Kategori
Society

Argumentum Ad Ignorantiam Korban COVID-19

Media massa memberitakan Ikatan Dokter Indonesia (IDI) dan Kementrian Kesehatan (Kemenkes) berbeda data soal jumlah korban meninggal dunia terkait Covid-19. Menurut IDI (dinyatakan ketua umum IDI, Daeng M. Faqih, dan Humas IDI, Halik Malik), jumlah kematian karena Covid-19 mencapai 1000, atau sekitar dua kali lipat dari angka versi Kemenkes. Pada saat pernyataan tersebut dikeluarkan (18/04/2020), angka versi Kemenkes adalah 535.

Pada tulisan ini, pengertian orang meninggal terkait Covid-19 atau “positif Covid-19” didefinisikan sebagai telah terinfeksi virus SARS-Cov-2. Sehingga, misal ada orang meninggal karena bunuh diri akibat ketakutan pada pandemi Covid-19 tidak dimasukkan dalam kategori orang meninggal terkait Covid-19, sebagaimana diasumsikan terjadi pada Menteri Keuangan di negara bagian Hesse, Jerman, 28 Maret yang lalu.

Angka IDI diperoleh dari akumulasi orang-orang yang telah meninggal dengan status positif Covid-19 dan PDP (Pasien Dalam Pengawasan). Sedangkan angka Kemenkes berdasar penghitungan jumlah korban meninggal dengan status positif Covid-19. PDP yang telah meninggal tapi tidak atau belum terkonfirmasi mengidap Covid-19 tidak dimasukkan ke dalam penghitungan korban Covid-19 versi Kemenkes.

Perlu diketahui bahwa beberapa PDP yang meninggal tersebut belum menjalani uji PCR (Polymerase Chain Reaction), dan beberapa lainnya telah menjalani uji PCR tetapi hasilnya belum keluar. Dengan demikian, tidak dapat diambil kesimpulan secara pasti bahwa semua ataupun beberapa PDP yang meninggal merupakan orang berstatus positif Covid-19, dan kemudian dimasukkan ke dalam kategori orang meninggal karena Covid-19. Kemungkinan mengidap Covid-19 memang ada, namun berstatus probabilitas, bukan kepastian.

Demikian pula, tidak dapat diambil kesimpulan secara pasti bahwa semua ataupun beberapa PDP yang meninggal tidak berstatus positif Covid-19, sehingga kemudian dikeluarkan dari kategori orang meninggal terinfeksi Covid-19. Kemungkinan tidak mengidap Covid-19 juga ada, namun juga sebatas probabilitas, bukan kepastian.

Angka jumlah kematian versi IDI memiliki kelemahan pada kurangnya bukti dan fakta pada data. Angka tersebut lebih tepat disebut sebagai asumsi. Di lain pihak, mengatakan bahwa PDP yang telah meninggal – yang disertakan dalam hitungan IDI tersebut – tidak terkait Covid-19 juga memiliki kelemahan kekurangan bukti dan fakta. Jika angka jumlah kematian versi IDI tersebut tidak bisa dibuktikan kebenaran ataupun kekeliruannya, maka kesimpulan juga tidak bisa ditarik secara memadai. Jika dipaksakan, maka akan terjadi argumentum ad ignorantiam, sebuah jenis fallacy (sesat-pikir) induksi lemah atau cacat.

Hanya karena tidak bisa membuktikan kebenaran anggapan bahwa PDP yang telah meninggal tersebut terkait Covid-19, maka kemudian disimpulkan bahwa anggapan tersebut adalah salah. Sebaliknya, hanya karena tidak bisa membuktikan kesalahan anggapan bahwa PDP yang telah meninggal tersebut tidak terkait Covid-19, maka kemudian disimpulkan bahwa anggapan tersebut adalah benar. Dua sikap ini sama-sama mengalami “argumentum ad ignorantiam”.

