Kategori
Kapital Society

Balada Menjadi Sandwich Generation: Anak Berbakti vs Durhaka

Jika masih menyisihkan sebagian gajimu untuk kebutuhan orang tua atau saudara kandungmu, percayalah kamu adalah bagian dari sandwich generation.

Bicara soal sandwich generation seolah tak ada habisnya. Yah, emang susah sih kalau mau dikelarin, wong fenomena ini banyak diamini oleh orang-orang kok! Bahkan saya sendiri pernah dan (mungkin) masih mengalaminya.

Secara umum, sandwich generation adalah mereka yang memiliki beban ganda finansial. Dinamakan sandwich generation karena fenonema ini bagaikan roti sandwich yang membuat posisi seseorang “terhimpit” akibat dua kewajiban tersebut. Kondisi ini umumnya dialami oleh generasi milenial, tidak peduli statusnya sudah menikah atau belum dan sudah memiliki anak atau belum. Intinya, kaum milenial dihadapkan pada beban finansial ganda, sebab ia tidak lagi membiayai dirinya sendiri melainkan juga orang lain (terutama orang tua dan saudara kandungnya).

Sandwich generation nggak ujug-ujug muncul seolah-olah mereka gagal mengatur keuangan. Menurut penelitian, fenomena ini muncul karena kegagalan orang tua sandwich generation dalam mengatur keuangan dan persiapan hari tua. Banyak orang tua masih menganggap bahwa “anak adalah investasi masa depan”, sehingga mereka pun abai pada perencanaan keuangan atau mungkin sengaja bergantung kepada anaknya untuk bertahan hidup.

Sayangnya di Indonesia, kondisi demikian masih dianggap lumrah. Apalagi kebanyakan orang masih beranggapan bahwa menyokong orang tua adalah kewajiban anak ketika dewasa. Anak wajib berbakti kepada orang tua dan salah satu tanda baktinya adalah dengan mengurusnya secara finansial.

Anggapan soal konsep “durhaka” semakin melanggengkan kebiasaan toxic ini. Sebab, seseorang yang sudah mandiri finansial a.k.a bekerja seolah-olah diharuskan untuk ikut membantu finansial keluarganya. Tak peduli apakah gajinya layak atau tidak, cukup atau tidak untuk bertahan di perantuan, yang penting jatah kiriman ke kampung selalu tersedia.

Saya pun pernah menjadi bagian dari sandwich generation. Meski orang tua (re: mama) sering mewanti-wanti saya bahwa perempuan itu harus mandiri secara finansial, tapi toh pada akhirnya saya tetap merasa bertanggung jawab dengan kondisi keuangan olahraga. Saya nggak bisa terima aja kalau nasihat itu datang dari mama, apalagi mengingat mama saya adalah full time ibu rumah tangga dan tidak memiliki pemasukan apa pun. Hampir seratus persen, beliau bergantung pada pensiunan papa saya yang tentu saja nggak seberapa.

Karena kenyataan itulah, saya meniatkan diri saya, entah gimana pun caranya saya harus bisa mandiri secara finansial. Sayangnya, meski sudah merasa mandiri dan berharap bisa mewujudkan mimpi-mimpi yang hendak digapai, saya tetap saja dilibatkan dalam urusan-urusan finansial di rumah. Ketika masih bekerja di ibu kota, setiap bulan saya berusaha menyisihkan 10% penghasilan saya untuk dikirimkan ke orang rumah. Meski sebenernya gapapa karena toh saya juga pengen ngasih, lama-lama saya menyadari bahwa kebiasaan ini justru membuat keluarga jadi “berharap lebih” kepada saya. Sebenarnya sih nggak masalah, selama uangnya ada, tapi saya nggak suka dijadikan tempat bergantung.

Ketika saya pindah kantor dan penghasilan saya menurun drastis karena perbedaan UMR, saya pun mulai berhenti menganggarkan sebagian kecil gaji saya untuk orang rumah. Bukannya saya pelit atau durhaka seperti yang sering dituduhkan orang-orang, saya berusaha sadar diri bahwa sekarang pemasukan saya terbatas, sementara saya juga sedang getol menabung demi rencana-rencana masa depan.

Perlu diakui juga, dalam beberapa kondisi, menjadi “penyokong keuangan keluarga” itu stressful banget. Mengutip dari Tirto.id, generasi sandwich rentan mengalami tekanan karena beban ganda yang dipikulnya. Tekanan psikologis seperti stres bisa mengakibatkan terganggunya pekerjaan, hubungan dengan pasangan atau rumah tangga hingga ke pergaulan. Bukan nggak mungkin, tekanan ini akan memicu mereka melakukan hal yang tidak diinginkan.

