 |
Tanah ambles di depan rumah warga Kali Code
Oleh: Dandy IM |
Hujan mulai rintik. Beberapa orang bergegas. Dua orang menuju excavator yang sedari tadi diam di bibir bendung. Sedang yang lainnya mengambil gerobak sorong untuk mengangkut karung pasir. Para ibu dan anak-anak menonton di pinggir kali. Tetapi juga ada beberapa anak yang menonton dari atas jembatan. Bahkan, seorang anak laki-laki juga membantu pengangkutan karung pasir.
Karung pasir digunakan untuk memperkokoh talud darurat yang dibuat di tengah aliran Kali Code pada Hari Rabu, 13 April 2016. Talud darurat ini dibangun sebelum bendung kecil yang melintang di sebelah hilir jembatan. Dengan harapan, aliran air di sisi luar belokan sungai tak mengalir deras. Sehingga, talud permanen yang sudah retak tidak bertambah parah.
Selasa siang tanggal 5 April 2016, talud Kali Code di Sendowo RT 10 RW 56, Mlati, Sleman, Yogyakarta retak. Talud yang retak ini berada di sisi luar belokan sungai. Retakan talud membuat tanah di atasnya ambles. Dua rumah yang jaraknya hanya sekitar 5 meter dari bibir kali terancam roboh. Ada lubang besar tepat di bagian depan dua rumah itu. Jalan yang berada di depan rumah retak sepanjang 20 meter. Jalan ini adalah salah satu akses ke jembatan yang menghubungkan perumahan di sisi utara kali dan sisi selatan. Praktis, warga hanya bisa melewatinya dengan berjalan kaki sambil berhati-hati. Padahal, hari-hari sebelum ambles, jalan ini bisa dilalui sepeda motor.
Excavator mulai menciduk tumpukan pasir di dasar sungai. Mula-mula Ia mengeruk pasir yang berada di atas bendung, lalu menumpuknya di sebelah selatan tiang jembatan, membentuk talud darurat. Setelah pasir di atas bendung dirasa sudah habis, excavator pelan menuruni bendung. Ia mulai lagi mengeruk pasir di bawah bendung, sebanyak-banyaknya, untuk dipindahkan ke atas bendung.
 |
Back hoe mengeruk pasir untuk dijadikan tanggul darurat
Oleh: Dandy IM |
Alat berat ini didatangkan oleh tim Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kabupaten Sleman dari Dinas Pekerjaan Umum dan Perumahan (DPUP) Sleman pada Hari Senin, 11 April 2016. Ini enam hari setelah tanah ambles. Walaupun, tim BPBD Sleman langsung mengecek lokasi saat hari kejadian.
Tumpukan pasir di bawah bendung adalah sisa-sisa dari talud darurat yang hanyut dibawa aliran sungai. Ya, sebenarnya warga telah membangun talud darurat di sebelah utara tiang jembatan. Karena talut darurat dibangun lebih dekat ke arah pusat tikungan, air yang diperlambat menjadi lebih luas. Dengan kata lain, lebar saluran untuk air yang masih bergerak cepat menjadi lebih sempit. Akibatnya, bila hujan deras terjadi, ditambah aliran air dari hulu, bendung darurat akan terancam. Dan ini benar-benar terjadi pada Selasa, 12 April 2016, sekitar pukul 3 sore. Bendung darurat hanyut dibawa aliran sungai. Hujan pada hari tersebut di daerah Sleman memang cukup deras.
Salah satu bagian pagar di tengah jembatan dilepas sebagai jalan melempar karung pasir. Sudah beberapa orang di bawah jembatan yang siap menata karung pasir tersebut. Sebelum karung pasir dilempar, yang akan melempar lebih dulu akan berteriak:
“Awas…!!.”
“Yok, aman….” balas teriak orang-orang yang di bawah.
Kemudian akan terdengar bunyi: buk!
Gerobak sorong biasanya hanya diisi dua karung pasir. Itu sudah cukup berat. Untuk warga yang punya stamina lebih besar, Ia akan mengisi gerobak sorongnya dengan tiga karung pasir. Seorang kakek dengan sebatang rokok yang setia menempel di bibirnya, mengangkut tiap dua karung pasir. Kakek ini tidak banyak bicara, Ia fokus bekerja. Sementara anak lelaki yang ikut membantu, gerobak sorongnya berisi satu karung pasir. Ia melakukannya dengan gesit. Dengan wajah sumringah.
