Kategori
Transportasi

Trans Jogja Akan Digdaya dengan Bantuan Angkudes dan AKDP

Kota-kota besar di Indonesia bisa dikatakan sudah mulai membangun transportasi massal, seperti BRT (bus rapid transit) dan LRT (light rail transit), meskipun keseriusan pemerintahnya berbeda-beda. Namun, ada kecenderungan yang sama, yaitu mengabaikan angkutan umum yang sudah ada, seperti Angkot (Angkutan Kota), Angkudes (Angkutan Desa), bus, dan becak. Meskipun yang terakhir tidak masuk dalam kategori angkutan umum, tapi nyatanya alat transportasi ini masih menjadi andalan karena lebih dekat ke pintu rumah penduduk.

Padahal, menurut Institute for Transportation & Development Policy (ITDP), idealnya angkutan umum yang sudah ada dibenahi terlebih dahulu sebelum menyelenggarakan transportasi massal. Sebab angkutan ini mempunyai jangkauan layanan yang luas dan bisa menjadi pengumpan layanan angkutan massal. Maksudnya, angkutan umum semacam angkot sebaiknya difungsikan seperti perahu-perahu kecil yang mengangkut penumpang di sungai-sungai kecil menuju sungai besar, kemudian berpindah ke kapal besar untuk mengarungi sungai yang lebih besar. Bisa dibayangkan kalau perahu kecil tidak ada, kapal besar akan kesulitan penumpang. Dan ia tak akan berani masuk ke sungai kecil daripada melintas hanya untuk kandas.

Untuk daerah Jogja, yang belum memiliki infrastruktur kereta api dalam kota, Transjogja bisa kita anggap sebagai transportasi massal. Karena moda inilah satu-satunya yang bisa mengangkut orang dalam jumlah yang cukup banyak mengelilingi Jogja khususnya daerah kota, mempunyai trayek yang jelas, harga tiket pasti, dan tempat berhenti yang sudah tertentu.

Namun armada Transjogja belum mampu melayani pergerakan manusia yang setiap hari kerja memenuhi jalanan Jogja. Ini bisa dilihat dari panjangnya antrean kendaraan pribadi di simpang-simpang yang menjadi pintu masuk sekaligus keluar kota Jogja. Saat pagi hari, antrean itu mengular dan berdesakan masuk kota tersebut. Saat sore hari, ekor antrean itu berbalik dan menunggu dengan sabar untuk keluar dari kota Jogja. Hal ini memang konsekuensi dari tata kota yang memusat. Yang dengan tepat digambarkan dengan keberadaan ring road.

Masyarakat yang rumahnya di dalam ring road sebetulnya juga tidak banyak yang menggunakan layanan Transjogja. Salah satunya disebabkan oleh letak halte yang terlampau jauh. Memang, standar jarak maksimal yang bisa ditempuh pejalan kaki dari rumahnya menuju halte adalah 400 meter. Namun, itu kan standar dari luar negeri yang punya iklim berbeda. Jadi para perencana transportasi sebaiknya sadar bahwa ini Indonesia, bukan Eropa atau Jepang tempat mereka belajar. Tentunya ada penyesuaian-penyesuaian.

Melihat Transjogja yang hanya terisi oleh sedikit penumpang terjebak kemacetan di antara himpitan mobil-mobil yang juga hanya diisi satu-dua orang, sungguh menyedihkan. Ini memunculkan pertanyaan yang ironis: kalau begitu kondisinya, berarti armada Transjogja yang terlalu banyak atau orang-orang enggan memakai angkutan massal? Pertanyaan semacam ini jika tidak dihadapi dengan perasaan tenang, akan menghasilkan kesimpulan yang sesat.

Salah satu pernyataan bijak untuk menanggapi pertanyaan di atas: jangan-jangan masyarakat kesulitan menjangkau Transjogja. Dan yang amat mempengaruhi keterjangkauan tersebut adalah jarak halte ke pintu rumah terjauh dan kenyamanan halte.

