Kategori
Transportasi

Agar NYIA Tak Menimbulkan Masalah Baru

Foto oleh Estu

Hingga saat ini, isu pembangunan New Yogyakarta International Airport (NYIA) di Kulon Progo masih menuai pro dan kontra. Terlepas dari pro dan kontra tersebut, satu hal yang jelas ialah pembangunan NYIA disebabkan oleh ketidakmampuan bandara Adisucipto melayani penumpang yang terus membeludak. Namun, apabila suatu saat bandara baru ini benar-benar terwujud, ada persoalan transportasi lain yang sungguh penting untuk diperhatikan.

Beberapa studi menunjukkan, pengguna Bandara Adisucipto didominasi oleh masyarakat yang menetap di Kota Yogyakarta dan Sleman. Apabila bandara komersial dialihkan ke Kulon Progo, maka bisa dibayangkan betapa jalan di sisi barat Jogja akan sangat padat apabila tiap penumpang membawa kendaraan pribadi masing-masing. Ya mungkin beberapa penumpang mulai menggunakan angkutan sewa online, tapi itu sama saja dengan kendaraan pribadi.

Kenyataan ini tentu saja menimbulkan permasalahan baru dalam bidang transportasi, yaitu kemacetan. Beberapa opsi bisa dipilih sebagai solusinya. Di antaranya yaitu mengembangkan bus rapid transit (BRT) dan kereta bandara. Yang disebut terakhir sangatlah menarik untuk dibahas, karena setumpuk keunggulan yang dimilikinya.

Baca juga: Hati-Hati Kecanduan Jalan Tol

Jaringan Transportasi Wilayah Wates – Kedundang

Dengan jarak antara Kota Yogyakarta dengan lokasi calon NYIA yang mencapai 45 km, akan menyulitkan apabila masyarakat ingin menuju bandara melalui jalan raya. Sehingga, diperlukan angkutan massal berupa kereta api yang menghubungkan Kota Yogyakarta dengan NYIA. Alasan ini diambil karena kereta api lebih cepat, ramah ligkungan, dan membutuhkan ruang yang lebih sempit.

Proses pembangunan kereta api bandara tidaklah dengan membuat jalur baru, akan tetapi menggunakan jalur yang sudah ada. Namun, khusus di Stasiun Kedundang, perlu dibangun jalur baru. Kepala Bidang Sistem Transportasi Non Jalan, Deputi Sistem Transportasi Multimoda Kemenko Perekonomian Dwinanta Utama mengatakan bahwa jalur yang sudah ada saat ini sepanjang 40 km. Sehingga, hanya perlu ditambah jalur baru sepanjang kurang lebih 5,4 km. Pembangunan jalur kereta api ini pun memiliki dua skenario, yang pertama berada di darat, lalu skenario kedua adalah elevated atau melayang. Baik jalur yang berada di darat maupun jalur elevated, jalur kereta api hanya membutuhkan lebar lahan yang tidak telalu luas. Lebar lahan yang dibutuhkan untuk ruang bebas kereta sebesar 4 meter untuk jalur tunggal, dan 8 meter untuk jalur ganda. Dengan lebar 8 meter dan panjang lintasan baru sebesar 5.400 meter, maka total luas lahan yang dibutuhkan hanya 43.200 meter persegi. Hal ini menunjukkan bahwa dengan adanya kereta api bandara akan lebih menguntungkan daripada harus melalui jalan raya.

Satu hal yang menjadi catatan penting, sarana dan prasarana perkeretaapian ini harus sudah selesai dan siap beroperasi sebelum bandara NYIA selesai dibangun. Pasalnya, bandara yang akan berkelas internasional ini akan menyedot banyak penumpang yang mesti bertempur di jalan aspal apabila tidak ada layanan kereta api ke sana. Para calon penumpang pun tak lagi membuang-buang waktunya di jalanan, terutama yang bepergian untuk urusan bisnis.

 

Rencana Jalur Kereta Bandara Wates-Kedundang
Faktor yang akan mempengaruhi keberhasilan pembangunan kerata bandara

Martin (2015) telah melakukan penelitian terhadap sejumlah responden mengenai fasilitas yang perlu disediakan. Survei dilakukan secara acak pada calon penumpang kereta api yang berada di Stasiun Yogyakarta. Hasilnya fasilitas yang dibutuhkan terdiri dari:

1) Faktor mutu pelayanan
 Meliputi kenyamanan dari fasilitas kereta bandara, ketersediaan informasi yang jelas di dalam kereta dan stasiun, lalu kebersihan kereta bandara.

2) Faktor kebutuhan penumpang
Meliputi pemberlakuan tarif yang sesuai dengan pelayanan yang diberikan dan kepastian dalam mendapatkan tempat duduk.

3) Faktor kinerja kereta bandara
Meliputi ketepatan waktu datangnya kereta api bandara dan efisiensi waktu tempuh perjalanan.

4) Faktor operasi kereta bandara
Yaitu tersedia hanya satu kereta bandara, tanpa perlu transit terlebih dahulu.

Hasil lain yang didapatkan, adalah jumlah penumpang pada 3 tahun ke depan diperkirakan mencapai 10.530 orang per hari.

Pemerintah Perlu Lakukan ini

Satu hal yang paling penting diperhatikan jika ingin operasional kereta bandara itu berhasil, yakni menyediakan jaringan angkutan masal dalam kota. Sebelum gerbong kereta bandara dijalankan, sebaiknya pemerintah sudah menyediaan trayek angkutan umum di sekitar stasiun-stasiun yang akan memberangkatkan penumpang dari kota menuju stasiun NYIA di Kulon Progo. Termasuk membuat jaringan trayek bus atau angkot yang dapat mencakup semua wilayah kota sekaligus dapat menyinggung stasiun keberangkatan. Hal ini ditujukan untuk calon penumpang agar tidak menggunakan kendaraan pribadi untuk menuju ke stasiun. Begitu juga sebaliknya. Turis atau pendatang yang ingin berkunjung ke kota tidak perlu kebingungan mencari sarana transportasi untuk mengantarnya sampai tujuan yang diinginkan. 

