Kategori
Society

TARI, Kelembutan Dalam Narasi Gerakan Perdamaian

Menari tradisi berbeda dengan menari dalam pengertian universal. Tari bukanlah sekedar gerak tubuh tanpa rima atau tujuan tertentu.  Beragam kebudayaan suku bangsa di dunia mengenal gerakan tari yang khas di dalam kebutuhan ekspresi masing-masing.

Kategori
Society

Perempuan (Juga) Pemimpin Perubahan

PEMILIK usaha angkutan umum di masa pandemi seperti sekarang tentu harus punya optimisme agar usaha yang dijalankan tetap bertahan. Semua tahu, bagaimana dampak akibat penyakit menular baru di beragam sektor bisnis termasuk layanan jasa transportasi.

Kategori
Infrastruktur Society

Apa Itu Kreatif? Bermain dan Berwisatalah ke Wisata Jembatan Mangrove

Apa itu kreatif?

Saya belajar dari sosok ini, soal kreatif dan konsistensi menjalankan apa yang ada di pikiran dan berupaya merealisasikan dalam kerja-kerja teknis.

Mas Ipung, saya kenal merintis konservasi lingkungan di daerahnya dengan mengelola Wisata Jembatan Mangrove. Tak jauh dari bengkel tempatnya bekerja di pulau Sapudi. Pulau yang besarnya bisa dikelilingi dengan dua jam perjalanan naik motor tanpa berhenti.

Kategori
Society

Berdaulat Dalam Digital Platform, Seperti Apa?

Connected. Terhubung adalah prasyarat untuk kesetaraan dalam “being digital“. Donate atau berdonasi mengikat keterhubungan menjadi beragam aksi nyata yang berdampak pada kehidupan sosial juga berbangsa dan bernegara.

Kategori
Society

Memaknai Sebuah Consent

Bicara soal consent, berarti juga berbicara soal hak. Namun sayangnya, tidak semua orang mampu memahami sebuah consent. Padahal tanpa adanya consent, suatu tindakan dapat dikategorikan sebagai kejahatan.

Kategori
Politik Society

Nalar (Anti) Kebohongan Publik

Sebenarnya, tulisan ini hendak berjudul Nalar Kebenaran Publik untuk mempertegas pentingnya kebenaran dimiliki oleh publik. Tapi apa perlunya sekarang ini berkata hal kebenaran di padang pasir informasi digital yang berlimpah hoaks, kebohongan dan fitnah begitu rupa?

Tulisan ini juga hendak mengelaborasi lebih jauh soal apa yang digelisahkan oleh penulis Hamsad Rangkuti. Cerpenis kelahiran Kisaran, yang bertutur jujur dalam problematika etik kepenulisan sebagai pengarang cerita fiksi dan kebohongan yang dituliskan dalam ceritanya.

Fiksi berbeda dengam fakta. Artinya, dalam kisah fiksi yang semua pembaca tentu akan sepakat jika bisa saja hal yang tertulis adalah rekaan semata, imajinasi si penulis. Namun dalam soal menulis cerita, jelas dibutuhkan sikap jujur, sebagai moral cerita untuk keberpihakan penulis pada problem moral, masalah etis atas tematik yang dibingkai dalam tulisan.

Cobalah kembali membaca ulang apa yang telah ditulis oleh Hamsad Rangkuti dalam karya buku kumpulan cerpen Bibir Dalam Pispot terbitan Kepustakaan Populer Gramedia. Meski sudah diberikan tulisan kata pengantar dan penutup rasanya belum tuntas juga untuk tak memberikan pandangan pendapat atas pembenaran nalar kebohongan yang diajukan oleh Hamsad Rangkuti.

Sebagai pembaca, saya mengakui dan terkesan atas kejujuran pengarang dalam sikapnya, bertutur tentang kebohongan yang dituliskan. Ada pengetahuan baru, atas kebohongan yang dalam bingkai cerita menjadi kebenaran karena logika yang logis terbangun.