Di dalam argumentum ad ignorantiam, premis-premis di dalam sebuah argumen menyatakan tentang tidak ada sesuatu yang telah dibuktikan terkait suatu hal, baik itu dibuktikan kebenarannya maupun kesalahannya. Sementara itu, konklusi pada argumen tersebut membuat suatu pernyataan definitif tentang hal bersangkutan. Persoalan yang dibicarakan biasanya menyangkut sesuatu yang tidak bisa, atau belum, dibuktikan.

Premis-premis pada argumen bersangkutan seharusnya menyediakan bukti positif bagi konklusi. Namun, premis-premis bersangkutan pada kenyataannya tidak mengatakan apa-apa tentang bukti positif. Premis-premis tersebut bisa saja memuat hal-hal yang bisa memberi beberapa alasan untuk mengarah pada konklusi, tapi bukan alasan yang memadai.

Meski demikian, ada beberapa hal yang perlu dipertimbangkan. Misal, menyangkut prinsip “presumption of innocence” pada prosedur pengadilan (terutama sistem hukum Amerika Serikat), bahwa seseorang dianggap tidak bersalah hingga terbukti bersalah di pengadilan. Arti kata “bersalah” di sini dalam konteks legal, sehingga seseorang yang “tidak-bersalah” secara legal, bisa saja secara faktawi bersalah karena benar-benar melakukan kejahatan yang dituduhkan, namun jaksa gagal membuktikan kejahatan tersebut di pengadilan. Contoh lainnya, oleh karena belum pernah ada seseorang yang melihat Mr. X merokok, maka disimpulkan bahwa Mr. X bukan perokok. Argumen ini bisa dikatakan bersifat kuat secara induktif, namun tidak valid secara deduktif.

Di dalam konteks ini, data kematian terkait Covid-19 yang dinyatakan IDI memang perlu diasumsikan memiliki nilai kebenaran yang relatif lebih besar jika dibandingkan dengan data dari orang-orang dengan latar belakang disiplin lain dan profesi lain, mengingat IDI berisi orang-orang ahli di bidangnya (sains medis) dan salah satu unsur penting yang menangani pandemi Covid-19. Meski demikian, penarikan kesimpulan IDI di atas tetap tidak valid, karena berangkat dari premis-premis yang berisi data yang cacat (bukti dan fakta tidak memadai). Hanya saja, penarikan kesimpulan IDI bisa jadi memiliki kekuatan yang relatif lebih unggul dibanding dari pihak-pihak lain.

Sedangkan angka yang dimiliki Kemenkes bersifat valid, tapi dalam konteks semesta orang-orang yang telah menjalani uji PCR, dan terkonfirmasi lewat uji PCR tersebut. Angka tersebut tidak menggambarkan realitas yang sebenarnya pada semesta yang lain, yakni populasi rakyat Indonesia secara utuh. Dengan kata lain, jika ada kematian yang memang dikarenakan Covid-19 namun tidak dijangkau oleh uji PCR, maka kematian tersebut tidak masuk ke dalam tabulasi Kemenkes, yang berarti pula tidak masuk ke dalam data Kemenkes. Di sini letak kelemahan data Kemenkes. Valid tapi tidak menyatakan realitas populasi masyarakat Indonesia secara utuh yang sebenarnya. Beda semesta pembicaraan, beda populasi.

Data resmi Kemenkes lebih pada formalitas (apa yang formal), dan tidak memasukkan apa yang di luar formal. Sedangkan kemampuan formal pemerintah memiliki kekurangan-kekurangan. Misal, uji PCR yang telah dilakukan pemerintah kurang meluas dan kurang cepat jika ditujukan untuk mengetahui realitas warga Indonesia secara utuh.

Pada awal April lalu, di dalam sebuah acara “Fox & Friends” di Fox News, Dr. Anthony Fauci (direktur NIAID yang juga anggota gugus tugas virus corona Gedung Putih, Amerika Serikat) mengatakan, “We don’t operate on how you feel, we operate on what evidence is, data is…”. Ucapan Dr. Fauci ini menanggapi host acara yang menyebutkan bahwa menurut sebuah survei terbaru, sejumlah 37% dokter-dokter di seluruh dunia merasa (feel) bahwa hydroxychloroquine merupakan treatment yang paling efektif bagi Covid-19.