Maka di sinilah angkutan umum yang sudah ada semacam Angkudes dan AKDP (antar kota dalam provinsi) punya peran penting. Mereka menjadi semacam penyambung antara rumah masyarakat yang berada jauh di luar ring road dengan Transjogja. Apabila ini berjalan, masyarakat tak perlu lagi memakai kendaraan pribadi untuk masuk ke kota Jogja. Kemacetan terurai. Trotoar yang kini mulai banyak dibenahi di kota Jogja dapat dimanfaatkan secara maksimal karena orang berjalan kaki dari halte ke tempat tujuan. Pemerintah pun tak perlu menambah jaringan Transjogja hingga ke luar ring road. Sebab subsidinya akan lebih membengkak lagi dari kondisi sekarang yang sebetulnya sudah terbilang mahal.

Akan tetapi, ulasan di atas baru sekadar usulan dan harapan. Kenyataannya tak semanis itu. Jumlah dan trayek Angkudes serta AKDP turun drastis. Berdasarkan data yang disimpan tim arsip Pijak ID, Tribun Jogja pada 23 April 2018 melaporkan penurunan yang drastis jumlah armada dan trayek Angkudes. Untuk daerah Sleman, awalnya ada 289 armada. Namun, di tahun 2018, yang tersisa hanya 111 armada. Dari jumlah ini pun, yang beroperasi hanya 41 armada. Selaras dengan berkurangnya jumlah armada, jumlah trayeknya pun berkurang. Dari semula 16 trayek, pada tahun 2018 tersisa 9 trayek. Bahkan yang benar-benar aktif hanya 7 trayek.

Di Bantul sama menyedihkannya. Pada tahun 2012, masih ada 37 Angkudes. Namun di tahun 2018 hanya tersisa 17 armada. Kemudian, jumlah Angkudes yang tersisa di Kabupaten Kulon Progo pada tahun 2018 hanyalah 50-an armada. Padahal, sebelumnya jumlah armada mencapai ratusan. Trayeknya pun berkurang hingga 60 persen, yaitu dari 33 trayek menjadi hanya 13 trayek aktif yang tersisa.

Kondisi AKDP pun tak kalah memprihatinkan. Jumlah armada yang semula 590, pada tahun 2015 hanya tersisa sekitar 190-an. Mungkin tahun ini jumlahnya lebih sedikit lagi. Melihat kondisi ini, Pijak ID bersama Petarung (Pemuda Tata Ruang) sampai pernah membikin diskusi dengan tema “Angkudes Sekarat” pada 16 Mei 2018 silam.

Salah satu faktor yang paling berpengaruh terhadap tergerusnya layanan Angkudes adalah tidak adanya campur tangan pemerintah. Ini mesti diakui. Operator Angkudes dilepas begitu saja untuk bertahan hidup dari hasil mengangkut penumpang. Mereka harus bersaing antar-operator. Kejar setoran. Bahkan ketika layanan transportasi online meledak, pemerintah tidak melakukan langkah yang berarti. Suasana dibiarkan menjadi persaingan bebas. Lalu apa guna pemerintah jika ia tak muncul menjadi penentu mana yang benar dan mana yang salah; mana yang mendukung transportasi berkelanjutan dan mana yang hanya menjadi pemuas individu-individu yang hanya peduli kenyamanan dirinya sendiri; dan apa yang harus dilakukan menghadapi perkembangan teknologi?

Ide mengaktifkan kembali Angkudes dan AKDP untuk menyokong angkutan massal ini bukan berasal dari khayalan di saat hujan. Beberapa kota sudah melakukannya. Jakarta bikin JakLingko yang merupakan program integrasi transportasi antarmoda di Jakarta. Masyarakat dapat menikmati kombinasi layanan angkot dan Transjakarta dengan tarif yang terintegrasi sebesar 5000 rupiah. Bahkan, ke depannya JakLingko akan diintegrasikan dengan moda lain seperti MRT dan LRT.

Kota Medan pun akan melakukan hal serupa. Mulai tahun 2018, angkot direformasi dan selanjutnya akan diintegrasikan dengan BRT. Tentunya ini membahagiakan bagi penumpang karena jaringan angkutan umum akan bisa ditemui tak jauh dari pintu rumahnya dan secara andal mengantarkannya ke tempat tujuan. Dari sisi sopir angkutan, ia mendapat jaminan penghasilan tanpa perlu dikejar target setoran.

