Kategori
Society

Hidup Harmoni Bersama Gunung Merapi

Berbeda dengan gunung yang lain, Merapi adalah yang paling aktif.  Sorotan untuk gunung yang menjadi pengikat dua provinsi yaitu DIY-Jawa Tengah ini menjadi pusat perhatian bersama bukan hanya warga sekitar tapi juga warga dunia.

Warga yang hidup di lereng Merapi baik itu di Sleman, Klaten, Boyolali dan Magelang memiliki ikatan kuat baik kala gunung tenang alias tak ada aktivitas vulkanik maupun kala terjadi fase erupsi, seperti sekarang ini.

Bukan hanya ikatan kuat karena Merapi diliputi beragam mitologi tapi pada kehidupan keseharian, warga di sekitar lereng benar-benar mendapatkan kesejahteraan dari beragam berkah.

Wisata alam saujana salah satu yang jadi andalan, melalui tambang pasir hingga air mineral yang dikelola dan dipanen maupun air yang mengalir ke beragam arah dari sumber air, umbul guna kebutuhan air bersih dan pengairan pertanian adalah berkah lingkungan alam gunung Merapi.

Lahan pertanian dan pekarangan di sekitar lereng jadi tumpuan kehidupan pertanian bagi banyak keluarga. Pasir G. Merapi yang ditambang telah membawa keuntungan finansial banyak pihak. Pasir gunung membuat banyak orang hidup lebih sejahtera, mulai penambang pasir, sopir truck sampai politisi lokal mendapatkan berkahnya.

Sejatinya, siapa saja bisa mendapat keuntungan dari keberadaan hidup berdekatan dengan gunung api. Asal tahu diri dan arif dalam memanfaatkan sumber daya alam.  Tak eksploitatif dan merusak yang bisa membahayakan kehidupan ekosistem, berulah hingga menyebabkan kerusakan ekologis.

Tak heran, jika alam pikir, alam budaya di kehidupan sekitar lereng G. Merapi hadir beragam mitologi dan kepercayaan yang diekspresikan dengan beragam ritual. Manfaatnya juga terasa, harapan menjaga kelestarian alam.

Ada kuasa ghaib,  ada aturan yang tak boleh dilanggar agar kosmos, relasi manusia dengan penguasa Merapi terjaga. Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat dan Kasunanan Surakarta secara reguler memiliki agenda budaya secara khusus.

Ada juru kunci yang memiliki tanggung jawab menjalankan upacara ritual guna membawa keselamatan untuk semua. Menghindarkan kerusakan dan terhindar dari segala macam marabahaya.

*****

Beberapa waktu terakhir, G. Merapi menunjukkan peningkatan aktivitas vulkaniknya.  Hadirnya wedhus gembel, menandai bahwa proses erupsinya telah mendekati masa puncak. Soal kapan dan berapa lama waktu erupsi akan berakhir sangat bergantung pada sumber energi dari dapur magma di dalam bumi, di dalam perut G. Merapi.

Teknologi telah merangkum beragam indikatornya. Secara kelembagaan,  BPPTKG sebagai lembaga milik pemerintah yang bertanggungjawab melakukan pengamatan, penelitian dan memberikan rekomendasi, laporan atas hasil pengamatan G. Merapi.

Sains modern dengan beragam peralatan pemantauan yang ditempatkan di tubuh gunung, alat pemantau kegempaan, CCTV untuk pemantauan visual merekam setiap waktu segala aktivitas di puncak dan lerengnya. Kini semua termonitor, terkontrol.

Hasilnya semua pihak menerima sebagai bekal tindakan mitigasi guna mengurangi risiko bencana. EWS (early warning system) atau sistem peringatan dini, cara bekerjanya sudah dikenal baik oleh masyarakat, terutama di sekitar lereng yang masuk daerah kawasan rawan bencana.

Jika dalam beberapa waktu, bisa menikmati keindahan G. Merapi dengan pijar api di puncak dan lelehannya di waktu malam, maka wajah visual aslinya adalah munculnya wedhus gembel alias material awan panas yang mematikan.  Inilah tanda bahaya yang harus dihindari.

Manusia di sekitar lereng yang berada dalam kawasan rawan bencana perlu menghindar, mengungsi ke daerah aman. Berapa lama ini terjadi? Tiap fase erupsi, berbeda lama durasinya. Guna memastikan tentu mari percayakan kepada ahlinya untuk terus bekerja melakukan pemantauan, penelitian.

Sampai, artikel ini ditulis, G. Merapi statusnya Siaga level III.  Sampai kapan level ini bisa bertahan, apakah akan terus naik level dalam pengertian status aktivitas vulkaniknya membesar? Apakah justru turun status, sebab aktivitas vulkaniknya menurun?

Mari semua tetap siaga, bersiap menghadapi resiko terburuk. Bagi mereka yang berada di kawasan sekitar lereng tentu sudah mahfum, cara menghindari bahaya dengan mengungsi. Berpindah ke tempat yang lebih aman.

Hanya saja, semua tahu kini situasi pandemi masih berlangsung.  Berbeda dengan kondisi sebelumnya, tempat mengungsi atau barak adalah titik kumpul.

Aturan formal menghadapi pandemi, menghindari kerumunan. Ini tentunya pekerjaan rumah baru dalam aksi kemanusiaan. Kelola pengungsi di tengah pandemi. Harus diberlakukan protokol kesehatan agar semua pengungsi selamat. Semoga, begitulah doa semua orang.

*****

Hidup di kawasan rawan bencana,  hidup di tengah situasi bencana termasuk bencana non-alam telah membawa manusia menjadi adaptif.  Fenomena bahaya letusan, erupsi gunung berapi bermakna ganda.  Bukan sekedar bahaya semata tapi masa aktif gunung berapi menebarkan manfaat bagi lingkungan, bagi pertanian dan beragam manfaat lain yang bisa didapatkan setelah fase bahaya berkurang, mereda.

BPPTKG dalam beberapa upaya memberikan edukasi ke masyarakat sekitar lereng G. Merapi mengajak semua agar bisa hidup harmoni bersama. Proses panjang, edukasi ini terus berjalan sampai sekarang.

Di masa aktivitas gunung berapi yang meningkat, hidup harmoni bersama Merapi tentu masih relevan untuk kembali disuarakan,  digemakan seiring dengan proses mitigasi bencana.  Ini perlu, sebab jangan sampai kala masa tenang manusia hanya berpikir dan beraksi ekploitatif saja hanya cari untung. Butuh gerakan agar semua pihak masih memiliki kesadaran bersama  bisa turut serta menjaga keseimbangan lingkungan sekitar, sebagai ruang hidup bersama. Tidak berlebihan mengeksploitasi sumber daya alam.   Kalau yang begini, rasanya tak hanya penting bagi warga di sekitar lereng G. Merapi saja. Tapi untuk semua.

