Kategori
Politik Society

IoT dan Tugas Wajib Menteri Pertahanan dan Keamanan Prabowo Subianto

Sebagai menteri pertahanan rasanya eman kalau membawa Indonesia sibuk dengan urusan persenjataan dan investasi alat-alat militer saja. Apalagi pilihan politik luar negeri Indonesia adalah berpijak pada many friends no enemy.  Mau perang sama siapa? Kekuatan militer sebuah negara memang penting, sebab terkonsolidasinya kekuatan militer jadi modal guna memperkuat fungsi deterrence alias menggentarkan musuh.

Tapi itu saja belum cukup karena peta global kekuatan militer berubah orientasi juga seiring perkembangan zaman dan teknologi. Pengembangan kekuatan militer harus diikuti kemampuan penguasaan teknologi informasi.

Apa pasalnya? Perang di era informasi global masa depan bukan lagi soal teknologi pembunuh massal tapi perang informasi, perang penguasaan data.

Rasa aman sebuah komunitas di masa depan bahkan bergantung pada informasi dasar. Kesehatan, misalnya.

Boleh saja dibantah pendapat ini.

Namun secara kasatmata sudah mulai fenomena wabah atau pandemi telah mengubah sistem keamanan dan pertahanan nasional di tiap negara atau kawasan.

Pandemi akibat Covid-19 yang bermula di China selama tahun 2019 jelas sekali memberi sinyal berubahnya world of view atau cara pandang warga dunia untuk isu kesehatan sebagai bagian strategis sistem pertahanan dan keamanan. Sejarah pandemi dunia di masa lalu juga telah memberikan pelajaran kalahnya sebuah negara gegara tentaranya terkena influenza, terpapar virus yang mematikan kala itu.

IoT atau internet of thing adalah titik kemajuan teknologi informasi terkini yang bisa dikenali penguasaan dan penggunaan di tiap negara.

Pemanfaatan teknologi informasi untuk kebutuhan damai menjadi populer dalam beberapa waktu.

Contoh sederhana, penggunaan jam digital untuk memantau kondisi kesehatan. Aplikasinya jelas diproduksi oleh perusahaan produsen jam digital. Harganya murah dan mudah digunakan, sebab produsen menyasar berlimpahnya data yang bisa terkumpul, secara gratis dan sukarela yang diserahkan penggunanya.

Namun, dibalik semua itu secara tidak sadar sebagai pengguna ada beragam identitas dan kondisi kesehatan individu dikumpulkan, diserahkan untuk dikelola menjadi data strategis, berguna bagi beragam hal utamanya hasil analisis data yang terkumpul.

Apa saja?

Whatsapp yang dalam perjalanan sejarah bisnis akhirnya dibeli Facebook misalnya. Whatsapp sudah memberikan peringatan kepada pengguna bahwa dalam waktu dekat akan menggabungkan atau mengintegrasikan sistem pelayanan dengan induk perusahaan. Data pribadi pengguna disimpan dalam server milik Facebook dengan konsekuensi beragam informasi pengguna bisa digunakan oleh perusahaan milik Mark Zuckerberg.

Tak ada lagi data privacy yang selama ini jadi keunggulan Whatsapp dengan kemampuan enkripsi untuk menjaga kerahasian informasi.

Itu satu contoh sederhana perang digital, perang informasi terkini. Belum lagi soal Google yang lebih awal mengumpulkan database informasi dari seluruh dunia dari jutaan pengguna aktif mereka.

Kedaulatan Digital

Seperti kita pahami bersama, di masa depan batas-batas geografis antar-negara sudah terkikis fungsinya.

Secara fisik bisa terlihat batasnya, teritorinya. Namun secara virtual, semua hal sudah menerabas batas fisik dan geografis. Adanya beragam aplikasi yang disebutkan memudahkan kehidupan manusia tersedia.

Coba saja cek berapa aplikasi yang terpasang di gadget atau telepon pintar milikmu. Semakin banyak aplikasi yang terinstall semakin banyak pula data yang terekam oleh tiap aplikasi.

Kita sebagai pengguna atau konsumen harus bijak dalam berinteraksi dengan memahami betul perkembangan teknologi informasi.

Rasanya eman-eman kalau ke depan ahli lulusan terbaik dari beragam universitas hanya mau berhenti jadi karyawan, jadi buruh saat pulang kerja. Harus ada revolusi digital yang penting digelorakan. Jangan hanya senang menjadi konsumen produk, jadi sekedar pengguna manfaat tapi lebih jauh menjadi produsen dan pengelola data.

Menghadapi kondisi demikian, apa yang perlu dikerjakan oleh mantan calon Presiden, Prabowo Subianto yang kini jadi bagian Menteri Pertahanan dan Keamanan?

Kedaulatan digital penting dijalankan agar negeri ini tak bergantung pada aplikasi luar semata, yang mengumpulkan data/informasi sedetail mungkin.

Melalui pendidikan, evaluasi ketahanan dan keamanan rasanya lebih pas dikerjakan. Sudah saatnya pula memberikan bekal pengetahuan dasar kepada rakyat Indonesia agar tak mudah silau atau sukarela dalam memberikan data.

Soal bela negara, hal yang berkaitan dengan masalah pertahanan dan keamanan negara, di masa kini tak harus selalu ikut angkat senjata. Ada banyak peran yang bisa dikerjakan. Cukup dengan jemari dan jempol, kita bisa berkontribusi dalam upaya berjuang membela negara.

