Kategori
Infrastruktur

Bangun Organisasi Masyarakat Biar Infrastruktur di Desa Berkeadilan

Saya ujug-ujug ditunjuk jadi pemandu urun rembuk warga suatu desa. Memang bukan cuma saya yang ditunjuk. Teman-teman KKN (Kuliah Kerja Nyata) saya juga. Kalau tidak salah ada 4 orang termasuk saya. Empat orang ini memandu 4 tema rembuk yang berbeda. Saya kebagian tema infrastruktur. Ya intinya soal yang bangun membangun itulah.

Saya sudah berusaha menjelaskan pada peserta rembuk di kelompok saya tentang bagaimana baiknya diskusi ini berjalan agar hasilnya memuaskan. Saya tidak bisa dibilang sebagai organisator yang ulung. Tapi setidaknya saya sedikit-banyak belajar di kampus bagaimana memandu musyawarah agar berjalan dengan efektif.

Jalannya musyawarah tidak seperti yang saya harapkan. Sebagian besar warga tidak menggerakkan dirinya untuk usul program atau keluhan. Yang mengeluarkan pendapat pun hanya bisik-bisik di dekat telinga saya. Ada pula yang lebih terasa memaksakan program, misalnya, perlebar jalan di daerah ini. Pemaksaannya tidak langsung kentara karena dilakukan dengan nada yang halus.

Sebelum dicurigai sebagai orang kota yang terkaget-kaget melihat kondisi desa, perlu saya sampaikan bahwa lebih dari separuh hidup saya dihabiskan di desa. Bahkan desa tempat rumah saya berdiri lebih terpencil dan terlambat kemajuannya daripada desa tempat saya menjalani KKN. Lokasi rumah saya berada di sebuah pulau kecil di sebelah timur pulau Madura. Sementara lokasi KKN saya berada di sebuah desa tak jauh dari pusat keramaian Kabupaten Bantaeng, Sulawesi Selatan.

Jadi, sedikit-banyak saya paham kehidupan desa. Dan saya tidak ingin menutup-nutupi kekurangan pola hidup di desa dengan nada-nada romantis. Kalau ada yang buruk, ya perlu saya bilang buruk.

Salah satu yang buruk, umumnya orang desa tidak terorganisir dengan baik. Kalau ada yang mau menyangkal dengan fakta bahwa orang Indonesia, baik di kota maupun di desa memang tidak terorganisir dengan baik, ya, betul. Namun, setidaknya, kalau di kota ada kebijakan dari pemerintahnya yang nggak bikin sreg, warganya bisa mudah mengorganisir diri buat menyatakan protes. Apalagi kalau di kota itu ada banyak universitas. Biasanya mahasiswa akan banyak membantu.

Fakta paling kentara untuk melihat betapa masyarakat di desa tidak terorganisir dengan baik yaitu tentang dana desa. Ketika pemerintah pusat menjalankan kebijakan yang amat mulia niatnya ini, yaitu mengalirkan uang ke desa-desa, masyarakat desa secara umum belum siap mengelola dana tersebut secara aktif. Masyarakat desa tidak tahu apa yang bisa mereka lakukan dengan uang sebesar itu. Parahnya lagi, akibat tidak adanya organisasi-organisasi andal di desa, masyarakat tak bisa ikut serta mengatur alokasi uang jumbo tersebut. Alhasil, duit segepok itu digunakan suka-suka oleh para elite desa. Kalau elite desa ingin membangun jalan, ya uangnya buat bangun jalan. Kalau ia lebih suka membangun tempat sampah, ya uangnya mengalir ke situ. Dan jika ia lebih suka mengembatnya sendiri, ya raiblah uang itu.

Dominasi elite desa dalam membuat keputusan penggunaan dana desa salah satunya terlihat dalam bidang infrastruktur. Misalnya, meskipun yang sebenarnya sangat dibutuhkan masyarakat adalah infrastruktur pengairan sawah, tapi karena elite desa lebih suka memperbagus jalan raya di sekitar rumahnya, akhirnya program yang kedua ini yang dijalankan. Dari sudut pandang inilah kita bisa menilai bahwa pembangunan infrastruktur di desa belum berkeadilan.

Kalau Jokowi benar-benar terpilih lagi menjadi presiden, katanya ia akan fokus membangun sumber daya manusia di periode keduanya. Tepat, karena kualitas sumber daya manusia di Indonesia masih tergolong buruk. Dan infrastruktur yang besar-besar pun tak akan ada artinya jika tak didukung sumber daya manusia yang jempolan.

Namun patut diingat. Pengembangan sumber daya manusia bukan hanya tentang peningkatan skill individu agar bisa bersaing di ranah regional, nasional, maupun global. Juga bukan hanya tentang link and match (keterhubungan dunia pendidikan dengan dunia kerja) yang berkali-kali dilontarkan di debat pilpres oleh kedua kubu. Bukan cuma itu. Peningkatan sumber daya manusia juga tentang pengembangan kemampuan masyarakat Indonesia dalam berorganisasi dan mendirikan serta mengelola korporasi. Artinya, masyarakat Indonesia tidak hanya dilatih agar bisa bersaing satu sama lain. Tapi juga bagaimana agar masyarakat, terutama yang modal ekonominya terbatas, bisa saling bekerja sama untuk membentuk organisasi yang bisa menjadi kontrol kebijakan atau mendirikan korporasi agar bisa lebih mandiri.

Nah, ketika masyarakat Indonesia, khususnya di desa sudah mampu membentuk organisasi dan korporasi yang modern, barulah kita bisa berharap pembangunan infrastruktur di desa bisa lebih berkeadilan. Infrastruktur yang untuk orang banyak, bukan untuk segelintir. Sebab akan ada kontrol yang ketat pada penggunaan duit yang dikelola desa. Sehingga, cerita-cerita seperti yang saya uraikan di atas tidak terdengar lagi.

Kategori
Infrastruktur

Banjir, Penanganan vs Perencanaan

Intensitas hujan yang belakangan tinggi membuat banjir terjadi di beberapa daerah baik di dalam negeri maupun luar negeri. Hujan memang memiliki peranan penting dalam proses terjadinya banjir. Namun, di balik kejadian banjir, ternyata tersimpan sebab akibat yang kompleks mulai dari sisi teknis, sosial, budaya, ekonomi, dan lain-lain.

Jika kita ingin membahas penanganan banjir, maka kita perlu melihat permasalahan secara utuh. Kita tidak bisa melihat fenomena banjir hanya dari satu sudut pandang saja.

Penanganan banjir yang komprehensif artinya adalah kita melihat fenomena banjir dari satu siklus hidrologi yang utuh. Apabila kita melihat hanya dari satu sampel daerah saja, jelas, penanganan banjir tidak bisa terjadi secara berkelanjutan.

Jika air hujan yang berubah menjadi limpasan langsung terlalu banyak dan sungai-sungai tidak bisa menampung debit air, maka air akan meluap. Inilah yang menyebabkan banjir. Kebanyakan masyarakat membahas penyebab banjir hanya sekadar masalah membuang sampah di sungai saja. Hal itu memang benar. Tetapi untuk perencanaan yang lebih komprehensif, sebenarnya ada hal yang lebih penting.

Daerah rural (desa) harus bisa lebih banyak menyerap air hujan ke dalam tanah. Penyerapan air ini juga dalam rangka menjaga kestabilan air tanah. Jika air tidak terserap, maka jangan heran akan terjadi kekeringan. Proses banjir memang tidak bisa dilepaskan dari dampak kekeringan nantinya.

Misal saja jumlah air yang melimpas ke daerah urban tinggi karena air dari daerah rural tidak terserap. Maka, daerah urban yang cenderung sudah menjadi perkotaan akan menerima air dalam jumlah besar dan tidak dapat ditampung, atau dalam bahasa kerennya “banjir kiriman”.

Fenomena ini dapat dijelaskan dari dua sisi, dari sisi rural maupun dari sisi urban. Daerah urban merupakan daerah yang menarik orang datang karena prospek perekonomiannya bagus. Akibatnya, pembangunan daerah urban tersebut tidak dapat terkendali dan semakin padat.

Di sisi lain, lemahnya penegakan hukum dalam masalah koefisien bangunan dan perencanaan wilayah, membuat alih fungsi lahan di daerah rural begitu masif. Tanah pertanian yang sangat baik dalam menyerap air hujan banyak yang berubah jadi permukiman.

Pengembangan wilayah juga tidak bisa lepas dari ego masing-masing daerah. Ego inilah yang membuat daerah-daerah rural menjadi berkembang menuju daerah urban. Tidak ketatnya peraturan pemerintah dalam mengatur tata ruang membuat hal-hal seperti ini dapat terjadi.

DKI Jakarta memang dirancang untuk menjadi wilayah perkotaan dan Kota Bogor menjadi daerah rural. Berkembangnya metropolitan membuat pembangunan Jakarta mulai menyasar pinggiran seperti Tanggerang, Bekasi, dan Bogor. Oleh karena itu, Bogor mau tidak mau harus mengembangkan wilayahnya menjadi penyokong ibukota.

