Kategori
Politik

Agar Tak Terciduk KPK Saat Menimbun Tanah

Barang bukti OTT sedang diperlihatkan di Gedung KPK
Foto : Wahyu Putro/ANTARA
Dua tahun terakhir, KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) kerap melakukan OTT (Operasi Tangkap Tangan). Tersangkanya macam-macam. Dari mulai kepala desa, bupati/wali kota, hingga gubernur. Bahkan di tahun 2016, KPK melakukan OTT terbanyak sepanjang sejarah lembaga ini. Ada 15 OTT di tahun tersebut. Rinciannya, 33% terjadi di bidang perkara hukum, 27% infrastruktur, bidang pendidikan dan kesehatan masing-masing 13%, serta bidang pangan dan administrasi negara masing-masing 7%. Di tahun ini, per 18 September 2017, KPK sudah melakukan OTT sebanyak lima kali terhadap kepala daerah. Sebagian besar kasus korupsi tersebut terjadi di proyek pengadaan barang dan jasa baik di tingkat kota, kabupaten, maupun provinsi.

Data tersebut menunjukkan bahwa bidang infrastruktur menjadi penyumbang terbesar kedua terhadap kasus-kasus korupsi. Nominal duitnya pun terbilang tinggi dibandingkan dengan sektor lain. Itu bisa diamini karena proyek-proyek bidang infrastruktur memang butuh biaya yang besar. Kuenya banyak dan nikmat. Apalagi kepengurusan Jokowi ini lebih suka bangun jalan tol, bendungan, dan bandara, tapi lupa pada cita-cita reformasi.

Grafis : Ridwan AN
Wakil Ketua KPK, Laode M Syarif juga meyakini bahwa proyek pengadaan barang dan jasa memang rawan praktik suap. Untuk mengurangi risiko itu, ia mengusulkan pengoptimalan aplikasi e-program dan e-katalog. Dua hal tersebut, menurutnya, dapat mencegah pembengkakan biaya.

Masalah besarnya biaya proyek infrastruktur memang menjadi bahasan yang menarik. Ketika ada suatu proyek – apalagi megaproyek – media sering menyebut nominal biayanya yang sampai miliaran atau bahkan triliunan. Untuk itulah, penting bagi kita untuk mengetahui secara sederhana perhitungan biaya-biaya tersebut. Di kesempatan kali ini, akan dibahas konsep perhitungan biaya timbunan tanah.

Timbunan tanah banyak digunakan di pembangunan jalan dan rel. Apabila rencana jalur jalan melewati tanah lunak, maka dibutuhkan perbaikan tanah. Metode perbaikan yang sering dilakukan adalah menimbun tanah berpasir di atas tanah tersebut. Tanah lunak (tanah lempung) memang punya efek buruk bagi pembangunan jalan. Tanah ini memiliki kekuatan yang rendah dan membuat bangunan di atasnya tenggelam secara perlahan.

Di Indonesia, tanah lunak menyebar di berbagai daerah. Persebarannya dapat dilihat pada gambar di bawah ini. Tanah lunak ditandai dengan warna hitam.

Peta persebaran jenis tanah di Indonesia
sumber : Depertemen Permukiman dan Prasarana Wilayah – PU
Cukup luas wilayah yang bertanah lunak di Pulau Sumatera, Kalimantan, dan Sulawesi. Padahal, di daerah ini sedang gencar-gencarnya pembangunan jalan tol, terutama di Sumatera. Bahkan ada rencana pembangunan jalur kereta api di ketiga pulau tersebut. Dalam pembangunan rel kereta biasanya butuh banyak timbunan. Sebabnya, rel kereta tidak bisa mengalami perubahan ketinggian secara drastis. Ya kali tanjakan di rel sama kayak tanjakan jalan raya. Timbunan menjadi jawaban agar ketinggian rel bisa relatif tetap.

Permasalahannya, volume tanah pada gambar desain timbunan tidak sama dengan volume tanah yang dibutuhkan. Volume tanah di gambar desain hanyalah volume yang tampak di permukaan setelah sebagian tanah tenggelam ke dalam tanah lunak. Jadi, jumlah tanah yang sebenarnya dibutuhkan dalam pelaksanaan di lapangan selalu lebih besar dari yang ada di gambar.

Masalah bisa menjadi pelik apabila pengaudit data keuangan proyek tidak paham tentang tenggelamnya timbunan di tanah lunak. Pengaudit yang tidak paham itu akan terheran-heran: kok tanah yang ditimbun lebih banyak dari rencana? Ia akan langsung menduga bahwa telah terjadi mark up (pembengkakan biaya) pada proyek tersebut.

Tenggelamnya timbunan di tanah lunak bisa dibayangkan seperti saat kita meletakkan sebatang tempe di atas bubur. Tempe itu tidak akan langsung tenggelam ke dalam bubur. Tetapi, ia akan tenggelam secara perlahan. Begitu juga yang terjadi pada timbunan di tanah lunak. Awalnya, timbunan akan mengalami penurunan secara cepat (immediate settlement). Besarnya sekitar 10 cm. Setelah itu, ia akan mengalami penurunan yang sangat perlahan (konsolidasi). Waktu yang dibutuhkan bisa mencapai 10 tahun atau bahkan lebih (tetapi para insinyur sipil sudah punya cara untuk mempercepat proses ini). Besarnya penurunan bisa mencapai 2 meter, tergantung kondisi tanah lunak dan beban pada timbunan. Nah, penurunan setinggi 2 meter ini yang menyebabkan kebutuhan tanah timbunan lebih besar daripada rencana. Misalnya, pada gambar rencana tinggi timbunan ditetapkan 3 meter. Berarti, kita tidak hanya menumpuk dan memadatkan tanah setinggi 3 meter untuk membangun timbunan tersebut. Kita harus membangun 5 meter timbunan (3 meter yang akan muncul di permukaan + 2 meter yang tenggelam).

Grafis : Ridwan AN
Apakah angka 2 meter ini adalah nilai yang kecil bila dikonversi ke duit? Ya kalau kita hanya membicarakan satu titik timbunan, tanah setinggi 2 meter itu kecil. Tapi kan proyek jalan atau rel bisa ratusan kilometer. Bila dikalikan dengan panjang jalan atau rel, angka yang keluar akan berbunyi miliar bahkan triliunan. Sebuah nilai yang apabila kita membacanya di media bakal membikin dada berdebar.

Masyarakat, khususnya para pelaksana proyek timbunan tanah, perlu sadar tentang hal ini. Bahkan tidak cukup hanya sadar. Ia perlu memiliki keberanian untuk menjelaskan pada pengaudit proyek apabila belum tahu tentang fenomena ini. Sehingga, proses audit bisa lebih fair. Jikalau tidak ada keberanian itu, proyek tersebut bisa saja diperkarakan ke pengadilan secara konyol. Karena pada masa-masa sekarang, citra proyek infrastruktur cukup mengkhawatirkan di mata publik. Apalagi dengan seringnya OTT KPK di sektor infrastruktur, seperti yang sudah saya jelaskan di awal. 

Dandy IM
PijakID
Kategori
Transportasi

Mari Bersama-sama Lawan Kemacetan

Sumber: Flickr
Kemacetan bukanlah sesuatu yang bisa kita maklumi. Meskipun jalan raya semakin membuat kita menjadi sangat mementingkan diri sendiri, tetapi kemacetan butuh diurai bersama-sama. Semestinya kita capek berdesak-desakan di jalanan. 


Dalam bukunya yang berjudul “Ayo Lawan kemacetan”, Eka Sari Lorena, ketua Organda (Organisasi Gabungan Angkutan Darat) mengawali curhatannya dari persoalan yang personal. Sebagian besar orang terutama yang hidup di kota, mengalaminya. Ia membahas hubungan kemacetan dengan sebuah keluarga. Menurutnya, lama-kelamaan hidup kita lebih banyak dihabiskan di jalan daripada bersama keluarga.

Seorang bapak bangun pagi-pagi sekali, lalu mandi, sarapan sendiri (atau mungkin tidak sarapan), kemudian bergegas menuju tempat kerja demi menghindari padatnya lalu lintas. Sementara anaknya masih tertidur pulas. Kadang-kadang istrinya pun masih memejamkan mata. Bapak tersebut bekerja hingga sore. Sering kali ia terburu-buru menyelesaikan pekerjaan di hari itu dengan harapan bisa sampai rumah lebih cepat. Namun akhirnya usahanya sia-sia karena kemacetan mulainya semakin cepat. Sesampainya di rumah, anaknya telah tertidur pulas. Ia hanya bisa mengecup keningnya dan mengelus-elus rambutnya. Sedangkan istrinya duduk terkantuk-kantuk di ruang makan.

