Kategori
Society

Setelah Tulisan, Lahirlah Peradaban Film

*Setelah tulisan, lahirlah peradaban film*

Ini bukanlah sekedar hal yang rutin, tapi bentuk ekspresi semangat kebersamaan, produktif di kala situasi sulit menggelayut dalam keseharian.

Jogja NETPACK Asian Film Festifal bagi saya pribadi, sangat menggembirakan mengikuti aneka venue dan aktifitas di dalamnya.

Cinema, kine forum ini sekarang hadir lagi di tengah masa pandemi Covid-19 masih membuat banyak orang khawatir. Lebih banyak #dirumahsaja #jagakarak #pakaimasker adalah hal bijak yang sering disuarakan.

Urusan menonton film, berada di gedung bioskop, di ruang gelap itu, tentu ada kondisi yang mewajibkan kita patuh standar protokol kesehatan.

Saat menonton film itu membuat kita terisolasi atau secara sukarela mengisolasi diri di ruang gelap. Di bioskop, perlu dibatasi, agar tidak menjadi super spreader penyebar wabah penyakit.

Bersyukurlah, tahun ini JAFF juga menyediakan kanal digital untuk penonton, agar bisa akses film seni, film pendek dan film kompetisi yang telah dilakukan kurasi oleh juri.

Tahun lalu, JAFF hadir dengan tema disrupsi, merespon aktivitas digital, zaman serba digital dan sikap manusia atas situasi tersebut. Tahun ini, agaknya JAFF hendak mengingatkan hal dasar dari sinema, KINETIK.

Sebelum jauh membahas sejumlah aktivitas, film apa saja yang pantas jadi terbaik pilihan juri, pilihan komunitas, ada baiknya menengok balik sejarah perjalanan gelaran festifal film yang sudah berlangsung 15 tahun ini.

JAFF pertama kali hadir, di Yogyakarta, setelah ada bencana gempa besar pada 2006. Mengingat masa konsolidasi kepanitiaan penyelenggaraan festival pada tahun itu, rasanya sulit merealisasikan hal sepele, soal tontonan film.

Yogyakarta tengah sibuk merehabilitasi korban bencana gempa bumi, ada banyak agenda pembangunan fisik rumah dan pemulihan usaha perekonomian rakyat. Pendek kisah, rakyat sedang susah, apa sempat menonton film dan apa perlunya itu.

Garin Nugroho, Budi Irawanto, adalah duet sineas dan akademisi yang punya minat pada film alternatif, film pendek dan kesamaan sebagai cinephilia. Mereka ini bertemu dengan anak-anak muda yang punya semangat sama, memiliki ruang bertemu, ruang percakapan dan ruang tontonan bagi karya karya film yang inspiratif, reflektif dan film seni.

Semua bersepakat untuk mewujudkan, menghadirkan festival yang bisa jadi ruang pertemuan banyak komunitas, hobi, kreator film, mahasiswa, seniman, orang biasa, volunteer dll akhirnya benar benar hadirkan festival.

Garin Nugroho memberikan alasan sederhana. Orang susah butuh tontonan juga, tak sekedar yang bisa menghibur tapi sekaligus bisa belajar dari orang lain, komunitas lain, karya seni film dari negara lain. Sekaligus bagaimana mengapresiasi karya seni film pendek, persona yang berkontribusi dan memiliki jasa bagi pengembangan perfilman Indonesia terkini.

Semangat indie, independent dalam berkarya, produksi seni film yang puitis, yang reflektif, alternatif akhirnya hadir di layar perak titik penyelenggaraan festival. Di desa, digelar misbar nonton bareng film, selain itu digelar juga acara nonton film di Gedung Societet Militer. Digelar kelas diskusi bersama maestro seni dan aneka acara yang membahas film, sinema dari beragam perspektif sesuai tema.

Kalau di masa lalu, layar perak digelar untuk rakyat di desa kini layar JAFF ke-15, hadir di 15 kota di Indonesia. Jelas, ada kemajuan besar soal pilihan lokasi pemutaran film festival ini.

Sudah banyak kreator film lulusan JAFF yang kini punya karya film pendek dan feature film moncer, dikenal oleh dunia luas. Mereka ini, generasi perfilman yang akrab dengan digital, mudah adatif terhadap perubahan zaman.

Semakin meluasnya titik layar festival JAFF, bagian dari energi baik untuk menumbuhkan perfilman nasional, mendorong lahirnya kreator industri perfilman baru.

HIDUPKAN LAYAR BIOSKOP DI DAERAH

Apresiasi karya seni penting untuk selalu dihadirkan. Di tengah bising dan riuhnya pemilihan kepala daerah, dengan pro kontranya, rakyat Indonesia butuh oase, butuh hiburan yang bergizi bagi alam pikir warga negara yang sehat.

Menonton film, kini tak lagi harus ke bioskop. Di 15 tahun penyelenggaraannya, festival film ala JAFF, bisa membuka selubung kreatif. JAFF hadir di 15 kota.

Hal yang menggembirakan adalah akan lebih banyak layar bioskop, layar perak di daerah yang bisa segera hidup lagi. Kapan kira-kira bisa mewujud?

Selamat menonton, selamat jadi bagian sejarah penyelenggaraan festival film. Layar perak di bioskop, termasuk gedung bioskop di nusantara ini sudah lama mati. Semoga bisa hidup lagi dan menghadirkan tontonan film berkelas.

Di era digital, semua orang bisa jadi pembuat film. Begitu mudahnya. Asal mau sedikit repot editing, shoot pakai kamera HP, bisa jadi tontonan. Meski untuk hasilkan film seni, tak semudah itu. Nah, forum film model JAFF, adalah ruang tempat belajar. Di titik inilah, patut dicatat betapa berharga dan pentingnya JAFF hadir, jadi sejarah dinamika festival sinema tanah air.

#ceritapinggirjalan
#JAFF
#JogjaNETPACK

Kategori
Infrastruktur Transportasi

Agar Pembangunan Underpass Jogja Tidak Mengulang Kesalahan yang Sama

Satker Perencanaan dan Pengawasan Jalan Nasional (P2JN) membuat perencanaan underpass di simpang Kentungan dan Gejayan, Yogyakarta. Alasannya, lalu lintas di kedua simpang ini sudah menimbulkan antrean yang panjang pada saat jam sibuk. Dengan kata lain, terjadi kemacetan. Penumpukan kendaraan di kedua simpang ini, menurut P2JN dalam seminar “Problematika Lalu Lintas di Wilayah Yogyakarta Utara”, salah satunya dipicu oleh berkembangnya wilayah DI Yogyakarta di sisi utara, tepatnya daerah Sleman.

Tentang penumpukan kendaraan di kedua simpang ini, P2JN benar belaka. Cobalah melintas di kedua simpang ini pada sore hari. Anda mungkin akan berharap Tuhan tiba-tiba membuat manusia bisa terbang atau menemukan cincin dalam saku celana yang kalau Anda pakai bisa membuat tubuh dan kendaraan Anda tembus benda padat.

Pembangunan underpass sebagai solusi kemacetan sudah banyak diterapkan di berbagai kota di Indonesia. Sayangnya, seperti yang kita ketahui bersama, underpass tidak mengurai kemacetan secara permanen. Dalam periode yang panjang, seiring dengan pesatnya pertumbuhan jumlah kendaraan pribadi yang digoda ilusi kelancaran lalu lintas sesaat, ruas jalan di sekitar underpass kembali padat-merayap. Contoh paling menyedihkan tentu saja ibu kota. Jalan sudah bertingkat-tingkat bagai tumpukan ular, tetap saja macet. Sialnya, hingga tulisan ini diketik, kita masih saja percaya propaganda pengusaha otomotif bahwa yang bikin macet itu bukan jumlah kendaraan yang terus membengkak, tapi jumlah jaringan jalan yang tidak memadai.

Namun, bukan berarti penambahan atau peningkatan ruas jalan tidak dibutuhkan dalam mengatasi kemacetan. Berdasarkan hasil diskusi “Ngaji Transportasi” pada 30 Mei 2018, untuk menyelesaikan masalah kemacetan, semua langkah ini perlu ditempuh: menambah jaringan jalan, meningkatkan performa transportasi umum, meningkatkan tarif parkir, memperbaiki trotoar, hingga membenahi tempat transit. Ada yang tertinggal tidak dibenahi, kemacetan tidak akan benar-benar teratasi.

