Kategori
Society

Punya Garasi Dulu, Baru Beli Mobil

Sumber: Pos Kota News
Entah dari mana kita mendapatkan hasrat untuk berlomba-lomba menguasai jalanan. Kondisi hari ini menunjukkan bahwa hasrat itu sudah kelewatan. Kita semakin tidak sadar bahwa bangunan jalan di ruang publik adalah milik bersama. Jalan adalah fasilitas publik, bukan milik perseorangan. Kecuali jalan yang dibangun sendiri oleh seseorang atau perusahaan di tanah miliknya.

Menjadi pemandangan sehari-hari bagi kita kendaraan yang parkir di badan jalan. Apalagi jika kita tinggal di wilayah yang sudah dipenuhi tembok rumah. Jalanannya menjadi sempit. Kemudian orang-orang yang punya kendaraan memarkirkan kendaraannya di jalan depan rumahnya. Akibatnya, lebar jalan menjadi semakin sempit. Terutama kalau yang parkir mobil. Setengah lebar jalan bisa hilang. Orang-orang yang lewat situ menjadi kesulitan.

Begitulah. Kehidupan semakin berubah. Ada yang bilang negara kita semakin maju. Semakin banyak orang yang mampu membeli mobil. Di daerah-daerah terpencil, punya mobil menjadi ukuran kesuksesan merantau. Ketika kita punya mobil, berarti kita sudah sukses. Mobil itu dibawa pulang ke kampung halaman untuk memancing tetangganya ikut dia merantau. Biar bisa punya mobil juga.

Tetapi kemajuan-kemajuan itu tidak dibarengi oleh keberesan dalam berpikir. Orang masih saling menindas. Orang masih terus punya hasrat menguasai yang lain. Orang masih meniru cara-cara penjajahan.

Memikirkan hal ini seperti melihat Kota Ilheus, Brasil dalam novel Gabriela, Cengkih, dan Kayu Manis garapan Jorge Amado. Ilheus memang berkembang. Jalanan diperpanjang. Produksi kakao meningkat. Rumah-rumah semakin bagus. Pelabuhan dikembangkan. Tetapi hasrat saling bunuh untuk melanggengkan kekuasaan, yang merupakan cara lama, masih terus berlanjut. Pembunuh bayaran masih beroperasi menyasar para pengganggu penguasa kota. Suami masih membunuh istrinya yang ketahuan selingkuh, sekaligus selingkuhannya. Para kolonel masih “memelihara” gundik. Fisik kota berubah, tapi mental warganya masih berkubang di lumpur yang sama.

Seperti kita. Jalan semakin panjang, halus, berkelok-kelok, dan terbang. Tetapi kemudian jalan itu menjadi tiada guna karena terus dipenuhi oleh kendaraan yang saling egois. Seperti kata ahli matematika dari Jerman, Dietrich Braess, “penambahan panjang jalan dan fly over di daerah perkotaan akan memacu pertumbuhan kendaraan pribadi yang akan menyebabkan bertambahnya kemacetan lalu lintas”. Intinya, pembangunan jalan itu anomali. Sebabnya, kita masih didominasi rasa egois. 

Mobil semakin bagus dan murah. Tetapi mental untuk memakai mobil dengan terhormat tidak kunjung berubah. Mobil diparkir di jalan depan rumah. Tidak peduli tetangga kita kemudian kesulitan lewat jalan tersebut. Mobil parkir seenaknya di pinggir jalan untuk mampir sebentar ke toko makanan. Tanpa kita sadar bahwa mobil tersebut telah mengambil hak orang lain untuk menggunakan jalan.

Baca juga: Sebelum Bandara Kulon Progo Berdiri

Ketika Pemerintah Daerah Jakarta kembali menegakkan aturan bahwa setiap orang yang ingin membeli mobil harus punya garasi, kita teriak itu melanggar HAM. Aturan yang sudah tertuang jelas di Pasal 140 Perda DKI No 5/2014 itu dianggap acuh terhadap hak setiap orang untuk memiliki kendaraan yang akan digunakan untuk bekerja. Jadi, begini. Wewenang negara dalam kerangka HAM ada dua tipe: pasif dan aktif. Pasif ketika hal tersebut tidak mengganggu hak orang lain. Misalnya, hak kebebasan beragama dan tidak beragama. Selama hal itu tidak mengusik orang lain, negara tidak boleh ikut campur. Tetapi ketika praktik agama seorang sudah melanggar hak orang lain dari kaca mata hukum, negara wajib aktif. Sama seperti mobil yang harus bergarasi. Seseorang boleh saja memiliki mobil sebanyak-banyaknya. Tetapi jika mobil itu dijejer di jalan depan rumahnya, maka negara wajib terlibat.