Penulis bisa selamat dari cap pembohong karena dirinya adalah penulis fiksi. Semua bisa mahfum bahwa apa yang dituliskan bisa saja memang tak pernah terjadi dalam kehidupan nyata, bersifat rekaan, dibuat-dibuat dan seterusnya.

Bahkan dalam artikel penutup, Hamsad disebutkan tak perlulah ikut larut dalam polemik apakah kebohongan diperbolehkan dalam karya sastra, seni bercerita? Biarlah kritikus dan ahli sastra yang berdebat soal itu. Sebagai pengarang, ia terbebas dari kewajiban berdebat atas karya cerpen yang dibuatnya. Tapi itu tak dipilih oleh Hamsad Rangkuti, dirinya melibatkan diri secara penuh dan secara terbuka menjelaskan aneka kebohongan yang pernah dituliskan dalam karya cerpen. Silakan menelusuri alasan dalam tiap karya cerpen Hamsad, membaca lagi kebohongan yang dituliskan soal sosok tokoh, nasibnya dan problema yang dihadapi.

Meminjam cara Hamsad Rangkuti menjelaskan kebohongan secara terbuka ke publik, rasanya tepat kalau memahami logika kebohongan yang disampaikan sebagai kebenaran. Iya, kebenaran versi penulis. Ada bingkai lain kebohongan yang diakui secara jujur. Itulah kebenarannya. Ada nalar anti kebohongan yang dipaparkan lewat narasi kisah yang ditulis.

******

Sekarang, terkini, kita berhadapan dengan sorotan seorang yang dikenal publik sebagai intelektual. Rocky Gerung (RG) dan narasinya soal Petruk dan Pinokio yang dilekatkan dengan sosok Joko Widodo. Sebagai intelektual, RG berkomentar dalam bahwa apa yang disajikan oleh seniman Butet Kertaredjasa si tukang kritik, aktor teater dan budayawan itu adalah bentuk sindiran seniman untuk kekuasaan Joko Widodo terkait soal kepemimpinan, etika dan integritas . Ini berpangkal soal hidung panjang Petruk yang diasosiasikan sama bingkai narasinya dengan Pinokio. Dua tokoh rekaan, yang ada dalam alam pikiran cerita wayang dan cerita anak-anak.

Sunardian Wirodono (SW) lalu memberikan bingkai bahwa bingkai pendapat yang dirangkai oleh Rocky Gerung tidak benar, hidung panjang Petruk bukan terbentuk karena kebohongan seperti yang terjadi di kisah anak-anak soal Pinokio. Jauh berbeda, beda budaya dan latar ceritanya. Tak elok, dan salah besar kala membangun logika, membangun nalar publik soal kebenaran dan kebohongan begitu rupa.

Lewat tulisan SW, pembaca diberikan beberapa alasan berkaitan ngawurnya narasi Rocky Gerung membingkai sosok Joko Widodo, Petruk dan Pinokio. Panjang lebar uraian bisa dibaca sendiri di dalam status SW di medsos ini. Bagaimana RG membangun narasi dan SW membuat kontra narasi dalam tulisan.

Mana yang bisa dipercaya dan bisa dianggap kebenaran atau kebohongan bagi publik?

Hal yang menarik berikutnya adalah kegiatan vaksinasi yang dilakukan di sela hadirnya bingkai para penari berhidung panjang, sosok Petruk yang mengiringi kehadiran Joko Widodo di Padepokan Seni Bagong Kusudiardjo, Bantul DIY beberapa waktu lalu.

Tak kurang, hadir kritik soal peristiwa itu. Kenapa seniman lebih dahulu harus divaksin, kenapa juga dilakukan vaksin tidak di fasilitas kesehatan, kenapa bukan guru-guru di daerah tidak lebih diprioritaskan dan seterusnya? Ramai-lah kritiknya.