#ceritapinggirjalan
#bersepedaselalu
#mitigasibencana
#Merapi
#BPPTKG

Kategori
Society

Bencana Kemanusian Masyarakat Indonesia

Kemarin Gunung Merapi “batuk” lagi. Sebagai salah satu gunung paling aktif di dunia, sudah tidak lagi menjadi hal asing bahwa gunung ini sering menyapa warga di sekelilingnya. Gempa kecil sudah menjadi aktivitas normal selama saya tinggal di Jogja, bukan lagi dianggap bencana. Namun fenomena kemarin berbeda, asap yang keluar dari Gunung Merapi mengakibatkan hujan abu yang mengarah ke wilayah di sebelah timurnya. Tidak cukup tebal, tapi cukup berbahaya untuk pernapasan.

Sehari sebelumnya, Senin (2/3) Presiden Jokowi sudah mengonfirmasi keberadaan virus corona yang sudah menjangkit dua WNI di Depok. Dikarenakan oleh ketidakpahaman masyarakat yang menganggap bahwa penggunaan masker medis bisa mencegah penularan, permintaan di pasar pun meningkat. Hal ini sudah mulai terjadi saat sebelum ada WNI yang ketauhan terjangkit penyakit ini. Padahal beberapa waktu sebelumnya Menteri Kesehatan, Terawan, sudah menginformasikan bahwa masker tidak diperuntukkan bagi orang sehat. Sehingga orang sehat tidak perlu membeli karena tenaga medis dan orang sakit lebih membutuhkan.

Terlepas dari komunikasi publik sang menteri yang kurang, seharusnya kita tidak mengolok-oloknya. Tapi memang kelakuan warganet–mungkin termasuk saya–yang suka ngomel dulu tabbayun belakangan.

Keadaan yang semakin keos ini, ada-ada saja manusia yang cukup laknat dengan memanfaatkannya. Manusia-manusia ini dengan sengaja menimbun masker dan menjualnya dengan harga selangit. Padahal di luar kebutuhan akibat Corona, ada pula kebutuhan mendesak akan masker bagi masyarakat di sekitar Gunung Merapi.

Menurut saya, ini adalah bencana yang lebih besar dibanding bencana alam maupun wabah virus yang sedang terjadi. Yang mana manusia tidak lagi memedulikan sesamanya tetapi lebih memikirkan dirinya sendiri. Kemanusiaan telah sirna, pragmatisisme jangka pendek tumbuh subur.

[mks_pullquote align=”left” width=”300″ size=”24″ bg_color=”#ffffff” txt_color=”#1e73be”]Kemanusiaan telah sirna, pragmatisisme jangka pendek tumbuh subur.[/mks_pullquote]

Sebelum ini, saya kira akibat terburuk dari virus corona adalah stigma terhadap ras tertentu. Yang sebelumnya telah mengakibatkan segregasi di masyarakat akan menguat. Tetapi ternyata lebih buruk, empati yang kian punah. Atas dasar keuntungan duniawi yang sangat sementara, orang dengan tega mengais untung dari penderitaan orang lain. Penderitaan orang banyak.

Kategori
Infrastruktur

Pak Anies, Sudahlah, Buang Cepat-Cepat Air Hujan ke Laut

Jakarta dari zaman penjajahan memang sudah sering banjir. Tapi, janganlah fakta ini membuat kita menyerah untuk mencari solusinya. Sebab merugilah kaum yang hanya berpangku pasrah sambil menunggu keajaiban datang. Tidak ada keajaiban hari ini. Seluruhnya harus kita usahakan sendiri. Termasuk soal banjir.

Ide dan terobosan baru memang dibutuhkan untuk menyelesaikan masalah banjir. Namun ingat, ide-ide tersebut harus tetap realistis. Mengapa? Biar kita tidak mabuk khayalan. Yang kita butuhkan itu banjir teratasi, bukan hanya membayangkan.

Dan menurut saya, ide gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan terkait penyelesaian banjir tidak realistis. Ia dan timnya punya ide untuk menyerapkan air hujan ke dalam tanah, alih-alih membuangnya cepat-cepat ke laut. Alasannya, jika air hujan dibuang cepat-cepat ke laut dengan memperlicin dinding-dinding sungai (membetonnya), maka banjir akan semakin besar daya rusaknya serta cadangan air tanah tidak terisi. Kondisi ini, menurut Pak Anies dkk., membuat Jakarta sering banjir di musim hujan dan kekurangan air tanah di musim kemarau.

Untuk mewujudkan ide tersebut, tim Anies Baswedan melaksanakan berbagai program yang diberi nama naturalisasi sungai. Mereka tidak ingin membeton dinding sungai karena menurut mereka, itu membuat sungai menjadi tidak natural. Mereka ingin sungai menjadi natural saja, kembali ke kondisi alam, yakni dengan memperbanyak tumbuh-tumbuhan di kiri-kanan sungai. Harapannya, nanti air hujan yang sudah masuk ke sungai bisa menyerap sedikit demi sedikit di samping sungai. Menurut mereka, dengan cara inilah banjir tidak meluas ke mana-mana.

Bagaimana dengan bantaran sungai yang sudah berubah menjadi hunian? Tim Anies Baswedan punya ide untuk mengubah wilayah ini menjadi perkampungan air. Maksudnya, jika musim hujan, warga diajak hidup bersama air. Rumah-rumah akan dibuat menjadi panggung. Lantai 1 memang dibiarkan tergenang. Ide ini didukung klaim bahwa daerah Jakarta dulunya memang daerah rawa. Jadi wajar jika mudah sekali tercipta genangan. Oleh karena itu, warga Jakarta sebaiknya tidak melawan genangan air, tapi hidup bersama air.

Ide ini tidak realistis karena lupa mempertimbangkan jenis tanah di Jakarta. [mks_highlight color=”#eeee22″]Sebagian besar tanah di Jakarta itu lempung. Tanah ini sangat lambat menyerap air.[/mks_highlight] Alhasil, bukannya banjir malah menyerap, tapi akan terus tergenang dalam jangka waktu yang lama. Penduduk pun akan semakin lama menderita. Akses air bersih dan makanan akan terus terganggu. Genangan air yang bertahan lama juga mudah sekali membawa penyakit. Dampak ekonomi, sosial, dan kesehatannya akan semakin mengerikan.

[mks_pullquote align=”right” width=”300″ size=”24″ bg_color=”” txt_color=”#1e73be”]”Ide naturalisasi dari Pak Anies Baswedan dkk. memang terlihat ramah lingkungan. Namun, cara ini tidak cocok diterapkan di Jakarta. Cocoknya di Bogor.”[/mks_pullquote]

Ajakan untuk hidup bersama air dengan mengubah konstruksi hunian menjadi rumah panggung juga tidak masuk akal. Bisa dibilang, seluruh rumah di Jakarta tidak bermodel panggung. Bagaimana mengubah bentuk rumah-rumah ini? Dananya dari mana? Dibebankan kepada warga sendiri? Taruhlah yang akan dibuat menjadi rumah panggung yang berada di bantaran sungai saja. Apakah menjadi realistis? Saya kira tidak. Selain itu, berbagai utilitas publik seperti kabel PLN, pipa air bersih, dan pipa air kotor sudah berada di bawah tanah. Apakah utilitas ini akan dibiarkan tenggelam?