Keterlibatan pemerintah sudah diberi ruang oleh Perda tersebut. Pemerintah akan menerbitkan Surat Tanda Nomor Kendaraan (STNK) jika si calon pemilik punya surat bukti kepemilikan garasi. Surat tersebut dikeluarkan oleh lurah setempat. Sehingga, para lurah punya fungsi yang sangat penting untuk menyukseskan niat baik ini.

Garasi di sini tidaklah harus ruangan tertutup. Mobil bisa diparkir depan rumah asalkan tempat tersebut bukan ruang milik jalan. Bahkan si calon pemilik bisa menyewa garasi. Sebab niat batin dalam penyusunan peraturan ini adalah nafas kepentingan bersama.

Sepanjang penelusuran saya, baru Jakarta yang punya aturan pemilik mobil harus punya garasi. Tentu saya bisa salah. Apalagi dengan kondisi media saat ini yang bicara Jakarta melulu. Namun, intinya, ini adalah aturan yang bagus. Tiap-tiap daerah perlu menerapkannya. Dan kontrol atas kebijakan itu adalah kita semua.

Dandy IM

PijakID

Kategori
Society

Izin Mendirikan Tempat Berteduh

Sumber: Yogyes

Apa yang paling enak dilakukan ketika hujan? Beberapa kawan memilih kelonan. Kawan yang lain memilih bobok. Ada juga yang lebih suka menonton film di laptop atau handphone. Tetapi, kawan saya yang paling gila bilang bahwa yang paling enak adalah berteduh. Buat apa kelonan, bobok, atau menonton film di bawah injakan kengerian kaki-kaki hujan? Itu hanya akan membuat badanmu menggigil dan gadget-mu rusak. Berteduh dulu, baru kelonan.

Maka, sebagian besar manusia butuh berteduh ketika hujan. Kecuali anak-anak yang ketagihan main bola sambil basah-basahan. Pemancing yang tahu bahwa ikan laut lebih lapar ketika hujan juga bakal rela hujan-hujanan.

Sayangnya, tidak semua manusia mendapatkan tempat berteduh yang nyaman. Sebagian orang bisa berteduh di balik dinding bata dan atap beton. Sebagian yang lain masih terkena rembesan hujan dari celah kardus. Bahkan ada yang hanya bisa memanfaatkan ruang di bawah jembatan sambil menekuk lutut.

Tentu tidak perlu menjadi pejuang HAM untuk mengatakan bahwa tempat berteduh yang layak adalah hak setiap manusia. Karena bumi ini terlanjur dibagi-bagi menjadi 196 negara, berarti pengurus negara yang punya kewajiban mewujudkan hal itu. Sayangnya, pengurus negara punya standar ganda dalam memberikan penilaian kelayakan suatu bangunan yang akan atau sudah didirikan. Menjadi ironis jika sifat tersebut juga menular pada kita. Misalnya, yang terjadi di Yogyakarta.

Kita menyesalkan banyaknya rumah yang berdiri di bibir Kali Code ketika tebing di daerah tersebut longsor. Memang, setidaknya tiga tahun terakhir, setiap tahunnya terjadi longsoran tebing di beberapa titik. Dua atau tiga titik bahkan sudah pernah diperbaiki tahun sebelumnya. Analisis Pijak menjelaskan ada yang salah dalam penanganan masalah tersebut. Kita menuding para warga yang rumahnya mepet kali adalah penyebab keruntuhan itu. Secara peraturan memang betul. Dalam aturan perizinan mendirikan bangunan Kota Yogyakarta, setiap rumah yang akan dibangun di pinggir kali atau sungai harus mendapatkan rekomendasi dari Balai Besar Wilayah Sungai Serayu Opak. Salah satu persyaratannya, rumah harus berjarak minimal tiga meter dari kali atau sungai. Memang banyak rumah yang tak memenuhi persyaratan itu.

Tetapi kita sering kali tidak adil. Mungkin ketidakadilan itu juga dipengaruhi oleh ketidaktahuan. Padahal, runtuhnya tebing Kali Code “hanya” membahayakan bangunan di dekat situ. Rumah-rumah yang jauh dari situ tentu tidak akan terdampak. Tetapi para penghuni “rumah jauh” itu mungkin punya jiwa lingkungan yang luhung. Mereka kerap kali berkomentar bahwa orang-orang pinggir kali “mendirikan rumahnya nggak mikir-mikir”.