******

Nalar Kebenaran Publik, lewat peristiwa seni maupun faktual yang terjadi hari ini tengah beradu logika pembenaran masing-masing. Soal urusan publik, vaksinasi, vaksin saja ada beragam pendapat juga klaim kebenaran di dalamnya. Apalagi ini Petruk Divaksin hadir nyata. Ada satu kesamaan pemahaman soal ini, seluruh penafsir sama-sama menganggap lucu, termasuk Presiden Joko Widodo. Hanya saja, di luar ahli seni, warganet ada yang berkomentar hadirnya hidung panjang identik dengan Pinokio si tokoh fiksi yang berbohong.

Berlimpahnya informasi, kecepatan penyebaran dengan hadirnya teknologi digital, terkadang dan lebih sering mengaburkan kebenaran. Kebohongan yang lebih cepat menyebar, jelas membahayakan dan perlu dijernihkan. Bener ning ra pener, begitu manusia Jawa memberikan petuah bagi siapa saja yang merasa benar atas tindakan, pendapat yang disampaikan. Alam pikiran manusia Jawa begini juga menjadi siasat klaim kebenaran itu seperti apa yang tepat.

Filsafat, sebagai ilmu, mengingatkan secara etimologi philo dan sophia yang bermakna cinta kebijaksanaan (wisdom) sebagai dasar berpijak, dasar bertanya dan berpikir manusia modern seperti dalam pengertian bahasa Yunani sejatinya mengajak untuk menguji.

Kalau mengikuti alam pikir Socrates model tanya jawab yang digunakan Rocky Gerung bebas saja dipakai, apakah narasi yang dibangun adalah sebuah kebenaran? Disiplin filsafat barat, kala bersinggungan dengan alam pikiran timur (Jawa) memang seringkali bermasalah. Setidaknya itulah yang tengah kita temui bersama dalam konteks narasi Petruk, Pinokio plus Joko Widodo.

Mana yang paling bisa disebut kebohongan, mana yang benar?

Kekuasaan yang absolut jelas akan memonopoli kebenaran, juga kebohongan. Di sekitar orang-orang yang memiliki kuasa, hadir produksi kebenaran dan kebohongan setiap waktu. Publik boleh percaya dan menolaknya jika perlu.

Nah soal hidung yang panjang ataupun pendek, dalam kenyataan kemanusiaan semua ras manusia tak ada yang sepanjang hidung Petruk dan Pinokio. Hidung panjang ala keduanya adalah hal yang dibuat-buat, diimajinasikan, ada karena cerita dan narasi pelabelan karakter di luar kenyataan keseharian. Jadi hadir nyata, karena divisualkan, dipentaskan, dihidupkan.

Apakah kita semua lebih percaya kisah latar Petruk atau Pinokio, mana suka sajalah. Kalau cocok dengan nalar, gunakan. Tidak cocok ya tinggalkan saja.

Kategori
Politik Society

Sikap Tubuh Sikap Politik

Melalui sebuah foto, Presiden Amerika Serikat Joe Biden tampak tertangkap kamera ketika mencium istrinya Jill Biden. Foto ini jadi satu foto ‘kuat’ yang tampil dalam rangkaian rekaman momen pergantian kepemimpinan, setelah Donald Trump lengser.

Amerika Serikat disorot karena adanya aksi demontrasi yang diwarnai kekerasan sampai mengakibatkan korban jiwa. Foto kemesraan pemimpin negara tentu mendinginkan suasana politik yang menghangat di negara adikuasa.

Melalui foto, publik bisa membuat aneka tafsir pesan sendiri, di luar pesan utama yang ingin disampaikan oleh tokoh atau public figure. Foto berciuman pemimpin negeri, pejabat negara tentu tak lazim di negara lain. Sebab ada budaya dan alam pikir yang berbeda. Apalagi kalau misalnya, dilakukan oleh pemimpin di nusantara untuk mengekspresikan rasa kasih sayang, rasa cinta.