Bayangin aja deh ya, bosmu udah rese di kantor, gaji nggak naik-naik, masih harus bayar iuran BPJS, bayar cicilan ini itu, harga cabai dan gula kok lagi naik drastis, nggak punya temen ngobrol dan berbagi karena kamu introvert, eh kamu tetap harus punya jatah untuk orang tua dan keluargamu. Hadeeeh saya sih nggak sanggup ya shay, apalagi Dilan~

Saya pun sempat tertekan karena pengeluaran mendadak melonjak tinggi dibanding sebelumnya. Saya overthinking tiap hari karena memikirkan saldo tabungan aktif yang mendadak menipis. Padahal baru aja gajian 😦

Karena sudah nggak tahan dengan kondisi ini, saya berusaha mengungkapkan keresahan ini kepada mama. Saya bilang, saya nggak sanggup karena sedang banyak kebutuhan, sementara saya juga sedang ingin menabung lebih banyak. Syukurlah, mama saya mengerti dan memaklumi. Toh, meskipun saya mulai membatasi keuangan, bukan berarti saya nggak ngasih sesuatu sama sekali ke orang tua. Kadang-kadang kalau lagi pengen dan punya rezeki lebih, saya suka membelikan sebagian kebutuhan rumah tangga untuk mengurangi pengeluaran orang tua saya. Intinya sih, tahu diri dan tahu batasnya aja.

Karena pengalaman tersebut, saya jadi belajar bahwa cara utama untuk memutus rantai ini adalah terbuka dengan orang tua dan anggota keluarga lainnya. Manusia kan punya keterbatasan ya, wajar aja sih kalau dalam beberapa kondisi merasa nggak mampu. Makanya, penting banget untuk mengkomunikasikan keterbatasan tersebut kepada orang tua, beri mereka pengertian bahwa nggak selamanya uang yang kita miliki semata digunakan memenuhi kebutuhan mereka. Selain itu, cobalah minta bantuan kepada saudara kandung seperti adik supaya mereka juga bisa ikut berpartisipasi dalam keuangan keluarga.

Kalau anak tunggal bagaimana? Hmmm kalau saya bisa ngasih saran sih, mau nggak mau, harus cari income lain selain gaji tiap bulan. Emang nggak gampang keluar dari jeratan sandwich generation, jadi sebisa mungkin harus  untuk menambah penghasilan sampingan supaya nggak terlalu terbebani. Plus, kamu yang anak tunggal jadi punya ‘uang sisa’ untuk menabung dan berinvestasi.

Terlepas dari status generasi sandwich atau tidak, langkah paling dasar untuk keluar dari mimpi buruk ini adalah dengan belajar investasi. I know this may be hard and seems impossible. Namun, mengingat fakta bahwa generasi sandwich menganggung beban ganda finansial, maka akan lebih baik jika kita rutin menyisihkan 20% dari penghasilan untuk berinvestasi. Selain itu, penting banget lntuk memiliki proteksi diri. Misalnya, asuransi kesehatan seperti BPJS dan asuransi jiwa agar nggak menanggung biaya mahal ketika tiba-tiba sakit atau terkena musibah.

Nah, kalau kamu emang nggak pengen membebani keuangan anak-anakmu kelak, makanya dari sekarang kamu juga harus mulai mempersiapkan dana pensiun dan dana darurat. Sisihkan saja minimal 10% dari total penghasilanmu. Mungkin awalnya terasa berat banget dan susah, tapi bukan berarti nggak bisa lho! Toh, demi kebaikan bersama. Biar kondisi toxic begini nggak terus-terusan berulang dan nyusahin banyak orang.

Kategori
Kapital Society

Kabar Duka: Kita Tidak Akan Pernah Pensiun

Seorang anak bertanya kepada ayahnya, “Apa rencana Ayah saat pensiun nanti?”
“Kau lah rencana pensiun Ayah,” jawab sang ayah.

Percakapan itu adalah sebuah kejadian yang diceritakan oleh Hasan Minhaj, seorang Indian-American komedian dalam acaranya di Netflix berjudul Patriot Act. Pada episode tersebut ia membahas tentang fenomena Silver Tsunami. Sebuah istilah yang diberikan pada keadaan di mana jumlah penduduk lansia di atas 65 tahun meningkat dengan pesat. Menurut data yang ia paparkan diperkirakan jumlah penduduk dengan usia di atas 65 tahun, meningkat dari 47 juta jiwa pada 2015 menjadi 88 juta jiwa pada 2050.
 
Kondisi ini dibarengi dengan kenyataan bahwa warga Amerika yang mencapai usia pensiun memiliki perencanaan finansial yang buruk. Diperkirakan 10 juta orang di atas usia 65 tahun masih bekerja untuk menyambung hidup. Sedangkan mereka yang sudah tidak bekerja menjalani hidup yang kurang layak karena tidak ada dana pensiun yang cukup. Padahal 48 persen orang dewasa dengan usia di atas 55 tahun tidak memiliki tabungan pensiun sama sekali.
 