Jika masih banyak calon penumpang menggunakan kendaraan pribadi (termasuk taksi/ojek) untuk mengakses kereta bandara, maka sama saja memindahkan kemacetan yang sebelumnya terjadi di daerah Bandara Adi Sucipto yaitu Jalan Raya Jogja-Solo menjadi di jalan-jalan kota sekitar stasiun. Yang seharusnya macet di Jalan Raya Wates menjadi macet di Stasiun Lempuyangan atau Stasiun Tugu. Sehingga, sudah barang tentu melihat macet di sekitar stasiun akan memotivasi masyarakat beralih menunggangi lagi kendaraan pribadinya untuk menuju Kulon Progo. Akibatnya? Lagi-lagi Jalan Wates yang akan jadi korban kemacetannya.

NYIA sudah menghasilkan banyak masalah dalam proses pembebasan lahan dan pembangunannya. Saatnya kini pemerintah lebih mematangkan rencana. Agar tidak timbulkan masalah kemacetan lagi saat masa operasionalnya telah tiba. Sehingga masyarakat tak lagi-lagi kecewa. Dan semua pihak bisa menikmati manfaatnya.

Sumber:

Martin,S. 2015. Prakiraan Permintaan Penumpang Pada Rencana
Pembangunan Kereta Api Bandara Di Kulon Progo. Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada
http://www.bbc.com/indonesia/indonesia-42262077
https://finance.detik.com/infrastruktur/d-3769880/bandara-kulon-progo-bakal-dilengkapi-kereta
http://e-journal.uajy.ac.id/5135/4/3TS13155.pdf

Estu Hanifan
Ridwan AN
Kategori
Beranda

Perjalanan Udara ke Sumenep dan Kisah-kisah yang Tercecer

Foto:  Josh

Anak kecil di sampingku berteriak sambil mengayunkan kedua tangannya di atas kepalanya bersamaan dengan roda pesawat yang meninggalkan landas pacu Bandar Udara Juanda. Anak kecil itu sepupuku. Ia baru berada di jenjang kelas 1 SD. Aku sendiri kaget setan kecil itu tiba-tiba berteriak. Aku periksa sabuk pengamannya, masih terpasang. Setan bedebah, ia ternyata berteriak sambil memasang wajah semringah.

Dua kursi di depanku tapi di banjar yang lain, seorang dewasa menoleh ke belakang, tepatnya ke kursiku, saat pesawat baling-baling itu belumlah mencapai posisi stabil. Anak setan di sampingku juga masih berteriak. Dari sorot matanya, aku merasa seorang dewasa itu memendam rasa kesal dan olok-olok. Di bundaran hitam matanya, aku dan sepupuku bagaikan makhluk norak yang baru kali pertama naik pesawat. Awalnya aku merasa hina ditatap olehnya. Namun melihat sepupuku masih riang tak terkira – bangsat kau setan kecil! – aku akhirnya senyum-senyum juga.

Setelah puas cengengesan, aku sadar bahwa seperti orang dewasa itulah aku beberapa tahun belakangan. Setiap kali pulang ke Madura dan melihat tingkah orang-orangnya yang menggelikan saat menghadapi perubahan atau teknologi baru, aku mencibir. Setelah aku pikir-pikir lagi di dalam pesawat, ternyata bukan tingkah mereka yang menggelikan, tapi kesombongan diriku yang memuakkan.

Pesawat rute Surabaya-Sumenep ini bisa dibilang baru. Terhitung mulai 27 September 2017, rute ini setiap hari dilayani oleh Wings Air yang berkapasitas 70 orang. Pesawat kecil ini langsung mengambil jalan pulang pergi: pukul 12:45 WIB terbang dari Juanda dan 14:20 WIB sudah ongkang-ongkang sayap di bandara yang sama. Perjalanan tiap hari ini menandakan dimulainya layanan komersial pertama di Bandara Trunojoyo, Sumenep. Sayang, saat itu penumpang yang ikut terbang bersama diriku hanya dua puluhan orang.

Baca juga: Mending Mana, Park and Ride atau Menambah Jalan?

Sebelumnya, bandara ini baru beroperasi sebagai bandara perintis di tahun 2015, dengan dua rute, yaitu ke Jember dan Surabaya. Susi Air melayani rute ini dengan pesawat yang hanya berkapasitas 12 orang. Rute Sumenep-Jember dan sebaliknya satu kali seminggu serta Sumenep-Surabaya dan sebaliknya dua kali seminggu. Sayangnya, karena minim jumlah penumpang, penerbangan ke Jember dihentikan di tahun 2016.

Tidak biasanya aku menempuh jalur udara ke Sumenep. Jalur bus yang sering menjadi pilihan terutama karena biayanya yang murah. Hari itu aku, nyannya (tante), om, dan dua anak mereka harus bergegas pulang karena minimal sore hari harus berada di rumah. Jenazah kakek yang sudah meninggal sehari sebelumnya belum juga dimakamkan, menunggu kedatangan kami berlima. Akhirnya pesawat jadi pilihan, dengan harapan perjalanan menjadi semakin singkat.

Setelah terbang selama tiga menit, pesawat berada di atas selat Madura. Dari posisi ini aku bisa melihat jembatan Suramadu yang tampak mungil dan daratan Bangkalan, kabupaten yang paling dekat dengan Surabaya. Sebentar saja aku dibuat kaget oleh pemandangan di daratan Bangkalan yang dekat selat. Aku bagai melihat lahan tambang kapur yang begitu luas dengan selimut warna putih keabu-abuan. Sejenak kemudian aku sadar, itu tambak garam. Dalam hati aku hanya berharap tambak-tambak itu tidak lagi dikotori ampas makanan manusia. Sebab dulu aku tiap hari melakukannya di tambak garam di Sampang ketika mengunjungi kerabat yang tinggal di sana. Aku bahkan jongkok di tepian tambak itu saat siang sedang terik.