Permasalahannya, Bogor juga berfungsi sebagai daerah rural yang tugasnya adalah menjaga volume air agar tidak langsung terlimpas ke Jakarta. Dengan adanya pembangunan dan alih fungsi menjadi perkotaan, maka tugas tersebut otomatis akan menjadi hilang.

Bahkan daerah Puncak dan Cisarua yang tadinya banyak lahan terbuka, berubah menjadi tempat rekreasi dengan pembangunan yang berkembang cepat. Semakin berkuranglah daerah resapan air yang harusnya menahan laju dan volume air ke Jakarta.

Penanganan banjir bisa dilakukan dengan dua cara. Menggunakan rekayasa teknik atau membuat perencanaan wilayah yang baik. Rekayasa teknik membutuhkan biaya yang tidak sedikit dan tidak bisa berkelanjutan, tapi ini perlu dilakukan jika pelaksanaan tata ruang terlanjur buruk.

Sementara itu, cara yang paling “murah” adalah dengan penegakan hukum tata ruang yang baik. Proses perizinan harus diperketat oleh pemerintah daerah setempat, guna menjaga siklus air agar terjaga dengan baik.

Berdasarkan uraian di atas kita akhirnya paham. Banjir ternyata bukan hanya menjadi permasalahan warga yang buang sampah sembarangan atau hujan yang tiada henti. Peran pemerintah pun di sini sangat krusial dalam perencanaan tata kota agar siklus air dapat berjalan dengan baik.

Kategori
Infrastruktur

Infrastruktur Jokowi Tidak Demokratis

Di debat pilpres edisi kedua, Jokowi dengan entengnya bilang bahwa tidak ada konflik lahan dalam pembangunan infrastruktur selama masa jabatannya sebagai pegawai nomor 1. Mari cek lagi perkataan pegawai kita ini. “Dari 4,5 tahun ini tidak ada konflik lahan akibat proyek infrastruktur. Karena tidak ada ganti rugi, yang ada ganti untung,” kata Jokowi. Bayangkan, sudah tidak ada konflik lahan, masyarakat terdampak juga dapet untung! Betapa mulia proses pembangunan yang diklaim Jokowi itu.

Tentu saja faktanya berbeda jauh dengan kata-kata manis yang diucapkan Jokowi. Menurut Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), pada tahun 2015 infrastruktur menempati urutan kedua penyumbang konflik agraria. Sedangkan tahun 2016-2017, terjadi 394 kasus konflik lahan yang berhubungan dengan pembangunan infrastruktur.

Klaim Jokowi yang bilang masyarakat terdampak malah dapat untung, mengaburkan fakta banyaknya konflik infrastruktur terutama yang berskala besar, seperti bandara, PLTU, bendungan, dan jalan tol. Jokowi seakan ingin menggambarkan pada kita, bahwa dengan adanya perubahan istilah dari “ganti rugi” menjadi “ganti untung”, yang diklaim menaikkan jumlah uang kompensasi, masyarakat terdampak jadi sukarela meninggalkan tanah-airnya. Padahal, tinggal ketik saja di Google, kita sudah bisa berwisata konflik secara virtual. Jumlahnya banyak, tinggal pilih. Saya saja sampai bosan menuliskannya.

Baca juga: Evaluasi Skema Pembiayaan Infrastruktur dan Proses Pembangunan di Rezim Jokowi

Mustahil Jokowi tak mengetahui satupun konflik itu. Jika ia tak sempat buka Google saat main Instagram, Twitter, atau pas ngevlog, orang-orang di sekelilingnya mestinya ngasih tahu. Kecuali orang-orang yang bersamanya menikmati betul jurus “asal bapak senang”.

Data konflik di atas sebenernya sudah cukup buat bilang infrastruktur Jokowi tidak demokratis. Mau demokratis bagaimana jika membangun infrastruktur dengan cara pengusiran paksa? Meskipun dengan membawa ajian “demi kepentingan umum” atau “petunjuk leluhur”, ketika terjadi pemaksaan, berarti rakyat tidak dilibatkan dalam pengambilan keputusan. Apakah para pegawai kita ini lupa bahwa hakikat demokrasi adalah partisipasi rakyat? Hajatan 5 tahunan atau coblosan itu cuma sebagian kecil dari proses demokrasi.

Baca juga: Logistik Jawa Bagian Pertama: Transjawa Ternyata Tak Seperti yang Diduga

Selain pengusiran paksa, perencanaan infrastruktur Jokowi sangat tidak demokratis secara keilmuan. Hanya mengakomodasi ilmu-ilmu teknik saja. Sudah begitu, ilmu teknik yang dipakai sudah usang. Ini amat terlihat dalam pembangunan bandara dan jalan tol.

Dalam proses penentuan lokasi Bandara Internasional Baru Yogyakarta misalnya, hal-hal yang dipertimbangkan cuma soal “bisa dibangun landas pacu dan terminal yang luas atau enggak”, “nabrak Merapi atau nggak”, dan “lahannya mudah didapatkan atau tidak”. Tentu saja tiga hal tersebut penting. Tapi juga ada yang tak kalah penting: apakah warga terdampak hidupnya bakal lebih baik? Apakah manusia yang disuruh pindah juga akan menikmati hasil pembangunan? Apakah rakyat terdampak tak akan mengalami kesulitan jika dipaksa beralih profesi? Apakah tak ada alternatif lain selain bangun bandara baru? Pertanyaan-pertanyaan ini tentu saja tidak pas kalau dilihat dari kacamata ilmu teknik saja. Ilmu sosial, ekonomi, budaya, dll mestinya juga digunakan untuk membedah kasus secara tuntas.

Ilmu teknik yang dipakai dalam perencanaan jalan tol, seperti yang saya bilang sebelumnya, sudah usang. Misalnya pembangunan tol dalam kota yang direncanakan dan dilaksanakan oleh pemerintah pusat. Yang dijadikan pijakan doktrin lama: kalau macet, ya tambah jalan. Padahal solusi ini sudah terbukti tak menyelesaikan masalah. Apalagi kalau tidak didukung peningkatan layanan transportasi umum.

Baca juga: Logistik Jawa Bagian Kedua: Menyelesaikan Masalah Tarif Tol

Soal jalan tol yang direncakan menjadi tulang punggung logistik, seperti Trans Jawa, Trans Sumatera, juga sama usangnya konsep yang dipakai. Sudah banyak teori dan pengalaman bertebaran yang menunjukkan bahwa jalan tol, untuk kasus Indonesia, tak efektif menurunkan biaya logistik. Salah duanya karena investasi jalan tol yang muahal dan kapasitas angkut truk yang terbatas. Mengapa hal tersebut masih berjalan? Karena ilmu teknik yang dipakai tidak holistik, dan mengabaikan sudut pandang ilmu sejarah, geografi, sosial, budaya, dll. Jas Merah (Jangan Sekali-Sekali Melupakan Sejarah) akhirnya hanya menjadi slogan basi.

Saya sangat setuju dengan Jokowi bahwa infrastruktur di Indonesia ketinggalan. Ironis memang. Negara yang hampir 74 merdeka, masih puyeng mikirin infrastruktur. Tapi langkah Jokowi menyelesaikan masalah ini bikin saya ingat sama cara Orde Baru membenahi kebobrokan ekonomi. Mari membongkar ingatan sedikit.

Ekonomi Indonesia amburadul sejak tahun 60-an. Ini salah satunya disebabkan oleh konfrontasi yang tak berkesudahan, yaitu perebutan Irian Barat dengan slogan Trikora dan pertikaian dengan Malaysia dengan slogan Dwikora. Ekonomi menjadi terpimpin. Keputusan ekonomi lebih sering memakai pertimbangan politik daripada ilmu ekonomi.

Biar Sukses, Tol Probolinggo-Banyuwangi Perlu Dibarengi Pengembangan Pelabuhan

Lalu Soeharto naik ke kursi Presiden melalui kudeta dan pembantaian massal yang menyertainya. Ia merevisi kebijakan ekonomi secara radikal, yaitu membuka pintu selebar-lebarnya bagi dana luar negeri. Sepintas itu terkesan mulia, karena berhasil menggerakkan roda ekonomi. Namun, karena kebablasan akhirnya keputusan-keputusan ekonomi didikte pemberi dana itu. Demi memuluskan apa-apa yang sudah didikte, keadaan politik harus stabil. Maka Soeharto menerapkan pembangunan yang terpusat, diikuti pembungkaman, penculikan, aksi represif, yang intinya tidak demokratis. Dan konflik pembangunan infrastruktur pun tak bisa dielakkan.

Kini Jokowi melakukan hal yang serupa. Pokoknya dikebut secepat-cepatnya pembangunan infrastruktur demi mengejar ketertinggalan. Tidak peduli suara rintih kanan-kiri. Abaikan kritik. Yang penting bisa cepat pamer bahwa selama jadi presiden ada hasilnya. Ada bentuknya. Kalau ada yang menghambat tinggal usir paksa pakai tentara.

