Dalam pertarungan memperebutkan segala yang duniawi, saya percaya seutuhnya bahwa kompetisi adalah keniscayaan. Bahkan untuk mencapai eksistensi di dunia sebagai manusia, sperma-sperma berebut dalam rahim untuk mendapat satu sel telur. Pertarungan tersebut sangat fair, karena berasal dari titik yang sama dalam menuju tujuan yang sama.
Begitulah seharusnya kompetisi bekerja. Setiap individu start di titik awal yang sama dalam kompetisi. Namun, tentu bentuk ideal seperti ini tidak benar-benar eksis di dunia. Terdapat individu/sekelompok individu yang sudah berada jauh di depan atau tertinggal di belakang garis start. Entah disebabkan oleh aspek-aspek natural (biologis) maupun konstruksi sosial.
Untuk mengantisipasi hal-hal semcam ini diperlukan intervensi dari pihak-pihak yang memiliki otoritas untuk menjamin berkurangnya gap yang terlalu jauh.
Saya ingin mencoba mengelaborasi konsep ini ke ranah kesetaraan gender. Pada awalnya kodrat antar gender hanya berbentuk pada perbedaan jenis kelamin, kepemilikan penis dan vagina. Selanjutnya meluas pada konstruksi sosial yang menyebabkan perbedaan status sosial dari masing-masing gender; tuan dan budak, gembala dan jemaat, imam dan makmum, dan seterusnya. Akibat dari bertambahnya jumlah manusia meluas pula pengertian gender yang semula berdasarkan pada bentuk biologis, menjadi kesadaran atas identitas sendiri yang menciptakan gender-gender non binary.
Kunci utama dari kesetaraan adalah akses pada pilihan. Seperti yang sudah dijelaskan di atas, bahwa untuk mencapai pada persaingan yang ideal diperlukan start yang sama dari masing-masing peserta kompetisi. Namun pada kenyataannya pada persaingan yang melibatkan lintas gender, terdapat satu yang lebih mendahului start dibanding yang lain. Perempuan secara umum berada tertinggal dibanding laki-laki.
Secara biologis, hal tersebut diakibatkan produktivitas reproduksi yang lebih rendah dari laki-laki. Penjelasan sederhananya, secara umum seorang perempuan hanya mampu menghasilkan satu keturunan dalam waktu sembilan bulan sedangkan laki-laki bisa jauh lebih banyak dari itu. Lebih lanjut, terdapat kerentanan-kerentanan lain dari perempuan yang diakibatkan oleh kepemilikan organ reproduksinya. Hal ini menjadi salah satu akibat, dan bukan satu-satunya, terciptanya konstruksi sosial yang semakin melemahkan posisi perempuan dalam persaingan di pasar bebas. Jangankan berkompetisi, mendapatkan akses untuk memilih berkompetisi pun belum tentu bisa.
[mks_pullquote align=”right” width=”300″ size=”24″ bg_color=”” txt_color=”#1e73be”]”Jangankan berkompetisi, mendapatkan akses untuk memilih berkompetisi pun belum tentu bisa.”[/mks_pullquote]
Hal ini diperparah lagi dengan pelemahan-pelemahan yang sebelumnya tidak ada dan semakin diwajarkan. Seperti calon ketua organisasi siswa yang harus laki-laki, walaupun terdapat perempuan yang berkompeten dan memiliki rekam jejak yang bagus. Anehnya, bahkan itu terjadi di sekolah-sekolah negeri. Atau, yang hangat beberapa waktu lalu, sekadar penurunan opacity foto seluruh pengurus wanita, padahal hanya beberapa yang tidak ingin fotonya ditampilkan. Jika memang beberapa orang tidak mau fotonya dipasang sebagai bentuk dari ekspresi keagamaan mungkin memang perlu dihargai, tapi menyamaratakan ke seluruh pengurus wanita itu yang aneh. Apalagi peraturan tersebut tidak juga dilakukan pada pengurus laki-laki.
Untuk memahami ini, saya akan menggunakan dua istilah tentang kebebasan. Istilah pertama adalah kebebasan positif. Diperkenalkan oleh Isaiah Berlin, istilah ini berarti mendukung intervensi negara secara maksimal untuk mengeleminasi hambatan dari dalam, berupa keterbatasan akibat marjinalisasi. Contoh dari penerapan kebebasan positif kaitannya dengan posisi perempuan dalam berkompetisi di pasar bebas salah satunya adalah peraturan yang mengatur mengenai cuti hamil dan melahirkan, kuota perempuan di parlemen, rangkaian kereta khusus perempuan, ruang menyusui di tempat umum, dan lain sebagainya.
Selanjutnya yang kedua adalah kebebasan negatif yang juga diperkenalkan oleh Isaiah Berlin. Yaitu meminimalkan intervensi negara, yang dianggap sebagai bentuk hambatan dari luar, seperti larangan perempuan untuk sekolah, mengikuti pemilu, dll. Sependek yang saya tahu, di Indonesia secara umum tidak terdapat regulasi yang menghambat perempuan dalam kompetisi di pasar bebas. Namun keterbatasan tersebut justru berasal dari konstruksi sosial di masyarakat yang bukan merupakan peraturan resmi. Konstruksi sosial yang umumnya dianggap sebagai kodrat atau fitrah dari masing-masing gender terkait posisinya di masyarakat. Mungkin peran negara juga diperlukan untuk mengatur hal ini.
Saya percaya bahwa kompetisi yang seluas-luasnya akan menciptakan usaha yang maksimal dari setiap peserta kompetisi untuk memberikan hasil terbaik. Sehingga akan tercipta individu-individu unggul yang berada di tempat-tempat terbaik. Oleh karena itu diperlukan pasar bebas bagi setiap gender bersaing secara fair. Yang perlu kita lakukan sebagai pihak yang bukan memiliki otoritas, minimal kita tidak mengamini konstruk-konstruk yang sudah ada yang menghambat pasar bebas berjalan.