Kami mendarat di Bandara Trunojoyo pukul 13.20 WIB. Sejenak keadaan menggelitik hati. Masih ada rasa tidak percaya, sekarang bisa secepat ini memindahkan badan dari Surabaya ke Sumenep. Karena sebelumnya kita harus menumpang bus selama empat jam. Belum lagi kalau uang terbatas sehingga terpaksa naik bus yang kotor, bau, dan sesak. Dengan bantuan burung besi, ada harapan kami bisa sampai di rumah lebih cepat. Terima kasih Jokowi, tim Jokowi, dan Tuhan, yang telah mewujudkan akses yang lebih cepat ke wilayah ini. Perlu menunggu 72 tahun setelah merdeka untuk membuat bandara komersial di kabupaten yang bahkan sama sekali tidak terletak di pinggiran negara ini.

Angkot kosong yang sudah aku pesan ketika masih di Surabaya telah menunggu di parkir bandara. Kami berlima langsung naik ke angkot. Sopir angkot pun langsung memacu kendaraannya. Kami menuju pelabuhan Dungkek yang terletak agak di utara. Butuh setengah jam perjalanan darat ke sana, sehingga kami sampai di pelabuhan itu pukul 14:00 WIB.

Selama perjalanan di angkot, tanteku sempat berandai-andai. Andai dibangun jembatan antara Pulau Madura dan Pulau Sapudi. Kami bisa lebih cepat lagi sampai di rumah. Menurutnya, tidak susah membangun jembatan itu. Dananya kan ada. Menurutnya, cukup alokasikan semua dana desa di Sapudi untuk membiayai pembangunan jembatan. Toh, jembatan itu untuk kepentingan orang-orang Sapudi juga.

Masalahnya, aku menanggapi angan-angan tanteku, jembatan itu akan melewati perairan yang butuh tiga sampai empat jam perjalanan laut. Sedangkan laut di bawah Jembatan Suramadu saja hanya butuh satu jam perjalanan kapal untuk melintasinya. Berarti biayanya akan beberapa kali lipat lebih besar daripada Suramadu. Dan, berapa orang saja yang akan dilayani?

Tentu saja tanggapanku terlalu serius untuk ide tanteku yang hanya berupa angan-angan yang muncul dari perjalanan yang tergesa-gesa. Tentu saja tanteku bercanda. Tapi aku pikir angan-angan itu diakibatkan oleh permasalahan yang serius. Mengapa orang-orang kepulauan kini juga keranjingan memimpikan jembatan yang menghubungkan pulau? Mengapa orang kepulauan sendiri kini lupa bahwa kapal dan perahu bisa dijadikan andalan penyeberangan? Sebab, tidak hanya tanteku saja, belakangan kerap aku dengar angan-angan serupa.

Baca juga: Kenapa Pembangunan Infrastruktur Diperlukan?

Aku menduga, angan-angan ini muncul dari rasa muak yang menerpa orang-orang kepulauan selama ini. Apa yang akan kau pikirkan saat melihat ibumu mati di tengah laut karena terlambat mencapai daratan di seberang? Kau harus membawa ibumu ke daratan itu karena di pulau yang kau huni, tenaga dan perkakas medisnya tidak memadai. Cerita tentang kematian seseorang di tengah lautan semacam ini kerap menjadi perbincangan di Pulau Sapudi. Kembali ke pertanyaan tadi, apa yang akan kau pikirkan? Mungkin mengumpat, mungkin juga mengelus-elus dada agar bersabar. Tapi mungkin juga terpikirkan pertanyaan, kenapa tidak ada jembatan yang nangkring di perairan ini? Kenapa puskesmas di dekat rumah begitu menyedihkan?

Setahun yang lalu, aku asik menonton tetanggaku di Sapudi sedang membuat rangka perahu. Panjangnya kira-kira tujuh meter dan lebarnya dua meter. Nantinya, rangka perahu ini dijadikan cetakan adonan fiber. Bahan ini dipilih agar nantinya perahu ringan, sampai-sampai bisa digotong oleh hanya satu orang. Perahu seringan ini tentu akan melaju kencang apalagi jika menggunakan mesin bertenaga tinggi.

Perancang perahu ini bukanlah lulusan perguruan tinggi. Ia hanya lulusan SMP. Ia dibantu temannya yang sehari-hari mengurusi bengkel di dekat rumah dan tower sinyal operator. Ia sempat berkelakar, perahu ini akan sangat berguna di saat-saat darurat. Misalnya, seperti kami yang diburu waktu untuk mengejar pemakaman. Selain itu, untuk membawa orang sakit yang butuh penanganan khusus di pulau seberang. Lagi-lagi ini sebuah angan-angan, yang muncul dari seseorang yang pernah merantau ke Batam. Ternyata, ia mempelajari cara pembuatan perahu semacam itu di perantauan.

Tidak hanya keadaan darurat semacam ini yang menjadi permasalahan transportasi kepulauan. Ketika waktu-waktu tertentu, arus mudik lebaran misalnya, layanan kapal feri tetap mengandalkan satu kapal mungil untuk melayani penumpang di pelabuhan Kalianget Sumenep, Pulau Sapudi, Pulau Raas, dan Pelabuhan Jangkar Situbondo sekaligus. Hanya satu kapal! Seperti hari-hari biasa. Penumpang jadi berdesak-desakan. Jadwal berubah-ubah karena menyesuaikan jumlah penumpang. Dan, yang menyedihkan, kapal naas itu jadi makin sering rusak.

Dua kondisi ini sudah cukup membuat angan-angan orang kepulauan, seperti tanteku, menanggalkan harapan kepada kapal atau perahu yang menyiksa dan beralih ke jembatan. Angan-angan itu, dari pemantauanku, semakin kuat. Pengurus negara maritim ini hendaknya mulai mengambil langkah untuk menyelamatkan pelayaran kepulauan. Sebab teror pola pikir lebih menyakitkan.

Dalam debat publik calon gubernur Jawa Timur awal Mei lalu, kedua pasangan calon saling menawarkan janji untuk membenahi dan memajukan transportasi laut di kepulauan Sumenep. Cerita dariku ini mungkin bisa menjadi sedikit sumbangan pemikiran apabila janji itu memang serius.

Sebab, bagi orang-orang kepulauan Sumenep, layanan penerbangan Surabaya-Sumenep tak banyak membantu apabila transportasi laut masih nggak keruan.

