masyarakat Indonesia dapat terus hidup dan berkembang, kita perlu membuka kemungkinan adanya nilai gotong royong di suatu peristiwa yang tidak terjadi interaksi saling-bantu antar-manusia secara langsung. Seorang pengendara mobil yang menggunakan Google Maps tidak perlu berinteraksi sama sekali dengan orang lain mulai dari titik berangkat sampai dengan titik tujuan. Akan tetapi, petunjuk dan rekomendasi arah di Google Maps yang ia gunakan terkandung hasil gotong royong yang sudah terlembagakan. Informasi kelancaran arus lalu lintas, jalan ditutup, serta perkiraan jarak dan waktu tempuh adalah hal-hal yang dulu kita bisa dapatkan dengan bertanya kepada orang di jalan (interaksi langsung), tetapi saat ini telah diotomatiskan oleh Google. Keberhasilan otomatisasi ini tidak lantas menghilangkan nilai-nilai gotong royong. Justru, otomatisasi dan pelembagaan mempermudah kita untuk menjalankan pembantingan-tulang bersama, pemerasan-keringat bersama, demi menyelesaikan satu karyo, satu gawe. Seperti yang dicita-citakan oleh Soekarno.

(Tentu, saya mengetahui iklim eksploitatif seperti yang dijalankan oleh Google. Namun, tulisan ini tidak sedang membahas soal itu. Tulisan yang membahas perkara sistem eksploitatif di “dunia digital” bisa dibaca di sini dan sini.)

Memilih berkeras hati untuk mempertahankan syarat mutlak interaksi langsung antar-manusia di dalam konsep gotong royong akan membuat kita terus terjebak pada nostalgia kemurnian. Tidak ada kemajuan. Gotong royong hanya akan terus menjadi jargon semata. Gotong royong akan tetap berskala kecil, yang diimajinasikan terjadi di desa-desa yang dianggap masih “murni”. Gotong royong tak akan pernah layak beroperasi di skala sebesar negara.

Oleh Dandy Idwal

It is easier to imagine the end of capitalism than the end of family

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Gambar Twitter

You are commenting using your Twitter account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s