Baca juga: Banjir Bukan Salah Hujan

Berdasarkan argumen-argumen di atas, maka saran saya kepada Pak Anies: sudahlah, pak, alirkan cepat-cepat air hujan ke laut. Buang secepat-cepatnya agar banjir tidak bertahan lama (kalau bisa malah gausah sampai terjadi banjir). Normalkan semua aliran sungai. Beton semua dinding-dindingnya. Ini demi hak warga mendapatkan hunian yang layak dan jaminan kesehatan. Untuk masalah cadangan air tanah, saya rasa tidak perlu dikhawatirkan. Air tanah di Jakarta jarang asat. Paling cuma kualitasnya yang memburuk (ini soal lain lagi, yaitu bagaimana mencegah pencemaran air tanah atau intrusi laut).

Ide naturalisasi dari Pak Anies Baswedan dkk. memang terlihat ramah lingkungan. Namun, cara ini tidak cocok diterapkan di Jakarta. Cocoknya di Bogor. Nah, mengingat Jakarta juga mendapatkan limpahan air yang begitu banyak dari Bogor, sebaiknya Pak Anies memberi saran kepada presiden agar memerintahkan bupati dan walikota terkait untuk melakukan pembenahan/naturalisasi kawasan Bogor. Di daerah inilah kawasan hijau mesti diperbanyak. Pembangunan villa dan hotel dimoratorium (dihentikan). Di kawasan inilah air hujan harus diresapkan ke dalam tanah sebanyak-banyaknya, bukan di Jakarta.

Kategori
Society

Jalan yang Berubah Jadi Sungai Saat Hujan Kok Dianggap Biasa

Kota memang ajaib. Ketika di desa sungai terbentuk dari proses alami, di kota bisa dibikin. Tidak ingin sungai yang biasa-biasa, orang-orang cerdas di kota membangun sungai yang mulus. Beda sekali dengan sungai di desa yang penuh batu dan lumpur. Saking mulusnya, dasar sungai yang dilapisi aspal itu dapat dilewati roda kendaraan. Palingan satu saja kekurangan sungai artifisial di kota: airnya cuma muncul pas hujan deras.

Barangkali ada sensasi tersendiri jika menggunakan kendaraan di atas aspal yang digenangi air hujan. Melihat cipratan air dari ban seru juga sih. Tapi itu kan bikin basah diri sendiri dan orang lain. Belum lagi jika kendaraan yang kita pakai gampang macet kalau lewat genangan. Merepotkan. Selain itu, menurut para ahli, jalan aspal yang digenangi air, akan mudah rusak saat dilewati kendaraan. Aspalnya jadi lunak kali ya.

Kalau dipikir-pikir sih, orang-orang cerdas di kota nggak bakal membuat jalan aspal punya fungsi ganda jadi sungai kalau tahu bakal cepat rusak. Makanya dibikinlah saluran di samping jalan-jalan itu. Harapannya, air yang jatuh di badan jalan aspal akan segera masuk ke selokan. Kalau jalannya tidak tergenang, tentunya akan lebih awet.

Sayangnya, rencana pembangunan tak melulu sama dengan pelaksanaan. Bisa kita amati dengan mudah. Seberapa layak sih lubang di pinggir jalan yang tugasnya mengarahkan air ke selokan? Tiap seratus meter, ada berapa? Seberapa besar? Apakah lubang tersebut tidak ketutupan?

Sialnya lagi, di kota, air yang mengalir di jalan tidak hanya berasal dari air hujan yang jatuh di badan jalan. Ada kiriman ternyata. Dari mana? Dari atap bangunan yang berada tepat di pinggir jalan.

Pemandangan air hujan jatuh dari atap bangunan lalu mengalir ke jalan sangat mudah kita jumpai. Dan mudah pula kita maklumi. Kita bisa menemukannya di jalan-jalan besar maupun di jalan sempit. Bangunan di pinggir jalan berlomba-lomba ingin menjadi paling banyak menyumbang air hujan ke sungai aspal di depannya.

Orang cerdas di kota tahu, selokan di pinggir jalan didesain dan dibangun hanya untuk menampung air hujan yang jatuh di badan jalan. Tapi orang cerdas lain di kota saling berebut mendirikan bangunan pusat jual-beli yang paling dekat dengan jalan. Lalu berpikir tentang bangunannya sendiri. Gimana biar ga banyak genangan di sekitar bangunannya. Pilihan yang paling banyak diambil ialah membeton halaman toko dengan kemiringan yang mengarah ke jalan. Selain membuat nyaman para pengunjung memarkirkan kendaraannya, air yang jatuh di sekitar toko langsung meluncur ke jalan. Berkah bagi sungai aspal karena mendapatkan suplai air hujan.

Orang cerdas di kota tuh banyak. Makanya kemudian ada yang bersuara: janganlah jalan aspal dijadikan sungai. Biarlah air hujan mengalir di sungai-sungai betulan saja, jangan yang buatan. Orang cerdas jenis ini meminta para pemilik bangunan pinggir jalan bertanggung jawab pada seluruh air hujan yang jatuh di tempatnya. Air hujannya jangan sampai keluar dari area bangunan! Barangsiapa yang masih mengeluarkan air aliran hujan, kena denda! Terserah bagaimana caranya. Air hujan itu diolah terus digunakan. Diserapkan ke dalam bumi. Dibikin kolam renang. Terserah.

Tentu saja banyak yang sinis sama ide orang cerdas di atas. Dengan kepadatan bangunan di pinggir jalan, bagaimana mungkin tidak mengeluarkan air hujan sama sekali? Kalau mau diserapkan ke dalam tanah, bakal sekuat apa tanah menampungnya?

Orang sinis ini menyarankan ide lain. Gimana kalau kita terima saja bahwa jalan aspal itu punya fungsi ganda sebagai sungai di musim penghujan. Kalau toh itu bikin kita kesusahan dan mendapatkan kerugian, mungkin saja itu memang cobaan dari Sang Pencipta. Barangsiapa senantiasa sabar dengan ujian di dunia, kelak di hari kemudian akan dibalas surga.

Kategori
Beranda

Banjir Bukan Salah Hujan

Paling mudah memang menyebut hujan deras sebagai penyebab banjir. Namun, sikap ini tidak membawa kita pada jalan untuk memahami persoalan. Mengapa? Karena hujan toh segitu-gitu aja. Tidak bertambah atau berkurang secara signifikan. Memang dewasa ini kita semakin mahfum bahwa terjadi perubahan iklim di bumi ini. Akan tetapi, hal itu tak membuat jumlah hujan yang turun pada hari dan jam tertentu berubah drastis.