Itu suatu kisah. Bisa saja di kisah yang lain, seorang istri juga bekerja. Ia tak sempat memasak untuk suami dan anaknya. Mungkin ia juga tak sempat membangunkan anaknya. Ia hanya bisa berpesan kepada pembantu rumah tangga untuk memasak sarapan dan membangunkan anaknya untuk sekolah. Untuk berangkat kerja, ia berpisah dengan suaminya sejak dari pintu rumah. Karena tempat kerjanya berlawan arah dengan tempat kerja suaminya. Sesampainya kembali di rumah, saat anaknya telah tidur, ia dan suaminya sudah sama-sama penat. Ia dan suaminya kemudian langsung tidur saja di ranjang yang sama dengan wajah menghadap arah yang berlawanan.
Foto: Dandy IM

Kisah ini memang rekaan saya, bukan kisah Ibu Eka. Tetapi kira-kira begitulah yang ingin disampaikan beliau. Ia mengingatkan kita untuk menyadari bahwa kita punya hak untuk menghabiskan banyak waktu bersama keluarga. Kita punya hak untuk menuntut ketika waktu kita bersama keluarga dirampas begitu saja oleh jalan raya. Kita punya hak untuk ikut memperbaiki semrawutnya jalan raya karena keegoisan kita dan tidak becusnya pemerintah. Sekecil apapun usaha yang kita perbuat. Sesederhana memasukkan video Transjogja ke instastory lalu memberikan komentar dan ajakan yang positif. Sebagai seorang anak, kita berhak menuntut pemerintah karena telah menelantarkan kita dengan memenjarakan orang tua kita di belantara jalan raya. Kita tentu punya hak untuk memberi tahu dunia bahwa kita sudah capek, stres, muak, pusing, karena dipaksa berebut ruang dan saling menghardik dengan klakson di jalan raya.

Di suatu sore yang kering, pers mahasiswa Fakultas Hukum, BPPM Mahkamah, mengadakan diskusi tentang legalisasi ojek online. Awalnya saya agak heran, kok anak hukum tertarik membahas transportasi. Tetapi tentu itu pertanyaan dungu karena yang mereka bahas soal legalitas. Itu sangat berkaitan dengan keilmuan mereka dan selama acara berlangsung, saya mendapatkan pemahaman-pemahaman baru. Beberapa yang menarik ialah bahasan tentang undang-undang lalu lintas, kepatutan dalam hukum, dan hak diskresi yang dapat diambil oleh pemerintah bila suatu fenomena belum ada aturannya. Namun yang paling penting, setidaknya bagi saya, adalah tumbuhnya kepedulian dari berbagai disiplin ilmu untuk menyumbangkan pemikirannya dalam ranah transportasi.

Dalam diskusi tersebut, Bapak Wiratno Wahyu Wibowo, peneliti Pusat Studi Transportasi dan Logistik (PUSTRAL) UGM, menuturkan bahwa tidak semua ruang bisa dijangkau dengan satu jenis moda. Keseimbangan dan sekaligus tujuan dalam transportasi adalah integrasi antarmoda. Jadi, tidak mungkin kita mendesain Transjogja, misalnya, sampai punya trayek ke jalan kompleks perumahan. Bila jarak tersebut masih terjangkau dengan sepeda, ya gunakan sepeda. Bila masih bisa jalan kaki, ya jalan kaki. Sebab bagian paling hulu dari sistem transportasi adalah kaki kita sendiri, bukan angkot apalagi bis. Tetapi kemudian Pak Wiratno menuturkan fakta bahwa orang Indonesia termasuk yang malas jalan kaki. Meskipun terjadi paradoks ketika orang Indonesia melancong ke Singapura dan mau-mau saja berjalan kaki.

Apakah orang Indonesia memang malas jalan kaki?

Kita sering kali mendengar seruan semacam “budayakan jalan kaki”. Kemudian ingatan saya beranjak ke suatu momen diskusi dengan Bapak Sulaiman, Direktur Perencanaan UGM. Menurut beliau, dalam kajian transportasi, perlu kolaborasi interdisiplin biar terwujud solusi yang lebih bijak. Jadi permasalahan transportasi bukanlah tanggung jawab satu-dua disiplin ilmu saja. Karena, sekali lagi, buruknya transportasi berdampak bagi semua orang.

Pak Sulaiman bertanya kepada teman saya yang kuliah di Fakultas Ilmu Budaya (FIB). Mengapa sebagian besar orang terkesan tidak suka berjalan kaki? Apakah budaya kita memang tidak mendorong orang untuk suka berjalan kaki? Bagaimana mendorong orang-orang untuk suka berjalan kaki? Jawaban atas beberapa pertanyaan ini menurut saya memang akan mempunyai kontribusi besar bagi perbaikan transportasi.

Di suatu sore yang lain, saya melihat teman saya yang kuliah di Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan (PSdK), sebut saja namanya Juno, sedang mengerjakan tugas UAS. Tema tugasnya tentang Transjogja. Ia membahas suatu tesis yang menganalisis kinerja Tranjogja, dampaknya, dan perbaikan-perbaikan yang memungkinkan. Ini memang sesuatu yang biasa. Terkesan tidak ada yang spesial dari cerita ini. Tetapi ini cukup membuat saya semakin yakin bahwa banyak kok yang peduli dengan kesemrawutan jalan raya. Karena setiap orang membutuhkannya. Berbeda dengan pengembangan sarana transportasi udara yang tidak akan menuai reaksi yang besar karena efek dari ke-ngaur-annya hanya dirasakan beberapa orang. Sementara yang lainnya memperoleh kenyamanan. 

Jadi, marilah bersama-sama membenahi kualitas hidup kita dengan melawan kemacetan. Berkontribusilah sesuai dengan kemampuan masing-masing, disiplin ilmu masing-masing, dan tanggung jawab masing-masing. Tak perlu lagilah egois sendiri-sendiri. Karena bunyi klakson itu sungguh memekakkan telinga bila kita dengar terus sepanjang jalan raya.


Dandy IM
PijakID
Kategori
Transportasi

Membunuh Plat Kuning

Transjakarta melintas di Bundaran HI pada hari bebas kendaraan
Oleh: Pak Wali

Mari mengingat-ngingat. Ketika pagi-pagi dalam perjalanan ke kampus kita terjebak macet, apa yang kita pikirkan? Mungkin sekilas kita berpikir, kenapa tidak berangkat lebih pagi? Kenapa angkutan umum di kota ini begitu buruk? Mungkin juga kita berpikir lebih tamak, kenapa pemerintah tak kunjung menambah ruas jalan?

Hari-hari ini omongan tentang pembenahan angkutan umum menjadi begitu basi. Orang-orang di sekeliling kita sering bernada pesimis ketika berbicara tentang angkutan umum. Tanyalah mereka. Ceklah. Apakah mereka masih percaya angkutan umum bakal menjadi lebih baik?

Obrolan tentang rendahnya minat menggunakan angkutan umum saya kira hanya berkutat di dua hal. Pertama: “angkutan umum di kota ini masih menjijikkan, maka saya menggunakan kendaraan pribadi”. Yang kedua: “perbaiki dulu angkutan umum, baru saya meninggalkan kendaraan pribadi”.

Dua petikan kalimat langsung di atas menunjukkan bahwa kita menunggu pemerintah untuk membenahi kekacauan angkutan umum. Padahal, pemerintah tidak begitu peduli. Sementara kita juga tidak kunjung bersuara. Apakah kita pernah melihat sekelompok orang berkumpul di perempatan dengan membawa spanduk berisi sikap protes tentang kemacetan dan kerusakan jalan? Hal ini membuat angkutan umum dapat dibunuh kapan saja. Sudah pada ndak peduli kok.

Kalau kita menggunakan kesepakatan internasional saja, hak mendapatkan mobilitas termasuk dalam HAM. Itu adalah hak setiap orang untuk bebas melakukan pergerakan ke mana saja. Pemerintah harus memenuhinya. Namun, penting untuk diingat, yang dimaksud dengan mobilitas dalam transportasi adalah pergerakan orang, bukan kendaraan. Jadi fokusnya adalah seberapa mudah tiap-tiap orang dalam melakukan perjalanan, bukan seberapa lancar pergerakan mobil, sepeda motor, maupun bus di jalan.