Siapa mau?

#ceritapinggirjalan
#isupublik

Kategori
Society

Tanam Uangmu Ke Tanah

Kalimat ini anjuran dari seorang professor kampus ternama. Agak ragu juga awalnya untuk percaya. Punya uang, tanam ke dalam tanah. Apa untungnya?

Nah, untuk menjalankan anjuran tersebut, mulailah saya menjalankan aktivitas menanam jadi kebiasaan. Rasanya eman-eman, tatkala sejengkal tanah dibiarkan begitu saja tanpa tumbuhan. Tanah gersang, kering dan berdebu semata adalah mimpi buruk yang bikin tak nyenyak tidur.

Jangan heran, kalau ada orang yang bisa berlama-lama di kebun, di sawah, bahkan di hutan hanya untuk urusan tanaman. Memastikan tanaman bisa tumbuh baik dan subur, membuahkan hasil untuk bisa dipanen.

Memberi makna lebih atas kalimat tanamlah uangmu ke dalam tanah dalam pengertian harfiah memang lebih pas jika dijalankan lewat tindakan. Bukan hanya sekedar dalam model diskusi apalagi sekedar obrolan, jadi angan-angan yang tak pernah terlaksana.

Saat tanaman hidup, ada banyak ragam kehidupan penyerta yang mengikutinya. Manusia mengenal flora dan fauna untuk memahami aneka tanaman, tumbuhan juga hewan yang ada di sekitar ekosistem lahan, kebun, sawah, pekarangan maupun hutan.

Maka, kalimat anjuran tanamlah uangmu ke dalam tanah bisa menemukan makna kontekstualnya. Ada hasil berlipat ganda saat uang tak hanya berwujud duit.

Ada beragam keuntungan saat uang tak berada dalam angka satuan, puluhan, belasan, ratusan, ribuan, jutaan sampai triliun jumlahnya. Nilai mata uang, lebih berguna ketika berubah wujud, tak sekedar nominal belaka.

Mulai Soneta hingga artis Barat sana sudah bernyanyi nyaring soal uang, soal duit. Silakan memilih lagumu sendiri.

Jadi pencari uang atau memilih versi uang yang mencari kita. Kita bekerja untuk dapat uang atau sebaliknya uanglah yang mengejar kita agar bisa berlipat ganda.

Bagaimana? Cocok?

Jangan sampai sebaliknya gegara uang jadi pesakitan, jadi menderita, jadi terpidana karena kepincut uang panas hasil korupsi.

Saat ini, musim hujan. Saatnya musim panen air, waktunya menanam uangmu ke tanah lebih banyak.

#ceritapinggirjalan

Kategori
Society

Kebijakan Publik dan Respon Publik Kala Pandemi

Merancang kebijakan dari balik meja dan kursi ber-AC,  beda kala merancang dengan “berada” di lingkup kehidupan rakyat, seperti pasar, terminal, pelabuhan, jalan raya dan lain lain.

Masalah Jakarta jadi masalah nasional, sejatinya belum tentu jadi masalah daerah,  apalagi daerah yang selama ini terisolir.

Nah, repotnya kalau manut masalah daerah, belum tentu sama pokok masalahnya.

Jadi, kebijakan publik skala nasional memang tak selalu cocok diterapkan di daerah. Hanya, soal kesehatan dan hadapi pandemi, rasanya #adaptasikebiasaanbaru disiplin protokol kesehatan adalah hal yang penting harus dipastikan bisa terlaksana.

Saat faskes sudah penuh menangani pasien maka apa yang bisa dilakukan warga Jawa Timur atau Jakarta bisa sama pilihannya, kalau sudah terpapar tanpa gejala bisa  jalankan ISOMAN alias isolasi mandiri.

Bagaimana agar rakyat tahu, punya kesadaran kapan lakukan isoman, atau kapan harus ke faskes?

“Mon mate ya mate,” kata orang Madura (mohon dibenarkan dan dibetulkan kalo bahasa madura saya buruk). Begitulah yang ada dalam alam pikiran rakyat.

Apa sebab kematian? Sudah takdir, garis nasiblah. Itu alam pikiran yang jamak dipahami rakyat Indonesia.

Lalu bagaimana agar kebijakan publik bisa operasional, efektif dijalankan dari pusat hingga daerah?

Edukasi, edukasi, sosialisasi pengetahuan yang benar soal wabah, pandemi ini, penting juga dipahamkan resiko saat abai cegah penyebaran atau tak peduli langkah memutus mata rantai penyebaran penyakit menular ini.

Media sosial, menembus batas geografis. Ini bisa jadi pilihan kanal komunikasi kebijakan publik, dengan bahasa sederhana dan mudah dipahamkan sesuai konteks daerah.

Selain PSBB (pembatasan sosial berskala besar) kini rakyat harus memahami baik-baik PPKM (pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM) Jawa-Bali pada 11-25 Januari 2021 untuk mengendalikan Covid-19.

#ceritapinggirjalan
#isupublik

Kategori
Society

Pilihan untuk (Tidak) Mengenakan Jilbab

Sebagai seorang muslimah yang kebetulan tidak menggunakan jilbab, saya cukup sering menerima pertanyaan—bahkan sindiran—kenapa saya tidak mengenakannya? Kapan saya akan mengenakannya? Mungkin bagi sebagian orang pertanyaan ini terdengar hanya basa-basi belaka, tetapi jujur bagi saya kadang-kadang terasa menyebalkan.