Sejalan dengan ucapan Dr. Fauci tersebut, maka bukti harus diutamakan, dan bukan feeling atau asumsi semata. Bukti berarti harus ada data valid sekaligus utuh, setidaknya representatif, yang tersedia. Para santis, terutama di sini sains medis, harus berangkat dari data-data yang berbasis bukti tersebut. Di pihak lain, pemerintah harus bisa menyediakan data-data tersebut secara memadai. Tanpa data yang valid dan kuat, maka langkah teknis medis dan kebijakan politik yang akan diambil oleh IDI maupun oleh pemerintah akan mengalami disorientasi.

Kategori
Society

Kita Setelah Pandemi

Beberapa waktu yang lalu ketika Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) belum dilaksanakan di Jakarta, jalan-jalan di ibu kota mulai sepi dan langit biru yang biasanya tertutup polusi mulai tampak. Namun di waktu yang bersamaan, masih kondisi di KRL masih cukup ramai. Ketika melihat ini saya jadi menyadari satu hal, bahwa pandemi COVID-19 menunjukkan pada kita bahwa privilese work from home dan memiliki kendaraan pribadi itu adalah diagram venn yang kedua anggota himpunannya sebagian besar beririsan.

https://platform.twitter.com/widgets.js

KESADARAN-KESADARAN AKIBAT PANDEMI

Selain keterkaitannya dengan kesenjangan sosial, pandemi ini membawa masyarakat menuju tatanan sosial yang baru. Semakin kita menyadari bahwa banyak pekerjaan yang dapat kita kerjakan dari rumah tanpa berkurang nilai produktivitas pekerjaannya. Yang mana dapat mengurangi pengeluaran perusahaan, pergerakan manusia di dalam kota yang menyebabkan kemacetan, dan fleksibilitas dalam bekerja. Untuk kalian para pekerja yang sebelum ini tidak mendapat tunjangan biaya transportasi, nanti saat sudah diwajibkan kembali ke kantor sepertinya kalian harus mempertanyakannya.

Ada juga kenyataan bahwa hubungan antar manusia sebenarnya sudah tidak lagi terhalang oleh ruang. Kita bisa nongkrong, bercanda, dan bermain gartic.io atau game lainnya bersama kawan jauh di luar pulau sana. Untuk yang satu ini waktu masih bisa jadi penghalang, mungkin.

Hal lain yang juga baru disadari adalah bahwa kita yang terlalu asik dengan coffee shop bersama teman sedang di rumah orang tua tidak pernah kita ajak ngobrol. Waktu terasa sangat cepat untuk berangkat pagi hari dan pulang hampir larut sehingga terlalu lelah untuk bercengkrama dengan keluarga.

Kemanan digital juga mulai menjadi concern, di mana kita tidak bisa lagi acuh dengan teknologi yang kita gunakan. Seperti harus selektif memilih aplikasi rapat daring yang akan digunakan berdasarkan tingkat kerahasiaan materi yang akan dibahas. Terutama untuk instansi-instansi pemerintah agar tidak disadap rapatnya.

Pandemi ini menunjukkan kepada kita banyak hal. Mulai dari kenyataan mengenai kelas sosial, hubungan antar manusia, kesadaran mengenai keamanan digital, dan bahkan sekadar siapa anggota group RT yang toxic dan suka menyebar informasi hoaks.

Beberapa semester lalu dalam sebuah kelas transportasi seorang dosen bercerita bahwa suatu saat, sebagai salah satu dari solusi dari masalah transportasi yaitu perpindahan orang, perkuliahan akan dapat dilakukan secara jarak jauh tanpa perlu tatap muka. Sehingga meminimalisasi perpindahan orang terutama mahasiswa dan dosen yang mayoritas menggunakan kendaraan pribadi. Siapa sangka saat yang diimajinasikan itu datang akibat pandemi.