Alih alih memberikan pesan cinta, foto ala Joe dan Jill Biden bisa bawa narasi jauh berbeda, jika dilakukan oleh pemimpin di negara lain. Apalagi di era meme dan twit war medsos zaman digital ini.

Budaya berciuman di Amerika Serikat dan negara liberal yang lain, dilakukan untuk menunjukan romansa, rasa cinta pemimpin kepada sosok terdekatnya. Mewakili kecintaan kepada negara dan rakyatnya.

Foto-foto natural, foto bercerita yang menempatkan public figure adalah satu foto yang biasa jadi konsumsi publik. Bukan hanya sekedar ilustrasi atau pelengkap berita. Foto portrait seorang tokoh misalnya bisa membawa impresi pesan kuat.

Wajah Presiden yang tertunduk lelah di meja kerja istana (sepengetahuan saya, belum menemukan momen begini di tanah air) tentu akan memberikan kabar tafsir beraneka rupa. Soal kondisi negara.

***

Sikap tubuh tokoh politik, apakah mencerminkan sikap politik?

Semua mahfum, foto adalah bagian tools pesan dalam propaganda. Keberadaan foto portrait Presiden Mao, China di masa lalu jelas sekali tujuan propaganda yang ingin disampaikan.

Rakyat harus memiliki kecintaan kepada negara, kepada pemimpin. Ini ditujukan bukan hanya ke dalam negeri tapi pesan untuk negara lain betapa kuatnya kepemimpinan Mao, kala itu.

Sezaman dengan model propaganda sejenis, melalui foto tokoh dalam aneka pose, juga teknik manipulasi ruang kamar gelap, untuk penciptaan citra diri tokoh, banyak dibuat foto dalam ukuran besar.

Propoganda kekuatan tokoh lewat foto, menautkan citra diri pemimpin model begini jelas masih dianggap efektif sampai sekarang. Berwujud baliho besar, spanduk hingga meme di era digital.

Sikap tubuh dan atribusi simbol kebesaran dengan aneka bintang jasa jamak ditemui dalam foto protrait tokoh di berbagai era. Sebelum teknologi fotografi ditemukan, lukisanlah yang dipakai untuk menunjukan kuasa. Lukisan raja-raja di dalam istana misalnya.

Presiden RI Ir. Soekarno juga memanfaatkan foto untuk bawa pesan kepada publik. Semua ingat bagaimana pose foto kala Presiden Soekarno merangkul Jenderal Soedirman. Foto yang konon peristiwanya perlu diulang untuk diambil rekaman foto terbaik telah jadi bagian sejarah negeri ini.

Aneka pose foto proklamator RI menjadi sumber sejarah penting. Bukan hanya dalam bingkai foto resmi semata tapi beragam foto dengan pose dan sikap tubuh Soekarno bisa terlacak bagaimana pemimpin pertama Republik Indonesia itu bisa berada dekat di hati banyak pemimpin negara lain. Akrab dengan pemimpin dunia dan memiliki kedekatan dengan rakyatnya, dengan petani, dengan Marhaen.

Di zaman Gus Dur, fotografi tokoh atau elit lebih berwarna, berbeda dari kelaziman. Apalagi kala ada momen Gus Dur hanya bercelana pendek di beranda istana, harus berhenti melepaskan kekuasaan karena dimakzulkan. Di momen yang lain,  banyak Gus Dur yang apa adanya, tampil sebagai sosok nahdliyin, pemimpin juga intelektual, penceramah sekaligus sosok kyai terekam di banyak bingkai foto.

Megawati Soekarnoputri mendapat tempat unik. Sosok perempuan pertama pemimpin bangsa. Presiden kelima ini sempat memberi warna perlawanan kepada rezim otoriter orde baru di bawah Presiden Soeharto dengan sikap tubuhnya di atas panggung orasi.