Proses perbaikan angkutan umum dan integrasi dengan angkutan massal memang tidak mudah (Lah, siapa yang bilang mengatasi kemacetan gampang?). Pemerintah mesti melakukan pendekatan dan menjelaskan dengan baik tujuan yang ingin dicapai kepada para operator angkutan umum. Pekerjaan yang bisa jadi melelahkan ini sangat berguna bagi masa depan. Sebab, sistem transportasi dibiarkan autopilot sejenak saja, membenahinya bisa menuntut waktu yang lama.

Jadi, Jogja kapan?

Kategori
Beranda

Angkudes dan Bus Kota Sekarat! Selametin Nggak Ya…?

Bus Kota Jogja yang Makin Sekarat
Foto: Jogja Wisata Hitz
Tribun Jogja edisi 23 April 2018 melaporkan sekaratnya angkutan desa (Angkudes) Jogja di halaman pertamanya. Laporan itu bahkan diberi judul Angkudes Cuma Bawa Satu Penumpang.

Untuk mengetahui seberapa sekarat Angkudes di Jogja, ada dua parameter yang bisa dibandingkan untuk jangka waktu tertentu, yaitu jumlah armada dan trayek. Untuk daerah Sleman, awalnya ada 289 armada Angkudes. Namun, kini yang tersisa hanya 111 armada. Dari jumlah ini pun, yang beroperasi hanya 41 armada. Dengan berkurangnya armada yang signifikan bahkan lebih dari setengahnya ini, jumlah trayek di Sleman pun berkurang. Dari semula 16 rute trayek, kini tersisa 9 trayek. Bahkan yang benar-benar aktif pun hanya 7 trayek.
Di Kabupaten Bantul juga terjadi hal serupa. Pada 2012, masih ada 37 Angkudes yang beroperasi. Sejumlah armada ini melayani trayek berikut (data Dinas Perhubungan Bantul):

1. Pasar Bantul – Pasar Imogiri, dilayani 10 armada.

2. Pasar Bantul – Tugu Genthong, dilayani 3 armada.

3. Pasar Bantul – Pundong.

4. Pasar Bantul – Kretek.

5. Pasar Imogiri – Dlingo (lewat Munthuk).

6. Pasar Imogiri – Dlingo (lewat Seropan), dilayani 4 armada.

7. Pasar Bantul – Pleret.

8. Pasar Bantul – Krebet.

9. Dlingo – Rejoinangun, dilayani 16 armada.

10. Pajangan – Bantul – Pajangan, dilayani 4 armada.

Kini, tahun 2018, jumlah tersebut menurun drastis. Hanya tersisa 17 armada dengan trayek sebagai berikut:

1. Pasar Imogiri – Pencil – Seropan – Dlingo, dilayani 4 armada PP.

2. Pasar Bantul – Pasar Niten – Kasongan – Karangjati – Bangunjiwo – Sribitan – Tugu Genthong, , hanya dilayani 3 armada PP.

3. Pasar Bantul – Gose – RSUD Panembahan Senopati – Manding – Jetis – Barongan – Imogiri, dilayani 10 armada PP.

Kemudian, berdasarkan data Dishub Kulonprogo yang dikutip Tribun Jogja, jumlah Angkudes yang tersisi di Kabupaten Kulonprogo hanyalah sekitar 50-an armada. Jumlah ini berkurang lebih dari 50 persen, karena sebelumnya jumlah armada mencapai ratusan. Jumlah trayeknya pun berkurang sampai 60 persen, yaitu dari 33 trayek menjadi hanya 13 trayek aktif yang tersisa.

Menanggapi isu ini, Guru Besar Transportasi Teknik Sipil UGM, Sigit Priyanto menyatakan bahwa pemerintah daerah harus memberi subsidi untuk Angkudes. Pasalnya, kebijakan untuk Angkudes tidak bisa diperdiksi berdasarkan demand atau kebutuhannya. Sebab, fungsi Angkudes sebetulnya adalah mengembangkan ekonomi daerah dengan membuka akses ke daerah yang terisolir. Kebijakan pemerintah melepas pengusaha Angkudes mencari pemasukan hanya dari tarif penumpang adalah langkah yang tak bijak.