Baca juga: Transjogja dan Masalah Transportasi Perkotaan yang Tak Akan Selesai

Pembangunan infrastruktur Jokowi memang tidak terkesan menyeramkan secara umum. Mungkin karena pengaruh sosok Jokowi yang populis bak artis. Namun, selayaknya artis, banyak kepalsuan demi meraih kepopuleran.

Lalu bagaimana dengan Prabowo? Apakah jika ia jadi pegawai kita yang nomor 1, keadaan bakal jadi lebih baik? Mari kita tengok solusinya tentang konflik infrastruktur di debat pilpres kedua. “Pembangunan infrastruktur semestinya direncanakan dengan baik. Harus merencanakan biaya untuk mengganti lahan masyarakat yang diambil. Dan juga merencanakan pemindahan hunian masyarakat” ujar Prabowo. Jadi konsep yang ditawarkan Prabowo tak beda-beda amat sama Jokowi. Dan ini membuktikan Prabowo tidak paham masalahnya apa.

Kategori
Infrastruktur Politik

Evaluasi Skema Pembiayaan Infrastruktur dan Proses Pembangunan di Rezim Jokowi

Di sektor transportasi darat, Presiden Jokowi menargetkan ada 1800 km jalan tol baru, ribuan kilometer perbaikan jalan nasional, ribuan kilometer jalan rel, ratusan unit jembatan, satu paket Mass Rapid Transit (MRT) Jakarta hingga puluhan bandara yang harus terselesaikan pada tahun 2019. Selain bertujuan untuk mengurai kemacetan, dalih pengadaan infrastruktur ini ditujukan untuk menekan biaya logistik hingga mencapai 20%.

Belum lagi pembangunan ribuan kilometer saluran irigasi, ratusan pasar, ratusan unit rumah susun sederhana sewa (rusunawa), puluhan ribu perumahan rakyat, puluhan pos lintas batas negara (PLBN), 49 bendungan, pembangkitan listrik tenaga uap (PLTU), pembangkit listrik tenaga air (PLTA), dan pelabuhan yang tentunya menelan biaya yang sangat besar selama 5 tahun ini.

Untuk mencapai ambisi pembangunan ini, banyak anggaran dana sektor lain yang dikorbankan. Salah satunya dengan mengorbankan alokasi dana subsidi energi seperti pencabutan subsidi bahan bakar minyak (BBM) yang malah mengakibatkan barang dan jasa mengalami inflasi lebih tinggi. Dengan berbagai usaha itu pun, paling nekat, pemerintah hanya berani mengalokasikan anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN) sektor infrastruktur sebesar 415 triliun untuk tahun anggaran 2019 (20% dari APBN), meningkat dari dari tahun 2015 yang hanya 256 triliun, lalu berturut-turut 269 Triliun di tahun 2016, 388 triliun di tahun 2017, dan tahun lalu 410 triliun. Apakah penganggaran dana yang besar itu cukup untuk membiayai seluruh pembangunan? Sayangnya tidak.

Menurut para ahli ekonomi, Jokowi akan menghabiskan setidaknya 4000 triliun untuk membangun infrastuktur sampai masa pemerintahannya habis. Jika dilihat dari APBN infrastruktur selama 5 tahun di atas, angggap saja masih ada kekurangan anggaran 2000 triliun. Lalu dari mana asal dana 2000 triliun untuk menutupi kekurangan biaya pesta pembangunan Jokowi yang progresif itu?

Program Tax Amnesty, Usaha yang Gagal

Bulan Maret tahun 2018 sering kita dengar pemberitaan tentang Tax Amnesty (pengampunan pajak). Program ini ditempuh untuk mewujudkan ambisi pembangunan pemerintah dengan menekan para pembangkang pajak agar segera bertaubat, menjadi warga negara yang baik rutin bayar pajak. Program ini setidaknya punya dua tujuan. Pertama, tujuan jangka panjang, yaitu untuk meningkatkan pendapatan pajak tahunan di tahun-tahun kedepan. Kedua, tujuan jangka pendek, yaitu mengumpulkan dana repatriasi pembangkang pajak untuk menutup sebagian besar kekurangan biaya pembangunan dengan target pendapatan sampai 1000 triliun.

Sialnya, dari target capaian dana repatriasi sebesar 1000 triliun, yang terkumpul hanya 147 triliun atau 14,7 persen saja. Sehingga, dapat dikatakan program Tax Amnesty ini gatot alias gagal total untuk menolong ambisi pembangunan Jokowi.

Kebijakan Utang

Proyek pembangunan yang sangat banyak membuat anggaran belanja negara kita kian melecit tajam, jauh lebih besar dibanding pendapatan negara yang terkumpul. Akhirnya, defisit anggaran inilah yang menyebabkan pemerintah terpaksa harus berutang. Misalnya untuk saat ini, dalam rangka memenuhi APBN tahun 2018, pemerintah menyiapkan skenario utang dengan menerbitkan surat berharga negara (SBN) sebesar 414 triliun. Tetapi  ironisnya, 247,6  dari 414 triliun tersebut akan terbuang sia-sia hanya untuk membayar bunga utang-utang sebelumnya.

Skenario utang selanjutnya adalah mengajukan permintaan bantuan utang kepada negara sahabat atau pun lembaga multilateral seperti Bank Dunia dan International Monetary Fund (IMF). Secara persentase, 90 persen bentuk bantuan utang adalah berupa bantuan proyek, 10 persen lainnya berupa bantuan dana tunai. Contoh yang dapat kita lihat dari bantuan proyek adalah pembangunan MRT Jakarta dari Jepang, Water Resource and Irrigation Sector Management Program Phase-2 (WISMP-2) dari Bank Dunia, dan program tol laut dari Bank Dunia.

Meski kebijakan utang ini dinilai efektif untuk membantu mewujudkan program pemerintah, tapi banyak juga pihak-pihak yang berteriak lantang menentang kebijakan itu. Pasalnya, utang negara saat ini sudah mencapai 3866 trilliun dan akan bertambah menjadi 4280 triliun jika SBN baru resmi diterbitkan. Utang ini diprediksi para ahli ekonomi akan mencapai 5000 triliun pada akhir kepemimpinan Jokowi.

Namun, jika dilihat rasio utang terhadap produk domestik bruto (PDB), Indonesia masih dalam batas aman dengan nilai sekitar 28 persen (di bawah angka aman 30 persen). Nilai rasio itu lebih kecil daripada negara ASEAN lainnya, bahkan jauh lebih kecil dari pada negara maju seperti Jepang (220 persen), Amerika (107 persen), Perancis (98 persen), Inggris (89 persen) dan Jerman (68 persen). Harus kita ketahui bahwa rata-rata waktu jatuh tempo pun masih aman yaitu selama 8,8 tahun (di atas 5 tahun).

Walaupun beberapa indikator menyatakan utang Indonesia masih aman, kebijakan utang ini harus diwaspadai. Jangan sampai pemerintah terus menuhankan kebijakan utang sebagai solusi utama untuk menutup masalah finansial negara. Karena bagaimana pun juga, bunga utang tersebut akan senantiasa membebani anggaran negara. Jika hal ini terus terjadi, maka akan ada dampak serius di kemudian hari, yakni harga tawar Indonesia di mata pihak pemberi utang menjadi semakin rendah. Akibatnya, kebijakan Indonesia mudah terintervensi. Si pemberi utang akan memaksa pemerintah membuat produk kebijakan yang tidak berpihak kepada masyarakat secara penuh.

Kerjasama Pemerintah dan Swasta (KPS)

Kita masih mempunyai pertanyaan besar: bagaimana memenuhi ambisi pembangunan dengan kekurangan biaya mencapai 2000 triliun? Program Tax Amnesty faktanya tidak banyak membantu. Sejalan dengan kegagalan program tersebut, pemerintah juga ditekan untuk menghentikan perilaku utang yang sudah terlanjur dilakukan. Lalu, kalau sudah begitu, apakah kita harus memupuskan target pembangunan yang agung itu dan kembali mengandalkan APBN murni untuk membiayai proyek? Apakah kita rela menunggu lambatnya pembangunan gara-gara seretnya pembiayaan? Yang pasti tidak.

Berbagai kajian juga mengatakan, sangatlah tidak mungkin pembangunan negara sebesar ini dilakukan hanya dengan dana APBN saja. Oleh sebab itu kita membutuhkan bantuan. Solusi utamanya adalah mengikutsertakan swasta dalam skema pembangunan infrastruktur prioritas di Indonesia. Namun, untuk menjalankan program ini, pemerintah harus siap menghadapi banyak hambatan dan tantangan. Salah satu hambatannya yang sudah diterima adalah penyerangan dan pembelokan isu oleh beberapa oknum beberapa waktu lalu yang ingin menjatuhkan Jokowi dengan mengatakan, “Pemerintah jual-jual aset negara. Jalan, jembatan, pelabuhan hingga BUMN dijual semua.”