Sayangnya, penjelasan tentang penyebab banjir dari lembaga pemerintah sering hanya mentok di frasa “terjadi hujan deras”. Kalau penjelasan ini muncul sesaat setelah ada kejadian banjir, bisa dimaklumi. Sebab, pemerintah mungkin memang belum tahu secara pasti apa penyebab banjir yang sedang terjadi. Namun, kalau berhari-hari kemudian tak kunjung ada penjelasan apa penyebab banjir sesungguhnya serta bagaimana pemerintah dan kita, masyarakat, harus menyelesaikannya, patut kita bertanya apakah pemerintah serius mau menyelesaikan masalah banjir atau tidak?

Media, yang semestinya menjadi anjing penjaga aktivitas pemerintah, malah juga sering hanya puas melahap penjelasan “terjadi hujan deras”. Bukannya menjadi anjing yang menggonggong kalau para pegawai rakyat tidak menjalankan amanat rakyat, Media hanya menjadi pengeras suara. Cuma jadi microphone. Revolusi 4.0 yang sering kita dengar seakan tak mengubah cara kerja dan pola pikirnya. Padahal perkembangan digital memberikan kemudahan bagi pekerja Media untuk belajar, mehamami konteks, dan menyimpan memori kejadian banjir. Sehingga, ketika suatu saat terjadi banjir, Media dapat menggunakan pisau pengetahuannya untuk membedah peristiwa, serta membantu publik dan pemerintah memahami banjir berdasarkan ingatan kejadian-kejadian sebelumnya.

Bagaimana pemerintah bisa memberi penjelasan yang tuntas soal banjir? Pertama, simpan dan susun dengan baik data yang berhubungan dengan banjir. Seperti: curah hujan, kualitas drainase, serta penggunaan lahan dan perubahannya. Pekerjaan ini sekarang lebih mudah dengan bantuan teknologi komputer dan informasi. Jika ini dilakukan, pemerintah bisa punya data potensi banjir yang lengkap dan detail, bukan hanya asumsi umum saja. Hal ini juga akan membantu pemerintah dalam melakukan langkah pencegahan. Jadi tidak hanya bekerja pas terjadi banjir saja.

Selain untuk keperluan kerja pemerintah, data tersebut semestinya juga dibuka seluas-luasnya pada publik. Agar publik tahu dan bisa berkontribusi baik pemikiran maupun perbuatan untuk penyelesaian banjir. Selain karena hari ini adalah era keterbukaan informasi, bukankah hakikat demokrasi adalah partisipasi rakyat yang tinggi dalam urusan publik? Mengingat, sampai hari ini pemerintah belum cukup terbuka soal data bencana.

Kedua, meningkatkan kualitas petugas inspeksi banjir. Orang-orang inilah yang akan mengumpulkan fakta di lapangan lalu melaporkannya. Bagaimanapun, beragam data sekunder pada bagian pertama tadi, mesti didukung oleh data primer (data terbaru) yang langsung diambil di tempat kejadian. Banyak hal yang bisa didapatkan oleh orang yang terjun ke lapangan, misalnya kapan banjir mulai terjadi (hari, jam, tanggal), berapa lama, seberapa tinggi air banjirnya, seberapa cepat air banjirnya mengalir.

Dan yang tak kalah penting, yang berhubungan dengan tulisan ini, yaitu melacak sumber banjir. Air banjir tersebut berasal dari mana? Pertanyaan ini yang akan mengantarkan kita pada penjelasan soal penyebab banjir. Misal, air banjir berasal dari air sungai yang meluap. Berarti sungai tak mampu menampung aliran air yang melewatinya. Apakah sungai tersebut mengalami degradasi (kerusakan)? Ataukah terjadi aliran permukaan yang lebih deras di bagian hulu akibat kerusakan lahan? Pertanyaan-pertanyaan ini yang selanjutnya mesti dijawab oleh tim inspeksi.

Ketiga, melatih para pegawai penyampai informasi banjir agar punya komunikasi publik yang baik dan efektif. Urusan banjir secara khusus, dan bencana alam secara umum, menyangkut nyawa manusia. Jika informasi tidak disampaikan dengan baik, atau penyampai informasi tak bisa membedakan mana saat serius mana bercanda, ujung-ujungnya masyarakat yang dirugikan. Dan dampaknya akan berkepanjangan: kita tak akan pernah belajar dari kesalahan dan banjir akan terus-terusan menerjang.

Saya kira kita perlu mengubah secara radikal cara pandang kita terhadap fenomena alam. Alam tak pernah salah. Ia hanya mengikuti hukumnya untuk mencari keseimbangan baru karena perubahan yang dibuat manusia. Seperti ujaran lawas: air mengalir dari tempat tinggi ke tempat rendah. Jika tanah tak bisa lagi menyerap air hujan untuk dibawa ke tempat terendah (karena tanahnya sudah dibeton atau dipaving), niscaya air hujan akan menjadi limpasan yang siap menggenangi kumpulan rumah. Dan apakah kita terus akan puas dengan menganggap “hujan lebat” sebagai penyebab banjir? Kapan kita intropeksi diri pada apa-apa yang sudah kita bangun?

Kategori
Infrastruktur

Banjir di Tol Madiun, Apakah Tolnya Salah Desain?

Ruas tol Solo-Kertosono yang berada di Kecamatan Balerejo, Madiun terendam banjir hingga ketinggian 1 meter pada Kamis (7/3). Sontak, isu ini langsung dilahap oleh para kampret sebagai bahan menyerang Jokowi. Jalan tol memang menjadi salah satu program andalan Jokowi untuk menunjukkan kepada masyarakat bahwa selama ia menjadi presiden ada hasilnya. Makanya, bagi para kampret, ini adalah isu yang seksi untuk menunjukkan bahwa jalan tol Jokowi dibikin sembarangan. Pertanyaan sederhananya, kok bisa jalan tol yang merupakan akses vital terkena banjir? Apakah desainnya buruk? Atau pengerjaannya asal-asalan? Padahal, jalan tol adalah bangunan yang dituntut punya standar tinggi. Genangan sedikit saja tidak diperkenankan.

Argumen di atas didukung oleh beberapa pengamat transportasi. Mereka bilang, sistem drainase jalan tol di Indonesia memang sering tidak diperhatikan dengan baik. Dengan kondisi alam di Indonesia yang sangat beragam dan curah hujan tinggi, ditambah dengan saluran drainase yang buruk, tidak heran jika jalan tol akan banjir. Namun, kasus di Madiun ini berbeda. Genangan setinggi 1 meter yang melanda jalan tol tidak berasal dari air yang jatuh di badan jalan. Air itu datang dari daerah di sekitar jalan tol. Bupati Madiun, Ahmad Dawami Ragil menyebutkan penyebab utama banjir tersebut adalah 3 tanggul yang jebol karena tidak kuat menahan aliran banjir. Tiga tanggul tersebut berada di anakan Kali Madiun. Jadi, air yang menggenangi jalan tol adalah kiriman dari daerah sekitarnya. Padahal, drainase jalan tol didesain hanya menampung air yang jatuh di badan jalan. Sehingga kalau ada air tambahan yang sangat besar dari daerah sekitarnya, ya jelas drainase tersebut tidak akan mampu menampungnya. Dengan kata lain, bukan salah drainase jalan tolnya.