Saya sudah cukup memahami bahwa tidak semua pertanyaan dari orang lain adalah bentuk kepedulian. Pertanyaan itu seringnya menjelma jadi benih-benih nasihat sok tahu atau hanya sekadar untuk memenuhi hasrat kepo saja. Itulah sebabnya, saya hampir tidak pernah mau ikut campur dengan urusan orang lain. Apalagi urusan yang berbalut agama dan pilihan seseorang. Tidak ada untungnya bagi saya. Yang ada, saya malah terjebak dalam pola pikir homogen yang cenderung bias.

Namun, melihat betapa riuhnya warganet membicarakan Rachel Vennya yang dikabarkan melepas jilbab dan betapa jahatnya kolom replies yang bertengger di cuitan Syahar Bahu membuat saya gemas sekaligus prihatin. Bagi saya, membicarakan perubahan penampilan seseorang dan menjadikannya bahan pergunjingan atau celaan itu nggak penting banget.

Lagipula untuk apa? Apakah mengomentari penampilan seseorang tanpa jilbab membuat diri Anda terlihat lebih baik? Apakah menghakimi pilihan dan pengalaman spiritual orang lain juga membuat Anda terlihat lebih tinggi derajatnya?

Kenyataannya, tidak sedikit ulama yang memiliki penafsiran berbeda dalam memaknai kewajiban memakai jilbab dan batasan soal aurat perempuan. Beberapa ulama klasik umumnya masih mewajibkan aurat dengan batasan muka dan telapak tangan. Menurut mereka, jilbab merupakan pakaian yang menunjukkan rasa iman kepada Allah SWT. Maksudnya, pakaian yang tidak memamerkan aurat untuk menjadi tontonan laki-laki.

Di sisi lain, menurut pemahaman yang berkembang belakangan, jilbab tidak lagi dimaknai sebagai sebuah kewajiban seiring dengan penafsiran baru tentang aurat perempuan. Batasan aurat perempuan pun dibedakan menjadi dua, yaitu aurat dalam salat dan aurat di luar salat. Aurat dalam salat adalah seluruh badan kecuali muka dan telapak tangan. Sedangkan, aurat di luar salat merupakan pakaian yang sopan, layak, dan tidak menarik perhatian laki-laki.

Selain itu, ada juga ulama seperti Quraish Shihab yang berpendapat bahwa tafsir perintah menutup aurat yang termaktub dalam QS Al-Ahzab: 59 bukan untuk memerintah seorang muslimah memakai jilbab. Meski ayat tersebut mengandung perintah, tetapi perintah ini mengandung maksud “sebaiknya” bukan “seharusnya”. Pun beliau berpendapat bahwa tidak semua perintah merupakan perintah yang sifatnya wajib.

Memang ada dua perbedaan mendasar yang melatarbelakangi pendapat ulama terkait dengan penggunaan jilbab, tapi sebagai umat kita boleh saja mengikuti salah satu pendapat ini sesuai dengan dengan kemantapan hati. Toh, menafsirkan sebuah ayat bukanlah pekerjaan yang mudah dan harus dilakukan dengan penuh kehati-hatian. Benar atau tidaknya, wallahu’alam bissawab.

Masalahnya, masyarakat kita kerap kali melabeli perempuan yang tidak berjilbab karena kurang iman. Padahal tidak ada korelasinya antara tingkat kesalehan seseorang dengan pakaiannya. Sebagai seorang individu dan subjek yang merdeka, perempuan muslimah seharusnya bebas saja memilih hendak berjilbab atau tidak.

Jika keinginan untuk berjilbab muncul, pastikan lagi bahwa itu benar-benar atas pilihan sendiri, bukan karena paksaan apalagi ancaman dari orang lain. Kalau memilih tidak berjilbab ya tidak apa-apa, tetapi tolong hargai juga pilihannya. Apalagi mengingat perjalanan spiritual seseorang yang mungkin tidak mudah.

Dulu saya pernah merasa “minder ” hanya karena tidak mengenakan jilbab di antara teman-teman saya. Saya merasa sendirian dan seolah-olah kurang punya iman. Padahal kalau dipikir-pikir lagi, untuk apa berusaha tampak saleh di hadapan orang lain? Bukankah itu sama saja dengan menipu diri sendiri?

Seiring dengan berjalannya waktu, pemahaman saya akan jilbab kian berkembang. Bagaimanapun juga, jilbab merupakan hasil konstruksi budaya sebagai wujud pemaknaan terhadap teks Al Quran. Oleh sebab itu, menurut saya, mengenakan jilbab atau tidak seharusnya bukan menjadi masalah karena semua kembali pada keyakinan diri masing-masing. Bagus kalau sudah mengenakan jilbab, tapi jangan menghakimi perempuan-perempuan yang memilih untuk tidak mengenakannya.

Meski saat ini saya memilih tidak mengenakan penutup kepala, saya tetap berpegang teguh pada batas kesopanan yang wajar bagi aurat perempuan. Dan saya pikir hal ini juga selaras dengan makna “Yang biasa nampak daripadanya” dalam Surat An-Nur ayat 30. Berpenampilan biasa saja. Yang penting layak dan sesuai dengan standar kepantasan di masyarakat.

Kategori
Society

Hidup Bahagia di Pulau Oksigen

Manusia modern, pergi jauh untuk mencari ketenangan dan kebahagiaan diri. Itu untuk urusan keluar, mendapatkan pengalaman hidup dan kebutuhan mengisi waktu luang (leissure time) bisa dengan berwisata salah satunya.