Isu “jual-jual aset” tersebut mungkin dilontarkan oleh orang yang kurang memahami skema kerjasama pemerintah-swasta yang biasa disebut public private partnership (PPP). Jadi asal nyeplos saja bilang ada transaksi jual beli aset kepada swasta, mentang-mentang pernah dilakukan pemerintahan periode dulu (penjualan Indosat dan Telkom oleh Presiden Megawati). Padahal tidak seperti demikian. Ya bisa dimaklumi, pada musim pemilu ini, isu apa pun, selagi bisa menjatuhkan lawan bisa digoreng.

Skema PPP ini banyak bentuknya, klasifikasinya antara lain: built own operate, build develop operate, design construct management finance, buy build operate, lease develop operate, warp around addition, built operate transfer, build own operate transfer, build rent own transfer, build lease operate transfer, dan build transfer operate (IMF, 2006). Partisipasi swasta dengan skema-skema tersebut dianggap membuat investasi publik menjadi menarik, terutama bagi negara-negara penganut ekonomi liberalisme untuk mempercepat pembangunan infrastruktur negaranya. Lalu bagaimana dengan Indonesia? Ya sama, skema PPP inilah yang dibangun oleh pemerintah untuk memenuhi target pembangunan dengan kekurangan biaya 2000 triliun tersebut.

Pilihan pemerintah Indonesia jatuh kepada skema build operate transfer karena pemerintah masih ingin mengontrol PPP dengan mengadakan sebagian anggaran dan penjaminan risiko proyek. Singkatnya, skema ini memungkinkan pihak swasta untuk membangun infrastruktur yang diprioritaskan oleh pemerintah, lalu diberikan kesempatan mengambil keuntungan dari dioperasikannya infrastruktur tersebut dalam jangka waktu tertentu yang telah disepakati. Lalu setelah jatuh tempo, aset infrastruktur harus diserahkan kepada pemerintah.

Contohnya adalah pembangunan jalan tol. Ada pihak developer swasta yang ingin bekerjasama untuk membangun jalan. Lalu setelah proyek selesai dikerjakan, pihak developer tersebut diberikan kesempatan waktu 20 tahun untuk mengambil keuntungan dari tiket masuk tol. Setelah 20 tahun, tol tersebut diserahkan kepada pemerintah, lalu jalannya bisa digratiskan untuk umum oleh pemerintah.

Pastinya ada beberapa kelemahan dari skema built operate transfer ini. Salah satunya adalah kesulitan menarik investor. Developer mau pun investor hanya tertarik untuk berperan dalam proyek yang sifatnya sangat vital saja seperti Jalan Tol, MRT, Light Rapid Transit (LRT), pelabuhan dan PLTU. Sedangkan untuk pembangunan Sistem Penyediaan Air Minum (SPAM), Sistem Pengelolaan Air Limbah (SPAL), rusunawa, dan jaringan irigasi kurang diminati karena nilai indeks pengembalian (Internal Rate of Return) tidak jelas.

Lalu, apakah skema yang lain bisa lebih baik? Ya tidak juga. Daripada buang tenaga mengganti skema baru yang tentunya membutuhkan tenaga untuk membuat regulasi baru, pemerintah sebaiknya lebih fokus untuk menghadapi tantangan Kerjasama Pemerintah Swasta (KPS) ke depannya.

Tantangan pengembangan KPS/PPP kedepan, antara lain:

  1. Pemerintah perlu mengubah pola pikir Penanggung Jawab Proyek Kerjasama (PJPK) dalam merencanakan skema pembiayaan proyek. Yaitu dengan mengalokasikan APBN infrastruktur sebagai fasilitator dan katalisator, sedangkan investasi swasta sebagai tulang punggung pembiayaan infrastruktur.
  2. Pemerintah bersama PJPK perlu menyiapkan dana untuk meningkatkan kelayakan proyek, baik dalam bentuk dukungan penyediaan tanah, fiskal, dan sebagian konstruksi.
    Meningkatkan minat perbankan dan institusi pembiayaan dalam negeri lainnya dalam pembiayaan proyek KPS dengan mendorong perubahan strategi bisnis dari yang awalnya Corporate Finance menjadi Project Finance.
  3. Harus ada penyelarasan/integrasi dalam keseluruhan proses pelaksanaan proyek, mulai dari penyiapan, transaksi dan perijinan sehingga ada kepastian jangka waktu dan proses dalam pelaksanaan proyek KPS.

Salah satu langkah awal yang dilakukan untuk menjawab tantangan tersebut adalah dengan mengintegrasikan antara siklus perencanaan dan pelaksanaan proyek KPS dengan siklus perencanaan dan Penganggaran Tahunan dalam rangka penyusunan Rencana Kerja Pemerintah (RKP) atau Rencana Kerja Pemerintah Daerah (RKPD). Langkah kedua yang dapat dilakukan adalah membuka pintu bagi Pemerintah Daerah menerbitkan surat obligasi untuk membantu pembiayaan dalam rangka percepatan pembangunan di daerah masing-masing.

Evaluasi Proses Pembangunan

Kebijakan percepatan pembangunan infrastruktur memang mau tidak mau harus dilakukan oleh siapa pun (ganti atau nggak ganti) presiden Indonesia mendatang. Namun skema untuk mewujudkan pembangunan infrastruktur itu perlu didasari dengan perencanaan yang matang dan tentunya berkelanjutan. Perencanaan yang matang artinya pembangunan benar-benar diproyeksikan menjadi sesuatu yang menguntungkan dan tidak merugikan berbagai pihak. Jangan sampai hanya karena untuk mengejar target selesai pembangunan, mengorbankan sisi kemanusiaannya, misal tidak memperhatikan nasib orang tergusur/terdampak proyek.

Ganti untung saja tidak cukup. Pemerintah juga wajib mengganti lahan pekerjaan yang hilang akibat proyek pembangunan. Pemerintah seharusnya juga mengajak para terdampak ikut serta menikmati bunga pembangunan, misal selain memberikan uang ganti rugi, pihak terdampak juga diberikan sebagian saham dari operasional infrastruktur tersebut (untuk infrastruktur PPP komersil seperti jalan tol, bandara, pertambangan, atau industri). Sehingga masyarakat terdampak juga menikmati pertambahan nilai tahun ke tahun dari tanah yang direlakannya. Dan pemerintah wajib menyiapkan skema peraturan untuk mewujudkan itu.

Pembangunan harus berkelanjutan artinya pembangunan infrastruktur harus disertai proyeksi pembangunan sektor yang lain seperti ekonomi, industri, pariwisata, budaya, serta secara teknis dapat memenuhi masa layan bangunan (biasanya 50 Tahun). Sehingga nilai guna infrastruktur itu juga tinggi dan tidak dirasa terlalu mahal jika dilihat besarnya manfaat yang ditimbulkan.

Namun di balik semua itu, banyak yang dapat dikritik dari pembangunan di era Jokowi dan dapat dijadikan pelajaran kedepan. Kesan pembangunan mendadak (spontan) dan kejar target selama 5 tahun ini menimbulkan berbagai kontra, terutama dari kalangan aktivis lingkungan. Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) seperti tidak diindahkan dan hanya dijadikan formalitas belaka. Padahal, AMDAL ini sangat penting untuk mengetahui kualitas lingkungan sebagai penunjang kehidupan di masa mendatang. AMDAL menjawab berbagai pertanyaan seberapa tinggikah pembangunan itu mempunyai risiko merusak lingkungan atau diterjang bencana, lalu bagaimana skema pencegahan dan mitigasi dari permasalahan tersebut?

AMDAL seharusnya dibuat dengan serius dengan penilaiaan yang sangat objektif. Jangan dipaksakan AMDAL seolah-olah “ok” namun nyatanya “belum tentu”. Contoh saja pembangunan New Yogyakarta International Air Port (NYIA) di Kulon Progo yang diproyeksikan menjadi aerocity, kota baru yang mengerubungi area bandara. Padahal menurut dokumen perencanaan nasional, area tersebut menjadi zona rawan bencana dan seharusnya dihindari untuk pembangunan skala besar. Okelah kalau memang infrastruktur bandaranya dibangun dengan konsep “anti gempa” dan “anti tsunami”. Nah, apa kabar dengan bangunan-bangunan aerocitynya? Apakah nantinya juga dibangun dengan konsep “anti gempa”? Kalau tidak bisa menjamin itu, yaa, penduduk aerocity-lah yang akan menjadi korbannya. Inilah yang seharusnya ada dalam AMDAL. Segala risiko dijelaskan secara detail dengan membuat parameter hitungan kuantitatif yang hasilnya akhirnya “ok” atau “tidak ok”. Kalau dipaksakan ya silahkan tanggung risikonya.

Kesimpulan

Pembangunan infrastruktur harus didasarkan kepada skala prioritas dan dokumen perencanaan jangka panjang yang telah dibuat. Jangan spontan ingin membangun tapi belum tahu bagaimana dampak dan manfaatnya kedepan.