Dari hasil memantau ocehan media, pembangunan underpass Kentungan Sleman sudah akan dimulai pada 14 Januari 2019. Jadi, kalau proyek ini tetap jalan meskipun beberapa pihak mempertanyakannya sebab sudah terbukti gagal di Jakarta, hendaknya publik bising bertanya: apakah pembangunan underpass ini akan sejalan dengan peningkatan layanan transportasi umum di Jogja?

Kalau ternyata pembangunan underpass ini hanya untuk melayani para pengemudi kendaraan pribadi, ya berarti orang-orang pusat pengurus jalan dalam menyelesaikan persoalan masih berpikir sepotong-sepotong. Oh, simpang Kentungan macet ini, bikin underpass biar lancar! Tanpa berpikir perencanaan jangka panjangnya.

Padahal, di abad ke-21 ini, cara berpikir sepotong-sepotong dalam menyelesaikan masalah mestinya sudah ditinggalkan. Kini zamannya berpikir menyeluruh. Agar penyelesaian masalah di titik tertentu tidak menimbulkan masalah di titik lain. Jangan terjerumus seperti angkutan daring yang seakan menjadi wajah sempurna perkembangan zaman, tapi sesungguhnya sangat gamblang sebagai wujud cara berpikir yang sepotong-sepotong dengan menganggap permasalahan transportasi ialah hampir semua orang membawa kendaraan pribadi untuk bertarung di jalan. Maka mereka menawarkan kendaraan sewa. Maka mereka menumpuk kendaraan sewa mereka di jalan.

Lalu, bagaimana menilai proyek underpass ini selaras dengan usaha meningkatkan performa angkutan umum? Apakah cukup dengan memastikan bahwa Transjogja bisa juga lewat di simpang ini?

Salah satu ukuran kepedulian pemerintah terhadap angkutan umum ialah adanya jalur khusus angkutan umum. Kalau angkutan umum masih berjalan di jalur yang sama dengan kendaraan pribadi, ya mereka akan tetap berdesak-desakan dan akhirnya ikutan macet bareng. Padahal kan, penumpang transportasi umum yang sudah keluar dari nafsu pribadinya dengan ikut memikirkan kepentingan bersama harus didahulukan. Mereka berhak mendapatkan jalan yang bebas hambatan. Sebab derajat mereka sebagai manusia sudah bertingkat-tingkat lebih tinggi.

Jadi, mari saksikan apakah simpang tak sebidang di Kentungan Sleman dibuat dengan cara pandang yang demikian. Kalau iya, berarti sudah belajar dari kesalahan demi kesalahan.

Kategori
Transportasi

Emisi CO2 Berkeliaran di Jalanan Jogja

Salah satu unsur dalam asap kendaraan yang kita bawa, yaitu karbon dioksida (CO2), menetap di udara dan bergabung dengan CO2 lain yang berasal dari kendaraan teman, keluarga, bahkan orang yang sama sekali tidak kita kenal. Kumpulan CO2 dari asap kendaraan itu masih ditambah lagi dengan asap pabrik, pembangkit listrik tenaga uap, pembakaran hutan, dll. Persetubuhan sejenis CO2 itu bertambah banyak dari tahun ke tahun hingga menyelimuti bumi. Lalu buntalan CO2 tersebut akan memantulkan lagi radiasi bumi kembali ke bumi sehingga memicu pemanasan global. Ujung-ujungnya perubahan iklim. Bumi makin gerah, garis pasang air laut makin naik, dan kekeringan berkepanjangan semakin sering terjadi.

Menurut penelitian Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC), CO2 adalah gas yang paling mempengaruhi pemanasan global. Sebab CO2 adalah gas yang paling banyak menaikkan jumlah energi yang mencapai bumi. Sudah begitu, CO2 bertahan di atmosfer lebih lama daripada gas rumah kaca lain yang dihasilkan oleh aktivitas manusia. Untuk jumlah CO2 saat ini, diperlukan waktu 1 abad agar ia menyingkir dari atmosfer. Akan tetapi, 20 persennya akan tetap berada di atmosfer hingga 8 abad.

Lebih dari separuh emisi CO2, khususnya di perkotaan, disumbang oleh kendaraan. Untuk jalan utama di Kota Jogja, menurut data Kementerian Lingkungan Hidup 2013, mobil dan sepeda motor menjadi penyumbang emisi CO2 terbesar, yaitu 39 persen dan 38 persen. Sisanya disumbang oleh bus (9 persen), truk kecil (8 persen), dan truk besar (6 persen). Walaupun jumlah mobil lebih sedikit ketimbang sepeda motor, tapi satu unit mobil mengeluarkan emisi CO2 jauh lebih banyak daripada satu unit sepeda motor.

Sebetulnya emisi kendaraan di jalan raya dapat diserap oleh tumbuhan di sepanjang jalan. Seperti kita ketahui, tumbuhan butuh CO­2 untuk proses fotosintesis. Tapi bagai manusia yang kalau makan kebanyakan jadi mual, tumbuhan juga bisa enek kalau kebanyakan CO2. Akhirnya, tak seluruh CO­2 di jalan raya ia serap. Sisanya dilepas ke atmosfer.

Baca juga: Gempa Lombok dan Rumah Kita

Jan Probowo Harmanto, peneliti di Pusat Studi Transportasi dan Logistik (Pustral) UGM meneliti seberapa banyak emisi CO2 di jalan-jalan utama Jogja dan seberapa besar CO2 yang mampu diserap oleh tumbuhan di sepanjang masing-masing jalan. Ia menggunakan dasar emisi CO2 dari Kementerian Lingkungan Hidup 2013 yang kemudian diproyeksikan ke tahun 2016. Peningkatan jumlah emisi CO2 ia asumsikan setara dengan pertumbuhan kendaraan bermotor per tahun di Kota Jogja, yaitu 7,24 persen.

Hasil penelitian Jan menunjukkan, 70 persen jalan utama di Kota Jogja sisa emisi CO2-nya positif. Artinya, jalan-jalan tersebut menyumbang emisi CO2 ke atmosfer karena tumbuhan, lahan terbuka, dan unsur-unsur lain di jalan itu tak lagi mampu menjinakkan asap knalpot.

Sisa emisi CO2 terbesar terjadi di Jalan Taman Siswa, yaitu 6.669,5 ton/km/tahun. Emisi CO2 di jalan yang panjangnya 1,56 kilometer ini memang menjadi yang terbesar yaitu 8189,7 ton/km/tahun, tapi serapannya hanya 1520,2 ton/km/tahun. Sedangkan jumlah emisi terendah berada pada Jalan KH Ahmad Dahlan, yaitu 205,1 ton/km/tahun.

Serapan tertinggi terdapat pada Jalan Sorogenen yaitu 2249,3 ton/km/tahun dan serapan terendah pada Jalan Pasar Kembang yaitu 876,9 ton/km/tahun. Walaupun serapannya terendah, tapi emisi CO2 di jalan ini hanya 1150,6 ton/km/tahun.

Meskipun penelitian ini meniadakan beberapa parameter yang berpengaruh seperti jenis tumbuhan di jalan dan serapan lahan kosong, tapi hasilnya bisa dipakai sebagai patokan awal dalam merancang kebijakan. Secara sederhana, ada dua hal yang dapat dilakukan, yaitu mengurangi jumlah kendaraan pribadi dan menambah vegetasi yang efektif menyerap emisi tapi tak merusak struktur jalan.

Pilihan pertama tampak agung tapi sungguh, menerapkannya sangat butuh keteguhan. Bagaimana mungkin sebuah pemerintah daerah mengurangi kendaraan pribadi sedangkan sebagian besar pemasukannya berasal dari pajak kendaraan? Menurut Firdaus (2014), kontribusi pajak kendaraan bermotor terhadap pendapatan asli daerah DIY pada tahun 2013 sebesar 37,68 persen. Meski data tersebut di DIY, tapi kecenderungan di kabupaten/kota lain pun sama, termasuk Kota Jogja.

Saya tidak akan bercerita lebih lanjut soal perdebatan solusi pengurangan kendaraan pribadi di sini, karena bakal out of topic. Cerita tentang hal itu bisa dibaca di artikel lain di website ini.

klik ya biar kliatan

Untuk pelaksanaan langkah yang kedua, yaitu menambah vegetasi agar serapan CO2 di jalan makin tinggi, tantangannya berada pada koordinasi antardinas. Untuk satu ruas jalan, ada beberapa dinas yang terlibat, sebut saja dinas pekerjaan umum yang berkaitan dengan struktur jalan, dinas perhubungan yang bertanggung jawab pada sistem lalu lintas, dan dinas lingkungan hidup yang berkewajiban meningkatkan kualitas lingkungan hidup dan ruang terbuka hijau. Maka, kuncinya ada di wali kota/bupati/gubernur untuk memastikan yang dilakukan masing-masing dinas senafas dengan misi pengurangan emisi kendaraan. Penelitian, perancangan, hingga rekomendasi sudah menumpuk. Tinggal kesungguhan mengeksekusi.