Karena yang mendorong gerobak sorong hanya lima orang, dalam satu kali putaran, hanya 10 karung pasir yang terangkut. Padahal, ada sekitar 1.000 karung pasir yang dipersiapkan. Jembatan yang cukup sempit pun ikut menyulitkan jalannya dua gerobak sorong yang berpapasan. Karung pasir dan 10 gerobak sorong berwarna merah juga merupakan bantuan dari BPBD Sleman.
 |
Tanggul darurat untuk mencegah gerusan di dnding sungai menjadi semakin besar
Oleh: Dandy IM |
Pembungkusan pasir ke dalam karung dilakukan mandiri oleh warga. Pasir diambil dari tumpukan yang menempel di dinding talud bagian utara. Penumpukan pasir di samping talud bagian dalam tikungan memang sesuatu yang wajar. Sebab, aliran air sungai cenderung mengambil jalan yang lebih panjang, menyisir talud bagian luar tikungan. Di setiap belokan Kali Code, hal ini terjadi, dengan besar tumpukan pasir yang berbeda-beda. Tumpukan pasir ini tentu saja memperkokoh talud yang ditempelinya.
Rencananya, pemerintah akan merobohkan talud yang retak. Mereka akan membangun kembali talud dengan bronjong. Beberapa buah anyaman kawat yang bermotif segi enam telah dipersiapkan.
Pembangunan talud dengan bronjong memang akan terlihat kokoh. Batu-batu akan diikat oleh anyaman kawat untuk menahan beban tanah dan tambahan beban dari bangunan rumah. Namun, tampaknya belum disadari secara keseluruhan penyebab talud retak dan tanah ambles. Ada pengaruh besar dari lubang yang terjadi di bawah talud akibat gerusan aliran air kali. Lubang ini akan membuat tanah mudah ambles dan talud retak akibat hilangnya tahanan di dasarnya.
Sebenarnya masalah lubang yang terbentuk di bawah talud sudah diketahui oleh warga. Pernah lubang tersebut ditutup dengan beberapa karung pasir. Tapi, akhirnya karung-karung itu juga raib dibawa aliran air. Lebar lubang sekitar 2 meter dan memanjang ke bawah rumah.
Keadaan seperti ini, bisa dibayangkan seperti membangun bangunan sangat kokoh yang menggantung dengan tidak stabil di bibir jurang.
Untuk tahu lebih detail tentang proses terjadinya lubang di bawah talud dan langkah-langkah untuk mengatasinya, sila baca: Talud Kali Code yang Terlalu Ringkih. Penulis artikel tersebut menyarankan penggunaan turap untuk memperkokoh talud dan menghambat terjadinya lubang di bawahnya.
Namun, langkah itu tak kunjung dilakukan pada talud-talud Kali Code.
Gundukan pasir yang membentuk talud darurat dilapisi spanduk-spanduk bekas sebelum diperkokoh dengan karung pasir. Spanduk dipasang di muka talud darurat yang bersinggungan langsung dengan aliran air yang masih deras. Yang dipakai kebanyakan spanduk bekas suatu acara mahasiswa. Ada logo UGM di salah satu spanduk. Ada juga logo salah satu organisasi mahasiswa, bersanding dengan kalimat yang menjelaskan acaranya.
Spanduk dipasang secara tumpang tindih, agar air tidak merembes. Setelah spanduk terpasang rapi, karung pasir dijejer rapi di atasnya. Beberapa karung pasir bocor, ikatannya lepas. Hal ini terjadi setelah karung tersebut dilempar dari atas jembatan, atau memang sudah bocor saat di tumpukan. Karung-karung yang bocor ini diletakkan di atas hamparan spanduk dengan bagian yang bocor berada di bawah. Pasir di karung bocor itu sepertinya tak akan bertahan lama, terkikis oleh air.
Saat hari kejadian retaknya talud Kali Code di daerah Sendowo ini, saya menemukan sebuah kalimat di media sosial:
“Bangun rumahnya nggak mikir-mikir, mepet kali.”
Jadi, begini saudara-saudara. Sebaiknya disepakati secara bersama dulu bahwa semua orang rasanya tidak mau tinggal di pinggiran kali yang penuh dengan risiko. Hujan setengah rintik hingga mulai deras, tak bisa dinikmati dengan leyeh-leyeh sambil menggores kertas dengan berbait-bait puisi untuk kekasih, misalnya. Sebab selalu ada kekhawatiran, tentang dinding rumahnya, tanah di bawah rumahnya, atau air yang bertamu ke dalam terasnya karena sungai tak lagi bisa menampung jumlahnya.
Dan, perlu melihat sebuah masalah dengan pandangan yang lebih luas tapi tetap teliti.
Ketidakmerataan kepadatan penduduk menimbulkan rentetan masalah besar. Ia menimbulkan krisis air bersih, lalu lintas yang berantakan, polusi udara, tanah, suara, sampai rebutan lahan hingga yang tersedia secara murah hanyalah bantaran kali.