KITA, MASYARAKAT, YANG SANGAT BARU

Kita, masyarakat, setelah pandemi akan menjadi orang yang benar-benar baru dari siapa kita sebelumnya. Pilihan-pilihan yang kita buat selama terkurung di rumah ini akan menjadi pondasi baru kehidupan kita di masa yang akan datang. Mulai dari cara kita menyikapi suatu permasalahan, sampai pada nilai-nilai hingga norma-norma yang kita anut.

[mks_pullquote align=”left” width=”300″ size=”24″ bg_color=”#ffffff” txt_color=”#1e73be”]Pilihan-pilihan yang kita buat selama terkurung di rumah ini akan menjadi pondasi baru kehidupan kita di masa yang akan datang. Mulai dari cara kita menyikapi suatu permasalahan, sampai pada nilai-nilai hingga norma-norma yang kita anut.[/mks_pullquote]

Berdasarkan tulisan Yuval Noah Harari, The World after Coronavirus, di China dan Israel teknologi sudah dimanfaatkan sebagai alat pengawas bagi pasien yang dinyatakan positif. Dan langkah penanganan itu disanjung oleh golongan liberal yang menghendaki data privasi. Terlepas dari konteks pemanfaatannya, nilai-nilai yang mulai bergeser seperti ini akan menjadi sebuah keadaan normal yang sama sekali baru bagi kita. Batasan baru telah tercipta, dan tanpa kita sadari telah kita sepakati bersama.

Bahkan kita mulai menyadari pentingnya cuci tangan dengan sabun. Hal sederhana yang ditemukan manfaatnya oleh ilmuwan dari abad ke-19 itu kini menyelamatkan banyak nyawa. Ironis bukan?

MUSUH BERSAMA

Kini, akhirnya kita mulai dapat bekerja sama dengan golongan yang berbeda. Hal ini disebabkan oleh masyarakat dari segala spektrum nilai menemukan musuh yang sama. Corona Virus Disease 2019. Musuh yang telah merontokkan sekat-sekat, setidaknya untuk saat ini. Namun saya yakin sikap ini, persatuan akibat musuh bersama, akan menjadi hal yang makin lazim.

Akhirnya kita menemukan cara bagaimana menyatukan berbagai spektrum dalam menghadapi satu masalah. Di masa yang akan datang, kita tinggal menunjukkan musuh bersama yang mengancam seluruh bagian dalam sebuah spektrum golongan untuk menyatukannya dan bekerja sama. Sebuah utopia yang terdengar mudah dan menyenangkan.

Akhir kata, saya tidak yakin pandemi ini akan selesai dalam waktu dekat. Namun saya yakin setelah semua ini selesai, kita akan menjadi orang yang baru.

Kategori
Kapital Society

Basic Income dan Upaya Menyelamatkan Masyarakat Rentan Selama Pandemi

Selama terjadinya pandemi Coronavirus Disease (Covid-19) pengemudi ojek daring, pekerja outsourcing, buruh lepas, dan segala pekerja berupah harian lainnya menjadi golongan yang sangat dirugikan dari keadaan ini. Sementara kaum berprivilese bisa menikmati nikmatnya work from home, bagi mereka tinggal di rumah berarti tudung saji yang kosong. Golongan ini juga lebih malang dari  para pegawai tetap, karena jobdesk-nya yang tidak bisa dikerjakan dari rumah. Tidak ada jaminan kesehatan bagi mereka, padahal harus bertaruh nyawa untuk mempertahankan hidup. Pertaruhan ini bahkan bukan hanya bagi mereka sendiri. Keluarga mereka di rumah pun dipertaruhkan kesehatannya. Seperti yang kita tahu, virus ini dapat menyebar bahkan oleh orang yang tidak sakit sekalipun.