Kenapa saya bisa bilang kalau pemerintah tak berpihak ke angkutan umum? Pertama, terkait regulasi harga BBM bersubsidi. Setiap kali harga premium dinaikkan, tidak ada pengecualian bagi angkutan umum. Dalam 2 periode SBY menjadi presiden, harga BBM naik sebanyak 4 kali, yaitu Maret 2005 (Rp2400), Oktober 2005 (Rp4500), 2008 (Rp6000) dan 2013 (Rp6500). SBY memang pernah menurunkan harga BBM sebanyak tiga kali, yaitu pada 1 Desember 2008, 14 Desember 2008, dan 15 Januari 2009. Tetapi tentu kita sama-sama tahu bahwa tahun tersebut adalah masa pemilihan presiden. Dalam 4 kali kenaikan harga tersebut, angkutan umum dibiarkan terombang-ambing begitu saja, mengikuti arus perubahan harga premium. Begitu juga pada masa pemerintahan Jokowi. Pemerintah lepas tangan dengan membiarkan angkutan umum bersaing sendiri dengan kendaraan pribadi. Para pengusaha angkutan umum membeli BBM dengan harga yang sama dengan kendaraan pribadi. Apakah ini pantas?

Padahal yang namanya subsidi BBM itu yang paling tepat ya untuk angkutan umum. Tetapi apa yang terjadi? Kendaraan pribadi masih leluasa menikmati premium. Mobil mewah diisi premium. Maka kualitas pelayanan angkutan umum menjadi sangat lamban karena ia harus berdesak-desakan dengan kerumunan kendaraan pribadi. Terutama dari hitung-hitungan biaya. Secara teoritis, biaya cukup berpengaruh pada peralihan moda transportasi yang digunakan masyarakat. La kalau orang make kendaraan pribadi lebih murah, ngapain naik angkutan umum? Toh pakai kendara pribadi lebih bisa pergi lewat berbagai jalur sesuka hati.

Sebetulnya para pengusaha angkutan umum lumayan tangguh menghadapi himpitan beban biaya ini. Walau sebetulnya mereka bisa saja melakukan sesuatu yang membikin susah orang banyak. Melakukan aksi mogok, misalnya. Perlu diingat bahwa manusia, juga barang, hampir setiap hari perlu bergerak untuk menyambung kehidupan. Maka mereka sangat bergantung pada pelayanan transportasi.

Cukuplah aksi mogok seluruh armada truk di Pelabuhan Tanjung Perak pada Rabu, 20 Maret 2013, menjadi pembelajaran untuk kita semua. Sebanyak 7.400 unit truk yang tergabung dalam Organda (Organisasi Pengusaha Nasional Angkutan Bermotor di Jalan) Tanjung Perak berhenti mengangkut sama sekali. Para pengusaha itu mempermasalahkan Peraturan Menteri ESDM Nomor 1 Tahun 2013 tentang Pengendalian Bahan Bakar Minyak (Eka Sari Lorena, Ayo Lawan Kemacetan). Dalam peraturan tersebut disebutkan bahwa mobil barang dengan jumlah roda lebih dari empat untuk mengangkut hasil kegiatan perkebunan, pertambangan, dan kehutanan harus memakai solar nonsubsidi. Masalahnya, dalam praktik di lapangan susah membeda-bedakan jenis truk. Akhirnya terjadi kekacauan dalam pembelian BBM. Supir truk memilih mogok. Dampaknya, barang-barang kebutuhan pokok terlambat tiba di berbagai daerah Indonesia Timur, karena Tanjung Perak adalah pusat perdagangan ke arah sana. Selanjutnya, terjadi kelangkaan, dan barang-barang menjadi mahal. Masyarakat akan bergejolak. Rentetan efek kekacauan transportasi bisa sampai sejauh itu!

Ini kita baru berbicara tentang BBM. Satu dari banyak masalah yang mendera angkutan plat kuning.

Bisnis angkutan umum sangat kompleks, njlimet. Bagaimana cara menghitung biaya operasi angkutan umum sehingga kita bisa menetapkan tarif bagi penumpang? Dengan memperhitungkan harga BBM dan gaji sopir plus kenek? Tentu saja tidak. Kita belum memperhitungkan kendaraannya. Mereka tidak abadi. Dalam jangka waktu tertentu mereka akan rusak. Dan yang paling mempengaruhi adalah kualitas jalan.

Kalau kita mau berbicara tentang jalan di Indonesia, wah, melelahkan. Sudah menjadi perbincangan yang biasa bahwa proyek-proyek pembangunan jalan lebih mendatangkan keuntungan yang besar daripada infrastruktur lain. Kalau kita menggarap proyek gedung bertingkat, tiap-tiap pekerjaan kita sangat kelihatan. Tinggi tiang, lebar lantai, dan jumlah tingkat terlihat oleh mata. Sedangkan lapisan-lapisan di bawah perkerasan susah dicek karena begitu panjang dan berada di lingkungan yang berbeda-beda. Selain itu, kegagalan bangunan gedung akan mudah disorot oleh masyarakat. Mungkin terlihat lebih menakutkan. Sedangkan lubang-lubang di jalan mudah kita acuhkan. Padahal, kecurangan dalam kualitas perkerasan setebal 1 cm saja, bila dikalikan dengan panjang jalan yang berkilo-kilo meter, kerugiannya akan mencapai miliaran bahkan triliun.

Lubang, retakan, gelombang, dan kubangan di jalan bikin umur kendaraan tidak panjang. Tentu saja ini berdampak pada semua kendaraan, termasuk kendaraan pribadi. Tetapi khusus angkutan umum, biaya perawatan kendaraan sangat berpengaruh pada kelanjutan usaha. Itu menjadi beban tambahan yang harus dipikirkan juga oleh pemilik angkutan. Bahkan bukan hanya komponen-komponen utama yang bisa rusak. Speaker bus yang terbanting di sepanjang jalan rusak karena guncangan kendaraan juga membebankan biaya operasi.

Berdasarkan data Kementrian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat, pada tahun 2014, jalan nasional yang rusak 6,05%. Angka yang kecil? Tentu saja tidak. Bila dikonversikan menjadi panjang, yang rusak 2.300 km. Ya kira-kira 2 kali panjang Jalan Daendels. Itu baru jalan nasional. Belum jalan provinsi, kabupaten, dan yang lebih kecil lagi. Lebih menyedihkan. Di tahun yang sama, panjang jalan provinsi 46.486 km dengan kondisi yang rusak sebesar 29% atau 13.481 km. Panjang kan? Kalau jalan kabupaten yang baik hanya 57% dari panjang jalan 346.299 km. Berarti yang rusak 148.908 km. Menyedihkan banget.

Cobaan bagi angkutan umum belum berhenti sampai di situ. Mereka juga masih harus berurusan sama preman, pungli di perjalanan, hingga mobil murah. Masalah-masalah yang ini tidak akan dibahas lebih lanjut karena tulisan ini akan jadi terlalu panjang. Saya hanya akan membahas tentang fenomena saat ini yang akan sangat berdampak bagi angkutan umum, yaitu transportasi online.

Sesungguhnya, permasalahannya bukan terletak pada online atau konvensional, digital atau manual. Sederhana kok. Asal kita berpegang teguh pada satu pertanyaan: transportasi macam itu bikin macet nggak?

Jikalau yang dibikin jadi berbasis daring adalah transportasi umum macam Transjogja, bus kota, angkot, ya sah-sah saja. Misalnya dengan membikin aplikasi yang berisi jadwal Transjogja dan posisi bus yang sedang ditunggu, berapa menit lagi bus bakal sampai, atau kontrol kondisi kendaraan sampai kapan waktu yang tepat untuk menggantinya. Tapi kalau yang dibikin daring itu ojek, taksi, sehingga jumlahnya semakin banyak dan memenuhi kota, ya tentu saja harus dibatasi. Kan sama saja kendaraan-kendaraan itu dengan angkutan pribadi. Nggak massal. Nggak bareng-bareng. Daya angkutnya sedikit. Maka melenceng dari prinsip mobilitas. Tapi ya wajar sih. Soalnya kan undang-undang transportasi kita nggak menyinggung soal mobilitas. Cek saja. Yang banyak malah soal industri otomotif.

Bahkan, lebih parahnya lagi, di Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 2009 tentang Jalan Tol bagian “menimbang”, ada kalimat “bahwa pada beberapa daerah di Indonesia, sepeda motor merupakan moda transportasi dengan populasi yang cukup besar sehingga perlu diberi kemudahan dalam infrastruktur jalan tol dengan memperhitungkan faktor keselamatan dan keamanan”. Pikiran macam ini? Memberikan akses sepeda motor ke jalan tol? Kata “sepeda motor” dan “keselamatan dan keamanan” saja sudah nggak relevan. Bukankah sepeda motor adalah moda yang paling buruk dalam hal keselamatan? Bukankah UU Lalu Lintas dan Angkutan Jalan tidak membahas sepeda motor karena tidak memenuhi kriteria keselamatan? Dalam transportasi, perhatian paling utama adalah keselamatan pengendara. Sebab nyawa nggak bisa dinilai dengan apapun.