Dandy IM
PijakID
Kategori
Transportasi

Akankah Bandara Kulon Progo Hormat Pada Tsunami?

Foto: TirtoID

Menurut laporan Gesit Ariyanto di harian Kompas (26/11), akhir Oktober lalu, tim perancang New Yogyakarta International Airport (NYIA) berkunjung ke Kochi Ryoma Airport di Jepang. Mereka berkunjung untuk mempelajari cara bandara Kochi menghormati fenomena alam bernama tsunami.

Bandara Kochi memang belum pernah didatangi tsunami. Namun, pengalaman bandara Sendai yang lumpuh saat terkena tsunami membuat para pengelola bandara di bagian Selatan Jepang itu berbenah. Mereka tidak ingin kejadian di Sendai terjadi juga di Kochi. Kala itu, ratusan orang terjebak di atap terminal bandara Sendai selama dua hari – sesuatu yang sangat memalukan di Jepang. Tidak ada bantuan datang karena lumpuhnya berbagai akses ke bandara.

Setelah kejadian memilukan itu, pengelola Bandar Udara Kochi mengubah desain terminalnya. Mereka mengusahakan lantai satu terminal tidak terlalu lama disinggahi para penumpang. Fasilitas yang ada di lantai tersebut tidak membuat penumpang berkerumun, seperti ATM, pengecekan bagasi, dan satu toko buah dan sayuran. Pintu keberangkatan berada di lantai dua. Dinding lantai satu juga didominasi oleh kaca dan material ringan, bukan susunan bata kaku. Sehingga, tsunami dapat dengan mudah melewati bangunan (menjebol kaca). Dinding kaku tidak dipilih karena akan membuat beban dari gelombang tsunami lebih besar bekerja pada tiang-tiang bangunan. Terminal di sana juga tidak mempunyai basement.

Apabila tsunami terjadi, evakuasi diarahkan ke lantai tiga. Petunjuk arah diberikan secara lengkap. Ada persediaan makanan yang cukup untuk beberapa hari. Tinggi lantai tiga dari tanah 9,15 meter. Sebab syarat tempat evakuasi yang aman dari tsunami tingginya 6 meter.

Para pengelola Kochi menganggap, kerusakan pesawat, landasan pacu, dan arsitektural lantai dasar tidak lebih berharga daripada nyawa manusia. Keselamatan manusia adalah yang paling utama.

Itu cerita dari negara di kawasan Asia Timur sana. Di pesisir Selatan Jawa, tepatnya di Kulonprogo, DIY, akan dibangun juga bandara yang berdekatan dengan bibir pantai. Calon bandara itu akan sangat berdekatan dengan laut yang secara kasat mata saja tidak tenang. Ombaknya berdeburan. Anginnya menekan-nekan wajah.

Baca juga: Musim Hujan: Potensi Bencana Likuifaksi

Menurut laporan Widjo Kongko, ahli tsunami di Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT), potensi gempa di Selatan Jawa, termasuk Kulon Progo mencapai magnitudo (M) 8 hingga M 9. Apabila gempa terjadi sebesar M 8,3, berdasarkan simulasi yang dilakukan Widjo, tsunami bisa terjadi dengan ketinggian 10-15 meter di pantai Temon. Daratan yang akan terkena dampak tsunami bisa mencapai 2 kilometer.

Hasil kajian Transformasi Cita Infrastruktur (TCI), apabila gelombang tsunami yang terjadi tingginya 10 meter saja, maka air akan menggenangi sekitar 305 hektare lahan. Artinya, landasan, apron (tempat parkir) pesawat, dan terminal akan terendam. Hal ini akan terjadi jika lanskap kawasan bandara tetap dibiarkan seperti sekarang.

TCI memberikan rekomendasi untuk mengurangi daya rusak tsunami. Disarankan, topografi diubah menjadi gumuk pasir dan pembuatan sabuk hijau sepanjang 50 meter ke arah daratan. Dengan skenario semacam ini, luas genangan yang akan tersisa hanya 3,5 hektare (1,1%).

Grafis: Ridwan AN

Langkah mitigasi tersebut baru membahas pencegahan kerusakan bangunan fisik bandara. Selain itu, mitigasi juga perlu membahas tentang manajemen penyelamatan manusia yang sedang berada di bandara. Karena, seperti yang diterapkan oleh Jepang, keselamatan manusia menjadi yang paling penting. Semoga saja ilmu yang didapat oleh tim desain bandara dari Kochi, Jepang, dapat diterapkan juga di Kulon Progo dengan menyesuaikan karakter lokal. Kochi sudah memberi contoh bagaimana kita mesti menghormati tsunami dengan mengikuti perilakunya. Sebab tsunami tak bisa dilawan. Kita yang harus menyesuaikan. Akankah bandara baru di Kulon Progo juga akan begitu?

Dandy IM
PijakID  
Kategori
Transportasi

Sebelum Bandara Kulon Progo Berdiri

Kulon Progo mendung di sore hari. Kemudian terjadi hujan hingga malam hari. Anak-anak bebek sudah berada di dalam kurungan. Deru kendaraan di depan rumah juga masih berisik – Jalan Daendels itu memang dilalui oleh truk-truk berat. Benturan bannya dengan perkerasan jalan sering menggetarkan kaca rumah. Hujan sungguh lebat. Sehingga memang lebih baik untuk tetap berada di dalam rumah.
Bila sedikit menengok ke arah luar, rumah-rumah lain juga terkesan sunyi. Tidak ada orang yang terlihat. Sepertinya memang semua orang juga memutuskan untuk bersantai saja di rumah.
 
Televisi dihidupkan. Sofa depan TV yang permukaannya mulai dingin menjadi enak untuk diduduki. Apalagi ketika tangan dibentangkan ke sekujur pundak sofa, juga saat leher bagian belakang menyentuhnya, rasa nyaman semakin terasa. Saluran televisi berulang-ulang diganti, untuk mencari acara atau program siaran yang bermutu. Sebab di sofa ini juga ada gadis kecil yang masih duduk di bangku kelas 2 SD. Awalnya memang jengah karena yang muncul adalah pemberitaan yang bising tentang Pilgub Jakarta, kuis berhadiah, hingga sinetron. Akhirnya, TV tak lagi berkedip saat muncul program dongeng kartun.
 