Era Susilo Bambang Yudhoyono, fotografi lebih personal karena ibu negara sendiri, Any Susilo Yudhoyono yang asik mencipta foto dengan bidikan lensa kameranya.

***

Mengisi ruang publik dengan foto-foto tokoh adalah satu peran yang tetap strategis di media massa. Termasuk kehadiran foto-foto di media online masa sekarang.

Melalui sebuah foto, bisa terkirim pesan dan impresi publik merespon tokohnya, peristiwanya, termasuk pesan utama untuk menaikkan citra atau menurunkan rasa suka publik kepada seseorang.

Presiden Joko Widodo memilih lebih sering menggunakan pakaian putih, celana hitam, mendaku diri sebagai pelayan publik yang baik untuk rakyatnya. Berfoto soliter, di titik lokasi pembangunan infrastruktur, di tempat wisata terpencil hingga di lokasi bencana. Sesekali tampak bermain  bersama cucu tercinta, Jan Ethes dan keluarga.

Kali ini, di awal tahun 2021 ada peristiwa yang menghangat dalam jagat politik kekuasaan. Beredar foto AHY di panggung podium dalam pakaian resmi partai.

Di saat yang sama, ditunjukan sosok Moeldoko, Jenderal TNI di masa SBY mencium tangan ayah AHY.  Lalu, diberi tambahan narasi downgrade bagaimana sikap politik sang jenderal yang kini berada di pusaran kuasa.

Melalui foto, rupanya dalam politik di setiap era zaman masih menjadi pilihan strategi untuk melipatgandakan pesan, ketokohan, keberpihakan dan kemuliaan seseorang.

Sesuai sejarah fotografi dalam teknik penciptaan foto ada ‘ruang gelap’ yang  memungkinkan aneka manipulasi foto agar lebih kuat, sempurna kecerahan, ketajaman visualnya. Sementara dalam politik,  ada ruang gelap juga yang tak bisa terlihat dan dilihat publik.

Fotografi adalah seni lukis dengan cahaya, sementara politik adalah seni negosiasi yang memiliki nilai keutamaan untuk urusan kepentingan publik.

Apakah akan ada upaya dan langkah yang benar-benar serius untuk mendongkel kepemimpinan politik di tubuh parpol masa kini?

Bagaimana media menampilkan wajah dan aktivitas para politisi dan calon pemimpin negeri ini agar terus bisa menghiasi alam pikiran rakyat?

Mari simak dan nikmati sikap tubuh mereka para politisi, para pemimpin kala berhadapan dengan kamera foto.

Kategori
Politik

Politik Kuasa dengan Menu di Atas Meja

Politik dengan menu di atas meja dan menu tersembunyi, lebih suka yang mana?

Urusan publik, keterbukaan informasi, apalagi soal politik memang kadang mudah diwakilkan ibarat bermain bola. Ada umpan lambung ke depan, ada yang bertahan, ada libero dan tentu saja striker yang siap menusuk eh, menendang bola ke gawang lawan.

Kemenangan permainan bola adalah terkumpulnya skor siapa yang lebih banyak memasukkan gol ke gawang lawan. Bagi tim yang kebobolan gawang, jelas jadi pihak yang kalah.

Siapakah pemenang sejati dalam permainan bola? Siapa pemenang sejati dalam permainan politik?

Di luar permainan bola, ada manajer, ada pelatih, ada penonton, ada banyak pihak yang terlibat dalam emosi permainan bola.

Apalagi dalam urusan politik.

Bisa kelelahan kalau sekedar menulis ragam permainan aktor politik. Apalagi memperhatikan permainan politik tanpa tujuan jelas. Apa itu? Berkuasa semata.

Nah, di tiap negara, tiap aktor politik memiliki karakter masing-masing. Budaya politik yang dipanggungkan juga jelas berbeda.

Di periode kedua Joko Widodo, jelas isu politik lebih dinamis. Sejumlah lembaga survei politik sudah memiliki peta dukungan dan popularitas individu, popularitas pasangan untuk mengisi kandidat pengganti Joko Widodo – Maruf Amin di pilpres 2024.