Mari kita lihat data kecelakaan. Berdasarkan catatan Polri, pada tahun 2014 terjadi 152.130 kecelakaan. Dari jumlah tersebut, kecelakaan yang melibatkan sepeda motor sebanyak 108.883 kecelakaan, mobil penumpang 18.147 kecelakaan, mobil beban 19.242 kecelakaan, bus 4.808 kecelakaan, dan kendaraan khusus 1.050 kecelakaan. Berarti 71,6% kecelakaan terjadi pada sepeda motor. Dan apakah Bung dan Nona tahu, berapa nilai santunan dari Jasa Raharja untuk para ahli waris kematian sanak keluarga pengendara sepeda motor? Dua puluh lima juta rupiah! Ya, nyawa keluargamu yang mengendarai sepeda motor dihargai sejumlah itu. Berbeda jauh dengan santunan korban kecelakaan angkutan udara yang mencapai Rp1,25 miliar, plus peliputan berhari-hari di media. Nyawa orang saja ada kelasnya.

Tetapi perkembangan jumlah sepeda motor malah terus meningkat. Selama tahun 2010-2014, pertumbuhan rata-rata sepeda motor 12,15%. Artinya, industri sepeda motor jalan terus. Pada tahun 2014, jumlah sepeda motor 92 juta. Penduduk Indonesia sekitar 250 juta. Jadi kira-kira bisa dimisalkan bahwa 1 motor buat 3 orang. Bukan tidak mungkin dengan pertumbuhan jumlah sepeda motor yang sedemikian besar, 1 motor buat 1 orang. Angkutan umum menjadi semakin tidak diperlukan lagi. Saran saya, bunuh sekalian saja angkutan umum, biarkan orang-orang pakai kendaraannya masing-masing. Alihkan dana negara untuk menyediakan sebesar-besarnya subsidi BBM, psikiater, konsultan keharmonisan keluarga, pengasuh anak, karena orang-orang akan lebih sering menghabiskan hidupnya di jalan daripada bersama keluarga. Oh, ya, jangan lupa dirikan satuan tanggap kematian, karena jalanan akan semakin menjadi kuburan massal bagi orang-orang.

Kategori
Society Transportasi

Pagi di Jakarta

Orang-orang Jakarta di pagi hari. Mereka saling berbagai ruang di Kereta Rel Listrik untuk menuju tempat kegiatan masing-masing.
Oleh: Pak Wali

Seperti pagi-pagi yang lain, Jakarta selalu ditandai dengan orang-orang yang bergegas. Waktu begitu berharga di kota ini, semua orang setuju dengan itu. Meski semua bergegas dalam diam, bukan berarti acuh tak acuh dengan urusan orang lain. Saat tak tahu arah, ada saja orang yang memberi tahu jarak, angkutan atau jalan tercepat agar lekas sampai.

Bisa jadi budaya dari kampung dan dusun yang terbawa di dalam sikap hidup orang-orang baik itu, mau berbagi ruang.

Jika Anda pengguna fasilitas pelayanan publik di Jakarta, sebut saja commuter misalnya. Di jam sibuk, terlihat bagaimana warga Jabodetabek mau berlega hati berdesakan naik ke dalam kereta. Saat berangkat di pagi hari, saat pulang di sore hari maupun malam hari, fasilitas pelayanan publik seperti kereta api, bus kota di jalan raya, begitu padatnya. Itu yang rutin terjadi.

Sejak adanya perubahan rezim pemerintahan, ada perbedaan mencolok yang bisa terlihat nyata. Pelayanan publik yang lebih baik, berusaha diberikan oleh pemerintah di ibukota Jakarta. Tak ada yang bisa menolak, soal perubahan pelayanan ini. Termasuk dengan mulai terlihatnya tiang pancang LRT (Light Rail Transit) yang kini terlihat berjejer menjanjikan makin ada kenyamanan nanti bagi pengguna angkutan umum.

Memang, jika dinilai dari sisi kenyamanan, masih banyak yang harus diperbaiki dan ditambah soal pelayanan umum. Ini satu soal yang butuh kerjasama antarpihak, bukan saja rezim yang berkuasa tapi juga pelibatan banyak unsur. Utamanya untuk bisa memastikan bahwa aneka program kegiatan pembangunan untuk pelayanan publik bisa berjalan baik. Pembiayaan program efisien, tak ada korupsi dan berdampak terwujudnya pelayanan publik yang lebih baik.

Ini catatan pendek jelang Pilkada DKI, 19 April 2017, sesaat setelah masuk kota Jakarta, usai menikmati uyel-uyelan di atas kereta commuter. Di perjalanan tadi, tak ada cerita apapun soal paslon (pasangan calon) yang hendak dipilih baik dalam obrolan antarpengguna commuter. Hanya saja, beberapa orang dengan gadgetnya tampak men-scroll berita dan yang lain larut dalam game menyusun kata.

Senin di awal pekan ini, adalah waktu yang biasa bagi sebagian warga kota, rakyat Jakarta. Tapi pekan ini, tepatnya Rabu nanti, rakyat Jakarta berkesempatan memilih pemimpinnya, pasangan Gubernur dan Wakil Gubernur. Siapa yang berhasil merebut rasa percaya rakyat Jakarta?

Pak Wali
PijakID
Kategori
Infrastruktur

Catatan Dari Sendowo

Tanah ambles di depan rumah warga Kali Code
Oleh: Dandy IM

Hujan mulai rintik. Beberapa orang bergegas. Dua orang menuju excavator yang sedari tadi diam di bibir bendung. Sedang yang lainnya mengambil gerobak sorong untuk mengangkut karung pasir. Para ibu dan anak-anak menonton di pinggir kali. Tetapi juga ada beberapa anak yang menonton dari atas jembatan. Bahkan, seorang anak laki-laki juga membantu pengangkutan karung pasir.

Karung pasir digunakan untuk memperkokoh talud darurat yang dibuat di tengah aliran Kali Code pada Hari Rabu, 13 April 2016. Talud darurat ini dibangun sebelum bendung kecil yang melintang di sebelah hilir jembatan. Dengan harapan, aliran air di sisi luar belokan sungai tak mengalir deras. Sehingga, talud permanen yang sudah retak tidak bertambah parah.

Selasa siang tanggal 5 April 2016, talud Kali Code di Sendowo RT 10 RW 56, Mlati, Sleman, Yogyakarta retak. Talud yang retak ini berada di sisi luar belokan sungai. Retakan talud membuat tanah di atasnya ambles. Dua rumah yang jaraknya hanya sekitar 5 meter dari bibir kali terancam roboh. Ada lubang besar tepat di bagian depan dua rumah itu. Jalan yang berada di depan rumah retak sepanjang 20 meter. Jalan ini adalah salah satu akses ke jembatan yang menghubungkan perumahan di sisi utara kali dan sisi selatan. Praktis, warga hanya bisa melewatinya dengan berjalan kaki sambil berhati-hati. Padahal, hari-hari sebelum ambles, jalan ini bisa dilalui sepeda motor.

Excavator mulai menciduk tumpukan pasir di dasar sungai. Mula-mula Ia mengeruk pasir yang berada di atas bendung, lalu menumpuknya di sebelah selatan tiang jembatan, membentuk talud darurat. Setelah pasir di atas bendung dirasa sudah habis, excavator pelan menuruni bendung. Ia mulai lagi mengeruk pasir di bawah bendung, sebanyak-banyaknya, untuk dipindahkan ke atas bendung.

Back hoe mengeruk pasir untuk dijadikan tanggul darurat
Oleh: Dandy IM

Alat berat ini didatangkan oleh tim Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kabupaten Sleman dari Dinas Pekerjaan Umum dan Perumahan (DPUP) Sleman pada Hari Senin, 11 April 2016. Ini enam hari setelah tanah ambles. Walaupun, tim BPBD Sleman langsung mengecek lokasi saat hari kejadian.

Tumpukan pasir di bawah bendung adalah sisa-sisa dari talud darurat yang hanyut dibawa aliran sungai. Ya, sebenarnya warga telah membangun talud darurat di sebelah utara tiang jembatan. Karena talut darurat dibangun lebih dekat ke arah pusat tikungan, air yang diperlambat menjadi lebih luas. Dengan kata lain, lebar saluran untuk air yang masih bergerak cepat menjadi lebih sempit. Akibatnya, bila hujan deras terjadi, ditambah aliran air dari hulu, bendung darurat akan terancam. Dan ini benar-benar terjadi pada Selasa, 12 April 2016, sekitar pukul 3 sore. Bendung darurat hanyut dibawa aliran sungai. Hujan pada hari tersebut di daerah Sleman memang cukup deras.