Lama berselang, ketika suasana ruang tengah rumah tetap nyaman dengan iringan kengerian injakan kaki-kaki hujan, terdengar bunyi gemertak dari arah atas. Muasal bunyi itu langsung terlihat. Karena kayu yang retak itu, yang retakannya secara cepat membengkak, tepat berada di depan mata ketika kepala sedikit mendongak. Apalagi rumah ini tak memakai plafon. Sekeluarga bergegas keluar dari rumah. Karena khawatir atap akan roboh.
 
Untungnya atap itu tidak jadi roboh. Serat bagian atas kayu belum putus, meski pembengkakan sudah melebihi setengah tebal kayu. Kayu itu berfungsi sebagai gording.
 
Saat kembali ke ruang tengah, setelah memastikan keadaan aman, sambil memandangi balok kayu itu, teringatlah suatu hal. Sejatinya sudah ada rencana untuk memperbaiki rumah ini jauh-jauh hari yang lalu. Memang ada beberapa bagian rumah yang sudah semestinya dipugar. Akan tetapi, sejak ada rencana pembangunan bandara di wilayah ini, yang juga akan menggusur rumah ini, rencana itu tak terlaksana. Perhatian beralih pada upaya-upaya penolakan, juga perlawanan. Rumah ini jadi terbengkalai.
 
Kabar tentang rencana pembangunan bandara muncul setelah Bupati Kulon Progo saat itu, Toyo Santoso Dipo, menyetujuinya. Ia menjabat sebagai bupati selama dua periode berturut-turut: 2001 hingga 2011. Warga Temon, khususnya yang akan terkena dampak, mendengar kabar itu sejak tahun 2012. Hingga akhirnya dibentuklah Wahana Tri Tunggal (WTT) pada 9 September di tahun yang sama. Ia menjadi wadah warga untuk saling mencurahkan pikiran tentang hal-hal yang bisa dilakukan agar bandara tidak jadi didirikan di Temon. Awalnya, anggota WTT berasal dari enam desa, yaitu Glagah, Palihan, Sindutan, Jangkaran, Kebonrejo, dan Temon Kulon. Meskipun di perjalanan cerita, kita akan tahu, anggotanya semakin lama semakin menyusut.
 
Yang tergabung ke dalam WTT adalah petani. Mereka adalah para pemilik lahan, petani penggarap, maupun buruh tani.
 
Perdebatan Tempat
Lokasi pembangunan bandara itu memang tak serta merta menunjuk ke Temon, tempat rumah ini berdiri – setidaknya begitu kata periset. Ada 7 calon lokasi yang direncanakan. Salah satunya bandara yang sudah ada, Adisucipto – mereka menyebutnya bandara existing. Enam lokasi lainnya: Selomartani di Sleman, Gading Airport di Gunung Kidul, Gadingharjo di Bantul, serta Bugel, Temon, Bulak Kayangan, yang ketiganya berada di Kulon Progo. Ketujuh lokasi itu dibanding-bandingkan kelebihan dan kelemahannya dengan tinjauan beberapa kriteria. Lagi-lagi menurut mereka, perbanding-bandingan itu namanya analisis multikriteria. Pusat Studi Transportasi dan Logistik (Pustral) UGM yang melakukan analisis tersebut. Mereka yang kemudian menyarankan lokasi terbaik untuk dibangun bandara baru. Dalam kerangka yang lebih besar, Pustral yang melakukan studi kelayakan. Analisis multikriteria adalah bagian dari studi kelayakan.
 
Menurut Pustral, yang disampaikan pada Seminar Bulanan tanggal 27 September 2016, ada tiga alasan yang mendesak pemindahan lokasi bandara komersial dari Adisucipto, yaitu tentang keselamatan, kapasitas, dan penghalang (obstacle) bagi pengembangan kota.
 
Karena dekat dengan perkotaan, Adisucipto dinilai memiliki risiko yang cukup tinggi. Selain itu, kapasitas bandara tersebut tidak bisa dikembangkan lagi, sementara jumlah penumpang terus meningkat. Di sebelah Barat bandara, sudah berdiri dengan megah-kaku fly over Janti. Sedangkan di sisi Timur, ada Candi Boko yang elok. Sehingga, apabila ingin menambah kapasitas, misalnya memperpanjang run way, fly over Janti harus dihancurkan dan Bukit Boko perlu dipangkas. Karena tiap pesawat punya kebutuhan ruang bebas udara tertentu di sekitara run way.
 
Bandara Adisucipto dirancang dengan kapasitas maksimal 1,2 juta penumpang per tahun. Sedangkan yang terjadi hingga tahun 2016, penumpang sudah mencapai 6 juta per tahun. Ini berakibat pada antrean pesawat ketika akan mendarat dan juga di taxi way. Belum lagi jika memperhitungkan pesawat militer.
 
Keberadaan bandara juga menghambat perkembangan kota. Gedung di seputaran kota Yogya belum bisa terlalu tinggi. Kalau membaca Perda Kota Yogyakarta No 1 tahun 2015 tentang Rencana Detail Tata Ruang Kota (RDTRK) Yogyakarta, di situ tertulis bahwa tinggi maksimal bangunan komersial adalah 32 meter dari permukaan tanah atau setara dengan 8 lantai. Sedangkan untuk kepentingan tempat tinggal maksimal 16 meter atau setara 4 lantai di atas permukaan tanah. Sehingga, ketika bandara komersial pindah ke Kulon Progo, bangunan di Kota Yogya bisa lebih tinggi lagi. Para penyedia jasa perhotelan bisa menjejalkan lebih banyak orang lagi ke jeruji beton. Masalah ketersediaan hunian bisa secara praktis diselesaikan karena akan lebih leluasa menumpuk manusia di bilik-bilik pengap.
 