Waktu yang cukup pendek, bagi siapa saja yang memang berkehendak maju menjadi pasangan capres dan cawapres. Termasuk kendaraan politik (parpol)  yang bisa memuluskan proses pencalonan kandidat pemimpin Indonesia paska Joko Widodo-Maruf Amin.

Rasanya belum lama hingar bingar kampanye pilpres diikuti bersama. Betapa riuhnya, betapa bersemangatnya kala itu, bukan hanya tim kampanye tapi pendukungnya sampai mengkristal ke dua kubu cebong-kampret. Sama-sama punya amunisi saling ejek, saling serang, terutama ekspresi politik di medsos. Gaduh sekali.

Akhir permainan politik?

Sebagai pemenenang, ada budaya politik baru yang dihadirkan.  Semua paslon mencicipi kuasa pemerintahan.

*****

Ini bukan beromantisme, sekedar review kilas balik saja. Bagaimana Prabowo Subianto bisa maju menjadi kandidat capres bersama Sandiaga Uno, bagaimana Joko Widodo dan Maruf Amin bisa berpasangan melenggang meraih kemenangan?

Lebih ke belakang lagi. Bagaimana euforia partai politik kala pertama kali terlepas dari kuasa otoriter Jenderal Soeharto dengan orde baru-nya?

Ada yang ingat siapa saja yang menjadi tim sebelas, yang mempersiapkan Komisi Pemilihan Umum penyelenggara Pemilu 1999? Bagaimana posisi mereka sekarang?

Apalagi? Upaya pelengseran Presiden Abdurahman Wahid oleh poros tengah dengan tokoh-tokoh politiknya. Ada yang terekam kuat peristiwa itu. Siapa saja politisi busuk yang menggerogoti duit negara, pejabat korup yang masih saja bisa tersenyum kala kasusnya dibongkar, diadili?

Bagaimana kelanjutan proses hukum, kasus orang hilang yang belum kembali ke keluarganya? Kekerasan politik di masa lalu, dan penyelesaiannya.

Masih banyak berderet isu politik yang bisa jadi menu perbincangan publik belum tuntas terselesaikan sampai saat ini. Masalah hukum, keadilan, kesenjangan ratio gini, kesehatan, pendidikan, kebudayaan dan perekonomian masih bertumpuk butuh penyelesaian. Termasuk kerja bersama, keluar dari krisis dampak pandemi yang begitu dalam, di seluruh sektor peri kehidupan bangsa.

*****

Gaduh, riuh, populer di media termasuk medsos bukanlah ukuran ada urusan publiknya. Rasanya hal beginilah yang penting, yang perlu dipahamkan kepada semua.

Jika politik diibaratkan permainan bola, bolehlah berlatih dan memilih lawan bermain, untuk bersiap dalam momen laga, musim kompetisi liga demokrasi elektoral lima tahunan.

Kalaupun gaduh, semarak dan berhasil memikat perhatian publik, permainan bola politik, isu elit, isu kuasa di level elit, jauh dari jangkauan penggemar biasa, perhatian rakyat.

Iya, bagi tim dan elemen tim tentu akan selalu jadi bahan hangat obrolan, perbincangan, diskusi. Tapi sebagai tontonan, hiburan di kala pandemi,  permainan politik kuasa rasanya macam menonton laga uji nyali,  pertandingan latihan semata. Tak ada piala dan kemenangan yang bisa dirayakan.

Apalagi piala trophy bergilir dari Presiden. Ini masih pandemi, masih butuh jaga jarak, hidup sehat, rajin cuci tangan dan pakai masker.

Sing sabar ngadepi kahanan.

Kategori
Society

Kalau Ada Yang Suka, Berikan Panggungnya

Kalau ada kelompok atau pribadi yang suka berdebat, berikan panggungnya. Kalau ada yang suka bertinju, berikan ring tinjunya.