Pemberian subsidi kepada Angkudes, menurut Sigit, bukannya tidak mendatangkan manfaat. Sigit menyebut hidupnya Angkudes akan menghidupkan perekonomian suatu daerah dan wilayah tersebut akan maju. Proyek-proyek perumahan akan tumbuh di wilayah yang dilalui Angkudes. Hal ini akan berdampak pada naiknya harga tanah dan Pajak Bumi Bangunan (PBB) yang ujung-ujungnya meningkatkan pendapatan daerah.

Organisasi Angkutan Darat (Organda) mengusulkan Angkudes diberdayakan menjadi angkutan di lajur wisata setiap daerah/kabupaten. Angkudes diharapkan dapat mengambil peran di jalur-jalur wisata yang medannya sulit dan kerap terjadi kecelakaan. Misalnya, wisata daerah Menoreh Kulon Progo dan Gunung Kidul. Namun, ide ini perlu dukungan dari pemerintah dengan kebijakannya, misal bus besar pariwisata diatur tidak perlu naik ke lokasi wisata, tapi hanya sampai area parkir saja. Selanjutnya, wisatawan atau rombongan melanjutkan perjalanan menggunakan Angkudes.

Kondisi bus kota pun tidak kalah menyedihkannya. Jumlah armada yang semula sekitar 590, pada tahun 2015 hanya tersisa sekitar 190-an. Mungkin tahun ini jumlahnya lebih sedikit lagi.

Beberapa kalangan menilai, nyaris matinya Angkudes dan bus kota disebabkan oleh kemudahan masyarakat mendapatkan kendaraan pribadi. Kemudahan akses kendaraan pribadi di jalan juga menambah pemicu rendahnya minat masyarakat naik angkutan umum. Jumlah angkutan pribadi pun membeludak.

Sebetulnya, Dishub DIY sudah punya konsep makro angkutan umum di D.I. Yogyakarta. Dalam konsep tersebut telah dicantumkan peran Angkudes dan Bus Kota atau Angkutan Kota Dalam Provinsi (AKDP). Konsep tersebut dapat dilihat pada Gambar berikut.

Konsep Dasar Transportasi Umum DIY
Sumber: Dishub DIY
Dari gambar di atas dapat dilihat bahwa Angkudes punya peran sebagai pengumpul penumpang di kawasan pedesaan. Angkudes juga direncanakan dapat menjadi penghubung di daerah-daerah yang tidak bersinggungan dengan trayek angkutan perkotaan.

Sementara itu, AKDP difungsikan sebagai angkutan pengumpan (feeder). Ia sebagai penghubung penumpang yang sudah dikumpulkan Angkudes di titik-titik kumpul dengan daerah kota. Selanjutnya, setelah penumpang masuk daerah kota, ada Trans Jogja yang siap melayaninya.

Lebih jauh, Dishub DIY sudah merencanakan secara detail rencana pengembangan angkutan feeder. Trayek yang awalnya sebanyak 40 akan dilebur menjadi hanya 12 trayek saja. Sistemnya juga diharapkan terintegrasi dengan menerapkan konsep buy the service. Detail rencana tersebut dapat dilihat pada Gambar berikut.

Rencana Pengembangan Angkutan Feeder
Sumber: Dishub DIY
Maksud dari sistem buy the service ialah pemerintah menggandeng pihak swasta untuk memberikan pelayanan angkutan massal. Pemerintah membeli pelayanan yang disediakan oleh pihak swasta tersebut. Pembelian dilakukan dengan menghitung biaya pokok yang akan menghasilkan nilai rupiah per kilometer. Pihak swasta akan dibayar tetap berdasarkan perhitungan tersebut. Sistem ini disebut efektif untuk mengganti sistem setoran yang sudah lama menjerat aturan main angkutan massal.

Berbagai masalah ini akan didiskusikan di acara Ngaji Transportasi yang diselenggarakan oleh Pijak ID dan Pemuda Tata Ruang (Petarung) dan didukung oleh Innovative Academy UGM. Solusi-solusi yang sudah ada juga akan didiskusikan bersama tentang kelayakan dan keefektifannya. Setelah itu, langkah konkret yang bisa dilakukan oleh masing-masing aktor transportasi (pemerintah, swasta, dan masyarakat) juga perlu dirumuskan. Semua demi transportasi kita bersama yang lebih baik dan hidup kita yang lebih bahagia.

Untuk detail acara diskusi ini, dapat dilihat di poster berikut.
Desain oleh Ridwan AN

Dandy IM
PijakID