Berdasarkan analisis multikriteria, Gading Airport tidak dipilih karena tidak sesuai dengan peraturan daerah/nasional. Untuk daerah Bugel, ada kontrak karya yang sedang berjalan. Daerah Selomartani, yang berada di Sleman, ada di dalam area dampak letusan Gunung Merapi. Selain itu, menurut Juhri Iwan Agriawan, peneliti Pustral UGM, di Selomartani terdapat banyak sawah. Pembangunan bandara tentu akan menurunkan produktifitas pertanian di wilayah itu. Sedangkan opsi di Bulak Kayangan tidak dipilih karena akan ada banyak penduduk yang direlokasi.
 
Akhirnya, pilihannya tersisa dua: kalau tidak di Gadingharjo ya di Temon. Ada beberapa kriteria menarik yang menjadi pembeda dua tempat tersebut. Pertama, “kemudahan mendapatkan lahan”. Pada kriteria ini, Pustral UGM menganggap bahwa lahan di daerah Temon lebih mudah didapatkan daripada di Gadingharjo. Kedua, apabila bandara dibangun di Temon, menurut Pustral UGM, “gangguan terhadap kegiatan komunitas” akan lebih minim. Ketiga, dari segi akses bandara, di daerah Temon akan lebih mudah untuk mengembangkan ruas jalan dan akses kereta api. Dengan mempertimbangkan aspek-aspek lainnya, seperti pengembangan wilayah, keberlanjutan operasi, lingkungan, Pustral UGM memilih Temon sebagai tempat terbaik.
 
Lamunan sekilas itu akhirnya buyar ketika tersadar bahwa kayu yang retak itu harus segera disangga agar penghuni rumah tak celaka. Ia memang sudah terlihat berhenti retak. Tapi lebar nganganya tetap membuat waswas. Kemudian tangan mengambil senter yang bisa dilingkarkan di kepala. Kaki melangkah ke luar, berniat mengambil persediaan bambu yang ditumpuk di pagar yang tak jauh dari rumah. Sudah hampir pukul 11 malam, dan hujan pun sudah reda.
 
Dalam perjalanan menuju tumpukan bambu itu, terlihat 2 pemuda duduk di teras sebuah rumah yang biasanya digunakan oleh anggota WTT untuk berkumpul. Seketika teringat bahwa diri memang ada janji dengan seorang mahasiswa UGM. Tampaknya ia membawa teman. Barangkali hujan lebat tadi yang membuat mereka begitu malam sampai di tempat ini. Saat diri semakin mendekati mereka, muka mereka terlihat bahagia. Akhirnya bertemu dengan orang yang dituju, mungkin seperti itu yang mereka pikirkan.
 
“Nomor mas saya telpon nggak aktif e mas,” katanya.
 
“Lah iya. Hp saya mati.”
 
Mereka saya ajak pindah ke rumah yang hampir roboh itu. Satu orang membawa sepeda motor, satunya lagi membantu saya mengangkut sebatang bambu.
 
Setelah rumah dipastikan benar-benar aman, dengan tiang penyangga yang sudah diantisipasi agar tak tergelincir, kita berbincang di ruang tengah. Sambil menonton televisi. Sambil menyeruput minuman hangat-sedap di malam yang dingin.
 
Hal ini saya ucapkan di awal-awal pembicaraan: “besok pas ke sawah, kalau ketemu orang, jangan bilang dari UGM.”
 
“Iya mas,” mereka mengangguk sambil menyisipkan senyum.
 
Mereka tak menanyakan alasannya. Sepertinya mereka sudah paham.
 
Bertani di Lahan Pasir
Esok paginya kami sudah siap dengan 2 sepeda motor, akan berangkat ke sawah dekat Pantai Glagah. Sawah itu tak terlalu jauh dari rumah ini, paling hanya 300 meter. Jalannya awal-awal beraspal. Ada juga yang diperkeras dengan paving. Selebihnya, jalan setapak dengan lapisan pasir hitam yang cukup tebal. Diri telah terbiasa melintasi jalan ini, sehingga perjalanan menjadi mudah-mudah saja. Sementara 2 anak muda itu cukup berisik, sebab ban sepeda motornya seringkali terjerembab di kubangan pasir. Sepeda motor itu jadi oleng dan berjalan lelet.
 
Ketika sudah sampai di sawah, yang dikunjungi pertama kali adalah barisan semangka. Mereka sudah mulai berbuah, meski baru sebesar kepala kucing. Di pinggiran sawah terdapat beberapa kotak kecil yang berisi benih semangka.
 
Sawah ini memang sepenuhnya terbentuk dari hamparan pasir. Minim sekali unsur hara di antara butirannya. Maka para petani, secara mandiri, mencampurkan kotoran-kotoran ternak dengan gumpalan-gumpalan pasir. Bedengan dibentuk berbaris kemudian ditutupi dengan pipa plastik. Petani juga membuat sumur di dekat sawah yang kemudian dipompa untuk mengairi lahan. Pipa utama mengangkut air ke masing-masing bedeng. Ke dalam aliran air itu terkadang dimasukkan takaran pupuk. Akhirnya, lahan itu bisa ditanami.
 
Tentu saja tidak hanya semangka yang ditanam. Telah tumbuh di petak lainnya tanaman seperti jagung dan cabai. Kalau jagung dan semangka, petani cukup mengairinya di bagian akarnya saja. Sedangkan daun cabai juga butuh dibasahi secara berkala. Karena itulah, petani yang menamam cabai juga perlu menyiram secara manual, agar daun cabai terkena tetes-tetes air. Tidak bisa hanya mengandalkan pipa.
Foto: Ridwan AN
Karena tidak pernah tahu – atau mungkin tidak mau tahu – tentang keadaan itu, atau bahkan tak pernah mendengar ceritanya, orang-orang yang mengaku dipercaya melakukan studi kelayakan akan berkata lahan di sekitar Pantai Glagah tidak produktif. Ia tak seperti persawahan di wilayah Selomartani yang begitu rimbun. Ia juga tak seperti sawah teknis di Gadingharjo yang dimanjakan dengan irigasi teknis. Ia hanyalah ruang tandus, kering, dan asin yang dipenuhi tumpukan pasir hitam. Tapi selama bertahun-tahun menjadi sumber kehidupan masyarakat Temon. Dari hasil budi daya di lahan itu, petani sudah hidup cukup nan enak. Untuk makan sudah ada tumpukan karung beras di dapur, sayuran di pagar, dan lauk yang terjangkau. Bila ingin buah-buahan juga tinggal memetik dengan tangan sendiri. Ia bahkan lebih dari sekadar cukup.
 