Baca juga: Pelan-Pelan Orang Akan Kembali ke Taksi Konvensional

Namun demikian, desain jalan tol yang berhubungan dengan isu banjir bukan cuma tentang drainase. Perencanaan jalan tol seharusnya mempertimbangkan informasi ancaman banjir di kawasan tersebut. Ancaman banjir di antaranya meliputi besarnya curah hujan tertinggi, aliran air permukaan, dan sejarah banjir. Kalau sudah tahu di daerah tersebut memang jadi langganan banjir, ya mestinya ada penanganan yang harus dilakukan dong, misalnya dengan meninggikan elevasi jalan. Kecuali jika informasi tersebut tidak dicari. Maksudnya, si perencana jalan tol mengabaikan ancaman banjir. Dari sudut pandang ini, bisa saja ada kesalahan desain.

Baca juga: Lagi-lagi Sawah Kebanjiran

Sampai di sini kita bisa paham bahwa sumber masalahnya adalah air sungai yang meluap. Kali Madiun tak lagi mampu menampung aliran air, sehingga memuntahkannya ke jalanan. Namun, solusi yang ditawarkan Gubernur Jawa Timur yang baru, Khofifah Indar Parawansa, yaitu akan membenahi tanggul yang jebol dan membuat sodetan rasanya tak akan efektif untuk jangka panjang. Sebab, tak mengatasi sumber masalahnya.

Air sungai yang meluap disebabkan oleh volume air sungai yang bertambah secara mendadak. Maksudnya, air hujan yang jatuh di daerah sekitar sungai lebih cepat mengalir ke sungai. Kalau menggunakan istilah teknis, ada kerusakan DAS (Daerah Aliran Sungai). Air hujan tidak lagi masuk dulu ke dalam tanah lalu mengalir pelan ke sungai. Air hujan kini lebih banyak dan lebih cepat mengalir di permukaan, sehingga sungai kaget langsung didatangi air sebanyak itu. Bagai manusia yang dijejalkan air ke mulutnya, sungai pun muntah.

Baca juga: Transjogja Akan Digdaya dengan Bantuan Angkudes dan AKDP

Akhirnya, dalam masalah ini, kita mesti kembali lagi ke petuah klise tapi tetap krusial: pembenahan lingkungan. Lahan-lahan di sekitar sungai, terutama di hulu, yang rusak diperbaiki. Daya serapnya dipulihkan. Lahan yang sudah terlanjur berganti wajah menjadi pemukiman, manajemen airnya diperbaiki. Misalnya, dengan membuat aturan dan pembinaan agar air hujan yang jatuh di daerah perumahan tersebut tidak cepat lari keluar kemudian langsung masuk sungai. Jadi, Bu Khofifah, setelah membenahi tanggul, mari lanjut perbaiki alam di sekitar Kali Madiun dan Bengawan Solo yang juga sering muntah.

Kategori
Society

Lagi-Lagi Sawah Kebanjiran

Seperti tahun-tahun sebelumnya, sawah di beberapa wilayah Indonesia kerap banjir ketika kalender memasuki akhir dan awal tahun. Kejadian berulang ini tidak bisa terus kita maklumi. Selain merugikan petani karena sumber penghasilannya mati, gagal panen padi akan merembet ke harga-harga bahan makanan lainnya. Sialnya lagi, tidak seperti pakansi, kita butuh makan setiap hari.

Kabar kesedihan rutin itu kini datang dari Kabupaten Kampar, Riau. Sawah seluas 1.518 hektar terendam banjir pada Kamis 20 Desember 2018 dan dipastikan gagal panen. Wilayah terdampak yang paling parah berada di Kecamatan Tambang seluas 596 hektar, Kecamatan Kampar Utara 319 hektar, dan Kecamatan Kampar seluas 178,5 hektar. Menurut dinas terkait di wilayah tersebut, para petani kehilangan potensi penghasilan sekitar 30 juta per hektar. Jadi, total hilangnya potensi penghasilan petani adalah 30 x 1.518 = 45,5 miliar.

Bagi masyarakat luas, gagal panen ini menyebabkan pasokan beras berkurang. Dengan kejadian ini, Kabupaten Kampar kehilangan potensi produksi beras sebesar 7600 ton.

Di Pulau Sumatera sawah kebanjiran tidak hanya terjadi di Riau. Di daerah Pidie Jaya, Aceh, tidak kurang dari 400 hektar lahan sawah terendam banjir sejak Sabtu, 8 Desember 2018. Padahal petani sudah menyemai bibit di lahan tersebut. Sawah seluas 150 hektar di Sungai Penuh, Jambi juga mengalami hal serupa. Kebanjiran. Akibatnya, petani kehilangan potensi penghasilan antara 15 sampai 20 juta rupiah.

Tidak hanya di Sumatera, memasuki tahun 2019 sawah di Jawa juga kebanjiran. Sebulan yang lalu, tepatnya 2 Januari 2019, ratusan hektar sawah di Kecamatan Suranenggala, Cirebon tergenang. Padahal, menurut penuturan para petani, benih padi baru saja ditanam setengah bulan sebelumnya. Hal ini membuat petani mengalami kerugian sekitar 300.000 – 500.000 ribu rupiah per hektar.

Masih di Jawa, 200 hektar sawah di Desa Batukali Kecamatan Kalinyamatan Jepara terendam banjir pada Selasa (29/1/2019). Ketinggian banjir di sawah tersebut antara 20 hingga 60 sentimeter. Dan sawah terendam hingga 4 hari. Ini adalah tinggi dan lama banjir yang sudah bisa mematikan tanaman padi. Sebab rata-rata padi dapat bertahan hidup jika terendam hingga 3 hari dengan tinggi genangan maksimal 5 sentimeter. Petani menuturkan bahwa sawah di Desa Batukali tiap tahun terkena banjir meski dengan ketinggian yang berbeda-beda. Artinya, tidak ada perbaikan.

Kenyataan ini sangatlah ironis karena Sumatera dan Jawa hingga hari ini adalah tumpuan produksi padi nasional. Pada tahun 2018, Jawa saja menyumbang 28,08 juta ton atau 56% dari total produksi padi nasional.

Petani pantas merasa was-was jika setiap tahun banjir mengancam sawahnya. Sebab, mereka telah mengeluarkan modal yang tidak sedikit. Sementara yang bukan petani juga bisa merasa khawatir, karena semakin banyak sawah yang tergenang, maka produksi pangan akan merosot. Lalu itu akan merembet pada kenaikan harga-harga lainnya, mengingat peran pangan sangat kuat dalam gejolak harga.

