Kategori
Society

Gunung Es Problema Pendidikan dan Kesehatan

Sudah setahun berlalu, masa pandemi dirasakan oleh seluruh warga dunia. Semoga setelah pandemi, kesehatan sebagai hak dasar mendapat perhatian bersama.

Termasuk keberpihakan negara dalam soal memberikan kesempatan pendidikan gratis untuk rakyatnya. Di segala lini pendidikan sampai jenjang pendidikan tertinggi, jadi spesialis di bidang keilmuan masing-masing, agar semakin banyak rakyat teredukasi, rakyat jadi cerdik cendekiawan yang memiliki kemampuan menyelesaikan masalah bangsa. Rakyat yang lebih berdaya.

Mobilitas sosial, semua mahfum salah satunya bisa diraih dengan jalan pendidikan. Kesempatan ini harus dibuka dan lebih diperhatikan ke depan. Tentu saja, bekal pendidikan karakter kebangsaan penting diutamakan mengiringi kebijakan pendidikan untuk semua.

Ada banyak kisah dan inspirasi dari begitu banyak tokoh, pemimpin dan kepemimpinan yang terbuka jalan kehidupannya menjadi lebih baik saat mendapatkan kesempatan merasakan mobilitas sosial lewat jalur pendidikan.

“Saya dulu, berasal dari keluarga susah, miskin dan terbelakang. Beruntung bisa sekolah, sampai jadi seperti sekarang,” begitu kisahnya.

Pernyataan demikian yang jamak kita bisa simak bagaimana jalan hidup seorang tokoh.

Meski saat ini jalur pendidikan formal seringkali tak jadi bermakna, di jagat kemajuan teknologi informasi yang semua hal diyakini tersedia dan bisa terakses, namun tetap saja dibutuhkan kebijakan dan keberpihakan untuk membuka akses seluas-luasnya bagi semua.

Hanya sisi paradoksnya adalah hadirnya fenomena pengkhianatan kaum cendekiawan. Kondisi yang bisa membuat kacau semua hal. Siapa saja mereka? Silakan menelisik dan membuat catatan tersendiri soal begini.

Setidaknya selama satu tahun masa pandemi, semua bisa berefleksi, siapa cendekiawan yang bekerja memberikan ilmunya untuk publik, siapa saja yang bekerja profesional dan siapa saja yang justru berkelana berselancar, mengambil untung dari kondisi ketidakpastian.

Orang biasa yang berilmu, jelas lebih baik. Apalagi orang biasa yang paham ilmu kesehatan.

Orang biasa, berilmu dan berkuasa apakah bisa lebih baik?

Nanti dulu. Selama masa pandemi, debat soal urusan kesehatan saja bisa berjilid-jilid dan berpanjang lebar urusannya.

KE ARAH MANA ARTIKEL INI DIBUAT?

Tentu saja belajar dari kondisi terkini kala ribet urusan tenaga kesehatan. Ada yang mampu, tapi tak bekerja di bidangnya karena beragam alasan. Di Daerah Istimewa Yogyakarta misalnya, langkah rekruitmen tenaga kesehatan gagal memenuhi target dalam pelaksanaan.

Padahal tenaga kesehatan benar-benar dibutuhkan di masa pandemi untuk memastikan optimalnya pelayanan kesehatan. Salah satunya karena tidak adanya izin dari orang tua nakes yang terseleksi dan terpilih untuk mengisi posisi yang dibutuhkan.

Dengan sangat berat hati, iri juga menonton rekaman senyum dan bersemangatnya nakes di China yang dengan pengawalan khusus pulang dari Wuhan tahun lalu, begitu upaya penanganan wabah penyakit menular di sana dinyatakan selesai. Ikut haru dan trenyuh juga melihatnya. Berbeda jauh dengan faktual yang dihadapi di negeri ini.

Ini problem yang nyata. Bayangkan jika sebelumnya (sebelum pandemi) dalam skema jalur pendidikan kedokteran dibuka seluasnya, ongkos pendidikan tenaga kesehatan ditanggung negara, tentu kondisi berbeda yang terjadi. Mudahnya memperoleh tenaga kesehatan yang siap bekerja.

Kejadian begini jelas, bagian dari gunung es problema masalah kesehatan terkini. Bagaimana problem penanganan penyakit menular di lingkungan wilayah/kawasan pusat pendidikan kesehatan terbaik yang ada di Indonesia, masih kelimpungan menghadapi fakta kenyataan tingginya pasien yang butuh perawatan.