Bila bermodal peta internet, sekilas memang akan terlihat wilayah pesisir itu dipenuhi dengan kotak-kotak tambak. Deretan tambak akan terlihat mulai dari Dermaga Glagah hingga muara Sungai Congot, baik tambak baru maupun yang sudah lama. Akan tetapi, bila melihatnya lebih teliti, ada suatu bagian – bisa dibilang berada di tengah – yang sama sekali tak beralih menjadi tambak. Ia tetap ditumbuhi tanaman pangan. Pemiliknya tetap setia mengolah lahan itu agar tetap subur dan semakin subur. Kemudian terbesit dalam pikiran, apa memang para tukang survei itu tidak sabaran, sehingga yang dikerjakan menjadi asal-asalan, tidak sesuai dengan yang ada di lapangan. Tetapi bisa saja, yang mereka dapatkan di lapangan tidak sepenuhnya dilaporkan.
 
Polemik Kepemilikan Tanah
Seminggu yang lalu, tepatnya 17 September 2016, malam Minggu, gunungan yang dibentuk oleh macam-macam sayur dan umbi telah siap di mobil boks. Karena besoknya, akan diadakan arak-arakan menyusuri Jalan Daendels. Itu dalam rangka ulang tahun WTT yang keempat. Tujuannya: untuk memberitahukan pada khayalak bahwa WTT masih terus melakukan perjuangan agar tidak jadi terusir dari tanah sendiri. Tempat doa bersama, knalpot nyaring, dan sablonan di kaos dikerjakan semalaman.
Gunungan sayur sedang diarak di Jalan Daendels
Foto: Hafidz WM

 

Seorang warga yang ikut arak-arakan menggunakan kaos bertuliskan “Pertahankan tanah kelahiran sampai titik darah penghabisan”
Foto: Hafidz WM
Setelah foto-foto dan video arak-arakan menyebar di media sosial, muncul berbagai komentar. Suara-suara itu ada yang bentuknya dukungan, tapi juga ada yang sindiran. Seperti: koyo lemahe dewe wae… (kayak tanahmu sendiri aja). Persoalan tanah di Yogyakarta memang butuh penjelasan secara pelan-pelan.
 
Suatu sore di hari Selasa, 15 September 2015, Sultan HB X menyatakan bahwa tidak ada tanah negara di Yogyakarta. Ia berujar, “Neng Jogja ora ono tanah negara. Hasil Paliyan Nagari kok tanah negara.” Palihan Nagari disebut juga Perjanjian Giyanti yang ditandatangani oleh VOC dan pihak Mataram. Perjanjian itu membagi wilayah Mataram menjadi dua bagian: Kasunanan Surakarta dan Kasultanan Yogyakarta.
 
Pernyataan Sultan tersebut bertolak pada kerangka sejarah. Sementara dalam ranah legal-formal, bisa dikupas beberapa bagian dari UU Nomor 13 Tahun 2012 tentang Keistimewaan D.I. Yogyakarta yang berhubungan dengan persoalan tanah.
 
Dalam UU itu, tentang pertanahan dibahas secara spesifik di Pasal 32. Di situ disebutkan bahwa dalam konteks pertanahan, Kasultanan Yogyakarta dan Kadipaten Pakualaman dinyatakan sebagai badan hukum. Di Indonesia, badan hukum dibedakan menjadi dua: badan hukum publik dan privat. Bedanya, sebuah badan hukum publik mempunyai wewenang untuk mengatur aset-aset negara, tetapi tidak mempunyai hak milik. Sedangkan badan hukum privat mempunyai hak milik tapi tak punya hak mengatur. Di ayat (2) dan (3) Pasal 32 UU Keistimewaan, dinyatakan bahwa Kasultanan dan Kadipaten mempunyai hak milik masing-masing terhadap tanah Kasultanan (Sultan Ground/SG) dan tanah Kadipaten (Pakualaman Ground/PAG). Ini menunjukkan bahwa Kasultanan dan Kadipaten adalah lembaga hukum privat, semacam perusahaan, karena mempunyai hak milik. Akan tetapi, pada ayat (5), kemudian disebutkan bahwa Kasultanan dan Kadipaten mempunya wewenang untuk mengelola tanah di Yogyakarta. Dari kenyataan ini terlihat bahwa Kasultanan dan Kadipaten berperan sebagai badan hukum privat sekaligus publik. Mereka punya hak milik, dan juga bisa mengatur. Ini seperti membayangkan perusahaan Hary Tanoesoedibjo punya wewenang mengatur aset-aset negara secara legal.
 
Karena itulah polemik UU Keistimewaan Yogyakarta belum juga usai.
 
Bila meninjau lebih jauh ke belakang, sejak 1 April 1984, melalui Keputusan Presiden 33/1984, UU Pembaruan Agraria (UUPA) diberlakukan sepenuhnya di DIY. Peraturan ini terbit atas desakan dari Sri Sultan HB IX. Ia ingin UUPA juga diterapkan di DIY. Dengan menerapkan UUPA, berarti ada upaya untuk mendistribusikan tanah secara merata kepada rakyat. Tidak hanya itu, UUPA juga berpesan perlunya pengaturan alur distribusi komoditas hasil bumi secara lebih adil. Dalam level peraturan daerah, juga terbit Perda DIY No 3 Tahun 1984 yang isinya menghapus Rijksblad (Hukum Kolonial) yang menjadi dasar hukum SG dan PAG.
 
Efek Konflik
Malam telah berganti dini hari. Tetapi obrolan belum juga terhenti. Sesekali percakapan itu memang berjeda dan diisi dengan melihat telepon genggam masing-masing. Lalu terlintas suatu poster di layar hp, dan saya tunjukkan pada 2 anak muda itu.
 