Ada beragam ekspresi yang bisa hadir dalam beragam simbol, untuk urusan kebahagiaan.

Baik segala hal yang melekat pada tubuhnya, pada gelar yang dimiliki atau pada aneka gemerlap perhiasan. Sebagian yang lain, berkecukupan seperti berlomba memperbaiki rumah tinggal. Ada fungsi hunian yang ingin dilampui untuk menegaskan dirinya hidup bahagia.

Urusan kebahagiaan, dalam beberapa tahun terakhir menjadi satu indikator indeks pembangunan manusia. Indikator kesejahteraan yang dimiliki diasumsikan setara dengan kebahagiaan.

Bagaimana manusia Indonesia modern hari ini dalam memberi makna ketenangan, ketentraman, kebijaksanaan, kemakmuran, persatuan, kemanusiaan, keadilan sosial dalam konteks kebangsaan?

Melangkah di 2021, seluruh elemen bangsa melalui adaptasi kebiasaan baru, tengah berjibaku untuk menuntaskan upaya memutus mata rantai penyakit menular Covid-19.

Kembali ke normal baru, jagad anyar ada perubahan kultur, budaya hidup bersih dengan menjalankan protokol kesehatan. Ini tak mudah dan sekaligus butuh konsistensi, semangat untuk bangkit, bekerja bersama, kreatif dan inovatif.

Hal yang pokok, penting dan utama tentu menempatkan sikap hidup sederhana, jujur, adil dan anti-korupsi. Ini terutama berlaku untuk pejabat negara. Kalau bisa menjalankan hal ini, tentu satu masalah pelik Indonesia bisa terselesaikan.

Apakah pernyataan begini hanya sekedar utopia atau mimpi bunga tidur di awal tahun baru?

Butuh keberanian dan sikap, sebagai bekal melangkah menapaki tahun-tahun paska hadirnya pandemi.

Sepanjang perkenalan singkat dengan masyarakat pesisir, ternyata etos dan semangat kerja bisa jadi kunci ketenangan dan kebahagiaan dalam hidup. Benar adanya, kisah dan narasi optimis bahwa Tuhan sedang bahagia tatkala menciptakan manusia atau orang Madura.

Hal-hal lucu, semangat pantang menyerah, berani, ulet, tekun, mudah beradaptasi adalah beragam sifat yang dijalankan rakyat Madura dari masa ke masa. Lingkungan geografis dan sumber daya kepulauan membentuk karakter kuatnya.

Warga Sapudi di Madura, misalnya sudah terbiasa dengan pasokan listrik yang tidak stabil, kehabisan gas kala ada cuaca buruk sehingga transportasi laut berhenti operasi.

Keindahan landscape yang dimiliki, memang bisa jadi tak begitu dirasakan karena sudah menjadi kebiasaan keseharian. Meski bagi orang baru, ada hal yang membuat takjub, kagum atas saujana bentang alam yang dimiliki.

Tak begitu jauh, ada Gili Iyang yang dalam beberapa tahun terakhir mulai deras berdatangan para pelancong yang ingin merasakan segar dan bersihnya udara. Suasana alami, keramahan warga desa menjadi magnet banyak wisatawan dari berbagai pelosok negeri bahkan hingga ke mancanegara.

Kini banyak orang menyebutnya Pulau Oksigen. Di sini, mudah sekali menemukan makna sehat, waras dan bahagia dari hal-hal sederhana saja. Menghirup udara bersih dan hidup sehat.

Tak salah, mantan hakim agung, Artidjo Al Kostar suatu ketika menyampaikan mimpinya memilih untuk hidup dan menetap di Gili Iyang setelah pensiun.

Mbah Sahlan, sosok yang bisa ditemui di titik oksigen menyatakan sudah sekitar 6 tahun terakhir banyak tamu berdatangan ke Gili Iyang. Ada yang dari Mesir, China, Arab, lalu Timor Timur juga wisatawan lokal dari berbagai daerah Kalimantan, Sumatra, Bali dan Jawa.

Di buku tamu tercatat beragam catatan dan kesan wisatawan tatkala berkunjung. Ada beragam individu dan rombongan yang memilih Gili Iyang atau Pulau Oksigen sebagai tujuan berwisata.

“Jenderal-jenderal di Indonesia sudah datang ke Pulau Oksigen, cuman satu yang belum datang yaitu rajanya, Pak Jokowi. Silakan napak dan mengisi buku tamu Pak Presiden,” begitu harapan Mbah Sahlan, sembari terkekeh.

Tertarik dan ingin merasakan hirup oksigen terbaik di Indonesia? Silakan datang, kapan saja ke kepulauan di Madura. Siapkan dan rancang waktunya, semoga pandemi berlalu dan semua saja bisa turut merasakan hidup bahagia.

Kategori
Society

2020 Drama di Antara Kekhawatiran vs Optimis

Sepanjang tahun 2020, perasaan khawatir menggelayuti pikiran banyak orang. Kecepatan informasi lintas batas antar-benua melipatgandakan kekhawatiran ini.

Bermula dari China, sumber awal ditemukan adanya penyakit menular dengan segala peristiwa di Wuhan telah membawa peradaban baru. Adaptasi.

Sebelum melakukan adaptasi kebiasaan baru, di awal terjadinya wabah sorotan ke episentrum penyebaran penyakit ini telah membelah pemahaman warga dunia untuk urusan penyakit.