Akhir kata, semua berharap agar seluruh masalah akibat dampak penetapan pandemi bisa segera teratasi. Semua yang bekerja keras, bisa sehat dan selamat juga.

Rakyat sehat, negara kuat.

Kategori
Politik

Kesehatan Adalah Hak Dasar

Soal (harapan) kemampuan rumah sakit memberikan pelayanan optimal ke setiap pasien kala terjadi bencana besar, sudah nyata mendesak direalisasikan. Ini pekerjaan rumah yang butuh energi besar bukan hanya soal dana operasionalnya tapi tentu saja sumber daya manusia.

Mari menengok sejenak ke angka statistik terbaru yang dirilis dari hasil sensus penduduk 2020. Angka yang terekam dan diolah tersebut tentu bukan sekedar angka hasil laporan semata.

Semakin detail angka yang dikumpulkan sesuai kategorisasinya, sudah memberikan gambaran soal kebutuhan pelayanan kesehatan. Urusan kesehatan adalah urusan pelayanan hak dasar yang harus dipenuhi oleh negara.

Keberadaan UU Kebencanaan bisa menjadi pedoman apa yang harus dikerjakan dan sanksi apa yang bisa diberikan kepada pihak-pihak yang lalai ataupun gagal dalam menangani bencana. Jadi wajar saja, jika suara keras publik kini diwakilkan oleh media meski sebagian saja.

Apakah perlu merevisi UU Kebencanaan setelah hadirnya pandemi seperti sekarang ini? Merevisi sejumlah hal untuk memastikan pemenuhan hak dasar rakyat terlayani dengan baik?

Pertanyaan yang bisa saja sangat tidak relevan diajukan kala pandemi masih membara, masih penuh masalah terutama urusan kemampuan memberikan pelayanan kesehatan yang optimal, merawat mereka yang sakit gegara penyakit menular. Pertanyaan yang sebenarnya hanya membutuhkan peningkatan pelayanan kesehatan sebagai hak dasar warga negara.

Tidak ada orang sehat, warga negara yang lebih suka sakit agar mendapat seluruh akses pelayanan kesehatan dengan jaminan kesehatan yang diberikan pemerintah. Meski disebutkan seluruh pelayanan gratis untuk warga negara yang sakit.

Simak saja, janji kampanye politisi, calon kepala daerah yang baru saja menyelesaikan pemilihan kepala daerah secara langsung. Calon kepala daerah terpilih, yang sebentar lagi dilantik menjadi pelayan rakyat, menjadi kepala daerah sebagai Bupati, Walikota atau Gubernur. Lihat kembali janji mereka, beri garis tebal untuk satu urusan ini, pelayanan kesehatan.

Kalau ingin diperluas soal urusan tagih janji, lihat dokumen perencanaan urusan pelayanan kesehatan di APBD-nya kepala daerah yang tengah menjabat. Seberapa serius urusan pelayanan kesehatan sebagai hak dasar diutamakan?

Itulah kira-kira buah hasil perencanaan yang bisa dipahami, adanya beragam masalah yang kini kita hadapi bersama selama masa pandemi. Khusus urusan kesehatan.

Semua tentu mahfum, sampai hari ini setelah hampir setahun terjadi wabah penyakit menular baru, yang bermula di Wuhan China telah membawa aneka ragam dampak sangat besar dalam kehidupan.

Ada budaya baru, budaya adaptif yang penting. Budaya hidup sehat, mendapatkan momen sejarah untuk dijalankan lebih masif, serempak dan bersama-sama dikerjakan. Begitu juga disiplin protokol kesehatan. Semua kalangan wajib menjalankan, sebab resiko langsung, terpapar penyakit menular adalah nyata adanya. Disiplin ini bukan sekedar berlaku untuk diri sendiri semata tapi memiliki dampak besar untuk kehidupan orang lain, agar terhindar terpapar penyakit menular.

Tentu bukan hal yang mudah. Adaptif terhadap perubahan apalagi berkaitan dengan urusan pelayanan publik.

Tak ada orang yang ingin sakit, semua ingin sehat. Kenapa terus dibangun rumah sakit baru, kalau semua orang ingin sehat?

Urusan kesehatan, pelayanan kesehatan publik memang tak fokus soal kuratif semata. Urusan pencegahan penyakit juga jadi bagian pelayanan kesehatan masyarakat. Di Indonesia, langkah pemenuhan pelayanan kesehatan sudah berjalan lama dengan kehadiran Pusat Kesehatan Masyarakat (Puskesmas). Bagaimana soal pelayanan prima yang diberikan untuk masyarakat? Apakah fasilitas pelayanan di seluruh wilayah sudah ideal? Baik fasilitas kesehatan maupun tenaga medisnya?