Baca juga: Kotak Kuning Pengatur Lalu Lintas

Padahal hotel, mall, apartemen, atau bangunan jenis lainnya yang langsung berjendela ring road sehingga menjadi penyumbang besar terhadap kemacetan tidak menjadi bahasan menarik bagi kita. Bangunan-bangunan itu punya akses langsung masuk ring road yang berkelas Jalan Nasional. Hal itu tentu melanggar hierarki jaringan jalan. Secara prinsip tata ruang ngawur. Mungkin karena kendaraan pribadi sudah mendarah-jantung, kini bangunan-bangunan di kota berlomba-lomba paling dekat ke badan jalan. Tengok saja bangunan yang berada di kanan-kiri Jalan Kaliurang yang dekat UGM. Seluruhnya menjadi penyumbang hambatan samping terbesar. Namun apakah kita pernah mengeluh, misalnya di sosial media, tentang persoalan itu? Mari kita jangan meremehkan sosial media. Pengurus negara ini juga memantau sosial media. Dan sebaiknya tidak ada yang dijadikan alasan untuk pesimis. Sebab perubahan dimulai dari hari ini.

Persoalan macet tentu saja sangat berpengaruh pada kita ketimbang runtuhnya tebing kali. Terutama bertambahnya jumlah usia kita yang habis di jalanan. Pemkot Yogyakarta dan Pemda Sleman sebetulnya juga menyaratkan bahwa semua bangunan wajib melakukan kajian dampak lalu lintas bila diperlukan (dekat dengan jalan). Tetap kenapa hal ini jarang sekali menyedot perhatian kita ketika ada yang melanggar? Apakah kita sudah menilai hal itu sebagai sesuatu yang wajar? Apakah pejuang lingkungan menganggap persoalan tersebut tidak masuk dalam ranah lingkungan?

Sesungguhnya persoalan lalu lintas sangat masuk dalam bahasan lingkungan. Sebab bidang itu juga berpengaruh pada kelanjutan hidup kita.

Dandy IM
PijakID 

Kategori
Society Transportasi

Pagi di Jakarta

Orang-orang Jakarta di pagi hari. Mereka saling berbagai ruang di Kereta Rel Listrik untuk menuju tempat kegiatan masing-masing.
Oleh: Pak Wali

Seperti pagi-pagi yang lain, Jakarta selalu ditandai dengan orang-orang yang bergegas. Waktu begitu berharga di kota ini, semua orang setuju dengan itu. Meski semua bergegas dalam diam, bukan berarti acuh tak acuh dengan urusan orang lain. Saat tak tahu arah, ada saja orang yang memberi tahu jarak, angkutan atau jalan tercepat agar lekas sampai.

Bisa jadi budaya dari kampung dan dusun yang terbawa di dalam sikap hidup orang-orang baik itu, mau berbagi ruang.

Jika Anda pengguna fasilitas pelayanan publik di Jakarta, sebut saja commuter misalnya. Di jam sibuk, terlihat bagaimana warga Jabodetabek mau berlega hati berdesakan naik ke dalam kereta. Saat berangkat di pagi hari, saat pulang di sore hari maupun malam hari, fasilitas pelayanan publik seperti kereta api, bus kota di jalan raya, begitu padatnya. Itu yang rutin terjadi.

Sejak adanya perubahan rezim pemerintahan, ada perbedaan mencolok yang bisa terlihat nyata. Pelayanan publik yang lebih baik, berusaha diberikan oleh pemerintah di ibukota Jakarta. Tak ada yang bisa menolak, soal perubahan pelayanan ini. Termasuk dengan mulai terlihatnya tiang pancang LRT (Light Rail Transit) yang kini terlihat berjejer menjanjikan makin ada kenyamanan nanti bagi pengguna angkutan umum.

Memang, jika dinilai dari sisi kenyamanan, masih banyak yang harus diperbaiki dan ditambah soal pelayanan umum. Ini satu soal yang butuh kerjasama antarpihak, bukan saja rezim yang berkuasa tapi juga pelibatan banyak unsur. Utamanya untuk bisa memastikan bahwa aneka program kegiatan pembangunan untuk pelayanan publik bisa berjalan baik. Pembiayaan program efisien, tak ada korupsi dan berdampak terwujudnya pelayanan publik yang lebih baik.

Ini catatan pendek jelang Pilkada DKI, 19 April 2017, sesaat setelah masuk kota Jakarta, usai menikmati uyel-uyelan di atas kereta commuter. Di perjalanan tadi, tak ada cerita apapun soal paslon (pasangan calon) yang hendak dipilih baik dalam obrolan antarpengguna commuter. Hanya saja, beberapa orang dengan gadgetnya tampak men-scroll berita dan yang lain larut dalam game menyusun kata.

Senin di awal pekan ini, adalah waktu yang biasa bagi sebagian warga kota, rakyat Jakarta. Tapi pekan ini, tepatnya Rabu nanti, rakyat Jakarta berkesempatan memilih pemimpinnya, pasangan Gubernur dan Wakil Gubernur. Siapa yang berhasil merebut rasa percaya rakyat Jakarta?

Pak Wali
PijakID