Laju pertumbuhan penduduk DI Yogyakarta terus mengalami peningkatan pada rentang tahun 2000-2014 (1,04 menjadi 1,2). Sedangkan sebagian besar daerah lain, pada rentang tahun yang sama, mengalami penurunan. Seperti Provinsi Jawa Timur (0,76 menjadi 0,69), Jawa Barat (1,9 menjadi 1,58), Banten (2,78 menjadi 2,3), Bali (2,15 menjadi 1,24). Hampir seluruh daerah Sulawesi mengalami penurunan laju pertumbuhan penduduk dengan penurunan terbesar terjadi pada Sulawesi Tengah (1,95 menjadi 1,71). Sulawesi Tenggara memang mengalami sedikit peningkatan pada rentang tahun tersebut (2,08-2,2), namun perlu dicatat bahwa di sana terjadi penurunan drastis pada rentang tahun 1990-2010 (3,15 menjadi 2,08). Kejadian di Sulawesi Tenggara ini juga terjadi di Jawa Tengah (sumber: BPS Nasional).
Juga, migrasi neto DI Yogyakarta pada rentang tahun 2000-2015 selalu positif dengan nilai tertinggi terjadi pada tahun 2015 yaitu sebesar 123.342. Migrasi neto menunjukkan selisih antara migrasi masuk dan keluar. Sehingga, angka positif menunjukkan bahwa jumlah migrasi masuk lebih besar daripada migrasi keluar. Hal ini berbeda dengan dua provinsi di dekatnya (Jawa Tengah dan Jawa Timur) yang mempunyai angka migrasi neto negatif pada rentang tahun yang sama. Pada tahun 2015, angka migrasi neto Jawa Tengah adalah -129.379, sedangkan Jawa Timur: -105.806 (sumber: BPS Nasional).
Yogya memiliki daya tarik yang sangat besar, banyak, dan beragam. Kota budaya, pelajar, wisata, festival, pendidikan, pergerakan, nyaman, kesenian, bersejarah, kenangan, cinta. Ada lagi? Saya yakin ada lagi. Semuanya menumpuk di daerah ini.
Ada 139 perguruan tinggi di Yogya menurut catatan Dikti. Setiap tahunnya, ratusan perguruan tinggi ini akan menarik mahasiswa baru dari berbagai wilayah di Indonesia untuk pindah ke Yogya. Belum lagi bila menghitung perpindahan penduduk karena pekerjaan, pergerakan wisatawan, dan lain sebagainya. Saya tidak akan mencantumkannya karena akan terlalu panjang.
Berbagai fenomena ini besar pengaruhnya dalam perubahan wajah Jogja pada saat sekarang. Bisnis perhotelan dan apartemen berkembang pesat, termasuk juga pusat perbelanjaan. Saya tidak akan menghujat secara asal-asalan dan membabi buta sebuah pembangunan. Sebab pembangunan tetap dibutuhkan untuk sebuah kemajuan. Tapi, toh, sebuah pembangunan juga tak patut dibiarkan asal-asalan.
Alih-alih mencibir warga bantaran Kali Code, mending menodong pemerintah pusat dengan pertanyaan: Mengapa mereka bisa membiarkan begitu saja ketidakmerataan pembangunan selama puluhan tahun terjadi? Mengapa mereka membiarkan orang-orang menumpuk di kota-kota besar di Jawa? Sehingga mereka saling mencibir, memfitnah, membunuh, hingga memperkosa?
Bila todongan tersebut terasa jauh di angan-angan, bisa dialihkan ke pemerintah Yogya dengan penyesuaian. Jadi, pertanyaannya menjadi: Mengapa yang berkembang pesat malah perhotelan dan apartemen? Mengapa rumah susun bagi penduduk yang tinggal di rumah tak layak huni tidak diperdulikan?
Tentu saja, pertanyaan-pertanyaan ini perlu disertai beberapa catatan. Pertama, tidak perlu senang secara berlebihan dengan berlakunya moratorium hotel – yang berakhir di akhir tahun 2016. Sebab, ratusan pengajuan perizinan hotel yang masuk sebelum berlakunya moratorium, tetap diproses. Kedua, ide merelokasi warga bantaran Kali Code, yang dilontarkan oleh Wakil Bupati Sleman (setelah longsor di Sendowo), ke sebuah bangunan rusun, perlu pembelajaran yang lebih mendalam. Karena, selama ini, aspek manusia sebagai suatu subjek tidak diperhatikan. Manusia hanya menjadi objek relokasi. Fokus hanya tertuju pada keefektifan penggunaan lahan, bahan bangunan, suplai air, listrik, dan hal-hal yang berhubungan dengan material.
Sebab relokasi bukanlah memindah binatang ke sebuah kandang yang bersekat-sekat..
Matahari sudah semburat dengan terang. Tapi rintik hujan masih berjatuhan, meski dengan intensitas yang sedang. Pengeras suara masjid sudah mengumandangkan adzan asar.
Karung pasir baru berjejer seperempat dari panjang talud darurat. Anak lelaki yang tadi ikut mengangkut karung pasir tak lagi terlihat. Kakek yang tak putus menghisap rokok, beranjak dari istirahatnya, mengambil gerobak sorong lagi, siap mengangkut karung pasir lagi. Para ibu terdengar sedang berbincang untuk menyediakan suguhan.
Yang pasti, harapan mereka sama: semoga banjir tak berlekas-lekas datang dan menerjang.