Salah satu bagian pagar di tengah jembatan dilepas sebagai jalan melempar karung pasir. Sudah beberapa orang di bawah jembatan yang siap menata karung pasir tersebut. Sebelum karung pasir dilempar, yang akan melempar lebih dulu akan berteriak:

“Awas…!!.”

“Yok, aman….” balas teriak orang-orang yang di bawah.

Kemudian akan terdengar bunyi: buk!

Gerobak sorong biasanya hanya diisi dua karung pasir. Itu sudah cukup berat. Untuk warga yang punya stamina lebih besar, Ia akan mengisi gerobak sorongnya dengan tiga karung pasir. Seorang kakek dengan sebatang rokok yang setia menempel di bibirnya, mengangkut tiap dua karung pasir. Kakek ini tidak banyak bicara, Ia fokus bekerja. Sementara anak lelaki yang ikut membantu, gerobak sorongnya berisi satu karung pasir. Ia melakukannya dengan gesit. Dengan wajah sumringah.

Karena yang mendorong gerobak sorong hanya lima orang, dalam satu kali putaran, hanya 10 karung pasir yang terangkut. Padahal, ada sekitar 1.000 karung pasir yang dipersiapkan. Jembatan yang cukup sempit pun ikut menyulitkan jalannya dua gerobak sorong yang berpapasan. Karung pasir dan 10 gerobak sorong berwarna merah juga merupakan bantuan dari BPBD Sleman.

Tanggul darurat untuk mencegah gerusan di dnding sungai menjadi semakin besar
Oleh: Dandy IM

Pembungkusan pasir ke dalam karung dilakukan mandiri oleh warga. Pasir diambil dari tumpukan yang menempel di dinding talud bagian utara. Penumpukan pasir di samping talud bagian dalam tikungan memang sesuatu yang wajar. Sebab, aliran air sungai cenderung mengambil jalan yang lebih panjang, menyisir talud bagian luar tikungan. Di setiap belokan Kali Code, hal ini terjadi, dengan besar tumpukan pasir yang berbeda-beda. Tumpukan pasir ini tentu saja memperkokoh talud yang ditempelinya.

Rencananya, pemerintah akan merobohkan talud yang retak. Mereka akan membangun kembali talud dengan bronjong. Beberapa buah anyaman kawat yang bermotif segi enam telah dipersiapkan.

Pembangunan talud dengan bronjong memang akan terlihat kokoh. Batu-batu akan diikat oleh anyaman kawat untuk menahan beban tanah dan tambahan beban dari bangunan rumah. Namun, tampaknya belum disadari secara keseluruhan penyebab talud retak dan tanah ambles. Ada pengaruh besar dari lubang yang terjadi di bawah talud akibat gerusan aliran air kali. Lubang ini akan membuat tanah mudah ambles dan talud retak akibat hilangnya tahanan di dasarnya.

Sebenarnya masalah lubang yang terbentuk di bawah talud sudah diketahui oleh warga. Pernah lubang tersebut ditutup dengan beberapa karung pasir. Tapi, akhirnya karung-karung itu juga raib dibawa aliran air. Lebar lubang sekitar 2 meter dan memanjang ke bawah rumah.

Keadaan seperti ini, bisa dibayangkan seperti membangun bangunan sangat kokoh yang menggantung dengan tidak stabil di bibir jurang.

Untuk tahu lebih detail tentang proses terjadinya lubang di bawah talud dan langkah-langkah untuk mengatasinya, sila baca: Talud Kali Code yang Terlalu Ringkih. Penulis artikel tersebut menyarankan penggunaan turap untuk memperkokoh talud dan menghambat terjadinya lubang di bawahnya.

Namun, langkah itu tak kunjung dilakukan pada talud-talud Kali Code.

Gundukan pasir yang membentuk talud darurat dilapisi spanduk-spanduk bekas sebelum diperkokoh dengan karung pasir. Spanduk dipasang di muka talud darurat yang bersinggungan langsung dengan aliran air yang masih deras. Yang dipakai kebanyakan spanduk bekas suatu acara mahasiswa. Ada logo UGM di salah satu spanduk. Ada juga logo salah satu organisasi mahasiswa, bersanding dengan kalimat yang menjelaskan acaranya.

Spanduk dipasang secara tumpang tindih, agar air tidak merembes. Setelah spanduk terpasang rapi, karung pasir dijejer rapi di atasnya. Beberapa karung pasir bocor, ikatannya lepas. Hal ini terjadi setelah karung tersebut dilempar dari atas jembatan, atau memang sudah bocor saat di tumpukan. Karung-karung yang bocor ini diletakkan di atas hamparan spanduk dengan bagian yang bocor berada di bawah. Pasir di karung bocor itu sepertinya tak akan bertahan lama, terkikis oleh air.

Saat hari kejadian retaknya talud Kali Code di daerah Sendowo ini, saya menemukan sebuah kalimat di media sosial:

“Bangun rumahnya nggak mikir-mikir, mepet kali.”

Jadi, begini saudara-saudara. Sebaiknya disepakati secara bersama dulu bahwa semua orang rasanya tidak mau tinggal di pinggiran kali yang penuh dengan risiko. Hujan setengah rintik hingga mulai deras, tak bisa dinikmati dengan leyeh-leyeh sambil menggores kertas dengan berbait-bait puisi untuk kekasih, misalnya. Sebab selalu ada kekhawatiran, tentang dinding rumahnya, tanah di bawah rumahnya, atau air yang bertamu ke dalam terasnya karena sungai tak lagi bisa menampung jumlahnya.

Dan, perlu melihat sebuah masalah dengan pandangan yang lebih luas tapi tetap teliti.

Ketidakmerataan kepadatan penduduk menimbulkan rentetan masalah besar. Ia menimbulkan krisis air bersih, lalu lintas yang berantakan, polusi udara, tanah, suara, sampai rebutan lahan hingga yang tersedia secara murah hanyalah bantaran kali.

Laju pertumbuhan penduduk DI Yogyakarta terus mengalami peningkatan pada rentang tahun 2000-2014 (1,04 menjadi 1,2). Sedangkan sebagian besar daerah lain, pada rentang tahun yang sama, mengalami penurunan. Seperti Provinsi Jawa Timur (0,76 menjadi 0,69), Jawa Barat (1,9 menjadi 1,58), Banten (2,78 menjadi 2,3), Bali (2,15 menjadi 1,24). Hampir seluruh daerah Sulawesi mengalami penurunan laju pertumbuhan penduduk dengan penurunan terbesar terjadi pada Sulawesi Tengah (1,95 menjadi 1,71). Sulawesi Tenggara memang mengalami sedikit peningkatan pada rentang tahun tersebut (2,08-2,2), namun perlu dicatat bahwa di sana terjadi penurunan drastis pada rentang tahun 1990-2010 (3,15 menjadi 2,08). Kejadian di Sulawesi Tenggara ini juga terjadi di Jawa Tengah (sumber: BPS Nasional).

Juga, migrasi neto DI Yogyakarta pada rentang tahun 2000-2015 selalu positif dengan nilai tertinggi terjadi pada tahun 2015 yaitu sebesar 123.342. Migrasi neto menunjukkan selisih antara migrasi masuk dan keluar. Sehingga, angka positif menunjukkan bahwa jumlah migrasi masuk lebih besar daripada migrasi keluar. Hal ini berbeda dengan dua provinsi di dekatnya (Jawa Tengah dan Jawa Timur) yang mempunyai angka migrasi neto negatif pada rentang tahun yang sama. Pada tahun 2015, angka migrasi neto Jawa Tengah adalah -129.379, sedangkan Jawa Timur: -105.806 (sumber: BPS Nasional).

Yogya memiliki daya tarik yang sangat besar, banyak, dan beragam. Kota budaya, pelajar, wisata, festival, pendidikan, pergerakan, nyaman, kesenian, bersejarah, kenangan, cinta. Ada lagi? Saya yakin ada lagi. Semuanya menumpuk di daerah ini.

Ada 139 perguruan tinggi di Yogya menurut catatan Dikti. Setiap tahunnya, ratusan perguruan tinggi ini akan menarik mahasiswa baru dari berbagai wilayah di Indonesia untuk pindah ke Yogya. Belum lagi bila menghitung perpindahan penduduk karena pekerjaan, pergerakan wisatawan, dan lain sebagainya. Saya tidak akan mencantumkannya karena akan terlalu panjang.

