Kasus penganiayaan yang dilakukan oleh Mario Dandy merembet ke pemeriksaan harta kekayaan para pejabat oleh penegak hukum. Awalnya yang diperiksa adalah bapak Dandy sendiri, Rafael Alun Trisambodo, yang bekerja di kantor pajak. Ini karena Dandy sering pamer kendaraan-kendaraan mewah. Kemudian pemeriksaan berlanjut ke pejabat lain. Salah satunya adalah eks Kepala Kantor Pertanahan Jakarta Timur, Sudarman Harjasaputra. Ia diperiksa karena istrinya sering pamer barang-barang mewah di media sosial.
Para pegawai negeri sipil (PNS) dianggap tidak pantas memamerkan barang-barang dan gaya hidup mewah. Selain karena dinilai tidak cocok dengan citra PNS, juga karena penghasilan bulanan PNS dianggap biasa-biasa aja atau bahkan rendah. Sehingga, tidak mungkin ia bisa membeli barang-barang mewah dan menjalani gaya hidup yang wah. Jika bisa, berarti ia memanfaatkan posisi/jabatannya untuk mencari uang tambahan dengan cara-cara yang melanggar hukum. Dengan kata lain, ia nyolong uang negara. Ia nyolong uang rakyat. Tidak ada pembenaran untuk hal ini. Jelas itu adalah perbuatan yang keliru.
Akan tetapi, harta semacam apa sih yang layak diumbar?
Ada sebuah konsensus umum yang menganggap bahwa harta hasil berbisnis layak dipamerkan. Karena, para pengusaha yang sudah kaya raya mendapatkan hartanya bukan dengan cara mengembat uang rakyat. Mereka bergelimang harta atas hasil jerih payahnya sendiri. Memang, untuk pengusaha yang ketahuan menipu pelanggan atau menjual barang-barang yang dilarang oleh hukum, kita menghujat aksi-aksi pamer hartanya. Namun, untuk pengusaha tajir yang menjalankan bisnisnya sesuai dengan koridor hukum, kita mengelu-elukannya dan menganggap wajar ketika ia pamer harta.
Namun demikian, apakah menjalankan bisnis sesuai dengan koridor hukum berarti sudah pasti tidak mencuri uang rakyat? Sebetulnya apa sih yang kita sebut “uang rakyat” itu?
Ketika berbicara tentang uang rakyat, yang biasanya kita maksud adalah segala pajak yang dipungut oleh negara. Makanya, kita sering bilang PNS, anggota eksektutif, yudikatif, dan legislatif itu digaji menggunakan uang rakyat, karena gajinya berasal dari APBN/APBD. Namun, apakah pengertian uang rakyat hanya sebatas itu?
Saya akan memberikan sebuah ilustrasi. Seorang pengusaha hotel di Yogyakarta mempunyai 100 orang karyawan level staf. Gaji para staf tersebut sama, yaitu mengikuti UMK Kota Yogyakarta Tahun 2023 sebesar Rp2.324.775. Lalu, apakah nilai kerja para staf tersebut hanya sebesar UMK? Tentu tidak. Nilai kerja mereka jauh di atas itu. Selisih antara nilai kerja mereka yang sebenarnya dengan upah yang mereka terima diembat oleh pengusaha. Ia menumpuk kekayaan dari akumulasi selisih tersebut (akademisi menyebutnya “nilai lebih”). Nilai selisih inilah yang seharusnya juga kita sebut sebagai “uang rakyat yang dicolong”.
Saat pengusaha hotel tersebut jalan-jalan ke luar negeri dengan istrinya, sambil memamerkan barang-barang mewah dan gaya hidup yang wah, apakah kita mencurigai dan mencecarnya? Apakah kemudian penyidik memanggilnya untuk memeriksa hartanya? Selama pengusaha tersebut menaati berbagai aturan seperti jam kerja, besaran upah, uang lembur, jatah cuti, dan tunjangan hari raya (THR), atau singkatnya taat hukum, maka kita melihatnya sebagai suatu hal yang wajar. Walaupun kita tahu para pekerja di hotel si pengusaha tersebut buat hidup sehari-hari saja susah, kita tetap beranggapan bahwa harta pengusaha tersebut layak diumbar. Kita tidak menganggap para pekerja di hotel tersebut sebagai rakyat yang sedang dirampas hartanya.
Ya begitulah, kita menjadi rakyat hanya ketika berhadapan dengan negara. Di tempat kerja, kita hanyalah makhluk hidup yang karena terpaksa, karena himpitan kebutuhan hidup, mau dirampas sebagian besar hasil kerjanya. Kita bicara demokrasi hanya kepada negara, tetapi tidak di ruang kerja. Kita bicara transparansi penggunaan uang pajak kepada negara, tetapi tidak pada pembagian keuntungan perusahaan. Kita mengorek-ngorek kekayaan dan gaya hidup pejabat negara, tetapi tidak melakukan hal yang sama pada para pemilik/investor perusahaan. Ini bukan pleidoi (pembelaan) untuk para pejabat korup. Ini hanya sebagai pengingat, bahwa masih ada lebih banyak lagi yang mesti dikorek.