Sayangnya, penjelasan yang sering kita dapatkan dari pemerintah soal penyebab sawah kebanjiran adalah intensitas hujan yang tinggi. Bahkan media pun sebagian besar memberikan keterangan yang serupa. Ini patut kita pertanyakan: apakah intensitas hujan dari tahun ke tahun semakin tinggi? Faktanya, meskipun isu perubahan iklim semakin kencang, intensitas hujan tidak mengalami perubahan yang berarti. Bisa dibilang sama. Artinya, volume air yang jatuh ke sawah dari tahun ke tahun tidak jauh berbeda.

Lalu kenapa sawah kebanjiran?

Yang luput diperiksa oleh media dan barangkali para pegawai pemerintahan ialah kualitas drainase sawah. Padahal saluran ini adalah infrastruktur yang penting untuk menguras air berlebih yang ada di sawah. Pemerintah mestinya hadir membantu petani membuat jaringan drainase sawah yang andal. Karena ketika kita berbicara tentang pengairan sawah, tidak hanya tentang bendungan, saluran irigasi, tapi juga soal saluran pembuangan (drainase). Dan harusnya topik inilah yang disoroti oleh media. Tidak hanya berhenti di penjelasan “kemarin hujan sangat lebat”.

Kita sering ribut soal banjir di kota, yang menggenangi rumah-rumah. Mungkin karena berdampak langsung pada diri kita. Tapi ada pula banjir yang meski tak berdampak langsung, efeknya amat terasa: banjir di sawah.

Kategori
Society

Pengaruh Banjir Terhadap Rajinnya Harga Pangan Naik di Akhir Tahun

Soal urusan pangan, terutama beras, pemerintah berkali-kali jatuh ke lubang yang sama: tidak bisa mengendalikan kenaikan harga di akhir tahun hingga awal tahun. Rezim ini seperti tak punya cara mengatasi persoalan perut yang amat vital bagi keberlangsungan hidup.

Lihat saja data harga beras tiga tahun terakhir dan inflasi bahan pangan empat tahun terakhir. Harga rata-rata beras di tingkat penggilingan mulai Juni 2015 – Oktober 2018 selalu naik di bulan November dan baru turun di bulan Maret. Pada bulan November 2017 – Januari 2018 bahkan kenaikannya lebih besar dari dua tahun sebelumnya. Menurut Badan Pusat Statistik (BPS), antara bulan September 2017 hingga Januari 2018, beras kualitas premium naik 9,28 persen, beras kualitas medium naik 13,9 persen, dan beras kualitas rendah naik 12,93 persen.

Rata-rata harga beras di tingkat
penggilingan, Juni 2015 – Oktober 2018
(Sumber: INDEF)
Selama 4 tahun terakhir, inflasi barang bergejolak (bahan pangan) di akhir tahun selalu lebih tinggi daripada bulan-bulan yang lain. Bahan pangan yang sering menjadi pemicu naiknya inflasi barang bergejolak adalah beras, daging, daging ayam ras, telur ayam ras, dan bumbu dapur.
Inflasi barang bergejolak 2014 – Oktober 2018
(Sumber: INDEF)

Inflasi bahan pangan di akhir tahun memang dipengaruhi oleh momentum hari raya keagamaan dan libur akhir tahun. Namun, menurut Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), dalam press release-nya tanggal 15/11, pengambil kebijakan tidak dapat terus-menerus berlindung di bawah alasan kedua momen tersebut dalam menjawab masalah inflasi pangan. Sebab, masyarakat butuh kepastian akan stabilnya harga-harga.

Khusus beras, naiknya harga komoditas ini juga disebabkan oleh rendahnya produksi di akhir tahun. Misalnya, pada tahun ini, produksi beras tertinggi dicapai pada bulan Maret, yaitu sebesar 5,42 juta ton. Nilai ini jauh di atas konsumsi beras nasional. Sedangkan di akhir tahun, produksi dan potensinya lebih rendah daripada jumlah konsumsi. Singkatnya, produksi beras nasional kita melimpah di awal tahun, tapi kurang di akhir tahun.

Perbandingan produksi dan konsumsi beras Indonesia
Januari – Desember 2018
(Sumber: INDEF)

BPS pada akhir Oktober memang menyatakan bahwa produksi beras tahun ini akan surplus sebanyak 2,85 juta ton. Pernyataan ini pun sudah dilahap dan ramai diberitakan oleh Media. Akan tetapi, yang lupa dicantumkan dalam banyak pemberitaan, surplus tersebut baru akan tercapai jika produksi beras November – Desember mencapai target (masing-masing 1,5 juta ton). Jadi, yang perlu kita bicarakan sekarang, apakah target tersebut bisa tercapai?

Yang perlu diingat, akhir tahun bukanlah musim panen raya, tapi justru tanam raya. Selain itu, yang juga berpotensi menggagalkan target tersebut adalah ancaman banjir di sawah. Apalagi jika banjir terjadi di daerah lumbung padi nasional.

Baca juga: Kisah Relawan Lombok

BPS melaporkan, untuk tahun 2018, produksi padi masih mengandalkan tanah Jawa. Tiga provinsi teratas produksi padi terbesar adalah Jawa Timur, Jawa Tengah, dan Jawa Barat dengan masing-masing jumlah produksi 9,31 juta ton, 8,75 juta ton, dan 8,1 juta ton. Jika produksi padi enam provinsi di Jawa digabungkan, jumlahnya sebanyak 28,08 juta ton atau 56% dari total produksi padi nasional. Urutan keempat dan kelima lumbung padi nasional adalah provinsi Sulawesi Selatan dan Sumatera Selatan dengan masing-masing produksi padinya sebanyak 5,1 juta ton dan 2,5 juta ton. Dengan bermodal data tersebut, menarik untuk melihat data potensi banjir tahun ini di Jawa Timur, Jawa Tengah, dan Jawa Barat.

Potensi banjir di provinsi Jawa Timur pada bulan Desember tahun ini, berdasarkan peta yang dirilis Badan Meteorologi dan Geofisika (BMKG), bisa dibilang merata. Seluruh kabupaten punya potensi banjir. Separuh dari jumlah seluruh kabupaten dan kota punya potensi banjir menengah. Jumlah ini meningkat menjadi dua pertiga pada bulan Januari 2019. Sedangkan pada Februari 2019, hampir seluruh kabupaten dan kota di Jawa Timur tingkat potensi banjirnya menengah.