Berbagai fenomena ini besar pengaruhnya dalam perubahan wajah Jogja pada saat sekarang. Bisnis perhotelan dan apartemen berkembang pesat, termasuk juga pusat perbelanjaan. Saya tidak akan menghujat secara asal-asalan dan membabi buta sebuah pembangunan. Sebab pembangunan tetap dibutuhkan untuk sebuah kemajuan. Tapi, toh, sebuah pembangunan juga tak patut dibiarkan asal-asalan.

Alih-alih mencibir warga bantaran Kali Code, mending menodong pemerintah pusat dengan pertanyaan: Mengapa mereka bisa membiarkan begitu saja ketidakmerataan pembangunan selama puluhan tahun terjadi? Mengapa mereka membiarkan orang-orang menumpuk di kota-kota besar di Jawa? Sehingga mereka saling mencibir, memfitnah, membunuh, hingga memperkosa?

Bila todongan tersebut terasa jauh di angan-angan, bisa dialihkan ke pemerintah Yogya dengan penyesuaian. Jadi, pertanyaannya menjadi: Mengapa yang berkembang pesat malah perhotelan dan apartemen? Mengapa rumah susun bagi penduduk yang tinggal di rumah tak layak huni tidak diperdulikan?

Tentu saja, pertanyaan-pertanyaan ini perlu disertai beberapa catatan. Pertama, tidak perlu senang secara berlebihan dengan berlakunya moratorium hotel – yang berakhir di akhir tahun 2016. Sebab, ratusan pengajuan perizinan hotel yang masuk sebelum berlakunya moratorium, tetap diproses. Kedua, ide merelokasi warga bantaran Kali Code, yang dilontarkan oleh Wakil Bupati Sleman (setelah longsor di Sendowo), ke sebuah bangunan rusun, perlu pembelajaran yang lebih mendalam. Karena, selama ini, aspek manusia sebagai suatu subjek tidak diperhatikan. Manusia hanya menjadi objek relokasi. Fokus hanya tertuju pada keefektifan penggunaan lahan, bahan bangunan, suplai air, listrik, dan hal-hal yang berhubungan dengan material.

Sebab relokasi bukanlah memindah binatang ke sebuah kandang yang bersekat-sekat..

Matahari sudah semburat dengan terang. Tapi rintik hujan masih berjatuhan, meski dengan intensitas yang sedang. Pengeras suara masjid sudah mengumandangkan adzan asar.

Karung pasir baru berjejer seperempat dari panjang talud darurat. Anak lelaki yang tadi ikut mengangkut karung pasir tak lagi terlihat. Kakek yang tak putus menghisap rokok, beranjak dari istirahatnya, mengambil gerobak sorong lagi, siap mengangkut karung pasir lagi. Para ibu terdengar sedang berbincang untuk menyediakan suguhan.

Yang pasti, harapan mereka sama: semoga banjir tak berlekas-lekas datang dan menerjang.

Kategori
Transportasi

Kotak Kuning Pengatur Lalu Lintas

Yellow Box Junction / Foto: Sansan

Kemacetan sekarang ini merupakan pemandangan yang sudah biasa dijumpai. Salah satu contohnya adalah kota Solo. Kota dengan luas sekitar 46,01 kilometer persegi yang ditempati sekitar 547.116 jiwa menurut data dari kemendagri.go.id. Dan juga, kepadatan penduduknya mencapai 11.300 jiwa per kilometer persegi berdasar hasil sensus yang dilakukan oleh Badan Pusat Statistik (BPS) pada tahun 2010 silam. Ada berbagai macam metode yang bisa digunakan untuk mengurai kemacetan tersebut, baik dari segi teknis ataupun non teknis. Salah satu yang sudah diterapkan di kota ini ialah Yellow Box Junction (YBJ).

Mungkin YBJ masih terdengar asing di telinga kita. YBJ, jika dilihat sepintas merupakan garis berbentuk persegi dan berukuran besar yang terdapat pada persimpangan lampu merah. Marka kuning ini bertujuan untuk mencegah kepadatan lalu lintas pada jalur yang dilewati dan berakibat pada tersendatnya arus kendaraan di jalur lain yang tidak padat. Dengan adanya YBJ, diharapkan kepadatan di persimpangan tersebut tidak terkunci.

YBJ sangat berguna di persimpangan-persimpangan jalan yang padat pada jalan-jalan utama, serta saat waktu puncak kepadatan lalu lintas. Di kota Solo sendiri, YBJ terdapat di sepanjang jalan Slamet Riyadi, dimulai dari Purwosari hingga perempatan Nonongan.

Mekanisme kerjanya adalah kendaraan berhenti di simpang ketika lampu merah. Saat lampu menunjukkan warna hjau, pengendara kendaraan mulai melakukan pergerakan. Ada yang mengambil jalur lurus, belok kanan, ataupun belok kiri. Sementara itu, terdapat YBJ yang harus mereka lewati terlebih dahulu di simpang tersebut. Pengendara baru diperbolehkan untuk melakukan pergerakan ketika sudah tidak terdapat kendaraan di dalam YBJ.

Misal ada pengguna jalan ingin menuju ke arah selatan dari arah utara. Pengguna jalan tersebut baru boleh melaju saat sudah tidak terdapat kendaraan dari arah lain yang berada di dalam YBJ. Begitu pula dengan pengguna jalan lain di belakang yang juga hendak menuju arah selatan dari arah utara. Mereka baru bisa bergerak ketika semua kendaraan di depan mereka sudah melewati YBJ. Walaupun masih lampu hijau, tetapi jika kendaraan di depan sudah mengekor sampai di dalam YBJ maka sebaiknya pengguna jalan tersebut mengurungkan niatnya untuk menyeberang dan berhenti tepat dibelakang marka. Ini sangat membantu untuk mengurangi tundaan yang terjadi saat lampu hijau dari arah lain menyala.

Dalam pengamatan yang dilakukan tim pijak.co, kebanyakan dari pengguna jalan masih belum mengetahui fungsi dan tujuan dari YBJ. Ada beberapa pengguna jalan yang masih menerobosnya walaupun sudah lampu merah. Ada yang sama sekali tidak mengerti tujuan diterapkannya YBJ dan hanya menganggapnya sebagai penghias jalan. Namun, ada pula yang sudah mengetahui arti dari YBJ baik dari fungsi maupun tujuan diberlakukannya.

YBJ akan berfungsi maksimal jika ada kesadaran dari pengguna jalan. Sebab kesadaran merupakan kunci utama kelancaran lalu lintas. Jadi, jika pengendara melihat jalur di depannya tersendat sebaiknya pengendara tidak memaksakan kendaraannya untuk terus melaju walaupun lampu lalu lintas masih menunjukkan warna hijau dan berhenti tepat di belakang marka. Perilaku seperti inilah yang bisa membuat lalu lintas menjadi lancar ketika lampu lalu lintas di jalur lain menunjukkan warna hijau.

Pengguna jalan yang masih nekat melajukan kendaraannya dan terlihat terjebak di dalam YBJ ketika jalur lain hijau maka dapat dikenai sanksi sesuai dengan hukum yang berlaku. Seperti yang dijelaskan dalam UU No. 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, pasal 287 (2) juncto Pasal 106 (4) huruf a, b tentang rambu-rambu lalu lintas dan berhenti di belakang garis stop. Pidananya ialah kurungan dua bulan penjara atau denda lima ratus ribu rupiah.

Agar lalu lintas dapat berjalan dengan lancar dan tanpa terjadi kemacetan, maka sosialisasi kepada pengguna jalan perlu dilakukan. Selain memperlancar lalu lintas, dengan adanya sosialisasi maka masyarakat umum dapat mengetahui kondisi terkini terkait peraturan yang sedang diberlakukan. Kemacetan sekarang ini merupakan pemandangan yang sudah biasa dijumpai. Salah satu contohnya adalah kota Solo. Kota dengan luas sekitar 46,01 kilometer persegi yang ditempati sekitar 547.116 jiwa menurut data dari kemendagri.go.id. Dan juga, kepadatan penduduknya mencapai 11.300 jiwa per kilometer persegi berdasar hasil sensus yang dilakukan oleh Badan Pusat Statistik (BPS) pada tahun 2010 silam. Ada berbagai macam metode yang bisa digunakan untuk mengurai kemacetan tersebut, baik dari segi teknis ataupun non teknis. Salah satu yang sudah diterapkan di kota ini ialah Yellow Box Junction (YBJ).