Masalah polusi udara akibat kendaraan memang rumit apabila para pegawai pemerintahan belum menyadarinya, lebih-lebih pengendara. Riuh dari ibu kota yang berasal dari protes beberapa orang terhadap kebijakan ganjil-genap yang diperluas, dengan berargumen bahwa mereka telah membayar pajak tapi kok dibatasi, apabila dipandang dari kaca mata lingkungan sungguh itu adalah ketidaksadaran yang akut. Pertanyaannya: apakah uang pajak kendaraanmu dapat menutupi biaya polusi yang mendera hidung, mata, hingga telinga orang-orang yang berada di sepanjang jalan yang kamu lalui setiap harinya? Mari jangan hanya sinis pada dana kesehatan versus pajak rokok.

Referensi:
Harmanto, J.P. 2018. Perhtiungan Emisi dan Serapan Karbon Dioksida (CO2) pada Beberapa Ruas Jalan Utama di Kota Yogyakarta. Yogyakarta: Pustral UGM

Firdas, R.B. 2014. Konstribusi Pajak Kendaraan Bermotor terhadap Pendapatan Asli Daerah, Daerah Istimewa Yogyakarta Tahun 2010-2013. Tugas Akhir. Universitas Negeri Yogyakarta

Kategori
Society Transportasi

Mengapa Jalan Magelang Angka Kecelakaannya Tertinggi di Sleman?

Bukan di Jalan Magelang btw, cuma ilustrasi
Difoto oleh Mr. Path

Kabar mengejutkan itu datang menjelang subuh. Saya kemudian mengayuh sepeda ke rumah sakit Bethesda. Di sana sudah ada orang tua dari teman SMA saya. Teman saya itu baru saja meninggal setelah mengalami kecelakaan di Jalan Magelang-Jogja. Stang kiri motor yang ia kendarai menyenggol bak pick up yang parkir di bahu jalan.

*** 

Selasa 17 Juli 2018, teman sekampus saya, Intan Tyalita Prendanadia mempresentasikan tugas akhirnya di Teknik Sipil dan Lingkungan UGM. Ia menganalisis keselamatan jalan Jogja-Magelang KM 7 sampai 11 serta usulan perbaikannya.

Pertama Intan menyampaikan bahwa, jalan Jogja-Magelang merupakan jalan dengan tingkat kecelakaan paling tinggi di Kabupaten Sleman. Itu berdasarkan data Satlantas Polres Sleman yang dikutip oleh Febrianto dalam skripsinya yang berjudul Identifikasi Lokasi Rawan Kecelakaan (Studi Kasus: Jalan Magelang km 7 – km 16).

Dari hasil penelusuran Intan, bahu luar jalan ini hanya 50 sentimeter dan bahu dalamnya 25 sentimeter. Bahu jalan diperkeras dengan aspal, sama seperti badan jalannya. Namun, di beberapa bagian lain, bahu luar jalan lebih lebar, yaitu 100 sentimeter yang terdiri dari 25 sentimeter diperkeras dan 75 sentimeter tidak diperkeras (berupa tanah).

Bahu jalan amat penting di jalan raya. Ia memfasilitasi keadaan darurat kendaraan yang sedang melintas, misalnya ban kempes. Ia juga berfungsi sebagai tempat berhenti kendaraan. Sehingga, lebar bahu jalan haruslah cukup untuk menampung lebar kendaraan yang boleh melintas di situ. Bahu jalan yang terlalu sempit dapat membahayakan pengguna jalan.

Karena jalan ini merupakan jalan nasional arteri primer kelas II, maka menurut Permen PU Nomor 19 Tahun 2011, lebar bahu luar seharusnya 2 meter dan bahu dalam 0,5 meter. Intan menyarankan bahu luar jalan ini diperlebar menjadi 2 meter dan diperkeras rata dengan badan jalan.

Median Jalan Magelang juga tidak memenuhi persyaratan. Bangunan yang memisahkan Jalan Magelang menjadi dua jalur ini mempunyai lebar 95 sentimeter dengan konfigurasi 25 cm untuk kedua bahu dalam dan 45 cm untuk bangunan pemisahnya. Di bagian yang lain ada yang lebar bangunan pemisahnya 80 cm dengan lebar bahu dalamnya juga 25 cm. Kedua median ini mempunyai tinggi 30 sentimeter. Padahal, standar median untuk Jalan Magelang seharusnya 2 meter dengan konfigurasi 75 cm (bahu dalam) + 50 cm (bangunan pemisah) + 75 cm (bahu dalam). Median juga seharusnya dilengkapi bangunan penghalang setinggi 1,1 meter.

Median Jalan Magelang di beberapa bagian sengaja diputus sebagai tempat putar balik. Panjang fasilitas putar balik yang tersedia bervariasi antara 15 sampai 20 meter. Apabila ditinjau fasilitas putar balik yang paling pendek, yaitu 15 meter, dan median yang paling lebar yaitu 80 cm, maka mobil kecil saja yang mempunyai radius putar minimum 4,2 meter akan kesulitan melakukan putar balik. Intan menyatakan kendaraan tersebut tidak dapat melakukan manuver dari sisi paling dalam lajur ke sisi paling dalam lajur di jalur lawan. Gambar berikut mengilustrasikan hal tersebut.

Digambar oleh Intan
Anda bisa membayangkan berkendara di jalur yang bawah lalu Anda harus berhadapan dengan perilaku mobil seperti di gambar di atas…

Intan mengusulkan dua opsi. Pertama, median jalan diperlebar hingga 8 meter, agar sesuai dengan aturan Perencanaan Putaran Balik No. 06/BM/2005. Sehingga, mobil dapat melakukan putar balik dengan leluasa. Akan tetapi, memperlebar median hingga 8 meter dirasa terlalu sulit.

Opsi kedua, cukup memperlebar median sehingga lebar totalnya 2 meter, tetapi membuat lajur tambahan untuk fasilitas putar balik di jalur lawan. Intan mengusulkan panjang lajur tambahan ini 30 meter, seperti dapat dilihat pada gambar berikut.

Digambar oleh Intan
Persimpangan di Jalan Magelang ternyata juga mempunyai masalah, yakni simpang di km 10 (Lapangan Denggung) dan yang berada di km 10,5. Kedua simpang ini tidak saling tegak atau tidak 90 derajat. Akibatnya, pengendara mengalami kesulitan saat hendak berbelok dari lengan satu ke lengan lain yang memiliki sudut kurang dari 90 derajat. Belokannya terlalu tajam. Intan mengusulkan belokan yang terlalu tajam tersebut dipotong agar lebih nyaman dan berkeselamatan. Usulan Intan tersebut dapat dilihat di gambar berikut.
Simpang Denggung km 10 (digambar oleh Intan)
Simpang km 10,5 (digambar oleh Intan)
Beberapa hal lain perlu diperbaiki di Jalan Magelang ialah pohon yang menutupi jarak pandang, rambu, dan lampu merah-kuning-ijo; saluran drainase yang terisi sampah; papan iklan yang mengganggu jarak pandang; serta marka jalan yang sudah pudar.

Pembenahan geometri Jalan Magelang berguna untuk mengurangi angka kecelakaan di jalan tersebut. Setidaknya, apabila terjadi kecelakaan, pengendara tidak mendapatkan efek yang serius. Karena nyawa tak ada harganya.

Data kecelakaan pun mesti ditingkatkan lagi kualitasnya. Karena selama ini data kecelakaan hanya tersedia angkanya saja. Penyebab kecelakaannya tidak diketahui. Padahal itu berguna untuk memilih langkah pencegahan yang tepat.

Dandy IM
PijakID
Kategori
Transportasi

Agar NYIA Tak Menimbulkan Masalah Baru

Foto oleh Estu

Hingga saat ini, isu pembangunan New Yogyakarta International Airport (NYIA) di Kulon Progo masih menuai pro dan kontra. Terlepas dari pro dan kontra tersebut, satu hal yang jelas ialah pembangunan NYIA disebabkan oleh ketidakmampuan bandara Adisucipto melayani penumpang yang terus membeludak. Namun, apabila suatu saat bandara baru ini benar-benar terwujud, ada persoalan transportasi lain yang sungguh penting untuk diperhatikan.