“Ini mas, kita diajak demo di Abu Bakar Ali. Buat peringatan Hari Tani.”
 
“Terus mas?”
 
“Kita nggak ikut. Belum siap warga di sini, dan lelah juga.”
 
Konflik yang terjadi akibat rencana pembangunan bandara memang tidak hanya antara petani dengan pemerintah dan Angkasa Pura. Efeknya juga kencang antarsesama warga. Ini terjadi karena saat ini kondisinya sudah ada beberapa warga yang setuju menyerahkan tanah dan rumahnya. Secara umum, mereka yang setuju kebanyakan tidak berprofesi sebagai petani, misalnya seorang dokter, karyawan, atau pegawai pemerintahan. Ada juga beberapa orang yang tidak kehilangan keduanya (tanah dan rumah), tetapi hanya salah satunya. Sehingga mereka setuju. Tinggal anggota WTT yang “konsisten ora muntir”.
 
“Kalo kita para petani kan nggak takut kehilangan pekerjaan. Nggak takut dipecat. Nggak takut kehilangan gaji.”
 
Efek konfliknya, misalnya, ketika ada suatu acara dari sekolompok warga yang setuju menjual tanahnya, maka warga yang tidak setuju tidak mau ikut serta. Begitu juga sebaliknya. Contoh lain, terdapat satu keluarga yang tidak kompak dalam merespon pembangunan bandara. Ada anggota keluarga yang setuju, ada yang tidak. Yang setuju mendapat info bahwa jika keluarganya butuh waktu lebih lama lagi untuk kompak setuju, jumlah uang pengganti akan dikurangi. Maka ia akan membujuk keluarganya, dan ketika mencapai tahap tertentu akan memaksa. Keluarga yang awalnya guyub menjadi berantakan.
 
Keamanan di wilayah Pantai Glagah juga menjadi semakin rawan. Prasangka antarwarga terus saja berumunculan.
 
Sampai di titik ini, pembangunan infrastruktur yang acap kali ditempelkan begitu saja dengan frasa “peningkatan ekonomi”, “pengembangan pariwisata”, “pembangunan nasional” menjadi sangat tidak sesederhana yang sering dibicarakan.
 
Benturan Kepentingan
Tentang polemik pembangunan bandara di Kulon Progo ini sudah tersebar begitu luas, karena media cukup sering membicarakannya dengan perspektif dan kepentingan masing-masing. Ia menggema ke berbagai telinga orang, terutama di Yogya, baik yang peduli maupun yang tak acuh. Prosesnya yang cukup berlarut-larut juga memicu munculnya berbagai macam skripsi. Tema yang digunakan bermacam-macam. Salah satu contohnya ialah skripsi tentang strategi Angkasa Pura dalam menghadapi penolakan masyarakat Temon terhadap bandara. Skripsi lainnya membahas tentang persepsi masyarakat Kulon Progo terhadap rencana pembangunan bandara. Ternyata, mahasiswa juga mempunyai kepentingan di kejadian ini, dengan motif yang bermacam-macam.
 
Kepada dua anak muda itu kemudian terucap, “Ya kita sih silakan… kalau ada mahasiswa yang ingin penelitian skripsi di sini. Tapi kita juga sebenarnya tidak ingin hanya menjadi bahan percobaan.”
 
Ketika berbicara mengenai rencana pembangunan bandara ini, memang terjadi benturan dari berbagai perspektif ilmu. Salah satu ilmu akan lebih sering berbicara “bangun, bangun, dan bangun” untuk “percepatan pembangunan nasional”. Tetapi juga ada perspektif ilmu lain yang ia akan lebih condong untuk menekankan perihal “perubahan lingkungan”, “perubahan sosial”, dan “perubahan distribusi sumber daya” yang sebetulnya menjadi bagian yang tidak terpisahkan. Bahkan juga ada suatu sudut pandang yang akan lebih kencang berbicara tentang “keserasian dengan alam”. Idealnya, satu menjadi kontrol yang lain, agar terwujud keseimbangan.
 
Akan tetapi, realita yang terjadi tidak seideal itu. Suatu perspektif ilmu menjadi dominan terhadap lainnya. Kepercayaan terhadap “pembangunan fisik” diterapkan dengan begitu bengis sehingga mengabaikan kontrol dari perspektif lain. Alurnya kemudian menjadi sangat taktis nirkritis: perjalanan pariwisata ke Yogya meningkat –> Bandara Adisucipto overload –> rencana pembangunan bandara baru –> ancaman bencana, daya dukung lingkungan rendah, perampasan hak hidup –> rekayasa teknik dan hukum –>bandara baru –> keuntungan bagi kalangan tertentu. Pola pikir taktis itu menjadi sangat gamblang sebagai “penaklukan alam”, jauh sekali dari “keharmonisan dengan alam”. Kecenderungan seperti ini memang kerap terjadi pada orang-orang yang miskin imajinasi, para pemimpi yang malas. Di otaknya hanya menumpuk kumpulan solusi yang memunculkan perintah “gusur” dan “usir”.
 
Jawaban yang memungkinkan adalah kolaborasi antardisiplin ilmu. Bukan untuk mencampuradukkan berbagai macam perspektif ilmu. Tetapi setidaknya diberi ruang untuk saling mengisi. Prasyarat-prasyarat dari masing-masing ilmu terpenuhi. Di dalamnya perlu terjadi negoisasi yang adil.
 
Namun, kolaborasi itu hanya akan menjadi angan-angan saat ego masih kencang. Bila hasrat dari penguasa Yogya, calon penerima manfaat bandara, dan orang-orang yang kecipratan – untuk 3 kelompok ini rasa-rasanya sudah jelas – masih mendominasi proses negoisasi, ya kondisinya akan begini-begini saja.
 
“Kalau mau egois-egoisan ya, kita petani juga kadang-kadang berpikir untuk tidak menjual bahan-bahan pangan yang kita hasilkan. Lalu kalian mau makan apa?” tiba-tiba mulut ini berbicara spontan.
Yang Terancam Digusur
Dituturkan oleh Dandy IM
Penyunting: Mutia F