Bukan hanya China yang khawatir bin was-was. Negara adikuasa lain seperti Amerika, negara Eropa. Negara-negara di benua Afrika hingga Arab demikian juga. Termasuk negara-negara di kawasan Asia seperti Jepang sampai Indonesia bersiap untuk menghadapinya.

Seperti kecepatan informasi yang melintas batas, drama wabah, pandemi coronavirus menerabas sekat dan batas antar-benua.

Semua negara tak terkecuali terpapar penyakit menular yang oleh para ahli disepakati dengan nama COVID-19. Semua sibuk urusan kesehatan, sibuk memastikan warga negaranya bisa sehat.

Mari menelusur lagi lini masa peristiwa yang berkaitan dengan penyakit menular baru ini. Bagaimana fase awal penyakit menular baru ini, respon stakeholder buat perencanaan program mitigasi sudah dibuat.

Jurus untuk menangani pencegahan penyebaran penyakit sudah ditetapkan. Hanya saja, masalah disiplin menjalankan protokol kesehatan belum serius mewujud dalam adaptasi kebiasaan baru. Bukan hanya rakyat, petugas pelayan publik pun ada yang abai. Menambah kluster baru penyebaran penyakit, klaster perkantoran.

Ada pertanyaan apakah penyakit menular baru yang menggelisahkan banyak warga dunia ini bisa segera teratasi atau sebaliknya membuat repot bahkan mengelisahkan karena resiko kematian yang dihadapi. Kekhawatiran inilah yang muncul kala pelayanan kesehatan tak mampu memberikan kesembuhan bagi pasien.

Apa yang dikhawatirkan kini sedang dialami oleh Indonesia, laporan dari faskes yang melayani mereka yang terpapar Covid-19 sudah nyata terjadi. Harus ada upaya serius dan kebersamaan dalam satu tindakan yang efektif bisa memutus mata rantai penyebaran penyakit menular baru.

Drama kekhawatiran dan optimisme hadir bersamaan di 2020 ini. Semua tentu ingin sehat dan selamat. Bisa melanjutkan kehidupan di tahun baru 2021.

Pilihan rasionalnya, sosialisasi dan edukasi publik dikerjakan secara massif baik dengan pamflet, baliho, poster juga iklan display media cetak maupun pamflet digital berupa tagar #JagaJarak, #pakemasker, #cucitangan, #imun #aman #iman, #ingatpesanIBU agar selalu pakai masker tatkala beraktivitas digaungkan lebih keras.

Di akhir tahun 2020, pilihan untuk #dirumahsaja harus juga disuarakan, mereka yang patuh diakui sebagai pahlawan.

Apakah ini benar dipahami oleh seluruh elemen rakyat nusantara?

Melawan virus, tak boleh berharap pada vaksin saja. Mencegah dan memutus mata rantai penyebaran penting dikerjakan. Setelah semua ikhtiar dijalankan, selebihnya memang berdoa saja agar pandemi segera berlalu.

Di akhir tahun 2020, resufle kabinet Indonesia Maju baru saja dilakukan dengan dilantiknya menteri, enam pembantu Presiden RI. Semoga dramanya benar-benar happy ending membawa optimisme, seperti di isi pesan dalam meme yang dibagikan oleh banyak orang.

Kategori
Politik Society

Menebalkan Harapan Agar Pandemi Segera Berlalu

Bagi mereka yang berkecimpung di bidang farmasi, urusan obat dan cara raciknya adalah keahlian yang harus dikuasai. Ada ilmunya juga etika profesi yang wajib dipatuhi.

Begitu juga dengan dokter yang membuat resep bagi pasien, profesi inilah yang memiliki mimbar akademik guna memberikan obat yang pas dosisnya untuk pasien. Tidak bisa dokter membuat resep asal-asalan, karena berhubungan dengan urusan nyawa dan kehidupan manusia.

Urusan pelayanan kesehatan tak selesai hanya dikerjakan oleh farmasi dan kedokteran saja.

Ada bidang keperawatan yang memberikan sumbangan besar dalam proses penyembuhan pasien.  Soal sakit, soal kesembuhan ada banyak faktor yang berhubungan antar-profesi pelayanan bidang kesehatan.

Apakah lulusan tiap sekolah atau kuliah bidang kesehatan selalu mengabdikan diri menjadi tenaga kesehatan di faskes? Bagaimana standar kompetensi yang harus dimiliki oleh para pelayan kesehatan ini?

Menjawab rangkaian pertanyaan ini bisa pendek, bisa panjang. Jawaban pendek, bisa dengan menyajikan beberapa contoh. Publik di tanah air tentu kenal sosok Wahyudi Anggoro Hadi seorang kepala desa Panggungharjo yang fenomenal. Ia lulusan Farmasi UGM. Sosok lain, ada Rommy Fibri yang lulus dokter gigi UGM. Kerja beliau ini sekarang jadi Ketua Badan Sensor Film. Apa relasinya coba? dua bidang keahlian ini. Meski kalau dipaksa memiliki relasi, dokter gigi dan urusan sensor film ya bisa saja dinarasikan begitu rupa.

Siapa lagi ya? Apalagi ya?

Saya ingin memberikan perspektif bagaimana pentingnya kerjasama, kerja bersama lintas profesi dalam soal pelayanan publik. Ini penting di era sekarang. Di tengah situasi sulit, ada dampak pandemi yang berkepanjangan dan belum tahu secara pasti sampai kapan selesai dan teratasi semua.