Mungkin YBJ masih terdengar asing di telinga kita. YBJ, jika dilihat sepintas merupakan garis berbentuk persegi dan berukuran besar yang terdapat pada persimpangan lampu merah. Marka kuning ini bertujuan untuk mencegah kepadatan lalu lintas pada jalur yang dilewati dan berakibat pada tersendatnya arus kendaraan di jalur lain yang tidak padat. Dengan adanya YBJ, diharapkan kepadatan di persimpangan tersebut tidak terkunci.

YBJ sangat berguna di persimpangan-persimpangan jalan yang padat pada jalan-jalan utama, serta saat waktu puncak kepadatan lalu lintas. Di kota Solo sendiri, YBJ terdapat di sepanjang jalan Slamet Riyadi, dimulai dari Purwosari hingga perempatan Nonongan.

Mekanisme kerjanya adalah kendaraan berhenti di simpang ketika lampu merah. Saat lampu menunjukkan warna hjau, pengendara kendaraan mulai melakukan pergerakan. Ada yang mengambil jalur lurus, belok kanan, ataupun belok kiri. Sementara itu, terdapat YBJ yang harus mereka lewati terlebih dahulu di simpang tersebut. Pengendara baru diperbolehkan untuk melakukan pergerakan ketika sudah tidak terdapat kendaraan di dalam YBJ.

Misal ada pengguna jalan ingin menuju ke arah selatan dari arah utara. Pengguna jalan tersebut baru boleh melaju saat sudah tidak terdapat kendaraan dari arah lain yang berada di dalam YBJ. Begitu pula dengan pengguna jalan lain di belakang yang juga hendak menuju arah selatan dari arah utara. Mereka baru bisa bergerak ketika semua kendaraan di depan mereka sudah melewati YBJ. Walaupun masih lampu hijau, tetapi jika kendaraan di depan sudah mengekor sampai di dalam YBJ maka sebaiknya pengguna jalan tersebut mengurungkan niatnya untuk menyeberang dan berhenti tepat dibelakang marka. Ini sangat membantu untuk mengurangi tundaan yang terjadi saat lampu hijau dari arah lain menyala.

Dalam pengamatan yang dilakukan tim pijak.co, kebanyakan dari pengguna jalan masih belum mengetahui fungsi dan tujuan dari YBJ. Ada beberapa pengguna jalan yang masih menerobosnya walaupun sudah lampu merah. Ada yang sama sekali tidak mengerti tujuan diterapkannya YBJ dan hanya menganggapnya sebagai penghias jalan. Namun, ada pula yang sudah mengetahui arti dari YBJ baik dari fungsi maupun tujuan diberlakukannya.

YBJ akan berfungsi maksimal jika ada kesadaran dari pengguna jalan. Sebab kesadaran merupakan kunci utama kelancaran lalu lintas. Jadi, jika pengendara melihat jalur di depannya tersendat sebaiknya pengendara tidak memaksakan kendaraannya untuk terus melaju walaupun lampu lalu lintas masih menunjukkan warna hijau dan berhenti tepat di belakang marka. Perilaku seperti inilah yang bisa membuat lalu lintas menjadi lancar ketika lampu lalu lintas di jalur lain menunjukkan warna hijau.

Pengguna jalan yang masih nekat melajukan kendaraannya dan terlihat terjebak di dalam YBJ ketika jalur lain hijau maka dapat dikenai sanksi sesuai dengan hukum yang berlaku. Seperti yang dijelaskan dalam UU No. 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, pasal 287 (2) juncto Pasal 106 (4) huruf a, b tentang rambu-rambu lalu lintas dan berhenti di belakang garis stop. Pidananya ialah kurungan dua bulan penjara atau denda lima ratus ribu rupiah.

Agar lalu lintas dapat berjalan dengan lancar dan tanpa terjadi kemacetan, maka sosialisasi kepada pengguna jalan perlu dilakukan. Selain memperlancar lalu lintas, dengan adanya sosialisasi maka masyarakat umum dapat mengetahui kondisi terkini terkait peraturan yang sedang diberlakukan.

Sansan
PijakID
Kategori
Infrastruktur

Talud Kali Code yang Terlalu Ringkih

Dinding penahan dirobohkan untuk diperbaiki // Foto: Ridwan AN

Sabtu, 17 Oktober 2015, media lokal Yogyakarta ramai memberitakan keruntuhan dinding tepi Kali Code yang terjadi di barat jalan Jagalan, Kelurahan Pakualaman, Kota Yogyakarta. Lebih tepatnya, keruntuhan terjadi di belakang hotel Putra Sabar tepat di samping rumah salah satu warga yang temboknya menghadap langsung ke Sungai Code. Seperti tampak pada foto di atas, terlihat kondisinya sudah sangat membahayakan karena tembok rumah hanya berjarak sekitar 2 jari dari bibir reruntuhan.

Dinding penahan tersebut ternyata sengaja diruntuhkan untuk diperbaiki, setelah pemilik rumah dan warga sekitar mengecek keadaan di bawah dinding. Dari pengecekan itu, didapati bahwa ada lubang melintang sepanjang 5-6 meter di bawah dinding penahan yang menyebabkan dinding penahan tersebut seperti posisi menggantung.

“Sudah belasan tahun saya mengetahui ada lubang di bawah talud itu. Sudah pernah saya laporkan, tapi tidak ada tanggapan dari pemerintah. Sebelum dirobohkan, lubang tersebut banyak ikannya,” ungkap pemilik rumah tersebut. Bagaimana lubang sepanjang 5-6 meter dan lebar 3 meter dari bibir kali tesebut bisa terjadi? Saya akan menjelaskan dengan analisis mendalam tentang kejadian tersebut.

Terjadi Berangsur-angsur
Pertama-tama, perlu ditekankan bahwa proses tersebut bukanlah sesuatu yang instan terjadi. Kejadian tersebut merupakan akibat dari suatu proses yang berangsur-angsur lama terjadi. Bisa jadi, keruntuhan dinding akibat proses tersebut terjadi kapan saja dan tidak selalu saat atau setelah hujan saja. Sebab, dinding yang dalam posisi menggantung sudah tidak kuat menahan beban di atasnya. Nah, lalu bagaimana step-step pembentukan lubang tersebut?

Proses Gerusan Tanah Dasar (Local Scouring)
Bagi yang kuliah di Teknik Sipil, mungkin sudah tahu tentang gerusan dasar (Local Scouring). Tetapi, untuk para pembaca yang lain kami coba untuk menjelaskan analisis dasarnya.

Jadi, gerusan dasar itu adalah proses penggerusan tanah dasar sungai oleh aliran air yang belum jenuh dengan material. Belum jenuh material bisa diibaratkan seperti saat kita mengaduk air dengan gula yang banyak. Tentunya, akan didapati sisa gula yang akan mengendap di dasar air. Pengendapan tersebut terjadi karena air sudah jenuh dengan senyawa gula dan tidak dapat bereaksi lagi. Sebaliknya, bila larutan belum jenuh, penambahan lagi sedikit gula tidak akan menghasilkan pengendapan gula.

Begitu pula dengan campuran air dan lumpur/tanah. Ketika air hujan yang berada di Daerah Aliran Sungai (DAS) dikumpulkan di selokan lalu dibuang ke dalam sungai, maka sebenarnya air hujan itu adalah air yang belum jenuh material (masih jernih). Artinya, air masih mempunyai kemampuan untuk mengangkut material. Ketika air hujan itu berada di sungai, air hujan tersebut mengangkut partikel-partikel tanah dasar sungai. Ini terjadi sampai air tidak mempunyai kemampuan lagi untuk mengangkut partikel-partikel tersebut. Dalam kasus lain, gerusan yang serius juga diakibatkan oleh adanya bendung-bendung yang ada di sungai. Ketika partikel tanah tertahan oleh bendung, air akan kehilangan material lalu bersifat tidak jenuh lagi. Sehingga, air akan mengangkut partikel tanah lagi hingga bersifat jenuh.

Nah, kaitannya dengan pembentukan lubang di dinding saluran Kali Code, gerusan terjadi terus menerus sampai elevasi tanah dasar berada di bawah elevasi dasar dinding penahan. Sehingga, dinding penahan tersebut ditopang oleh tanah yang berhubungan langsung dengan air. Karena tanah tersebut berhubungan langsung dengan air, maka tanah tersebut juga mengalami penggerusan oleh air (gerusan samping). Akibat dari penggerusan samping tersebut, batu kali penyusun dinding penahan akan mengalami penurunan (lepas) seperti terlihat pada gambar berikut.