Basic income atau yang lebih dikenal dengan sebutan Universal Basic Income adalah kebijakan yang dapat dilakukan oleh pemerintah dalam bentuk pembayaran berkala kepada setiap individu tanpa syarat (requirement) tertentu dan tidak menuntut syarat melakukan pekerjaan tertentu (unconditional). Europeans Citizens’ Initiative menjelaskan empat karakteristik utama dari basic income dalam definisi yang diusulkan. Berdasarkan definisi ini, basic income harus:

  1. Universal; setiap masyarakat terlepas dari asal, umur, tempat tinggal, maupun pekerjaan berhak untuk mendapatkannya.
  2. Individual; basic income dibayarkan untuk perorangan – masing-masing orang memiliki hak untuk mendapatkan basic income tanpa pembatasan berdasarkan dari status perkawinan, jumlah anggota keluarga, dll.
  3. Unconditional; basic income harus dijadikan hak bagi setiap orang tanpa syarat.
  4. Sufficiently high; jumlah dari basic income harus menjamin standar kehidupan yang cukup untuk memenuhi kebutuhan dasar manusia sesuai dengan standar sosial, ekonomi dan budaya.

Konsep ini beberapa waktu lalu sempat santer diberitakan di Amerika Serikat (AS) ketika salah satu mantan calon presiden yang berasal dari Partai Demokrat, Andrew Yang, mengusulkan konsep serupa bernama “Freedom Dividend.  Dalam konsep yang diusulkan Yang, setiap orang yang berusia di atas 18 tahun berhak mendapatkan seribu dollar per bulan tanpa memedulikan status pekerjaan / pendapatannya. Namun jauh sebelum konsep ini diangkat olehnya, konsep basic income ini sudah ada sebelumnya.

Kemungkinan untuk dilaksanakannya basic income ini sendiri semakin didukung oleh otomasi kerja yang ada dalam Revolusi Industri 4.0. Di mana banyak pekerjaan-pekerjaan manusia yang dapat digantikan oleh mesin dengan kapasitas produksi, efisiensi, dan efektifitas yang lebih tinggi. Selain itu masih pula terdapat sektor-sektor di bidang teknologi yang belum dikenakan pajak yang sepatutnya, yang dapat dieksplorasi lagi sebagai sumber dana untuk basic income sendiri.

Selain itu, basic income ini juga merupakan jawaban untuk kompensasi dari kerja domestik / reproduktif. Kontribusi dari sektor ini, yang juga mendukung produktivitas sektor lain, sebelumnya tidak diperhitungkan nilainya. Terutama pada golongan miskin maupun rentan miskin. Yang mana mereka tidak mampu membayar asisten rumah tangga seperti golongan di atasnya, menengah dan kaya. Padahal dalam mempekerjakan asisten rumah tangga sendiri terdapat nilai ekonomi dari setiap pekerjaan domestik yang dilakukan.

Demikian pula dengan penambangan data pengguna dalam ekosistem digital. Setiap perilaku pengguna (user behaviour) dapat dikonversi menjadi nilai uang. Sementara itu sering kali pengguna tidak mendapatkan timbal balik yang sepantasnya dibanding dengan nilai yang ia berikan. Seperti yang sudah dikatakan sebelumnya ini merupakan sektor teknologi yang mungkin bisa digunakan sebagai sumber pendanaan. Pendekatan ini mirip dengan kebijakan yang sudah dilakukan di Alaska, Alaska Permanent Fund Dividiend, terkait dengan eksploitasi sumber daya minyak. Bukankah terdapat ungakapan: data is the new oil?

Dengan kondisi seperti sekarang, adanya pandemi yang diakibatkan oleh COVID-19, konsep ini bisa menjadi tawaran yang jitu untuk membantu permasalahan ekonomi golongan miskin dan rentan miskin. Di mana masyarakat yang masuk dua golongan ini merupakan mayoritas dari seluruh penduduk Indonesia.