Beberapa contoh profesi dan latar bidang keilmuan seperti farmasi, kedokteran dan keperawatan adalah paket setengah komplit untuk mendeskripsikan kerjasama yang wajib dilakukan untuk pelayanan publik.

Masih ada kebutuhan mengoptimalkan pelayanan publik di bidang kesehatan, teknologi canggih pelayanan kesehatan. Ilmu fisika dasar, ahli teknik fisika dibutuhkan untuk menghasilkan alat-alat pelayanan canggih, alat test kesehatan.

Ilmu manajemen kesehatan memberikan kepastian guna mengatur bagaimana pelayanan publik yang prima bisa berjalan baik untuk melayani rakyat.

Sangat kompleks, hanya untuk satu urusan yaitu bagaimana mengoptimalkan pelayanan publik di bidang kesehatan. Kesehatan adalah hak dasar yang harus mudah terakses oleh semua, baik si kaya dan si miskin. Kesehatan adalah hak universal yang harus diwujudkan pemerintah.

Hari-hari ini, warga dunia diliputi rasa khawatir. Soal urusan hak dasar kesehatan ini. Ada pandemi yang belum teratasi, meski sudah tersedia peta jalan untuk pencegahan penularan penyakit menular COVID-19. Hadirnya pelayanan kesehatan yang optimal saja tak cukup kuat, untuk tangani mereka yang terpapar virus.

Awalnya,  berhadapan dengan penyakit menular baru ini respon mitigasi bencana non-alam disosialisasikan. Ada yang abai, ada yang begitu bersemangat melakukan edukasi ke publik. Tak berhenti di sini, banyak elemen warga yang mengorganisasi diri dalam kelompok maupun individu untuk menjalankan advokasi kebijakan agar langkah penanganan penyakit menular bisa dikerjakan secara optimal.

Dampak pandemi ini nyata dan langsung menghantam beragam sektor.  Penyakit menular baru menyebar dengan cepat,  seiring mudahnya mobilisasi penduduk antar-negara dan antar-benua yang lebih mudah, ada akses keterhubungan.

Harus ada cara-cara yang tepat dan efektif.

Repotnya, urusan pelayanan kesehatan belum selesai tuntas, ternyata ada masalah sosial politik hadir. Urusan bekerja sama antar-pihak, terganggu karena adanya masalah politik.

Dilarang berkumpul untuk hindari kluster baru, diacuhkan dengan gegap gempita. Pandemi masih ada, nyata adanya.

Adakah ini benar-benar disadari semua pihak, baik yang mengaku merasa paling benar atau mereka (tokoh politik) yang suka meniti buih opini publik bahwa dirinya punya pengaruh. Rasanya perih, mendapatkan fakta bahwa hingga kini banyak yang abai.

Saya merasakan, yang dibutuhkan hari ini adalah bekerja sama, terhubung sama lain. Rakyat butuh terlayani hak dasarnya, urusan kesehatan mudah dan murah aksesnya.

Tapi apa daya, panggung politik kuasa tampaknya lebih menarik diisi, dimainkan, dinarasikan begitu rupa. Lakon di panggung silih berganti diisi akto- aktor jahat, aktor antagonis dan protagonis saling beradu akting. Babak demi babak drama tersaji dalam layar kaca dan kotak ajaib gadget pintar.

Sampai kapan selesai, urusan melawan pandemi ini? Siapa yang tahu.

Hanya yang jelas, tidak ada salahnya menebalkan harapan, semoga obat-obat dan vitamin, juga vaksin tersedia dan pas dosisnya.

Tahun ini, banyak yang merasakan kehilangan orang tercinta, yang paling disayangi semoga tak hanya sekedar jadi angka semata yang diingat.

Kepemimpinan ala mas Wahyudi atau kepiawaian seleksi gambar indah dan memotong visual yang tak elok penting hari ini dikerjakan, seperti tugas yang diemban Rommy Fibri.

Endingnya, rakyat bisa hidup lebih nyaman, sehat jiwa raganya.

#ceritapinggirjalan

Kategori
Society

Harus (Tidak Selalu) Cocok, Pokoknya!

Kebiasaan buruk yang latah terjadi di masa 4.0, semua hal harus cocok. Inilah problem peradaban modern, yang penuh paradoks.

Meski tidak seharusnya semua hal itu harus cocok, karena beragam alasan logis ternyata manusia modern berhadapan dengan kenyataan alam pikir yang penuh paradoks, harus cocok. Kalau tidak mau cocok dengan alam pikiran, moral kelompok, norma versi kelompok maka dianggap berseberangan, jadi musuh yang harus dilawan.

Pengalaman, pengetahuan manusia modern telah membawa teknologi begitu rumit dan kompleks menjadi sederhana. Itu sebenarnya keuntungan yang bisa diraih. Repotnya, pengetahuan yang diyakini benar, didapatkan dengan cara yang benar, dipelajari dengan benar seringkali membawa kesesatan
sebab tidak didapatkan dengan jalan epistemologi yang benar.

Pilihan jalan pengetahuan yang salah ini marak terjadi, dirayakan dan diglorifikasi begitu rupa, kebenaran palsu, kesadaran palsu jadi pengetahuan palsu.