Di sisi lain, pemerintahan Jokowi sudah baik dalam menuntaskan proyek-proyek yang diwacanakan sejak lama. Namun di sisi lainnya, kejar target infrastruktur yang terlalu menggebu-gebu yang cenderung memaksakan pembangunan tanpa didasari pelaksanaan feasibility study serius, akhirnya menimbulkan banyak kontra dikalangan aktivis lingkungan dan aktivis sosial karena timbul banyak kerugian masyarakat terdampak pembangunan dan kerusakan lingkungan.

Skema pembiayaan entah itu PPP, KPS atau yang lainnya juga harus direncanakan sedemikian sehingga dapat menarik lebih banyak investor lokal. Investor lokal yang tidak hanya dari kalangan konglomerat saja, tapi juga dari himpunan masyarakat yang menyatukan modalnya untuk turut serta dalam investasi bidang infrastruktur. Pemerintah harus menyiapkan wadah ini dan melakukan sosialisasi secara luas. Agar tidak hanya kalangan orang kaya saja yang menikmati bunga pembangunan, namun masyarakat dengan modal kecil yang terhimpun juga dapat menikmati madunya. Tidak menutup kemungkinan nanti ada “TOLMIRA” (Tol Milik Rakyat), “TOLMIBUTU” (Tol Milik Buruh Bersatu) dan lain sebagainya.

Kita berharap masa kepemimpinan kedepan, skema pembiayaan yang melibatkan investasi di kalangan masyarakat menjadi sebuah pertimbangan serius dan feasibility study (studi kelayakan pembangunan) juga dilakukan lebih konsisten sebelum dieksekusinya sebuah pembangunan. Tujuannya tidak lain agar tiada lagi masyarakat yang dirugikan dalam masa proses pelaksanaan maupun masa operasional infrastuktur tersebut. Sebaliknya, manfaatnya benar-benar dapat dirasakan masyarakat secara luas.

Kategori
Infrastruktur

Banjir di Tol Madiun, Apakah Tolnya Salah Desain?

Ruas tol Solo-Kertosono yang berada di Kecamatan Balerejo, Madiun terendam banjir hingga ketinggian 1 meter pada Kamis (7/3). Sontak, isu ini langsung dilahap oleh para kampret sebagai bahan menyerang Jokowi. Jalan tol memang menjadi salah satu program andalan Jokowi untuk menunjukkan kepada masyarakat bahwa selama ia menjadi presiden ada hasilnya. Makanya, bagi para kampret, ini adalah isu yang seksi untuk menunjukkan bahwa jalan tol Jokowi dibikin sembarangan. Pertanyaan sederhananya, kok bisa jalan tol yang merupakan akses vital terkena banjir? Apakah desainnya buruk? Atau pengerjaannya asal-asalan? Padahal, jalan tol adalah bangunan yang dituntut punya standar tinggi. Genangan sedikit saja tidak diperkenankan.

Argumen di atas didukung oleh beberapa pengamat transportasi. Mereka bilang, sistem drainase jalan tol di Indonesia memang sering tidak diperhatikan dengan baik. Dengan kondisi alam di Indonesia yang sangat beragam dan curah hujan tinggi, ditambah dengan saluran drainase yang buruk, tidak heran jika jalan tol akan banjir. Namun, kasus di Madiun ini berbeda. Genangan setinggi 1 meter yang melanda jalan tol tidak berasal dari air yang jatuh di badan jalan. Air itu datang dari daerah di sekitar jalan tol. Bupati Madiun, Ahmad Dawami Ragil menyebutkan penyebab utama banjir tersebut adalah 3 tanggul yang jebol karena tidak kuat menahan aliran banjir. Tiga tanggul tersebut berada di anakan Kali Madiun. Jadi, air yang menggenangi jalan tol adalah kiriman dari daerah sekitarnya. Padahal, drainase jalan tol didesain hanya menampung air yang jatuh di badan jalan. Sehingga kalau ada air tambahan yang sangat besar dari daerah sekitarnya, ya jelas drainase tersebut tidak akan mampu menampungnya. Dengan kata lain, bukan salah drainase jalan tolnya.

Baca juga: Pelan-Pelan Orang Akan Kembali ke Taksi Konvensional

Namun demikian, desain jalan tol yang berhubungan dengan isu banjir bukan cuma tentang drainase. Perencanaan jalan tol seharusnya mempertimbangkan informasi ancaman banjir di kawasan tersebut. Ancaman banjir di antaranya meliputi besarnya curah hujan tertinggi, aliran air permukaan, dan sejarah banjir. Kalau sudah tahu di daerah tersebut memang jadi langganan banjir, ya mestinya ada penanganan yang harus dilakukan dong, misalnya dengan meninggikan elevasi jalan. Kecuali jika informasi tersebut tidak dicari. Maksudnya, si perencana jalan tol mengabaikan ancaman banjir. Dari sudut pandang ini, bisa saja ada kesalahan desain.

Baca juga: Lagi-lagi Sawah Kebanjiran

Sampai di sini kita bisa paham bahwa sumber masalahnya adalah air sungai yang meluap. Kali Madiun tak lagi mampu menampung aliran air, sehingga memuntahkannya ke jalanan. Namun, solusi yang ditawarkan Gubernur Jawa Timur yang baru, Khofifah Indar Parawansa, yaitu akan membenahi tanggul yang jebol dan membuat sodetan rasanya tak akan efektif untuk jangka panjang. Sebab, tak mengatasi sumber masalahnya.

Air sungai yang meluap disebabkan oleh volume air sungai yang bertambah secara mendadak. Maksudnya, air hujan yang jatuh di daerah sekitar sungai lebih cepat mengalir ke sungai. Kalau menggunakan istilah teknis, ada kerusakan DAS (Daerah Aliran Sungai). Air hujan tidak lagi masuk dulu ke dalam tanah lalu mengalir pelan ke sungai. Air hujan kini lebih banyak dan lebih cepat mengalir di permukaan, sehingga sungai kaget langsung didatangi air sebanyak itu. Bagai manusia yang dijejalkan air ke mulutnya, sungai pun muntah.

Baca juga: Transjogja Akan Digdaya dengan Bantuan Angkudes dan AKDP

Akhirnya, dalam masalah ini, kita mesti kembali lagi ke petuah klise tapi tetap krusial: pembenahan lingkungan. Lahan-lahan di sekitar sungai, terutama di hulu, yang rusak diperbaiki. Daya serapnya dipulihkan. Lahan yang sudah terlanjur berganti wajah menjadi pemukiman, manajemen airnya diperbaiki. Misalnya, dengan membuat aturan dan pembinaan agar air hujan yang jatuh di daerah perumahan tersebut tidak cepat lari keluar kemudian langsung masuk sungai. Jadi, Bu Khofifah, setelah membenahi tanggul, mari lanjut perbaiki alam di sekitar Kali Madiun dan Bengawan Solo yang juga sering muntah.

Kategori
Infrastruktur Transportasi

Agar Pembangunan Underpass Jogja Tidak Mengulang Kesalahan yang Sama

Satker Perencanaan dan Pengawasan Jalan Nasional (P2JN) membuat perencanaan underpass di simpang Kentungan dan Gejayan, Yogyakarta. Alasannya, lalu lintas di kedua simpang ini sudah menimbulkan antrean yang panjang pada saat jam sibuk. Dengan kata lain, terjadi kemacetan. Penumpukan kendaraan di kedua simpang ini, menurut P2JN dalam seminar “Problematika Lalu Lintas di Wilayah Yogyakarta Utara”, salah satunya dipicu oleh berkembangnya wilayah DI Yogyakarta di sisi utara, tepatnya daerah Sleman.

Tentang penumpukan kendaraan di kedua simpang ini, P2JN benar belaka. Cobalah melintas di kedua simpang ini pada sore hari. Anda mungkin akan berharap Tuhan tiba-tiba membuat manusia bisa terbang atau menemukan cincin dalam saku celana yang kalau Anda pakai bisa membuat tubuh dan kendaraan Anda tembus benda padat.

Pembangunan underpass sebagai solusi kemacetan sudah banyak diterapkan di berbagai kota di Indonesia. Sayangnya, seperti yang kita ketahui bersama, underpass tidak mengurai kemacetan secara permanen. Dalam periode yang panjang, seiring dengan pesatnya pertumbuhan jumlah kendaraan pribadi yang digoda ilusi kelancaran lalu lintas sesaat, ruas jalan di sekitar underpass kembali padat-merayap. Contoh paling menyedihkan tentu saja ibu kota. Jalan sudah bertingkat-tingkat bagai tumpukan ular, tetap saja macet. Sialnya, hingga tulisan ini diketik, kita masih saja percaya propaganda pengusaha otomotif bahwa yang bikin macet itu bukan jumlah kendaraan yang terus membengkak, tapi jumlah jaringan jalan yang tidak memadai.

Namun, bukan berarti penambahan atau peningkatan ruas jalan tidak dibutuhkan dalam mengatasi kemacetan. Berdasarkan hasil diskusi “Ngaji Transportasi” pada 30 Mei 2018, untuk menyelesaikan masalah kemacetan, semua langkah ini perlu ditempuh: menambah jaringan jalan, meningkatkan performa transportasi umum, meningkatkan tarif parkir, memperbaiki trotoar, hingga membenahi tempat transit. Ada yang tertinggal tidak dibenahi, kemacetan tidak akan benar-benar teratasi.