Selama pandemi ini terjadi, keberadaan basic income bisa memberikan opsi kepada golongan ini untuk berdiam di rumah. Karenanya tidak akan menjadi masalah bagi mereka untuk masalah kebutuhan pokok sementara berdiam diri di rumah. Selanjutnya, jumlah kasus dapat ditekan karena orang yang berkeliaran semakin menurun. Waktu satu minggu di dalam rumah bisa jadi terlalu lama bagi mereka yang tidak memiliki sumber pendapatan tetap dibanding tiga bulan di rumah bagi yang lain.

Namun perlu dicatat bahwa basic income tidak hanya diberikan kepada mereka yang masuk pada golongan miskin dan rentan miskin saja. Seperti disebutkan sebelumnya dalam dua karakteristik utamanya, universal dan unconditional. Walaupun begitu seperti pada karakateristik yang lain, sufficiently high, dapat membantu golongan ini dalam kondisi yang seperti sekarang. Sehingga tidak lagi diperlukan aktivitas filantropi seperti yang banyak terlihat di media sosial. Karena sebenarnya bisa difasilitasi oleh pemerintah secara langsung.

Kategori
Society

Bencana Kemanusian Masyarakat Indonesia

Kemarin Gunung Merapi “batuk” lagi. Sebagai salah satu gunung paling aktif di dunia, sudah tidak lagi menjadi hal asing bahwa gunung ini sering menyapa warga di sekelilingnya. Gempa kecil sudah menjadi aktivitas normal selama saya tinggal di Jogja, bukan lagi dianggap bencana. Namun fenomena kemarin berbeda, asap yang keluar dari Gunung Merapi mengakibatkan hujan abu yang mengarah ke wilayah di sebelah timurnya. Tidak cukup tebal, tapi cukup berbahaya untuk pernapasan.

Sehari sebelumnya, Senin (2/3) Presiden Jokowi sudah mengonfirmasi keberadaan virus corona yang sudah menjangkit dua WNI di Depok. Dikarenakan oleh ketidakpahaman masyarakat yang menganggap bahwa penggunaan masker medis bisa mencegah penularan, permintaan di pasar pun meningkat. Hal ini sudah mulai terjadi saat sebelum ada WNI yang ketauhan terjangkit penyakit ini. Padahal beberapa waktu sebelumnya Menteri Kesehatan, Terawan, sudah menginformasikan bahwa masker tidak diperuntukkan bagi orang sehat. Sehingga orang sehat tidak perlu membeli karena tenaga medis dan orang sakit lebih membutuhkan.

Terlepas dari komunikasi publik sang menteri yang kurang, seharusnya kita tidak mengolok-oloknya. Tapi memang kelakuan warganet–mungkin termasuk saya–yang suka ngomel dulu tabbayun belakangan.

Keadaan yang semakin keos ini, ada-ada saja manusia yang cukup laknat dengan memanfaatkannya. Manusia-manusia ini dengan sengaja menimbun masker dan menjualnya dengan harga selangit. Padahal di luar kebutuhan akibat Corona, ada pula kebutuhan mendesak akan masker bagi masyarakat di sekitar Gunung Merapi.

Menurut saya, ini adalah bencana yang lebih besar dibanding bencana alam maupun wabah virus yang sedang terjadi. Yang mana manusia tidak lagi memedulikan sesamanya tetapi lebih memikirkan dirinya sendiri. Kemanusiaan telah sirna, pragmatisisme jangka pendek tumbuh subur.

[mks_pullquote align=”left” width=”300″ size=”24″ bg_color=”#ffffff” txt_color=”#1e73be”]Kemanusiaan telah sirna, pragmatisisme jangka pendek tumbuh subur.[/mks_pullquote]

Sebelum ini, saya kira akibat terburuk dari virus corona adalah stigma terhadap ras tertentu. Yang sebelumnya telah mengakibatkan segregasi di masyarakat akan menguat. Tetapi ternyata lebih buruk, empati yang kian punah. Atas dasar keuntungan duniawi yang sangat sementara, orang dengan tega mengais untung dari penderitaan orang lain. Penderitaan orang banyak.