Beberapa studi menunjukkan, pengguna Bandara Adisucipto didominasi oleh masyarakat yang menetap di Kota Yogyakarta dan Sleman. Apabila bandara komersial dialihkan ke Kulon Progo, maka bisa dibayangkan betapa jalan di sisi barat Jogja akan sangat padat apabila tiap penumpang membawa kendaraan pribadi masing-masing. Ya mungkin beberapa penumpang mulai menggunakan angkutan sewa online, tapi itu sama saja dengan kendaraan pribadi.

Kenyataan ini tentu saja menimbulkan permasalahan baru dalam bidang transportasi, yaitu kemacetan. Beberapa opsi bisa dipilih sebagai solusinya. Di antaranya yaitu mengembangkan bus rapid transit (BRT) dan kereta bandara. Yang disebut terakhir sangatlah menarik untuk dibahas, karena setumpuk keunggulan yang dimilikinya.

Baca juga: Hati-Hati Kecanduan Jalan Tol

Jaringan Transportasi Wilayah Wates – Kedundang

Dengan jarak antara Kota Yogyakarta dengan lokasi calon NYIA yang mencapai 45 km, akan menyulitkan apabila masyarakat ingin menuju bandara melalui jalan raya. Sehingga, diperlukan angkutan massal berupa kereta api yang menghubungkan Kota Yogyakarta dengan NYIA. Alasan ini diambil karena kereta api lebih cepat, ramah ligkungan, dan membutuhkan ruang yang lebih sempit.

Proses pembangunan kereta api bandara tidaklah dengan membuat jalur baru, akan tetapi menggunakan jalur yang sudah ada. Namun, khusus di Stasiun Kedundang, perlu dibangun jalur baru. Kepala Bidang Sistem Transportasi Non Jalan, Deputi Sistem Transportasi Multimoda Kemenko Perekonomian Dwinanta Utama mengatakan bahwa jalur yang sudah ada saat ini sepanjang 40 km. Sehingga, hanya perlu ditambah jalur baru sepanjang kurang lebih 5,4 km. Pembangunan jalur kereta api ini pun memiliki dua skenario, yang pertama berada di darat, lalu skenario kedua adalah elevated atau melayang. Baik jalur yang berada di darat maupun jalur elevated, jalur kereta api hanya membutuhkan lebar lahan yang tidak telalu luas. Lebar lahan yang dibutuhkan untuk ruang bebas kereta sebesar 4 meter untuk jalur tunggal, dan 8 meter untuk jalur ganda. Dengan lebar 8 meter dan panjang lintasan baru sebesar 5.400 meter, maka total luas lahan yang dibutuhkan hanya 43.200 meter persegi. Hal ini menunjukkan bahwa dengan adanya kereta api bandara akan lebih menguntungkan daripada harus melalui jalan raya.

Satu hal yang menjadi catatan penting, sarana dan prasarana perkeretaapian ini harus sudah selesai dan siap beroperasi sebelum bandara NYIA selesai dibangun. Pasalnya, bandara yang akan berkelas internasional ini akan menyedot banyak penumpang yang mesti bertempur di jalan aspal apabila tidak ada layanan kereta api ke sana. Para calon penumpang pun tak lagi membuang-buang waktunya di jalanan, terutama yang bepergian untuk urusan bisnis.

 

Rencana Jalur Kereta Bandara Wates-Kedundang
Faktor yang akan mempengaruhi keberhasilan pembangunan kerata bandara

Martin (2015) telah melakukan penelitian terhadap sejumlah responden mengenai fasilitas yang perlu disediakan. Survei dilakukan secara acak pada calon penumpang kereta api yang berada di Stasiun Yogyakarta. Hasilnya fasilitas yang dibutuhkan terdiri dari:

1) Faktor mutu pelayanan
 Meliputi kenyamanan dari fasilitas kereta bandara, ketersediaan informasi yang jelas di dalam kereta dan stasiun, lalu kebersihan kereta bandara.

2) Faktor kebutuhan penumpang
Meliputi pemberlakuan tarif yang sesuai dengan pelayanan yang diberikan dan kepastian dalam mendapatkan tempat duduk.

3) Faktor kinerja kereta bandara
Meliputi ketepatan waktu datangnya kereta api bandara dan efisiensi waktu tempuh perjalanan.

4) Faktor operasi kereta bandara
Yaitu tersedia hanya satu kereta bandara, tanpa perlu transit terlebih dahulu.

Hasil lain yang didapatkan, adalah jumlah penumpang pada 3 tahun ke depan diperkirakan mencapai 10.530 orang per hari.

Pemerintah Perlu Lakukan ini

Satu hal yang paling penting diperhatikan jika ingin operasional kereta bandara itu berhasil, yakni menyediakan jaringan angkutan masal dalam kota. Sebelum gerbong kereta bandara dijalankan, sebaiknya pemerintah sudah menyediaan trayek angkutan umum di sekitar stasiun-stasiun yang akan memberangkatkan penumpang dari kota menuju stasiun NYIA di Kulon Progo. Termasuk membuat jaringan trayek bus atau angkot yang dapat mencakup semua wilayah kota sekaligus dapat menyinggung stasiun keberangkatan. Hal ini ditujukan untuk calon penumpang agar tidak menggunakan kendaraan pribadi untuk menuju ke stasiun. Begitu juga sebaliknya. Turis atau pendatang yang ingin berkunjung ke kota tidak perlu kebingungan mencari sarana transportasi untuk mengantarnya sampai tujuan yang diinginkan. 

Jika masih banyak calon penumpang menggunakan kendaraan pribadi (termasuk taksi/ojek) untuk mengakses kereta bandara, maka sama saja memindahkan kemacetan yang sebelumnya terjadi di daerah Bandara Adi Sucipto yaitu Jalan Raya Jogja-Solo menjadi di jalan-jalan kota sekitar stasiun. Yang seharusnya macet di Jalan Raya Wates menjadi macet di Stasiun Lempuyangan atau Stasiun Tugu. Sehingga, sudah barang tentu melihat macet di sekitar stasiun akan memotivasi masyarakat beralih menunggangi lagi kendaraan pribadinya untuk menuju Kulon Progo. Akibatnya? Lagi-lagi Jalan Wates yang akan jadi korban kemacetannya.

NYIA sudah menghasilkan banyak masalah dalam proses pembebasan lahan dan pembangunannya. Saatnya kini pemerintah lebih mematangkan rencana. Agar tidak timbulkan masalah kemacetan lagi saat masa operasionalnya telah tiba. Sehingga masyarakat tak lagi-lagi kecewa. Dan semua pihak bisa menikmati manfaatnya.

Sumber:

Martin,S. 2015. Prakiraan Permintaan Penumpang Pada Rencana
Pembangunan Kereta Api Bandara Di Kulon Progo. Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada
http://www.bbc.com/indonesia/indonesia-42262077
https://finance.detik.com/infrastruktur/d-3769880/bandara-kulon-progo-bakal-dilengkapi-kereta
http://e-journal.uajy.ac.id/5135/4/3TS13155.pdf

Estu Hanifan
Ridwan AN
Kategori
Beranda

Angkudes dan Bus Kota Sekarat! Selametin Nggak Ya…?

Bus Kota Jogja yang Makin Sekarat
Foto: Jogja Wisata Hitz
Tribun Jogja edisi 23 April 2018 melaporkan sekaratnya angkutan desa (Angkudes) Jogja di halaman pertamanya. Laporan itu bahkan diberi judul Angkudes Cuma Bawa Satu Penumpang.

Untuk mengetahui seberapa sekarat Angkudes di Jogja, ada dua parameter yang bisa dibandingkan untuk jangka waktu tertentu, yaitu jumlah armada dan trayek. Untuk daerah Sleman, awalnya ada 289 armada Angkudes. Namun, kini yang tersisa hanya 111 armada. Dari jumlah ini pun, yang beroperasi hanya 41 armada. Dengan berkurangnya armada yang signifikan bahkan lebih dari setengahnya ini, jumlah trayek di Sleman pun berkurang. Dari semula 16 rute trayek, kini tersisa 9 trayek. Bahkan yang benar-benar aktif pun hanya 7 trayek.
Di Kabupaten Bantul juga terjadi hal serupa. Pada 2012, masih ada 37 Angkudes yang beroperasi. Sejumlah armada ini melayani trayek berikut (data Dinas Perhubungan Bantul):

1. Pasar Bantul – Pasar Imogiri, dilayani 10 armada.

2. Pasar Bantul – Tugu Genthong, dilayani 3 armada.

3. Pasar Bantul – Pundong.

4. Pasar Bantul – Kretek.

5. Pasar Imogiri – Dlingo (lewat Munthuk).

6. Pasar Imogiri – Dlingo (lewat Seropan), dilayani 4 armada.

7. Pasar Bantul – Pleret.

8. Pasar Bantul – Krebet.

9. Dlingo – Rejoinangun, dilayani 16 armada.

10. Pajangan – Bantul – Pajangan, dilayani 4 armada.

Kini, tahun 2018, jumlah tersebut menurun drastis. Hanya tersisa 17 armada dengan trayek sebagai berikut:

1. Pasar Imogiri – Pencil – Seropan – Dlingo, dilayani 4 armada PP.

2. Pasar Bantul – Pasar Niten – Kasongan – Karangjati – Bangunjiwo – Sribitan – Tugu Genthong, , hanya dilayani 3 armada PP.