Kalau ada yang suka balapan, berikan lintasannya. Kalau ada yang suka melanggar hukum, berikan peradilannya.

Kalau ada yang suka ilmu, berikan kesempatan pendidikan terbaiknya. Kalau ada yang suka agama, sediakan tempat ibadahnya.

Moderator, untuk perdebatan, wasit untuk memimpin tanding tinju, teknisi untuk balapan, hakim untuk pelanggar hukum, guru untuk pendidikan. Rohaniwan untuk agama.

Beragam atribusi yang bisa melekat pada diri seseorang kini semakin banyak ragam jenisnya. Artis untuk seniman, novelis untuk juru cerita dan lain lain. Seleb medsos, malah kini jadi profesi yang menghasilkan duit.

Masalahnya, kita ini, suka sibuk berdebat dan saling beradu kicauan begitu lamanya, narasinya belum berbeda jauh di medsos. Apalagi debat dan isi materi debat dan saling klaim soal yang itu-itu saja, yang sekedar mengolah rasa emosi, kebencian, intoleran, merasa yang paling sempurna dan sejenisnya.

Entah sampai kapan kita ini sibuk mencari cari kejelekan liyan dan keburukan kelompok lain dan seterusnya. Hampir tanpa henti, tanpa jeda. Hobinya menonton dan kalaupun bicara ngawur saja tanpa ada isi, asal saja tentu sungguh sia sia.

Kenapa model begini banyak yang suka? Entahlah, bisa jadi karena begitu banyaknya waktu luang di masa begini.

Di saat yang sama, warga negara lain di seberang benua ternyata sibuk dan sudah bekerja berproduksi aneka rupa. Ini nyata adanya.

Mau bukti nyata? Ada banyak komoditas sepele yang sampai sekarang kita ini sangat bergantung dan hobi menjadi konsumennya. Kala butuh, pilihan impor tentu solusinya. Repotnya, kala impor yang dipilih adalah impor masalah dari benua lain.

Di situasi chaos, situasi konflik berkepanjangan sejatinya ada keteraturan yang bisa dikenali. Apa itu? Fenomena keos dan konflik itu sendiri.

Hari-hari ini, bermunculan gunung es persoalan kebangsaan yang hadir silih berganti wujudnya, lokasinya dan peristiwanya.

Kebenaran meski dilakukan oleh sedikit orang, tetaplah kebenaran. Kebaikan yang dilakukan oleh sedikit orang tetaplah kebaikan. Begitu juga kebodohan yang dilakukan oleh sedikit orang tetaplah kebodohan.

Kesalahan yang dipahami tentu bisa memberikan pelajaran. Ini berlaku jika ada kemauan belajar. Berefleksi.

Budaya produksi keilmuan di setiap era butuh waktu untuk dipetik hasilnya. Pendidikan, edukasi, pembelajaran adalah proses panjang yang bisa terjadi sepanjang hayat.

Bagaimana menjadi manusia yang beradab, membangun peradaban lebih baik?

Simple. Mudah saja.

Tepung, Dunung, Srawung.

Kategori
Society

Gunung Es Problema Pendidikan dan Kesehatan

Sudah setahun berlalu, masa pandemi dirasakan oleh seluruh warga dunia. Semoga setelah pandemi, kesehatan sebagai hak dasar mendapat perhatian bersama.

Termasuk keberpihakan negara dalam soal memberikan kesempatan pendidikan gratis untuk rakyatnya. Di segala lini pendidikan sampai jenjang pendidikan tertinggi, jadi spesialis di bidang keilmuan masing-masing, agar semakin banyak rakyat teredukasi, rakyat jadi cerdik cendekiawan yang memiliki kemampuan menyelesaikan masalah bangsa. Rakyat yang lebih berdaya.