Dari hasil memantau ocehan media, pembangunan underpass Kentungan Sleman sudah akan dimulai pada 14 Januari 2019. Jadi, kalau proyek ini tetap jalan meskipun beberapa pihak mempertanyakannya sebab sudah terbukti gagal di Jakarta, hendaknya publik bising bertanya: apakah pembangunan underpass ini akan sejalan dengan peningkatan layanan transportasi umum di Jogja?

Kalau ternyata pembangunan underpass ini hanya untuk melayani para pengemudi kendaraan pribadi, ya berarti orang-orang pusat pengurus jalan dalam menyelesaikan persoalan masih berpikir sepotong-sepotong. Oh, simpang Kentungan macet ini, bikin underpass biar lancar! Tanpa berpikir perencanaan jangka panjangnya.

Padahal, di abad ke-21 ini, cara berpikir sepotong-sepotong dalam menyelesaikan masalah mestinya sudah ditinggalkan. Kini zamannya berpikir menyeluruh. Agar penyelesaian masalah di titik tertentu tidak menimbulkan masalah di titik lain. Jangan terjerumus seperti angkutan daring yang seakan menjadi wajah sempurna perkembangan zaman, tapi sesungguhnya sangat gamblang sebagai wujud cara berpikir yang sepotong-sepotong dengan menganggap permasalahan transportasi ialah hampir semua orang membawa kendaraan pribadi untuk bertarung di jalan. Maka mereka menawarkan kendaraan sewa. Maka mereka menumpuk kendaraan sewa mereka di jalan.

Lalu, bagaimana menilai proyek underpass ini selaras dengan usaha meningkatkan performa angkutan umum? Apakah cukup dengan memastikan bahwa Transjogja bisa juga lewat di simpang ini?

Salah satu ukuran kepedulian pemerintah terhadap angkutan umum ialah adanya jalur khusus angkutan umum. Kalau angkutan umum masih berjalan di jalur yang sama dengan kendaraan pribadi, ya mereka akan tetap berdesak-desakan dan akhirnya ikutan macet bareng. Padahal kan, penumpang transportasi umum yang sudah keluar dari nafsu pribadinya dengan ikut memikirkan kepentingan bersama harus didahulukan. Mereka berhak mendapatkan jalan yang bebas hambatan. Sebab derajat mereka sebagai manusia sudah bertingkat-tingkat lebih tinggi.

Jadi, mari saksikan apakah simpang tak sebidang di Kentungan Sleman dibuat dengan cara pandang yang demikian. Kalau iya, berarti sudah belajar dari kesalahan demi kesalahan.

Kategori
Infrastruktur

Luas Minimal Rumah Agar Tetap Nyaman Ditempati

Jika lahan yang Anda punya sempit tapi ingin membangun rumah yang nyaman dan sehat, Anda tidak perlu khawatir. Anda bisa merekayasa penggunaan ruang dengan cara mengatur letak ruang dan melakukan kombinasi antar-ruang. Tentu saja untuk merekayasa penggunaan ruang tidak bisa sembarangan. Anda perlu mengetahui rekomendasi dari berbagai penelitian yang sudah dilakukan oleh para ahli.

Dalam melakukan rekayasa ruang, para ahli menyarankan agar tetap memperhatikan kebutuhan ruang gerak dan udara segar. Dua hal ini adalah kebutuhan utama kita saat berada di dalam rumah. Kita perlu mendapatkan rasa nyaman saat bergerak dari kamar tidur ke kamar mandi, lalu ke ruang keluarga, terus ke dapur misalnya. Begitu juga dengan kebutuhan udara. Anda perlu mendapatkan udara yang cukup ketika berada di dalam rumah agar Anda sehat, aktivitas lancar, dan dapat beristirahat dengan nyenyak.

Rekayasa ruang salah satunya bisa dilakukan dengan menggabungkan dua ruang yang sebetulnya bisa dibuat menjadi satu ruangan saja. Misalnya, dengan menggabung ruang tamu dengan ruang keluarga. Memang, berdasarkan survei Pusat Litbang Permukiman (2015), 89% masyarakat penghuni rumah sederhana menyatakan bahwa ruang tamu dibutuhkan pada hunian mereka. Akan tetapi, setelah ditanya lebih lanjut, hanya 19% yang menyatakan bahwa setiap hari ada tamu yang berkunjung ke rumahnya. Artinya, sebagian besar orang jarang menggunakan ruang tamunya untuk menerima tamu. Nah, dengan kenyataan ini, Anda sebetulnya bisa menggabung ruang keluarga dengan ruang tamu menjadi satu ruangan saja.

Baca juga: Pengaruh Banjir Terhadap Rajinnya Harga Pangan Naik di Akhir Tahun

Selain itu, efisiensi ruang juga bisa dilakukan dengan menggabung ruang sirkulasi antar-ruang. Misalnya, ruang dapur yang secara konsep memiliki ruang sirkulasi sendiri, apabila ruang sirkulasinya digabung dengan ruang makan dan ruang keluarga maka dapat mengurangi luasan rumah yang dibutuhkan. Hal ini masih sesuai dengan prinsip desain yaitu mengintegrasikan ruang-ruang setiap kegiatan di dalam rumah.

[mks_pullquote align=”right” width=”300″ size=”24″ bg_color=”” txt_color=”#1e73be”]”Rekayasa ruang salah satunya bisa dilakukan dengan menggabungkan dua ruang yang sebetulnya bisa dibuat menjadi satu ruangan saja.”[/mks_pullquote]

Suryo (2017) melakukan simulasi konfigurasi ruang seperti dapat dilihat pada gambar di bawah ini:

Alternatif desain ruangan rumah minimalis (Suryo, 2017)

Ia membuat 4 alternatif susunan ruangan rumah yang efisien untuk mendapatkan luas rumah yang minimal tapi nyaman ditempati. Pada gambar tersebut, luas minimal yang dapat digunakan pada rumah sederhana ialah 31,8 m2 untuk alternatif 1; 34,3 m2 untuk alternatif 2; 36 m2 untuk alternatif 3; dan 30,9 m2 untuk alternatif 4. Jadi, dengan mengikuti simulasi ruangan tersebut, rentang luas minimal yang bisa dibangun untuk rumah sederhana adalah 30,9 – 36 m2. Tentu saja ini lebih kecil daripada luas minimum rumah sederhana yang umum digunakan yaitu 36 m2.

Cara terakhir, Anda bisa menyesuaikan tinggi plafon. Ini berhubungan dengan sirkulasi udara di dalam rumah. Standar Nasional di Indonesia menyatakan bahwa luas minimal rumah layak huni di Indonesia adalah 36 m2 dengan tinggi minimal plafon 2,5 m. Akan tetapi, jika Anda meninggikan plafon sampai 2,8 m, maka Anda bisa mengurangi luas rumah menjadi 32,1 m2 saja. Jadi, meskipun luas rumah hanya 32,1 m2, tapi sirkulasi udara di dalam rumah masih sehat. Namun demikian, yang perlu Anda ingat, bukan berarti Anda bisa membuat plafon setinggi mungkin agar bisa semakin mempersempit luasan rumah. Seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya, luas minimal rumah yang dapat dibangun dengan rekayasa ruang adalah 30,9 m2.

Referensi
Suryo, S. M. 2017. Analisa Kebutuhan Luas Minimal pada Rumah Sederhana Tapak di Indonesia. Jakarta: Jurnal Permukiman
Kategori
Infrastruktur

Kisah Relawan Gempa Lombok

Malam sudah makin larut, jarum besar jam telah menunjuk angka 11, ketika kami yang berada di dalam bus disambut oleh gempa susulan di Lombok. Bus yang baru mancal dari Bandara Internasional Lombok ini berhenti, lalu diguncang. Saya yang awalnya sudah setengah terlelap, jadi melek lagi. Warga sekitar berlarian keluar, berteriak histeris, lampu seketika padam.

Seketika saya teringat suasana gempa Jogja dulu, di tahun 2006. Teriakan itu, kekhawatiran itu. Laa haula wa laa quwwata illa billah. Akhirnya kalimat ini yang saya gumamkan.

Empat jam sebelumnya, saya sedang mengagumi layanan check-in online. Maklum, ini baru kali kedua saya naik pesawat. Setelah check-in online di dalam bus, tinggal menikmati kemacetan Jogja yang akan saya rindukan selama dua minggu, sembari mengingat-ingat pesan dari para pengarah di Lapangan Satu Bumi (Satub) dan Kantor Pusat Fakultas Teknik (KPFT) UGM. Beliau-beliau ini menyampaikan, dalam menghadapi bencana, harus menyiapkan diri baik-baik. Jangan sampai ikut menjadi beban bahkan korban di lokasi nanti. Persiapan mental juga penting, karena tidak semua korban dapat menerima relawan dengan mudah. Ada yang dengan senang hati menerima, ada yang biasa-biasa saja, dan ada yang defensif. Respons defensif tersebut terjadi karena berbagai macam faktor, misalnya saja karena warga khawatir dan trauma terhadap tembok atau dinding. Sehingga, bantuan hunian yang masih dibangun menggunakan tembok pasangan bata, beberapa ditolak oleh warga.