3. Pasar Bantul – Gose – RSUD Panembahan Senopati – Manding – Jetis – Barongan – Imogiri, dilayani 10 armada PP.

Kemudian, berdasarkan data Dishub Kulonprogo yang dikutip Tribun Jogja, jumlah Angkudes yang tersisi di Kabupaten Kulonprogo hanyalah sekitar 50-an armada. Jumlah ini berkurang lebih dari 50 persen, karena sebelumnya jumlah armada mencapai ratusan. Jumlah trayeknya pun berkurang sampai 60 persen, yaitu dari 33 trayek menjadi hanya 13 trayek aktif yang tersisa.

Menanggapi isu ini, Guru Besar Transportasi Teknik Sipil UGM, Sigit Priyanto menyatakan bahwa pemerintah daerah harus memberi subsidi untuk Angkudes. Pasalnya, kebijakan untuk Angkudes tidak bisa diperdiksi berdasarkan demand atau kebutuhannya. Sebab, fungsi Angkudes sebetulnya adalah mengembangkan ekonomi daerah dengan membuka akses ke daerah yang terisolir. Kebijakan pemerintah melepas pengusaha Angkudes mencari pemasukan hanya dari tarif penumpang adalah langkah yang tak bijak.

Pemberian subsidi kepada Angkudes, menurut Sigit, bukannya tidak mendatangkan manfaat. Sigit menyebut hidupnya Angkudes akan menghidupkan perekonomian suatu daerah dan wilayah tersebut akan maju. Proyek-proyek perumahan akan tumbuh di wilayah yang dilalui Angkudes. Hal ini akan berdampak pada naiknya harga tanah dan Pajak Bumi Bangunan (PBB) yang ujung-ujungnya meningkatkan pendapatan daerah.

Organisasi Angkutan Darat (Organda) mengusulkan Angkudes diberdayakan menjadi angkutan di lajur wisata setiap daerah/kabupaten. Angkudes diharapkan dapat mengambil peran di jalur-jalur wisata yang medannya sulit dan kerap terjadi kecelakaan. Misalnya, wisata daerah Menoreh Kulon Progo dan Gunung Kidul. Namun, ide ini perlu dukungan dari pemerintah dengan kebijakannya, misal bus besar pariwisata diatur tidak perlu naik ke lokasi wisata, tapi hanya sampai area parkir saja. Selanjutnya, wisatawan atau rombongan melanjutkan perjalanan menggunakan Angkudes.

Kondisi bus kota pun tidak kalah menyedihkannya. Jumlah armada yang semula sekitar 590, pada tahun 2015 hanya tersisa sekitar 190-an. Mungkin tahun ini jumlahnya lebih sedikit lagi.

Beberapa kalangan menilai, nyaris matinya Angkudes dan bus kota disebabkan oleh kemudahan masyarakat mendapatkan kendaraan pribadi. Kemudahan akses kendaraan pribadi di jalan juga menambah pemicu rendahnya minat masyarakat naik angkutan umum. Jumlah angkutan pribadi pun membeludak.

Sebetulnya, Dishub DIY sudah punya konsep makro angkutan umum di D.I. Yogyakarta. Dalam konsep tersebut telah dicantumkan peran Angkudes dan Bus Kota atau Angkutan Kota Dalam Provinsi (AKDP). Konsep tersebut dapat dilihat pada Gambar berikut.

Konsep Dasar Transportasi Umum DIY
Sumber: Dishub DIY
Dari gambar di atas dapat dilihat bahwa Angkudes punya peran sebagai pengumpul penumpang di kawasan pedesaan. Angkudes juga direncanakan dapat menjadi penghubung di daerah-daerah yang tidak bersinggungan dengan trayek angkutan perkotaan.

Sementara itu, AKDP difungsikan sebagai angkutan pengumpan (feeder). Ia sebagai penghubung penumpang yang sudah dikumpulkan Angkudes di titik-titik kumpul dengan daerah kota. Selanjutnya, setelah penumpang masuk daerah kota, ada Trans Jogja yang siap melayaninya.

Lebih jauh, Dishub DIY sudah merencanakan secara detail rencana pengembangan angkutan feeder. Trayek yang awalnya sebanyak 40 akan dilebur menjadi hanya 12 trayek saja. Sistemnya juga diharapkan terintegrasi dengan menerapkan konsep buy the service. Detail rencana tersebut dapat dilihat pada Gambar berikut.

Rencana Pengembangan Angkutan Feeder
Sumber: Dishub DIY
Maksud dari sistem buy the service ialah pemerintah menggandeng pihak swasta untuk memberikan pelayanan angkutan massal. Pemerintah membeli pelayanan yang disediakan oleh pihak swasta tersebut. Pembelian dilakukan dengan menghitung biaya pokok yang akan menghasilkan nilai rupiah per kilometer. Pihak swasta akan dibayar tetap berdasarkan perhitungan tersebut. Sistem ini disebut efektif untuk mengganti sistem setoran yang sudah lama menjerat aturan main angkutan massal.

Berbagai masalah ini akan didiskusikan di acara Ngaji Transportasi yang diselenggarakan oleh Pijak ID dan Pemuda Tata Ruang (Petarung) dan didukung oleh Innovative Academy UGM. Solusi-solusi yang sudah ada juga akan didiskusikan bersama tentang kelayakan dan keefektifannya. Setelah itu, langkah konkret yang bisa dilakukan oleh masing-masing aktor transportasi (pemerintah, swasta, dan masyarakat) juga perlu dirumuskan. Semua demi transportasi kita bersama yang lebih baik dan hidup kita yang lebih bahagia.

Untuk detail acara diskusi ini, dapat dilihat di poster berikut.
Desain oleh Ridwan AN

Dandy IM
PijakID
Kategori
Transportasi

Angkot Jogja Zaman Dulu dan Nasibnya Kini

Bicara soal transportasi umum, biasanya kita akan dengan mudah menyebutkan angkot, bus kota, metromini, bus trans, dan sebutan-sebutan lainnya. Namun, sejak beberapa tahun terakhir, sebutan-sebutan tadi menjadi terasa asing di telinga. Digantikan oleh sebutan abang Go-Jek/Grab/Uber atau malah pengemudi taksi online. Begitu pesatnya perkembangan teknologi, semua jadi terasa lebih mudah. Nggak perlu lah ya capek-capek nunggu bus di halte atau di pinggir jalan kalau pake ojol (ojek online) aja bisa lebih cepat. Toh, tarifnya murah. Waktu juga terasa lebih efisien karena nggak perlu mengalami momen ngetem.

Ketika akan bepergian dan malas membawa mobil, taksi online pun bisa jadi pilihan. Selain tarifnya yang ramah di kantong, pengemudinya juga ramah. Mobilnya gonta-ganti pula! Siapa yang nggak tergiur coba? Daripada pake taksi konvensional, udah mahal, kadang malah ditipu pake argo, eh masih ditambah supirnya yang nggak ramah. Apalagi kalau kita pesan taksi dari stasiun atau bandara, wah siap-siap deh bakal kena tarif mahal. Ini serius lho.

Saya pernah pesan taksi dari sebuah hotel di daerah Gejayan ke Bandara Adi Soetjipto dan dapat tarif 100rb Rupiah! Ya ampun mahal banget! Coba kalau pakai taksi online, uang yang saya bayarkan pun mungkin akan kurang dari 100rb Rupiah.

Meskipun berbagai kemudahan sudah ditawarkan oleh perusahaan jasa seperti Go-Jek, Grab Indonesia, dan Uber, tetapi kadang-kadang saya merindukan masa-masa ketika angkutan umum masih berjaya di Jogja. Saya naik angkot pertama kali ketika saya SMP. Sekolah saya waktu itu terletak di kawasan padat. Saking padatnya, ketika keluar gerbang sekolah saja saya sudah bisa menghadang angkot untuk pulang ke rumah.