Ada simplifikasi yang tak teruji oleh hal hal yang logis. Ada moral universal yang ditabrak begitu rupa, karena dianggap tak cocok dengan alam pikiran, alam pengetahuan yang dianggap benar, kebenaran semu, kebenaran yang bukan kebenaran. Ada konteks jaman dan situasi yang berbeda, dipaksakan sama.

Apa saja itu?

Semua tentu mahfum, sejarah peradaban tiap jaman memberikan respon dan pilihan moral yang beragam sesuai konteksnya, sesuai siapa yang memiliki kuasa.

Ada kuasa pengetahuan yang sebenarnya berkembang dari tiap masa. Ada tokohnya dalam setiap zaman, baik tokoh yang kita sebut dan kenal sebagai intelektualnya, orang-orang dekat rajanya, ada kepala suku sampai para punokawan, komedian, abu nawas-nya dan lain sebagainya.

*****

Peradaban modern di masa kini kita kenal kepala daerah, kepala negara, kepala pemerintahan dalam beragam sebutan baik Presiden hingga Raja yang berimplikasi bagaimana sistem kekuasaan dan hukum bekerja di dalamnya. Apa apa yang terjadi di masa lalu itu adalah cermin, benggala jaman yang seharusnya jadi pelajaran, jadi refleksi. Bukan jadi panduan hidup, karena ada konteks jaman yang hadirkan respon sikap, respon kuasa yang berbeda-beda.

Namanya juga dipaksakan, maka seringkali terjadi situasi chaos, ketidakteraturan, situasi kacau dan gaduh, riuh bahkan hingga kondisi saling ancam, saling bunuh hanya karena berada di sisi yang berbeda.

Negara berbentuk republik dibenturkan sistem kerajaan yang dinilai dan dirasa lebih baik, misalnya.

Beragam benturan, perlawanan berujung konflik inilah yang hari hari ini hadir di masa pandemi.

Kehidupan kebangsaan menjadi penuh dengan paradoks, pertikaian pendapat hingga aksi massa yang butuh kanalisasi.

Sudah tersedia sebenarnya, ada proses demokrasi yang disepakati bersama lewat pemilihan pemimpin berjenjang di beragam tingkatan dari pilkades, pilkada, pileg hingga pilpres untuk konteks nusantara, Indonesia ini sebagai solusi kontrol kuasa. Hanya rasanya tidak cukup.

Kini dinamika kebangsaan, ke-Indonesiaan sedang berada dalam masa ujian yang genting, yang gawat. Apakah negeri kita berhasil melewati fase penuh ujian besar ini?

Harapan nya sih, semua akan baik baik saja, penuh dengan cinta dan damai. Semua warga negara harus patuh hukum, termasuk penyelenggara negaranya, aparatusnya.

Saya ingin membawa situasi begini, semua orang ingin menang (jagonya menang) dan meraih kuasa. Faktualnya, tentu saja ada yang kalah dalam prosesnya. Kalah jumlah dukungan, adalah hal yang lumrah. Tak perlu ngotot dan ngeyel.

*****

Tidak semua hal harus cocok dengan apa yang ada didalam isi kepala tiap manusia. Meski bisa saja dipraktekkan kenyataan seperti apa, harus cocok dengan yang kita inginkan, rasanya adalah kesia siaan belaka kala moral universal ditolak karena dianggap tidak cocok dengan hal hal yang tak diyakini.

Apa contohnya yang pas untuk situasi hari hari ini? Duh, bisa lebih panjang lagi dicocokan ceritanya, eh!

Selamat mengawali pekan, di pertengahan bulan terakhir tahun kembar ini. Ingat selalu, kala hendak makan enak untuk sarapan pagimu, masih banyak ketidakberuntungan di luar sana yang jauh dari piring sarapanmu.

#ceritapinggirjalan

Kategori
Society

Saatnya Menjahit Baju (APD) Sendiri

Saat ribut dan gaduh di negeri ini, negeri sebelah dan sebelahnya lagi sudah siap memproduksi aneka produk. Urusan sandang, salah satunya.

Jadi mereka siap memasok kebutuhan negeri ini, berapapun permintaannya, baik itu pangan dan sandang. Soal papan, mereka juga siap mengirimkan aneka kebutuhan untuk membangun infrastruktur.

Sungguh ajaib, memang di era tanpa batas seperti saat ini.

Ingat baik-baik ya, hari ini pertarungan dan persaingan bukan hanya dengan tetangga terdekat. Mereka nun jauh di belahan samudera yang lain sudah siap produktif, siap menghasilkan barang kebutuhan strategis yang diperlukan oleh rakyat Indonesia.

Iya, jumlah penduduk Indonesia itu pasar terbaik aneka komoditas. Untung 1 rupiah saja, bisa berlipat kali jumlah penduduk sudah untung.

Jadi, yang masih suka ribut, sebetulnya lari dari kenyataan bahwa kita ini punya masalah dasar. Suka sekali ribut, gaduh hanya urusan spanduk. Itupun bahan spanduk impor dari negeri gingseng. Jelaslah sebuah kesia-siaan.

Memang benar adanya, tiap bangsa bisa dengan mudah terpukau oleh prestasi orang lain, bangga dan merasa perlu mencontoh beragam aksi tokoh negara sebelah.

Bahkan nun jauh di seberang benua sana, kita fasih membicarakan aneka keunggulan dan kepiawaiannya.

Lupa menjejak kaki di tanah sendiri, menyelesaikan problem hakiki di daerah sendiri, abai dan tidak mau tahu siapa saja yang bekerja penuh semangat di sekitar. Bisa jadi begitu, ya.