Di Lombok, saya menjumpai rumah dan bangunan lainnya yang sudah rusak ringan bahkan berat. Namun, Alhamdulillah, jembatan memiliki kinerja cukup baik dalam menerima beban gempa, sehingga akses jalan dapat dilalui dengan lancar oleh warga dan relawan. Bus yang saya tumpangi pun melaju dengan nyaman.

 

Saya berangkat ke Lombok via program Puskim (Pusat Litbang Perumahan dan Permukiman) Kementerian PUPR. Oleh karena itu, hari kedua di Lombok, saat hari mulai terang, saya dan teman-teman langsung menuju ke Polsek Pamenang. Di lokasi ini akan dilaksanakan pembangunan RISHA (Rumah Instan Sederhana Sehat) pertama di Lombok, berupa bangunan musala. Tentunya diawali dengan sosialisasi tata cara pembangunannya terlebih dahulu oleh Badan Penelitian dan Pengembangan (Balitbang) PUPR.

Foto: Dewanto AN

Hari ketiga, 21 Agustus 2018, dilaksanakan pembangunan Masjid Kecinan. Di sini, rangka masjid dibuat berbeda ukurannya dengan musala di hari kedua. Rangka masjid ini ukurannya 9×9 meter, sedangkan yang di musala 6×6 meter. Saat pembangunan masjid ini saya merasakan suasana gotong royong yang luar biasa. Masyarakat dan relawan bahu membahu menggotong panel dari truk menuju lokasi, mengaduk mortar untuk fondasi batu kali, hingga diakhiri salat berjamaah di bawah tenda dari terpal. Sinar matahari memang terasa panas, tapi saat melihat wajah warga yang kehilangan rumah bahkan saudaranya, maka saya menjadi malu pada diri sendiri. Jangan sampai panas ini menurunkan semangat saya mengembalikan lagi senyum warga Lombok.

Baca juga: Polemik Membangun Rumah

 

Hari keempat, 22 Agustus 2018, Idul Adha tiba. Kami menunaikan salat Idul Adha di lapangan alun-alun Kabupaten Lombok Utara. Saya kira tepat penggambaran mantan Menteri Sosial, Idrus Marham, yang menjadi khatib kala itu. Ia menuturkan, warga Lombok tak perlu berkurban fisik seperti saudara-saudara lainnya yang menyembelih kambing atau sapi. Warga Lombok cukup mengorbankan perasaannya.

Pembangunan RISHA diputuskan libur pada momen Idul Adha. Namun, pengabdian terus berjalan bagi kami para relawan. Beberapa teman ada yang berkunjung ke lokasi lain. Ada yang memilih berbincang dengan kawan-kawan relawan lain di posko. Ada yang berbincang dengan warga yang masih di dalam tenda. Saya memilih untuk berkunjung ke posko lain, kurang lebih 5 kilometer dari posko saya. Karena saat itu belum banyak kendaraan, maka saya memutuskan untuk berjalan kaki. Bermodalkan jaket untuk menutup badan dan tas kecil, saya memulai perjalanan.

Selama perjalanan, saya mengamati rumah, ruko, kantor dan infrastruktur yang diserang gempa besar beberapa kali. Ada yang utuh, hanya retak saja aciannya. Ada yang rusak berat bahkan ambruk. Ada bangunan dari bambu yang secara struktural, sangat bagus dan bertahan.

Foto: Ridwan AN

 

Foto: Dewanto AN
Namun… ada juga bangunan yang rusak parah
Foto: Ridwan AN

 

Foto: Dewanto AN

Sesampainya di posko tujuan, saya bertemu dengan rekan saya SMA dulu. Ia menjadi salah satu relawan yang ikut membantu di posko tersebut. Di sanalah saya banyak mendengar suka duka dari relawan NGO (Non Goverment Organization). Kisahnya, saat mereka akan memberi bantuan, tidak hanya memberi, lalu sudah. Namun, mereka harus bisa mengelola dengan baik. Apa saja kebutuhan yang harus segera dipenuhi, mana saja yang perlu diprioritaskan, sampai harus merencanakan apa yang perlu dilakukan agar warga dapat mandiri saat relawan-relawan ini harus pulang ke kampung halaman.

Selesai berbincang, saya berjalan melihat suasana posko. Terlihat di beberapa titik warga sedang memasak sate khas Lombok, berwarna merah terang. Bisa terbayang banyak sekali cabai yang digunakan.

Sesampai di ujung posko, saya melihat kamar mandinya. Tercium aroma kurang sedap. Karena masih ada sedikit air seni yang belum tersiram. Mungkin saja karena air belum datang, atau karena saat membawa, kekurangan air untuk pipis di saat terakhir. Sebab belum ada jaringan pipa. Warga harus membawa air dari bak air di dekat jalan raya, dengan ember ataupun botol seadanya. Bagi laki-laki dewasa hal itu bukan masalah. Bagi ibu-ibu bahkan yang sedang menggendong anak? Tentu saja tidak.

Detik itulah saya sadar. Salah satu hal yang krusial ketika terjadi bencana seperti gempa adalah air.

Krisis air bersih pun efeknya menerpa saya. Di hari ketujuh, badan saya melemah. Dengan terpaksa akhirnya saya harus menuju ke rumah sakit lapangan yang disediakan oleh TNI. Meski ini kabar buruk, tapi saya masih menemui hikmahnya. Saya jadi merasakan atmosfer warga yang mengungsi dan merasakan sakit. Bahkan, saking berefeknya masalah air bersih, petugas pemeriksa tensi sampai hafal. “Diare ya?” ucapnya santai.

Setelah selesai dan mendapat obat, saya kembali ke tenda. Beristirahat, menikmati siang di bawah tenda. Walau begitu, di dalam sudah seperti sauna, berkeringat luar biasa.

Baca juga: Kesulitan Manajemen Air Baku di Oekolo

 

Esoknya, saya kembali bekerja. Alhamdulillah, dengan bekal pengalaman diare sebelumnya, saya lebih hati-hati. Konstruksi dilanjutkan kembali di Masjid Nurul Hidayah, Mataram. Karena ketersediaan lahan yang terbatas, fondasi harus tinggi menyesuaikan elevasi dari sungai yang ada di bawahnya agar aman.

Pada Jumat terakhir di Lombok, kami meneruskan konstruksi di Kantor Desa Sigar Penjalin. Seperti biasa, kami menuju lokasi menggunakan kendaraan Dinas PUPR. Tidak banyak hal berbeda dari yang sebelumnya, namun semua memang terasa berbeda saat kita sudah hampir selesai dari suatu hal. Kami merasa belum bisa membantu banyak, masih banyak “PR” untuk teman-teman di Lombok. Di sela-sela perjalanan, saya memotret sesuatu untuk mengingatkan saya, jangan terlalu sibuk untuk menggapai dunia.

Foto: Dewanto AN

 

Foto: Dewanto AN

Kini saya sudah kembali ke Jogja. Kembali bergulat dengan tugas-tugas akademik. Dan akhirnya hanya bisa mendoakan yang terbaik untuk warga NTB. Semoga diberi kekuatan pada pundaknya untuk bersabar dan ikhtiar berjuang bangkit kembali. Terima kasih kepada semua pihak, pemerintah, NGO dan semua yang membantu. Apapun bentuknya.

Dewanto Adi Nugroho
Mahasiswa Teknik Sipil dan Lingkungan UGM
Kategori
Infrastruktur Society

Kesulitan Manajemen Air Baku di Oekolo

Oekolo adalah satu dari lima desa di Kecamatan Insana Utara, Kabupaten Timor Tengah Utara, Provinsi Nusa Tenggara Timur. Dalam Bahasa Dawan, Oekolo berasal dari dua kata yaitu “oe” yang berarti air dan “kolo” yang berarti “burung”. Namun hal tersebut cukup jauh dari keadaan desa ini. Desa dengan luas ±13,15 km2 dan dihuni oleh 563 keluarga ini sebagian besar warganya cukup sulit dalam mengakses air bersih.

Dengan lokasi di kaki Gunung Humusu dan berbatasan langsung dengan Sungai Mena, kedalaman sumur dangkal mencapai lebih dari 10 meter di bawah tanah untuk wilayah yang jauh dari sungai. Hanya wilayah yang di sekitar sungai yang bisa mendapatkan air tanah pada kedalaman 6 meter. Karena air PDAM belum melayani wilyah ini, untuk mendapatkan air warga harus tergantung pada tiga sumber air di gunung yang masing-masing sumber melayani beberapa blok pemukiman.

Pernah ada program dari pemerintah yang memberikan bantuan dana yang dikerjakan secara swakelola oleh masyarakat untuk pemasangan pipa dan pembuatan saringan air di sumber air untuk kebutuhan air bersih masyarakat. Namun setelah jaringan pipa jadi, pengelolaan yang diserahkan sepenuhnya kepada pemerintah desa tidak berjalan dengan baik.