Angkot yang saya naiki adalah jalur Jogja – Kaliurang. Biasanya angkutan dengan jalur ini berangkat dari terminal Condong Catur hingga ke daerah Taman Wisata Kaliurang. Tarifnya juga murah sekali, yaitu 5rb Rupiah untuk orang dewasa dan 3rb Rupiah untuk anak sekolahan. Tapi sesekali kita juga akan diminta tarif tambahan kalau jarak tempat pemberhentian kita jauh dari tempat kita menghadang angkot tersebut. Paling cuma nambah 2rb-3rb aja kok.

Sebetulnya kapasitas angkot ini, menurut saya, sekitar 10-15 orang saja. Tapi ya, namanya juga cari penumpang, kadang bisa mencapai 15-20 orang dalam satu mobil. Duh, pasti harus berdesak-desakan dong di dalam? Ya iyalah! Bahkan kursi yang umumnya untuk 2 orang saja bisa diduduki 3-4 orang. Tentu saja dengan posisi yang super nggak nyaman. Ada yang posisinya tegak, ada yang ‘nebeng’ karena pantatnya cuma kena secuil dari kursi, ada juga yang terpaksa dipangku. Hadeh.

Itu belum apa-apa ya. Karena mobil yang dipakai itu jenis mobil Colt Isuzu Diesel yang usianya udah tua bahkan di beberapa bagian sudah karatan dan berlubang, makanya angkot tersebut sering batuk asap. Tidak jarang, para penumpang harus bersabar kalau angkot ini mendadak ngambek alias mogok. Ditambah lagi, aroma bensin juga suka muncul dari tangki yang letaknya, saya curigai, berada di dalam mobil dan dekat kursi terdepan. Kalau sudah merasakan bau asap dan bensin, siap-siap pasang masker deh.

Spot favorit saya ketika naik angkot adalah yang sebelah jendela dan tidak jauh dari pintu keluar. Alasannya sederhana saja, saya suka banget memandangi jalanan. Selain itu, spot ini juga jarang banget didesak sama penumpang lain. Cuma kalo lagi apes, ya saya terpaksa duduk di kursi paling belakang. Kalau mau keluar susah banget!

Saya sebal sekali kalau angkot yang saya tumpangi ‘ngetem’ di Pasar Colombo, Jalan Kaliurang kilometer 7. Soalnya, saya pasti akan berdesakan dengan mbah-mbah yang baru pulang dari pasar. Belum lagi barang-barang si mbah yang kadang hampir menutupi pintu keluar angkot. Selain itu, ada juga anak sekolahan lain yang hobinya bergelantungan di pintu keluar sambil teriak-teriak nggak jelas.

Ketika duduk di bangku SMA, sekitar tahun 2011-2014, saya mulai jarang pakai angkot ini. Apalagi selama di SMA saya pulangnya sore terus, suka khawatir kalau angkot ini sudah nggak narik. Salah satu kekurangan moda transportasi ini adalah jam operasionalnya nggak 24 jam. Boro-boro 24 jam, kadang-kadang jam 5 sore saja angkot ini udah nggak narik penumpang. Dulu belum ada ojek online lho! Jadi, kalau saya pulang lebih dari jam 5 sore pilihannya cuma nunggu dijemput atau nebeng temen.

Ngomong-ngomong, angkot yang saya maksud ini sudah beroperasi sejak tahun 1980-an lho! Bahkan pada tahun 2011-2014, angkot ini masih rajin berlalu-lalang di sepanjang Jalan Kaliurang. Namun beberapa tahun terakhir, angkot ini sudah mulai hilang dari jalanan. Lagi pula, saya sudah nggak pakai jasanya lagi sejak lulus SMA.

Saya rasa, hilangnya angkot dari jalanan ya karena supirnya sudah merasa kalah bersaing. Dulu mungkin saingannya hanya Trans Jogja saja, tapi sekarang sudah ada ojek dan taksi online. Para penumpang pun lebih memilih angkutan yang lebih efesien, cepat, dan mudah. Membayangkan harus berpanas-panas di pinggir jalan hanya untuk sekadar menunggu angkot saja sudah cukup melelahkan. Toh, sekarang sudah ada aplikasi Go-Jek/Grab/Uber di smartphone, yang layanannya bisa dipakai kapan saja dan di mana saja.

Ada satu pengalaman yang membuat saya ‘menyerah’ untuk menggunakan transportasi umum di Jogja. Saat itu, sepulang kuliah, saya iseng pulang naik angkot Jogja–Kaliurang. Saya pun menunggu di pinggir jalan (di timur Fakultas Farmasi UGM). Awalnya saya merasa wajar jika harus menunggu lama. Lagi pula waktu itu sudah menunjukkan pukul 11:00 dan mendekati waktu Jumatan. Mungkin saja supirnya terbatas.

Namun setelah 15-20 menit menunggu, kok angkot yang saya tunggu-tunggu tidak kunjung datang. Akhirnya pada menit ke-30, angkot itu baru muncul. Sebetulnya saya tidak masalah jika harus menunggu lama, tetapi kalau angkot itu masih harus ngetem 10-15 menit di beberapa tempat, tentu menjadi masalah bagi saya. Apalagi kalau saya sedang diburu oleh waktu. Rasanya pengen terbang aja deh biar cepet sampai.

Menurut perhitungan saya, jarak rumah saya dan kampus itu sekitar 7 km yang berarti hanya butuh 15-20 menit aja kalau naik motor. Sedangkan kalau naik angkot, bisa menghabiskan waktu sekitar 45 menit sampai 1 jam. Tentunya angkot bukan pilihan yang tepat bagi orang-orang yang menginginkan efisiensi waktu, termasuk saya.

Kategori
Transportasi

Akankah Bandara Kulon Progo Hormat Pada Tsunami?

Foto: TirtoID

Menurut laporan Gesit Ariyanto di harian Kompas (26/11), akhir Oktober lalu, tim perancang New Yogyakarta International Airport (NYIA) berkunjung ke Kochi Ryoma Airport di Jepang. Mereka berkunjung untuk mempelajari cara bandara Kochi menghormati fenomena alam bernama tsunami.

Bandara Kochi memang belum pernah didatangi tsunami. Namun, pengalaman bandara Sendai yang lumpuh saat terkena tsunami membuat para pengelola bandara di bagian Selatan Jepang itu berbenah. Mereka tidak ingin kejadian di Sendai terjadi juga di Kochi. Kala itu, ratusan orang terjebak di atap terminal bandara Sendai selama dua hari – sesuatu yang sangat memalukan di Jepang. Tidak ada bantuan datang karena lumpuhnya berbagai akses ke bandara.

Setelah kejadian memilukan itu, pengelola Bandar Udara Kochi mengubah desain terminalnya. Mereka mengusahakan lantai satu terminal tidak terlalu lama disinggahi para penumpang. Fasilitas yang ada di lantai tersebut tidak membuat penumpang berkerumun, seperti ATM, pengecekan bagasi, dan satu toko buah dan sayuran. Pintu keberangkatan berada di lantai dua. Dinding lantai satu juga didominasi oleh kaca dan material ringan, bukan susunan bata kaku. Sehingga, tsunami dapat dengan mudah melewati bangunan (menjebol kaca). Dinding kaku tidak dipilih karena akan membuat beban dari gelombang tsunami lebih besar bekerja pada tiang-tiang bangunan. Terminal di sana juga tidak mempunyai basement.

Apabila tsunami terjadi, evakuasi diarahkan ke lantai tiga. Petunjuk arah diberikan secara lengkap. Ada persediaan makanan yang cukup untuk beberapa hari. Tinggi lantai tiga dari tanah 9,15 meter. Sebab syarat tempat evakuasi yang aman dari tsunami tingginya 6 meter.

Para pengelola Kochi menganggap, kerusakan pesawat, landasan pacu, dan arsitektural lantai dasar tidak lebih berharga daripada nyawa manusia. Keselamatan manusia adalah yang paling utama.

Itu cerita dari negara di kawasan Asia Timur sana. Di pesisir Selatan Jawa, tepatnya di Kulonprogo, DIY, akan dibangun juga bandara yang berdekatan dengan bibir pantai. Calon bandara itu akan sangat berdekatan dengan laut yang secara kasat mata saja tidak tenang. Ombaknya berdeburan. Anginnya menekan-nekan wajah.

Baca juga: Musim Hujan: Potensi Bencana Likuifaksi

Menurut laporan Widjo Kongko, ahli tsunami di Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT), potensi gempa di Selatan Jawa, termasuk Kulon Progo mencapai magnitudo (M) 8 hingga M 9. Apabila gempa terjadi sebesar M 8,3, berdasarkan simulasi yang dilakukan Widjo, tsunami bisa terjadi dengan ketinggian 10-15 meter di pantai Temon. Daratan yang akan terkena dampak tsunami bisa mencapai 2 kilometer.