Perkiraan banjir di Jawa Timur, Desember 2018
(Sumber: BMKG)
Di daerah Jawa Tengah tidak jauh berbeda dengan Jawa Timur. Potensi banjir merata. Pada bulan Desember, daerah Demak, Kendal, dan Kota Semarang punya potensi banjir menengah. Perkiraan banjir menengah ini meluas hingga dua pertiga wilayah Jawa Tengah pada bulan Januari dan Februari 2019.
Perkiraan banjir di Jawa Tengah, Desember 2018
(Sumber: BMKG)
Begitu pula yang terjadi di Jawab Barat. Potensi banjir tersebar di hampir seluruh kabupaten dan kota, walaupun tidak semasif Jawa Tengah dan Jawa Timur. Potensi banjir menengah kemudian meluas secara signifikan pada bulan Januari dan Februari 2019.
Perkiraan banjir di Jawa Barat, Desember 2018
(Sumber: BMKG)

Walaupun potensi banjir pada bulan Desember 2018 di ketiga provinsi tersebut mayoritas rendah (tapi jangan lupa pada bulan Januari dan Februari statusnya naik jadi menengah), perlu diingat yang kita bicarakan sekarang banjir di sawah, bukan di kota. Kalau di kota, banjir yang ketinggiannya sampai lutut orang dewasa, kerugian yang ditimbulkan belumlah signifikan – saya tidak bilang ini bukan masalah. Apalagi bagi masyarakat yang sudah terbiasa tempat tinggalnya didatangi banjir. Mereka sudah punya cara sendiri untuk menghadapinya.

Di sawah beda cerita. Tinggi genangan ideal di sawah yang ditanami padi adalah 5-7 cm (Farhan & Kartaadmadja, 2001). Itu paling genangan yang hanya sampai mata kaki. Genangan yang lebih tinggi dari itu dan terjadi antara 4 sampai 7 hari, dapat mengganggu produktivitas padi. Menurut Makarim & Ikhwani (2011), tanaman padi varietas unggul baru (VUB) yang terendam selam 6 hari hasil gabahnya turun dari 5,77 ton/ha menjadi 3,13 ton/ha atau turun sebesar 2,64 ton/ha (54,2%).

Baca juga: Menurunkan Tingkat Fatalitas Kecelakaan dengan Rolling Guard-rail Barrier

Fakta di atas baru berbicara tentang produktivitas tanaman padi yang tergenang, bukan tenggelam. Maksudnya, permukaan air belum berada di atas tanaman padi. Padahal, pernah terjadi beberapa kasus tanaman padi terendam seluruhnya. Seperti yang terjadi di Karawang, Jawa Barat, pada bulan November 2016. Sawah seluas 133 hektare di Desa Karangligar itu benar-benar terendam. Genangan air mencapai 1,5 meter. Padinya sampai tidak kelihatan. Tanaman padi yang sebetulnya sudah siap panen ini akhirnya dipotong oleh para petani dengan cara menyelam sambil membawa arit secara bergantian. Namun, apabila tidak dijemur di bawah panas matahari yang memadai, gabah basah itu tidak bisa dijual karena akan menghitam dan membusuk. Jeraminya juga tak bisa buat pakan ternak.

Ada dua penyebab banjir di sawah. Pertama, pasokan air ke sawah berlebih. Ini bisa terjadi karena air hujan yang langsung jatuh ke sawah bertambah banyak. Faktor ini memang tidak bisa dikurangi. Akan tetapi, air yang masuk ke sawah bisa juga berasal dari limpasan air dari hulu. Rusaknya daerah aliran sungai (DAS) di hulu apalagi jika ditambah sistem resapan yang buruk, akan membuat limpasan air yang masuk sawah bertambah besar. Air yang seharusnya menyerap dulu ke dalam tanah, tapi karena tanah jadi gundul, malah langsung mengalir ke daratan yang lebih rendah. Oleh karena itu, perbaikan daratan gundul di pegunungan atau bukit sangat berguna bukan hanya untuk mencegah longsor, tapi juga mengamankan padi di sawah.

Baca juga: Pengalaman Tidak Terlupakan Naik Angkutan di Jakarta

Kedua, drainase atau saluran pembuangan sawah yang buruk. Karena genangan di sawah ada batasnya, maka saluran pembuangan menjadi amat vital untuk menguras kelebihan air. Masalah yang sering terjadi pada saluran pembuangan adalah pendangkalan. Endapan menumpuk. Jadi, solusi yang bisa dikerjakan adalah pengerukan saluran tersebut. Biar lebih dalam. Terkadang saluran tersebut juga perlu diperlebar.

Apabila pengambil kebijakan tidak memperhatikan faktor-faktor di atas, dan hanya tenang-tenang saja setelah membaca pernyataan BPS bahwa tahun ini produksi beras akan surplus, target itu bisa saja tidak tercapai. Pemerintah bisa kembali gagal menjaga harga pangan akhir tahun ini hingga awal tahun 2019. Keledai saja jatuh ke lubang yang sama dua kali. Lalu apa namanya kalau berkali-kali?

Kategori
Society

Kondisi Pulau Sapudi Madura Setelah Diguncang Gempa 6,4 SR

Gempa berkekuatan 6,4 SR muncul di perairan tapal kuda, tepatnya di titik 65 kilometer timur laut Kabupaten Situbondo Jawa Timur, pada hari Kamis (11/10) pukul 01:45 WIB. Kedalaman gempa 10 kilometer, tidak berpotensi tsunami.

Salah satu daerah yang terdampak gempa ialah Sapudi, sebuah pulau kecil sejauh 50 kilometer di utara pusat gempa yang hanya terdiri dari 2 kecamatan, yaitu Gayam dan Nonggunong. Pulau ini secara administrasi adalah bagian Kabupaten Sumenep, Madura. Di Gayam, ada desa bernama Prambanan. Desa ini terletak di sisi timur pulau yang berupa daratan tinggi. Di desa inilah kerusakan paling parah terjadi. Hingga kini, berdasarkan catatan Puskesmas Gayam, tiga orang meninggal (dua orang laki-laki berumur 50 dan 70 tahun, serta seorang anak perempuan berumur 7 tahun). Korban luka-luka mencapai 23 orang, dan paling banyak berasal dari Prambanan.

Lokasi Desa Prambanan, Sapudi

Beberapa rumah di Desa Prambanan dan Nyamplong mengalami kerusakan, dari skala ringan hingga berat. Banyak dinding rumah yang roboh, juga atap teras. Bahkan ada rumah yang roboh sama sekali. Umumnya, struktur atap rumah di dua desa ini memakai kayu, dan penutupnya genteng. Dinding rumah dibuat dari susunan bata kapur – bukan bata merah seperti rumah-rumah di Jawa. Sebab di daratan pulau Sapudi banyak ditemui lapisan kapur. Beberapa lokasi sudah ditambang oleh masyarakat.

Rumah yang roboh di Desa Prambanan
Foto: Laili

 

Dinding rumah yang roboh d Desa Prambanan
Foto: Laili

Fasilitas jalan di Sapudi kurang menyenangkan, termasuk di Desa Prambanan. Lubang di mayoritas ruas jalan siap menggoyang kendaraan sehingga tak dapat melaju kencang. Perbaikan jalan dari tahun ke tahun dengan metode penambalan lubang saja hanya bertahan dalam hitungan bulan.

