Ada sisi unik, yang sering terlewat dalam perbincangan manusia modern tentang dunia digital. Teknologi telah mampu merebut aneka ragam pengalaman kehidupan lewat gambar, video, juga narasi kisah sedih, pilu, perih, takjub hingga bahagia. Namun, ada satu pengalaman yang belum mampu diwadahi oleh teknologi: rasa.
Misalnya, rasa yang dialami oleh lidah. Menyeruput kopi atau teh, pedasnya sambal, dan manisnya tebu bisa diwakilkan dalam visualisasi. Namun, pengalaman mencicipi rasa tak bisa tergantikan. Contoh lain: menghirup asap, baik asap arang kayu yang terbakar di perapian rumah maupun bau asap rokok yang kemebul dengan mudah terdokumentasikan alat-alat modern serba digital. Semua hal hanya artifisial saat hadir dalam genggaman digital. Berjarak.
Ketika berjabat tangan secara langsung, kita bisa saling mengenali apakah si pemilik tangan (lawan jenis) kita benar benar menyambut erat jabat tangan kita atau hanya sekedarnya. Inilah yang tidak bisa dicapai teknologi digital.
Apa yang kita alami dengan teknologi digital adalah hadirnya tools atau alat-alat yang memudahkan manusia beraktivitas, bercengkerama, berkomunikasi dan saling terhubung.
Masalahnya, seringkali ada noise, gangguan yang hadir dari perkembangan teknologi. Tidak serta merta membantu, tapi seringkali merepotkan banyak pihak. Terkini dan paling update, alih alih mendapatkan manfaat malah bisa jadi mendapatkan cilaka, apes.
Iya, soal rasa inilah yang membawa banyak pihak jadi baper, sewot, marah, benci atau yang parah bisa ngamuk karena ada hal yang tidak sreg, tidak cocok di hati tiap individu.
Rasa dalam alam pikiran manusia modern, berpangkal pada hadirnya aneka hasrat, kemauan, keinginan dan keharusan untuk bisa merasakan, menikmati.
Lebih jauh, bisa ke pembahasan banyak hal tapi bisa juga berhenti sejenak pada pertanyaan dasar, siapakah aku, siapakah kamu? siapakah kita, siapakah mereka? Nah, menguraikan jawaban atas pertanyaan ini bisa menuju persoalan-persoalan identitas, persoalan diri kita.
Setelah tahu diri, aku si manusia, aku yang mengada ini bisa menegaskan identitas masing-masing. Identitas suku, ras, kebangsaan hingga identitas agama. Rasa. SARA.
Di awal pekan ini, sebenarnya saya hanya ingin berbagi rasa soal hal-hal sederhana saja.
Banyak pihak yang kelupaan hal sederhana soal rasa, jatuh dalam kubangan isu-isu SARA yang sensitif. Saat pilkada DKI dan pilpres beberapa waktu lalu bangsa ini sempat terbelah, bergoyang pendulum rasa kebencian, saling curiga dan saling merasa yang paling benar.
Hari-hari ini, di tengah krisis akibat dampak pandemi, berlangsung proses demokrasi pemilihan kepala daerah di 270 tempat. Semoga saja bisa menghadirkan praktek yang baik soal tata kelola kuasa dan bagaimana kontrol kuat dari publik bekerja, meski harus berjarak fisik karena adanya protokol kesehatan. Ada hal-hal kreatif, inspiratif juga solutif — meminjam istilah Bu Tejo, hehehe.
Meski sebenarnya hal biasa saja, saat aneka hal dibahas dalam obrolan ringan pagi hari, tanpa teknologi digital perekam, namun jadi masalah kala isi perbincangan hadir di publik dalam beragam kanal teknologi.
Di kotak ajaib yang berada di ruang tengah kehidupan manusia modern, era 4.0 saat ini ada beragam pilihan menu tontonan. Berbasis pilihan bebas soal rasa, memilih terpaku di depan kotak ajaib (televisi atau gadget) atau mengabaikan dan beralih ke aktivitas produktif yang lain, tentu bisa hasilkan rasa yang berbeda beda.
Rasa lelah, jumud, nglimpruk, benci atau sebaliknya rasa suka, cinta, senang, gembira dan bahagia bisa tercipta kapan saja.
Melalui tulisan, cerita, foto, video, musik, lantunan bunyi dll manusia bisa berbagi rasa. Teknologi memberi platformnya lewat aplikasi AdaApa, misalnya secanggih apapun ternyata belum mampu sepenuhnya mewakilkan rasa dalam arti sebenarnya.
Pengalaman RASA. Beda jauh dengan soal SARA