Hasil kajian Transformasi Cita Infrastruktur (TCI), apabila gelombang tsunami yang terjadi tingginya 10 meter saja, maka air akan menggenangi sekitar 305 hektare lahan. Artinya, landasan, apron (tempat parkir) pesawat, dan terminal akan terendam. Hal ini akan terjadi jika lanskap kawasan bandara tetap dibiarkan seperti sekarang.

TCI memberikan rekomendasi untuk mengurangi daya rusak tsunami. Disarankan, topografi diubah menjadi gumuk pasir dan pembuatan sabuk hijau sepanjang 50 meter ke arah daratan. Dengan skenario semacam ini, luas genangan yang akan tersisa hanya 3,5 hektare (1,1%).

Grafis: Ridwan AN

Langkah mitigasi tersebut baru membahas pencegahan kerusakan bangunan fisik bandara. Selain itu, mitigasi juga perlu membahas tentang manajemen penyelamatan manusia yang sedang berada di bandara. Karena, seperti yang diterapkan oleh Jepang, keselamatan manusia menjadi yang paling penting. Semoga saja ilmu yang didapat oleh tim desain bandara dari Kochi, Jepang, dapat diterapkan juga di Kulon Progo dengan menyesuaikan karakter lokal. Kochi sudah memberi contoh bagaimana kita mesti menghormati tsunami dengan mengikuti perilakunya. Sebab tsunami tak bisa dilawan. Kita yang harus menyesuaikan. Akankah bandara baru di Kulon Progo juga akan begitu?

Dandy IM
PijakID  
Kategori
Transportasi

Pendirian Bangunan Asal-asalan, Banjir Menerjang Jogja

Walau sore masih rintik, warga melihat jembatan Nganggen yang runtuh. Kerusakan ini membuat akses mereka ke desa sebelah harus melalui jalan yang lebih jauh.
Foto: Dandy IM

Jembatan Nganggen, di Bantul, DIY, runtuh terbawa banjir pada Selasa (28/11). Hanya tersisa fondasi jembatan yang termangu sendirian. Balok jembatan, kerikil, dan aspal berguling-guling terbawa aliran air. Itu terjadi di siang hari yang gulita. Saat tetesan hujan masih terjun bebas. Hilangnya jembatan itu membuat dua desa, Tamantirto dan Bangunjiwo, menjadi terpisah.

Kejadian ini menjadi sangat krusial – meski terjadi di wilayah pinggiran. Sebab pada prinsipnya, sekali jalan dibangun, tidak boleh ditutup. Makanya, ketika ada perbaikan, jalan tak boleh ditutup sama sekali. Separuh badan jalan tetap harus disediakan bagi para pengendara.

Dugaan awal akan cepat menyalahkan konstruksi jembatan. Terutama orang-orang yang hanya memantau kejadian lewat layar yang hanya segenggam. Media arus utama juga tidak memberikan penjelasan yang tuntas. Seakan-akan ini hanyalah keruntuhan jembatan biasa di desa yang biasa-biasa saja. Esok atau lusa, kita sudah lupa.

Mungkin jembatan itu memang dibangun asal-asalan dan tidak ada perawatan. Tetapi, banjir yang menggenang sampai 40 meter dari bibir sungai jelas bukanlah beban yang wajar bagi jembatan Nganggen. Bentang jembatan yang hanya 15 meter tentu bukan lawan sepadan bagi terjangan arus banjir sebesar itu.

Grafis: Ridwan AN

Lalu, kenapa terjadi banjir? Mengapa di daerah yang masih banyak sawah dan permukimannya tidak padat tergenang air? Apakah hujan yang tak henti-henti selama dua hari menjadi penyebab utamanya?

Intensitas hujan yang tinggi memang menjadi penyebab. Namun, dengan menyadari bahwa genangan air itu tidak tenang-tenang saja, tapi mengalir sepanjang bantaran sungai, tentu bisa disimpulkan bahwa ini adalah banjir kiriman. Topografi Jogja yang miring dari Utara ke Selatan, membuat kita paham dari mana banjir itu datang.

Lebar sungai di bawah jembatan Nganggen sekitar 8 meter. Dengan lebar sebesar itu dan bentuk tampang sungai yang mendekati trapesium, dapat diperkirakan debit maksimum yang dapat ditampung adalah 11 meter kubik per detik.

Untuk mengukur perkiraan debit banjir yang terjadi, perlu penelusuran DAS (Daerah Aliran Sungai) di daerah hulu (sebelah Utara) Jembatan Nganggen. DAS adalah daerah yang berpengaruh terhadap volume air yang mengalir di sungai. Sederhananya, air hujan yang jatuh di daerah ini, setelah melalui saluran atau mengalir di dalam tanah, akan bermuara di sungai. Berikut hasil penelusuran tim riset Pijak menggunakan Afri GIS.

Grafis: Ridwan AN

Luasan DAS yang ditinjau oleh tim riset Pijak adalah 673 hektare. Dari luasan ini, 479 hektare berupa perumahan padat, gudang/pabrik, dan jalan (warna merah). Bila dirata-rata, koefisien limpasan daerah semacam ini adalah 0,9. Artinya, apabila menggunakan drainase konvensional yang anti-air, maka 90 persen air hujan akan mengalir ke sungai. Sedangkan luas sisanya berupa sawah seluas 194 hektare (warna hijau). Untuk daerah sawah, besarnya koefisien limpasan adalah 0,6. Sehingga, air yang mengalir keluar dari sawah menuju sungai sebanyak 60 persen.

Baca juga: Mencegah Banjir Sejak Dari Rumah

Hujan yang mendera daerah Jogja dari Senin (27/11) sampai Selasa (28/11) yang nyaris tanpa jeda itu, membuat intensitas hujan menjadi tinggi, sekitar 300 mm. Dengan intensitas hujan sebesar ini, dan koefisien limpasan serta luas DAS yang sudah dijelaskan sebelumnya, perkiraan debit yang akan diterima sungai di Jembatan Nganggen sebesar 19 meter kubik per detik. Maka, ada air sebesar 8 meter kubik per detik (19 dikurangi 11) yang tidak dapat ditampung oleh sungai. Kelebihan air inilah yang menggenangi sawah di kiri-kanan sungai, dan merusak tanamannya. Aliran air ini jugalah yang memberikan tekanan tambahan pada jembatan Nganggen. Tekanan terus menerus dari aliran air ini membuat jembatan runtuh. Sebab jembatan itu tidak didesain menahan aliran air sebesar itu.

Semoga ulasan ini dibaca oleh para manusia yang mendirikan bangunan di Utara jembatan Nganggen. Karena, kiriman air hujan dari bangunan-bangunan itulah yang sejatinya menyebabkan runtuhnya jembatan tersebut – sekaligus membuat dua desa terpisah. Keputusan para penghuni rumah itu untuk membuang saja air hujan yang jatuh di genteng rumah mereka melalui saluran atau jalan aspal telah membuat para petani hanya bisa memandangi tanamannya yang porak-poranda diterjang banjir. Tidak hanya itu, kiriman banjir dari bangunan asal-asalan itu telah mengancam para penghuni rumah di sekitar jembatan. Mereka takut jiwa dan harta bendanya diterjang banjir yang semakin meninggi.

Kali ini jembatan Nganggen yang runtuh. Bisa saja esok, lusa, bulan depan, atau tahun depan, giliran bangunan publik lain di Selatan Jogja yang binasa. Itu bisa saja terjadi jika pendirian bangunan di daerah pusat Kota Jogja terus berlangsung secara sporadis.

Kondisi semacam ini semestinya tidak dibiarkan. Perlu gerak bersama untuk mengubah cara pandang kita. Air hujan yang mendarat di atap rumah kita, itu menjadi milik kita. Sebaiknya kita simpan saja. Selain karena limpasan air itu mengancam orang lain yang berada di wilayah yang lebih rendah, air juga mulai langka. Tidak cukupkah kabar kekeringan di berbagai daerah menjadi pelajaran bagi kita untuk mulai menyimpan persediaan air? Meskipun kita tinggal di kota, yang pasokan airnya mungkin aman, tapi air hujan juga bisa mengurangi kadar pencemaran di sekitar rumah. Dengan meresapkan air hujan, limbah-limbah yang bersembunyi di dalam tanah sekitar rumah menjadi lebih encer.