Keadaan ini sangat menjadi beban bagi Baby Boomer, generasi dengan jumlah populasi terbanyak di Amerika, akan memasuki usia pensiun. Dengan tanpa memiliki tabungan yang memadai, mereka harus bersiap membayar segala biaya perawatan jangka panjang, serta menanggung segala beban keuangan, fisik, dan emosi. Keadaan ini akan mewariskan beban ke generasi berikutnya, millennial.
 
Dahulu di Amerika terdapat tiga tiang utama yang mendukung masa pensiun; jaminan sosial yang didapat dari pemerintah, tabungan pensiun, dan tunjangan pensiun yang didapat dari tempat kerja. Namun di Amerika, sejak tahun 80an tunjangan pensiunan sudah tidak wajib diterapkan secara umum oleh semua perusahaan. Sebagai penggantinya perusahaan bisa menerapkan 401(k)s, yang mana tingkat risiko finansial lebih tinggi sehingga tidak banyak diminati oleh pekerjanya. Bersamaan dengan hal tersebut, juga sangat sulit bagi kelas menengah untuk bisa mempersiapkan pensiun dengan tabungan ketika pendapatan mereka sudah habis untuk kebutuhan sehari-hari. Sehingga mereka hanya bergantung pada jaminan sosial, yang mana nilai yang didapat perbulan sangat kecil dan tidak dapat mencukupi seluruh kebutuhan di masa pensiun.
 
Keadaan di atas tentu terdengar familiar bagi kita sebagai warga Indonesia bukan? Nampaknya kita bahkan sudah mengalami keadaan itu sejak pada generasi-generasi sebelumnya. Lalu bagaimanakah dengan keadaan di Indonesia?
 
Di Indonesia, usia yang tergolong lanjut usia ditetapkan dalam Undang-Undang No. 13 Tahun 1998 tentang Kesejahteraan Lanjut Usia adalah 60 tahun. Menurut Badan Pusat Statistik (BPS) persentase lansia di Indonesia sekarang mencapai sekitar 9,6 persen dari total jumlah penduduk Indonesia, meningkat sekitar dua kali lipat dibandingkan 5 dekade terakhir. Dimana provinsi dengan jumlah penduduk lansia tertinggi terdapat di DI Yogyakarta (14,50 persen).
 
Dari sekian jumlah lansia, hampir separuh di antaranya masih bekerja. Pada tahun 2019, persentasenya mencapai 49,39 persen. Jumlah ini didominasi oleh mereka yang tinggal di daerah perdesaan. Sebagian besar lansia yang masih bekerja ini berpendidikan SD ke bawah, karenanya kebanyakan dari mereka bekerja di sektor pertanian yang mana tidak memerlukan ketearmpilan khusus. Malangnya, meskipun masih bekerja di usia renta, 46,22 persen dari mereka berpenghasilan kurang dari satu juta per bulan. Secara umum, sebagian besar lansia yang masih bekerja tersebut merupakan pekerja informal (84,29 persen) yang tidak memiliki perlindungan sosial, dasar hukum pekerjaan, dan imbalan hidup yang layak.
 
Mengutip dari BPS, jumlah lansia yang memiliki jaminan sosial (di Indonesia termasuk juga tunjangan pensiun) hanya sekitar 12,91 persen. Yang mana kebanyakan dari mereka berasal dari wilayah perkotaan. Sementara sekitar separuh dari lansia mengalami keluhan kesehatan dalam sebulan terakhir pada saat sensus dilakukan. Kenyataan tersebut menunjukkan kebanyakan lansia membebankan biaya kebutuhan sehari-hari dan perawatan kesehatan kepada anak, cucu, atau kerabat di sekitarnya.
 
Permasalahan persiapan pensiun nampaknya hampir sama antara di Amerika dan Indonesia. Atau bahkan di negara-negara lain di dunia. Ketidaksiapan tabungan untuk menyambut masa senja menjadi masalah utama Baby Boomer kebanyakan. Hal tersebut pada akhirnya menyebabkan mereka bergantung pada generasi setelahnya.  Entah untuk membayar biaya perawatan saja atau bahkan sampai menyediakan waktu khusus untuk membantu melakukan kegiatan sehari-hari. Atau lebih mengenaskan lagi, masih harus bekerja untuk memenuhi kebutuhan hidup.
 
Sebagai masyarakat dengan budaya timur yang kental, membiayai dan merawat orang tua di masa senja tentu menjadi hal yang hampir bisa dikatakan wajib. Terlebih dalam ikatan norma-norma agama dan sosial. Kalau tidak mau akan dibilang durhaka. Akankah kita akan seperti itu saat tua nanti? Segala keterbatasan kemampuan untuk melakukan kegiatan sehari-hari di saat usia lanjut merupakan hal yang niscaya dan tidak bisa dihindari. Namun investasi untuk menyambut masa pensiun bisa diupayakan. Karena tentu kita tidak ingin bekerja seumur hidup maupun menjadi beban di masa pensiun.