Penjahit kita, mesin jahit milik tetangga sendiri sudah lama menganggur, tak ada pekerjaan datang untuk penjahit di negeri gemah ripah loh jinawi ini.

Bisa jadi, memang kita tak perlu baju baru, untuk tampil lebih gagah, lebih cantik. Itu semua tak ada artinya tatkala keselamatan diri hilang gegara terpapar Coronavirus, COVID-19.

Hari – hari ini, yang dibutuhkan alat pelindung diri (APD) karya sendiri saja. Itupun kalau ada biaya dan pesanannya.

Ini soal jahit menjahit, belum urusan lain yang strategis sifatnya. Mendesak kebutuhannya.

Ada yang koyak, terkoyak-koyak baju kebangsaan kita, berlumuran noda kotor. Entah sampai kapan, ini bisa bersihnya.

#ceritapinggirjalan

Kategori
Society

Cerita Rebahan Di Hari Minggu

Awalnya hanya cerita nun jauh di sebuah negeri, berjarak ribuan kilo jauhnya.  Orang-orang melantunkan ayat-ayat dari kitab suci yang dibaca bergantian, disimak dengan seksama lewat gadget. Itulah kisah dari negeri China. Di saat bersamaan, hadir kabar adanya virus mematikan. Namanya COVID-19.

Ternyata bukan hanya kabar saja yang datang begitu cepat via gadget,  paltform digital. Tak berapa lama, penyebaran virus sampai juga ke Indonesia.

Bahkan, keluarga sendiri ada yang mengalami dan terpapar virus. Semua hal berubah cepat, semua orang belajar cepat, beradaptasi.

Ada yang sampai kini menyangkal, menyatakan tidak perlu takut soal virus ini dengan sandaran keyakinan agama dan Tuhan.

Pengetahuan kedokteran, base evidence ditolak mentah-mentah oleh kelompok orang yang lebih percaya hidup dan mati sudah ada takdirnya.  Tidak perlu takut berlebihan, percayakan semua kepada Maha Pencipta, hidup jadi tenang.

Masalahnya tidak sederhana seperti itu. Ini wabah, pandemi yang membutuhkan respon perilaku agar penularan lebih masif bisa dicegah. Kesehatan tidak mengenal agama, suku, bangsa dan warna kulit.  Pelayanan kesehatan adalah hak dasar bagi setiap orang. Ini urusan kemanusiaan.

Jujur saja, melihat tayangan televisi, liputan media asing dalam membingkai penyebaran penyakit menular dari China secara kasat mata,  bisa dengan mudah kita kenali keberpihakan pemilik media, para pengendali newsroom di tiap institusi penyiaran atau media massa.

Bersyukur saja, di era digital begini, informasi tunggal tidak berlaku dan diistimewakan.

Siapapun bisa menjadi sumber berita secara serta-merta, lewat status medsos, postingan dan tulisan, opini pribadi yang bisa dilipatgandakan pesannya.

Sangat mudah, pesan berpindah dalam aneka platform media sosial. Termasuk soal COVID-19.

Respon tanggap darurat, yang awalnya hanya bisa dilihat di layar kaca,  kini hadir kasat mata. Lalu lalang ambulan pengangkut jenazah dengan pengawalan polisi, jadi penanda bahwa itulah pasien yang meninggal karena terpapar virus.

Angka kematian, angka jumlah yang OTG, angka suspect, angka kesembuhan paska perawatan dan daya tampung rumah sakit/faskes kini di beberapa daerah memasuki tahap krisis. Butuh segera diantisipasi, butuh lebih banyak relawan tenaga kesehatan guna memastikan fasilitas pelayanan kesehatan tetap prima. Mereka yang sakit,  bisa terlayani.

*****

Cerita rebahan di hari minggu begini, bisa mengalir ke mana saja. Berseliweran pesan respon aksi tentara menurunkan spanduk bergambar Habib Rizieq lalu berbuih ragam pemberitaan sikap Pangdam Jaya, yang menyatakan bubarkan saja FPI. Lalu. kita heboh oleh hadirnya artis Nikita Mirzani melawan pimpinan FPI yang baru kembali ke tanah air.

Sungguh, ada satu moment peristiwa yang membuat sedih, nggrantes jeru banget. Kala mendengar adanya aksi dari sekelompok orang yang membunuh, menghilangkan nyawa saudara sendiri.

Kabar dari Sigi, Sulawesi Tengah membuat duka dan luka bagi Indonesia. Bagaimana mungkin, saat energi bangsa ini difokuskan untuk membebaskan rakyatnya agar selamat dari terpaparnya penyakit menular,  malah ada aksi pembunuhan keji berlatar kebencian, aksi teror yang jelas berlawanan dengan akal sehat. Menghabisi nyawa orang lain, apapun motifnya adalah bentuk kejahatan.

Menuliskan cerita di hari Minggu sembari rebahan kala hujan deras di luar, mencatat detail dan ingatan soal betapa pentingnya bahasa kemanusiaan harus selalu disuarakan, dimenangkan.

Apapun jalannya, bagaimanapun caranya. Asal kita semua tetap sehat,  waras. Tidak larut dalam selubung jubah palsu. Lawan aksi teror,  apapun bentuk baju dan gerakannya. Termasuk virus intoleran tak boleh punya ruang di negeri ini.

#ceritapinggirjalan
#isupublik