Apabila masih ngotot untuk tidak mengubah pola pendirian bangunan, lalu apakah mau mengganti rugi berbagai kerusakan dan kerugian yang disebabkan oleh air kiriman dari rumah kita? Namun, jika pun kita malah lebih suka mengganti beragam kerusakan itu, daripada mencegahnya, berarti kita masih terjebak di kubangan yang sama. Kita masih lebih suka memperbaiki kerusakan daripada mencegahnya (mitigasi). Kita masih lebih tertarik untuk kelayapan saat bencana terjadi daripada memikirkan solusi agar kejadian itu tidak terulang lagi.

Dandy IM
PijakID
Kategori
Beranda

Jogja, Ilheus, Makassar, dan Imajinasi Negeri Maritim

Ucapan ngarsa dalem itu sudah sebulan lamanya. Kala itu serasa biasa saja. Tetapi pekan ini, kalimat itu menggetarkan kembali gendang telinga saya. “Jogja sekarang pintunya menghadap ke Selatan. Dalam arti, memprioritaskan Samudera Indonesia. Samudera Hindia bisa menjadi kekuatan baru bagi masyarakat Jogja,” kata Sultan HB X usai dilantik jadi gubernur.

Getaran di telinga itu malah membuat saya ingat Ilheus. Sebuah kota yang sedang bergairah – ketika ceritanya ditulis. Tapi kemajuannya terhalangi oleh gundukan pasir di pelabuhannya yang sekarat. Mungkin, gara-gara baru selesai menulis tentang Gabriela, saya kemudian teringat Ilheus setelah membaca lagi ucapan sang Sultan. Perempuan tak tahu diri itu bukan saja mengacaukan perpolitikan di Ilheus, tapi juga pikiran saya. Ia bahkan mengalahkan Marlina Si Pembunuh.

Pelabuhan Ilheus punya masalah sedimentasi yang terlampau parah. Jogja sama. Pelabuhan Adikarto yang mulai dibangun tahun 2004, sampai sekarang hanya terlihat seperti kuburan. Yang bersandar hanyalah sampan-sampan kecil kosong muatan. Padahal, harapannya, pelabuhan ini bisa menjadi pusat perikanan terbesar di perlintasan Selatan.

Ilheus dibangun di atas ceceran darah yang tertimbun. Lahan tak bertuan itu diperebutkan para berandalan untuk berkebun kakao. Siapa yang kuat, ia yang menguasai lahan. Akibatnya, pemimpin kota itu adalah seorang yang beringas di masa mudanya, Ramiro Bastos. Ia punya kebun kakao berhektar-hektar. Kisah versi Jorge Amado, wali kota Ilheus adalah anaknya, dengan kendali penuh dari dirinya. Keputusan-keputusan tetap berasal dari anggukannya. Anaknya hanya boneka.

Sementara Jogja adalah hasil perjanjian. Kini dipimpin generasi kesepuluh, darah yang sama.

Tentu saja Jogja tidak persis sama dengan Ilheus. Kota kecil di pinggiran Brazil itu gairah kemajuannya dibawa oleh seorang pengekspor kakao yang datang dari Rio de Janeiro. Ramiro menyebutnya “orang asing”. Ia tak percaya ide si “asing” yang akan mendatangkan seorang insinyur untuk menyelesaikan masalah gundukan pasir. Ia tak yakin gundukan itu dapat diberantas. Sehingga, selama ini ia acuh pada pelabuhan itu. Ia hanya tertarik membangun hotel, apartemen, taman, dan segala bangunan yang membuat kota gemerlap, juga sesak.

Akibatnya, kakao mesti tetap dikirim ke pelabuhan provinsi di Bahia, untuk diekspor. Jalan aspal dibangun. Kalau perlu dibuat bertingkat, agar kendaraan semakin kilat mencapai Bahia.

Sedangkan di Jogja, kesadaran beranjak ke lautan digagas oleh sang pemimpin. Gagasan itu, suka tidak suka, lebih bergaung saat diucapkan di ibu kota. Sebuah gagasan yang sukses melambungkan popularitas orang yang melantiknya: kebudayaan maritim. Sebuah kebudayaan yang dijadikan pintu rindu kejayaan leluhur. Sebab katanya, kakek kita adalah seorang pelaut. Walaupun, kakek saya, saat berada di tengah lautan, menengadahkan tangannya, berdoa semoga anak cucunya tidak jadi pelaut. Karena laut berisi kepahitan dan ketidakpastian hidup. Ancaman maut datang bersama gelombang yang bertabrakan. Suara terhalang angin laut ketika hendak minta tolong. Tak ada penolong. Yang ada hanyalah mantra-mantra pelindung badan yang semoga tak hilang dibawa arus.

Seperti kata orang Madura dalam syair-syair lagunya, pelaut berbantal ombak dan berselimut angin. Maut menjadi teman beraktivitas, selama berbulan-bulan.

Baca juga: Sebelum Bandara Kulon Progo Berdiri

Kepala Dinas Perikanan dan Kelautan DIY, Sigit Sapto Raharjo, meyakini Adikarto bakal menjadi pusat perikanan terbesar dan menyedot kapal-kapal ikan besar di sekitarnya. Jarak yang dekat dengan calon Bandara Kulon Progo juga menguntungkan. Rencananya, pengiriman ikan diintegrasikan dengan pesawat.

Ini rencana yang bagus. Ciri kebudayaan maritim yang dicita-citakan oleh Sultan adalah kerja sama yang mendarah-jantung. Lautan yang penuh ketidakpastian menuntut kerja sama yang tak putus-putus antarawak kapal. Butuh perorganisasian yang mapan. Pembagian kerja harus berdasarkan kebutuhan.

Namun, kemudian saya ingat bagaimana Makassar menjadi kota pelabuhan internasional pada masa kejayaannya. Dimulai dengan kesepakatan sembilan negeri di muara Sungai Jeneberang dan Tallo yang membentuk kerajaan besar bernama Gowa. Negeri-negeri kecil itu tidak terpenjara egonya. Mereka menekan ambisi kelompok untuk mencapai tujuan yang lebih besar. Hasilnya, Makassar menjadi salah satu kerajaan maritim kuat setelah dua ratus tahun keruntuhan Majapahit. Makassar terkenal, pada masanya, ke berbagai penjuru negeri melalui hubungan perdagangan.

Hari ini, untuk mengintegrasikan Bandara Internasional Adi Soemarmo yang berada di Solo dengan aktivitas perekonomian dan wisata di Jogja saja susah. Pemerintah Jogja tidak terlihat berniat membangun transportasi penghubung yang handal antara bandara itu dengan kota Jogja. Pemerintah Jogja ingin juga punya bandara internasional sendiri. Meskipun rencana itu lebih terlihat sebagai sebuah ekspansi kapital.

Mungkin ini disebabkan oleh ego yang berbeda. Sehingga dua wilayah ini melangkah sendiri-sendiri.

Bukanlah alasan bahwa dua wilayah ini masih terkungkung feodalisme. Sembilan negeri di Sulawesi selatan itu juga dikuasai pemerintahan feodal. Meskipun, Soekarno berujar, ada dua tipe feodalisme. Pertama, feodalisme yang sedang berkembang, akan hamil, dan kemudian melahirkan kebudayaan modern dengan caranya sendiri. Tetapi pada akhirnya janin itu digugurkan oleh VOC. Kedua, feodalisme sakit-sakitan. Feodalisme yang sudah tidak punya lagi semangat kemandirian hidup dan lebih suka menjilat pantat VOC. Feodalisme yang suka menginjak kepala rakyatnya sendiri untuk bertahan di singgasananya.

Kebudayaan maritim memang bukan soal membangun lebih banyak pelabuhan daripada jalan layang. Ia soal cara pandang. Soal gairah memahami pengetahuan kelautan dan tetek bengeknya. Ia tentang cara hidup yang mengedepankan kerja sama dan pembagian kerja yang sesuai kebutuhan. Seperti halnya kerja sama dan pembagian kerja awal kapal.

Kebudayaan maritim bukan sekadar mimpi sang penguasa. Gerak memunggungi laut selama ini bukanlah disebabkan oleh master plan yang salah arah. Tetapi karena ketidakmampuan kita mendengarkan melodi-melodi kecil dan merajutnya menjadi simfoni. Menetapkan pembangunan pelabuhan, bandara, dan infrastruktur lain, tidak bisa hanya mendengar imajinasi pembangunan di ibu kota sana. Ia perlu mendengar dentum kegelisahan di pinggiran negeri, semacam kabupaten kecil Kulon Progo.

Dandy IM
PijakID