Tentu saja kondisi jalan raya amat berpengaruh terhadap proses evakuasi.

Di Sapudi, ada dua puskesmas utama, yang terletak di masing-masing pusat kecamatan. Desa Prambanan lebih dekat ke Puskesmas Gayam. Maka kini para korban di rawat di sana.

Untuk menjangkau Pulau Sapudi tak bisa dibilang mudah. Hanya tersedia empat jalur laut yang menjadi andalan sehari-harinya. Dua jalur menggunakan kapal feri, duanya lagi menggunakan perahu kayu. Yang memakai kapal feri menghubungkan Pelabuhan Tarebung (Sapudi) dengan Pelabuhan Kalianget di Sumenep Madura dan Pelabuhan Jangkar di Situbondo. Yang memakai perahu kayu menghubungkan Pelabuhan Tarebung dan Sukarame di Sapudi dan Pelabuhan Dungkek (Sumenep) dan Pelabuhan Kalbut (Situbondo). Apabila kita berangkat dari Madura, butuh 3 jam perjalanan laut untuk sampai di Sapudi. Kalau dari Situbondo 4 jam.

Cara menjangkau Pulau Sapudi.
Warna oranye jalur kapal feri.
Warna hijau jalur perahu kayu

Sayangnya, kapal feri hanya tersedia 2 kali perjalanan dalam seminggu. Untuk yang dari Madura, hanya tersedia hari Minggu dan Kamis. Sedangkan yang dari Situbondo hanya berangkat pada hari Rabu dan Sabtu. Perahu kayu memang beroperasi tiap hari. Namun kapasitas angkutnya tak seberapa dan akan cukup mendebarkan bagi yang tak biasa menyeberangi laut dengan perahu kayu yang sudah berumur.

Perahu kayu yang menghubungan masyarakat
Sapudi dengan dunia Pulau Madura.
Foto: Dandy IM

Kalau ingin tahu bagaimana kondisi pelayaran rakyat di Sapudi, bisa baca: Transportasi Laut Kepulauan Sumenep Madura Belum Berkeadilan

Akhirnya hanya moda helikopterlah yang paling bisa diandalkan. Soekarwo pun ke Sapudi pada hari Kamis (11/10) naik helikopter dan turun di lapangan SMPN 1 Gayam, tempat saya bermain bola dulu.

Gempa di Sapudi ini kemungkinan terjadi karena pergerakan dari sesar RMKS (Rembang, Madura, Kangean, Sakala) Barat. Pasalnya, pusat gempa yang baru saja terjadi ini terletak 30 kilometer di selatan garis sesar. Sesar ini, menurut Pusat Studi Gempa Nasional (Pusgen), pergerakannya 1,5 mm/tahun. Dengan nilai pergerakan tersebut, menurut Pusgen, potensi gempanya mencapai 7,8 SR.

Sesar RMKS di Sapudi (lihat kotak kuning)
Sumber: Pusgen

 

Sesar RMKS di Sapudi (lihat kotak kuning)
Sumber: Pusgen
Gempa telah terjadi. Kini saatnya berdoa, memberi bantuan, agar para korban dapat segera pulih. Dan tak lupa ke depannya membikin Sapudi, dan tentunya juga daerah-daerah lain yang berpotensi gempa, agar lebih siap menghadapi gempa dari segi fisik bangunan dan tata ruang, mental, dan kebudayaan.
Kategori
Beranda

Gempa Donggala Terjadi di Atas Patahan Palu-Koro

Jumat (28/9) terjadi gempa yang berpotensi tsunami di Kabupaten Donggala, Sulawesi Tengah. Menurut laporan BMKG, gempa pertama terjadi pada pukul 15:00 WITA. Kekuatan gempa maksimalnya mencapai magnitude 7,7 SR pada kedalaman 10 kilometer. Pusat gempa terbesar ini terletak di titik 27 kilometer timur laut Donggala.

Berikut sebaran titik pusat gempa di Sulawesi Tengah menurut laporan USGS. Titik merah menandakan lokasi gempa 7,5 SR.

Sumber: USGS

Nilai gempa ini lebih besar daripada gempa maksimal di Lombok yang mencapai 6,9 SR. Apabila diukur dalam skala potensi kerusakan, menurut USGS (United State Geological Survey), gempa ini mencapai MMI IX. Artinya, menurut skala ini, ada potensi bangunan yang kuat mengalami kerusakan, rangka-rangka rumah menjadi tidak lurus, banyak retak-retak. Rumah tampak agak berpindah dari pondamennya. Pipa-pipa dalam rumah putus. Potensi kerusakan pada pipa-pipa perlu mendapat perhatian, karena berhubungan dengan ketersediaan air bersih.

Sebagian besar wilayah yang paling terdampak gempa, jumlah penduduknya kurang dari seribu jiwa, yaitu di Donggala, Palu, Sigi Biromaru, dan Parigi. Sedangkan Palu jumlah penduduknya besar, yaitu sekitar 280an ribu jiwa.

Baca juga: Selama Rezim Jokowi, Penghancuran Pulau Kecil Terus Berlanjut

Di daerah Donggala sampai Kota Palu diketahui terdapat sebuah patahan yang terletak di daratan yang dinamai sebagai patahan Palu-Koro. Tipe gerakan patahan ini adalah strike-slip (patahan mendatar) dengan pergerakan formasi batuan mencapai 35 sampai dengan 44 mm/tahun. Patahan Palu-Koro merupakan patahan dengan pergerakan terbesar kedua di Indonesia, setelah patahan Yapen, Kepulauan Yapen, Papua Barat, dengan pergerakan mencapai 46 mm/tahun. Dalam sejarahnya patahan ini pernah menyebabkan gempa dengan magnitude 7,9 SR.

Pergerakan patahan Palu-Koro 30/35/44 mm per tahun
Sumber: Pusgen
Indonesia dianugerahi Tuhan dengan sumber daya melimpah. Namun, balik itu semua, negara ini juga banyak diberi cobaan, salah satunya adalah patahan.
Peta patahan Indonesia
Sumber: Pusgen

 

Sejarah kejadian gempa di Sulawesi
Sumber: Pusgen

 

Titik gempa di patahan Palu-Koro
Sumber: Pusgen

Patahan muncul karena aktivitas lempeng kerak bumi yang sejatinya hanya seperti benda tipis yang mengambang di cairan kental (magma). Patahan inilah yang menyebabkan terjadinya gempa bersifat sangat merusak. Tragisnya lagi, banyak patahan besar di Indonesia terletak di daratan dengan kedalaman dangkal, tentunya ini dapat mengakibatkan getaran yang lebih dahsyat daripada patahan di lautan dalam.

Mari bersama-sama siap selamat, berdoa, dan membantu masyarakat Sulawesi Tengah.

Posko Pengungsian Gempa – Tsunami Donggala 2018

Redaksi PijakID