Mobilitas sosial, semua mahfum salah satunya bisa diraih dengan jalan pendidikan. Kesempatan ini harus dibuka dan lebih diperhatikan ke depan. Tentu saja, bekal pendidikan karakter kebangsaan penting diutamakan mengiringi kebijakan pendidikan untuk semua.

Ada banyak kisah dan inspirasi dari begitu banyak tokoh, pemimpin dan kepemimpinan yang terbuka jalan kehidupannya menjadi lebih baik saat mendapatkan kesempatan merasakan mobilitas sosial lewat jalur pendidikan.

“Saya dulu, berasal dari keluarga susah, miskin dan terbelakang. Beruntung bisa sekolah, sampai jadi seperti sekarang,” begitu kisahnya.

Pernyataan demikian yang jamak kita bisa simak bagaimana jalan hidup seorang tokoh.

Meski saat ini jalur pendidikan formal seringkali tak jadi bermakna, di jagat kemajuan teknologi informasi yang semua hal diyakini tersedia dan bisa terakses, namun tetap saja dibutuhkan kebijakan dan keberpihakan untuk membuka akses seluas-luasnya bagi semua.

Hanya sisi paradoksnya adalah hadirnya fenomena pengkhianatan kaum cendekiawan. Kondisi yang bisa membuat kacau semua hal. Siapa saja mereka? Silakan menelisik dan membuat catatan tersendiri soal begini.

Setidaknya selama satu tahun masa pandemi, semua bisa berefleksi, siapa cendekiawan yang bekerja memberikan ilmunya untuk publik, siapa saja yang bekerja profesional dan siapa saja yang justru berkelana berselancar, mengambil untung dari kondisi ketidakpastian.

Orang biasa yang berilmu, jelas lebih baik. Apalagi orang biasa yang paham ilmu kesehatan.

Orang biasa, berilmu dan berkuasa apakah bisa lebih baik?

Nanti dulu. Selama masa pandemi, debat soal urusan kesehatan saja bisa berjilid-jilid dan berpanjang lebar urusannya.

KE ARAH MANA ARTIKEL INI DIBUAT?

Tentu saja belajar dari kondisi terkini kala ribet urusan tenaga kesehatan. Ada yang mampu, tapi tak bekerja di bidangnya karena beragam alasan. Di Daerah Istimewa Yogyakarta misalnya, langkah rekruitmen tenaga kesehatan gagal memenuhi target dalam pelaksanaan.

Padahal tenaga kesehatan benar-benar dibutuhkan di masa pandemi untuk memastikan optimalnya pelayanan kesehatan. Salah satunya karena tidak adanya izin dari orang tua nakes yang terseleksi dan terpilih untuk mengisi posisi yang dibutuhkan.

Dengan sangat berat hati, iri juga menonton rekaman senyum dan bersemangatnya nakes di China yang dengan pengawalan khusus pulang dari Wuhan tahun lalu, begitu upaya penanganan wabah penyakit menular di sana dinyatakan selesai. Ikut haru dan trenyuh juga melihatnya. Berbeda jauh dengan faktual yang dihadapi di negeri ini.

Ini problem yang nyata. Bayangkan jika sebelumnya (sebelum pandemi) dalam skema jalur pendidikan kedokteran dibuka seluasnya, ongkos pendidikan tenaga kesehatan ditanggung negara, tentu kondisi berbeda yang terjadi. Mudahnya memperoleh tenaga kesehatan yang siap bekerja.

Kejadian begini jelas, bagian dari gunung es problema masalah kesehatan terkini. Bagaimana problem penanganan penyakit menular di lingkungan wilayah/kawasan pusat pendidikan kesehatan terbaik yang ada di Indonesia, masih kelimpungan menghadapi fakta kenyataan tingginya pasien yang butuh perawatan.

Akhir kata, semua berharap agar seluruh masalah akibat dampak penetapan pandemi bisa segera teratasi. Semua yang bekerja keras, bisa sehat dan selamat juga.

Rakyat sehat, negara kuat.