Penurunan dan pelepasan material batu kali // Foto: Ridwan AN

Proses Piping
Pengertian dari istilah Piping (baca: paiping) ini adalah sebuah proses pembentukan pipa alam yang berdiameter kecil. Piping ini disebabkan oleh perbedaan tekanan. Seperti kita ketahui, bahwa dalam suatu perbedaan tekanan berlaku prinsip: sesuatu akan bergerak dari tekanan tinggi menuju ke tekanan yang rendah. Dalam kasus ini, perbedaan tekanan yang ada disebabkan karena adanya kecepatan aliran air sungai. Menurut Hukum Bernoulli , kecepatan akan berbanding terbalik dengan tekanannya. Artinya, jika kecepatan suatu aliran itu tinggi maka tekanan aliran itu rendah. Karena tekanan rendah, maka terjadi proses seperti hisapan/sedotan pada dinding ataupun tanah yang terdapat di samping aliran sungai tersebut. Prinsip Hukum Bernuoulli bisa diibaratkan seperti saat kita hendak menyemprotkan parfum. Dalam hal tersebut, sebenarnya kita memberikan kecepatan pada udara sekitar pipa parfum dengan menekan pompa sederhana yang ada di botol parfum tersebut sehingga tekanan diluar pipa lebih rendah. Dengan begitu, air parfum akan terhisap keluar.

Sama halnya dengan kasus di atas. Ketika terdapat aliran yang mempunyai kecepatan berangsur-angsur mengenai sebuah pori tanah atau pori bangunan dinding yang tidak kedap air, maka, air akan menghisap partikel tanah atau material. Dari proses ini, terbentuklah pipa-pipa alam yang kecil. Saat hal ini terjadi, kohesivitas antar partikel tanah berkurang dan cenderung mudah tergerus. Sehingga, pada kasus ini lubang yang terjadi bisa melebar jauh dari bibir sungai dengan jarak 3 meter.

Analisis teknis keruntuhan talud Kali Code

Kedua proses tersebutlah yang sangat mempengaruhi pembentukan lubang tepi dasar sungai. Jika proses tersebut dibiarkan begitu saja maka yang akan terjadi adalah material dinding penahan yang ada di dasar akan lepas dan turun kebawah, mengakibatkan dinding tersebut seperti menggantung (lihat gambar analisis). Jika sudah begitu, tinggal menunggu runtuhnya dinding tersebut kerena tanah yang tidak stabil dan sudah tidak mampu menahan beban yang ada.

Tak Ada Peran Tenaga Ahli
Kami sudah melakukan survei sepanjang aliran Kali Code di dalam kota Yogyakarta dari jembatan Ledok Gondomanan sampai ke Jembatan Baru Teknik UGM. Dari survei tersebut, kami ketahui bahwa sepanjang Kali Code tersebut telah mengalami proses-proses yang telah disebutkan di atas dengan ciri-ciri material dinding penahan sudah mengalami penurunan, terutama di dasar dinding penahan yang sudah terlihat berlubang ke samping. Saat survei, kami menemukan beberapa tembok yang sedang diperbaiki untuk mengantisipasi musim hujan seperti yang ada di Selatan Jembatan Sayidan dan beberapa titik kerusakan yang masih dibiarkan saja di Jalan Jagalan.

Dari survei dan pengamatan yang telah kami lakukan, kami menarik kesimpulan bahwa proses kerusakan yang terjadi di dinding penahan sepanjang Kali Code tersebut disebabkan oleh:

  1. Dinding penahan tidak benar-benar dibuat kedap air ataupun kualitas bangunan masih rendah. Kualitas bangunan tersebut bisa saja terjadi karena tidak adanya pengalaman pekerja maupun pemborongnya tentang pembuatan dinding yang dapat mengantisipasi derasnya aliran sungai.
  2. Tidak ada turap ataupun pengaman tepi dasar pada dinding. Turap dan pengaman tepi dasar ini mempunyai prinsip sama, yaitu sebuah beton kedap air yang panjang yang ditancapkan ke dalam tanah dasar tepat di bibir sungai yang bertujuan mengantisipasi gerusan samping ketika elevasi tanah dasar di bawah elevasi dasar dinding. Jadi gerusan samping tidak terjadi karena ada turap yang menghalangi.
  3. Tidak ada Bangunan Ambang Dasar. Bangunan Ambang Dasar adalah bangunan yang mirip dengan bendung kecil yang dibenamkan melintang di dasar sungai yang elevasi atasnya sama dengan elevasi dasar sungai awal. Fungsinya adalah mengantisipasi gerusan yang terus menerus terjadi di suatu titik sehingga terjadi keseimbangan antara material yang terangkut dengan material yang tertinggal karena dihalangi oleh Bangunan Ambang dasar.

Tiga faktor penyebab di atas mungkin dikarenakan oleh tidak disertakannya tenaga ahli di bidangnya dalam proses pembuatan ataupun pemeliharaan sehingga hal-hal yeng terjadi saat ini tidak mampu diprediksi sebelumnya. Pembangunan dinding penahan dilakukan secara apa adanya saja.

Saya rasa pemerintah daerah harus dan sesegera mungkin untuk merencanakan pemeliharaan dan perbaikan dinding Kali Code. Jangan sampai, perbaikan hanya dilakukan saat ada keruntuhan saja. Karena, banjir setelah hujan lebat dan banjir lahar dingin dari Gunung Merapi yang mengarah ke Kali Code bisa datang kapan saja merusak dinding dan mungkin menyebabkan kerobohan.

“Jika hujan besar datang atau ada lahar dingin dari Merapi, air bisa sampai meluap ke rumah warga. Itu tingginya bisa sampai tepat di bawah jembatan itu,” kata salah satu warga yang kami jumpai sambil menunjuk jembatan berwarna merah yang kondisinya sudah memperihatinkan, bergetar ketika ada orang lewat. Jika kondisi ini masih dibiarkan, warga bantaran Kali Code akan mengalami keresahan yang lebih lama.

Saran untuk mengantisapasi kerobohan dinding penahan
Sebenarnya aturan tentang syarat-syarat pembangunan rumah atau tempat tinggal di garis sempadan sungai sudah diatur dalam PP. No. 38 tahun 2011 pasal 11 yang berbunyi: “Garis sempadan sungai bertanggul di dalam kawasan perkotaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (2) huruf c ditentukan paling sedikit berjarak 3 m (tiga meter) dari tepi luar kaki tanggul sepanjang alur sungai.” Tetapi, di Kali Code nampaknya garis sempadan itu sudah berada di ruang tamu atau di kamar warga. Entah bagaimana terjadinya sehingga bisa warga bisa menempati tempat seperti itu bahkan anehnya mereka punya sertifikat tanah. Sehingga, selain menempati wilayah yang melanggar aturan mereka juga menempati wilayah yang sangat berbahaya.

Sebenarnya hal berbahaya seperti kasus di atas bisa teratasi jika saja pemeliharaan dinding penahan dilakukan secara intensif. Bahkan, lebih bagus jika dilakukan:

  1. Pelapisan dinding sehingga dinding benar-benar kedap air dengan disediakan sedikit lubang untuk mengatasi tekanan air tanah.
  2. Pemasangan turap pada tepi dalam di dasar dinding penahan.
  3. Pembuatan bangunan ambang dasar di beberapa titik.

Wilayah permukiman di dekat sungai sangat identik dengan lingkungan yang kumuh yang mempunyai kebiasaan membuang sampah pada sungai. Untuk itu, diharapkan adanya kepedulian tentang kebersihan sungai oleh semua pihak untuk mencegah adanya banjir dan penyakit-penyakit yang ditimbulkan oleh sampah yang ada di sungai.

Untuk perencanaan wilayah sekitar Kali Code, pemerintah daerah bisa membangunkan sebuah rumah susun di dekat sungai tersebut untuk merelokasi warga yang tinggal di wilayah ruang Kali Code agar kehidupan manusia dan sungai sama-sama aman. Atau, membangunkan taman/ruang terbuka hijau untuk berolahraga atau untuk bermain warga sepanjang kanan dan kiri aliran Kali Code. Dengan begitu, dapat terbentuk wilayah yang indah dan bersih tidak kumuh. Kota Jogja yang katanya istimewa ini, akan menjadi Jogja Istimewa sesungguhnya. Jangan sampai Jogja yang Istimewa ini tercoreng namanya hanya karena Kali Code kotor dan banyak musibah runtuhnya rumah warga bantaran Kali Code.

Untuk para mahasiswa, bisa membantu dengan membuat inovasi-inovasi yang membangun tentang perancanaan di wilayah Kali Code. Hal itu bisa berupa rumah susun atau sebuah taman yang tepat penggunaan lahannya. Dan juga selalu mengkritisi, mengawal dan mendukung pembangunan dan pemeliharaan dinding pengaman.

“Ah, tapi apa ada waktu ngurusin Kali Code? Kita sudah disibukkan dengan administrasi dan event,” kata teman samping saya.