Pemahaman masyarakat tentang penggunaan air baku masih sangat minim. Pemasangan jaringan pipa yang dibuat secara seri, yaitu sambungan pipa yang beruntun dari dusun di dekat lereng gunung ke dusun yang lebih jauh, menyebabkan distribusi air menjadi tidak adil. Masyarakat di daerah atas, sebutan untuk daerah yang lebih dekat dengan gunung, sering melakukan hal nakal dengan menyumbat air yang mengalir di pipa untuk memberi minum ternak. Hal tersebut merugikan masyarakat di daerah yang lebih bawah, terutama yang jauh dari sungai. Mereka harus berjalan jauh untuk mendapatkan air untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.
Baca juga: Polemik Membangun Rumah

Pengelolaan yang dilakukan oleh pemerintah desa juga tidak berjalan dengan baik karena kurangnya sumber daya manusia yang bertugas mengelola dan merawat jaringan air tersebut. Tidak adanya dana yang dapat dialokasikan untuk memberi gaji untuk menambah petugas menjadi alasan.

Pemerintah di tingkat yang lebih atas seharusnya turut berperan dalam mengatasi masalah ini. Untuk solusi jangka panjang dapat dilakukan dengan cara merancang embung sebagai penyedia air, terutama untuk kebutuhan konsumsi. Sedangkan untuk jangka pendek, dapat dilakukan dengan mengangkat petugas sebagai pengelola jaringan air.

Di daerah yang hanya menempuh waktu ±30 menit dari Oeccusse Timor Leste, masyarakat Indonesia masih kesusahan air. Padahal Desa Humusu Oekolo merupakan salah satu desa yang terletak di jalur pantai utara Pulau Timor, jalur yang menghubungkan Oeccusse dengan Dili, pusat Negara Timor Leste. Seharusnya dengan berlakunya semangat Nawacita, yang pada poin ketiga dikatakan pembangunan dimulai dari pinggiran dengan memperkuat daerah dan desa, Desa Humusu Oekolo bisa dapat lebih maju dan berkembang.
Kategori
Infrastruktur

Polemik Membangun Rumah

Perdebatan soal membangun rumah kembali mengemuka setelah gempa beruntun terjadi di Lombok. Kelompok yang satu mengajak kembali belajar serta menggunakan model dan bahan rumah adat yang terbukti lebih tahan terhadap gempa. Kelompok yang satunya berujar bahwa kembali ke rumah adat sebagai pilihan pembangunan rumah massal bukanlah langkah yang realistis di saat perkembangan bahan dan model rumah tahan gempa sudah demikian apiknya. Mereka menyesalkan para perindu romantisme masa lalu masih saja terjebak pada cara pandang yang imajinatif-tak-realistis. Pertanyaan yang menohok tentu saja begini: apakah para aktivis arsitektur rumah adat betah tinggal di rumah semacam itu? Kelompok yang satunya lagi mencoba berpikir lebih bijak: hendaknya masalah pemilihan bahan dan model rumah ya diserahkan pada calon penghuninya. Toh, akhirnya yang menempati juga mereka.

Ujaran kelompok bijak ini sungguh menarik, karena di situlah duduk perkaranya. Pertanyaan kritis yang perlu kita lontarkan: apakah calon penghuni rumah bisa salah? Apabila semua keputusan pemilihan bahan, model, dan pembagian ruang rumah diserahkan sepenuhnya kepada calon penghuni, bisakah mereka mengambil keputusan yang keliru? Jikalau asumsinya mereka tak bakal keliru, lalu apa guna arsitek? Kita toh lebih setuju masyarakat merancang tempat tinggalnya sendiri.

Sebaliknya, apabila kita mengasumsikan si calon penghuni rumah tidak punya pengetahuan yang luas bagaimana rumah yang nyaman dan aman, sehingga masalah perancangan model dan bahan rumah diserahkan sepenuhnya kepada para arsitek dan insinyur, kita kembali masuk ke dalam jurang pembangunan rumah a la pengembang. Pembangunan rumah yang berbentuk kaplingan dengan model seragam, sesuai dengan definisi rumah menurut KBBI. Rumah dalam kamus besar itu hanya diartikan sebagai (1) bangunan untuk tempat tinggal, (2) bangunan pada umumnya (seperti gedung). Dua buah definisi yang hambar dan kerontang.

Baca juga: Kita Semua Koruptor?

Tentu saja rumah tak sehampa itu. Bagi Agustinus Wibowo, dalam novelnya Titik Nol, rumah adalah ruang di sudut Lumajang yang sesak oleh peristiwa-peristiwa mengguncang terutama di sekitar ranjang. Rumah baginya adalah kenyataan pahit dan manis yang berseliweran di atas plafon ketika ia berbaring di kasur setelah menempuh perjalanan darat dari China ke Afrika Selatan. Bagi Fernando Torres, Vicente Calderon adalah rumah yang begitu hangat menyambutnya setelah lelah mendapatkan cemooh sporadis di London. Bagi Wiranggaleng, dalam cerita kanon Arus Balik, rumah bukan gedung syahbandar Tuban saja, melainkan seluruh Kota Tuban, yang takkan ia relakan direbut setan-setan Portugis dan para pengkhianat di pedalaman.

Berbeda dengan Wiranggaleng yang sadar bahwa ia, rumahnya, kotanya, dan lingkungannya adalah produk kebudayaan Majapahit meski sudah mengalami kemunduran, sehingga ia belajar memahami dan mempertahankannya, saya melihat kecenderungan yang berbeda di sebuah pulau di Madura. Seiring dengan peningkatan ekonomi beberapa keluarga, semakin banyak rumah model televisi. Maksudnya, orang-orang di sana kini memilih model rumah “orang kaya” seperti yang sering ditampilkan sinetron di televisi. Rumah dengan atap dan tiang yang tinggi, luas, dikelilingi pagar yang tinggi, rasio teras yang lebih sempit dibandingkan luas rumahnya, dan halaman yang tak lagi bersinggungan dengan halaman rumah tetangga. Mirisnya, rumah yang semegah istana ini hanya ditempati setahun sekali, ketika menjelang dan setelah hari raya idul fitri. Kalaupun dihuni sepanjang tahun, yang menempati adalah orang tua si pemilik rumah yang sudah tua. Sebab si pemilik rumah merantau ke kota. Bisa dibayangkan kakek-nenek (bisa nenek saja) itu mengurusi rumah bak istana. Nyapunya saja pasti merana.

Memang sah-sah saja membangun rumah sebesar apapun karena itu kan duitnya sendiri. Yang menjadi masalah, keputusan menentukan model rumah tersebut dipengaruhi oleh televisi yang belum tentu sesuai dengan kepentingan sosial lingkungannya. Interaksi sosialnya menjadi berubah. Disadari atau tidak oleh masyarakatnya. Atau ada yang beranggapan perubahan sosial bukan urusan arsitek dan insinyur?

Mari sekarang ambil contoh rumah dempet di kota-kota besar. Persaingan yang ketat di kota berangsur-angsur membuat seseorang atau keluarga menjadi lebih individualis, meski kadarnya berbeda-beda. Untuk urusan rumah, sejengkal tanah saja menjadi sangat berharga. Kalau perlu dipagari dengan tembok yang tak tertembus mata. Ancaman dari luar rumah lebih terasa. Tentu saja itu tak sepenuhnya salah mereka karena memang keadaan yang memaksa.

Baca juga: Emisi CO2 Berkeliaran di Jalanan Jogja

Padahal, menurut para ahli, masyarakat marjinal kota bisa menaikkan kualitas hidup dengan bekerja sama. Dorongan bekerja sama ini, dari sudut pandang arsitektur, bisa diwujudkan dengan adanya ruang-ruang bersama, misalnya tempat berkumpul beberapa keluarga dan bermain bersama anak-anaknya. Tapi apakah ruang bersama bisa bertahan lama saat sifat memikirkan diri sendiri sudah merasuki jiwa? Lantai 3 Rumah Contoh di tepi kali Ciliwung yang awalnya didesain oleh pegiat arsitektur parsipatoris sebagai ruang bersama, akhirnya berubah dalam beberapa bulan saja menjadi gudang dan kamar keluarga.

Oleh karena itu, amat penting untuk bisa membedakan antara “kemauan masyarakat” dan “kepentingan masyarakat”. “Kemauan” pasti diwujudkan secara sadar, sementara “kepentingan” belum tentu. Sehingga, dialog konstruktif antara masyarakat dan para perancang rumah sangat dibutuhkan agar desain dan bahan rumah yang dipilih sesuai dengan “kepentingan”.

Dengan demikian, masalah pembangunan rumah bukan soal “kembali ke rumah kayu dan bambu” atau “pakai beton saja”, “rumah adat” atau “rumah desain jepang”, tapi apakah pemilihan bahan dan model rumah sesuai dengan “kepentingan masyarakat”.