Rasanya pas beragam pertanyaan ini diajukan, kala masa pandemi ini. Pemerintah di semua level baik daerah maupun pusat, penting untuk menjawab dengan detail. Guna memastikan ke depan pelayanan hak dasar masyarakat dalam urusan kesehatan bisa benar benar mewujud nyata.

Rakyat sehat dan selamat, negara kuat.

Salam sehat, waras dan bahagia.

#ceritapinggirjalan
#bersepedaselalu
#isupublik

Kategori
Society

Terkekeh, Tertawa Menambah Imun

Berbahagialah kala dirimu masih bisa tertawa. Tak banyak orang memiliki kesempatan untuk urusan sepele begini. Bahkan untuk mentertawakan diri sendiri, tak setiap orang mampu melakukan.

Hal yang sering kita dengar adalah emosi berlebihan kala mendengar tertawa, tawa orang lain.  Kondisi ini membuat diri seseorang merasa berbeda, menjadi obyek dan ada penyangkalan atau respon yang berbeda. Berhati-hati jika sudah mengalami kondisi begini. Ada yang salah dalam soal respon tawa.

Apa contohnya?

Simak TASS Bukan Kantor Berita, ini hanya sebuah potret sederhana bagaimana hal hal yang mengundang tawa itu beresiko. Ada dampak yang tidak terduga. Sebagai seorang dosen sebuah PTS,  sosok utama dan satu-satunya dalam akun ini adalah manusia yang menggunakan humor sebagai cara melawan kemapanan, melawan rezim otoriter di masa mudanya.

Beruntunglah, siapa saja yang pernah bersinggungan dengan isi humor yang pernah disampaikan oleh sosok bertampang serius itu. Humor berujung penjara, itulah yang banyak orang mengenal dan mengingatnya.

Terakhir, ada kemajuan dalam visualisasi cara bertutur. Bagi saya pribadi, itulah cara kemampuan membelah diri tercanggih yang bisa hadir berkat teknologi. Entah apa sumber idenya.

Bisa jadi begitulah cara TASS mentertawakan diri sendiri. Omong-omong sendiri, direspon sendiri dan menginterview diri sendiri. Ini dilakukan secara sadar dan terkonsep, perkiraan, tepatnya prasangka saya demikian. Salah atau benar, ya ayo terkekeh saja.

Bagaimana dengan isi konten? Ya tentu saja soal kisah humor yang masih saja politis, klop dengan karir kelucuan yang selama ini ditekuni.  Gegara melawan dengan humor, penjara sekian waktu dijalani dulu. Kala otoritarian berkuasa. Hanya saja, kali ini tidak dalam konteks melawan dengan humor tapi memberikan ucapan selamat dengan aneka kisah humor.

Apakah semua lucu? Simak saja kalau merasa penasaran dengan paparan ini. Pastikan syaraf dan ketentuan berlaku. Syarat maksudnya, kalau syaraf beda urusan itu.

Sedikit melompat dari bingkai humor dan hal-hal yang lucu di kanal milik dosen ilmu pemerintahan tersebut, perlu kiranya dipahami otoritas saya menulis soal humor soal lawak, soal lucu lucuan begini. Apalagi kini tengah populer soal mantan.

Iya, jabatan direktur kajian data dan komedi pernah menempel dalam kartu nama yang dibuatkan untuk diri saya. Jadi sah rasanya kalau menulis apapun soal humor, komedi dan lawak.

Soal tawa, ya termasuk ahlinya. Sampai satu waktu dengan penuh percaya diri pernah meminta kepada kawan-kawan satu kontrakan agar bersedia mendengar kelucuan yang direkam dalam program radio, sandiwara radio.   Simak baik-baik kisah sandiwaranya, ada suara saya dalam program sandiwara radio tersebut. Benar, berbekal rasa penasaran mereka (kawan-kawan satu kontrakan itu)  menyimak sampai selesai.

Respon pertama setelah siaran rekaman sandiwara radio usai adalah pertanyaan sekaligus kekecewaan. Tidak ada satu kalimatpun yang bisa mereka simak dari obrolan dan humor yang disampaikan. Santai saja, saya jawab. Apakah terdengar tawa berderai berkali-kali tak ada dalam rekaman sandiwara radio itu?  Apakah tak ada hal yang lucu dan humor bekerja menghasilkan tawa terkekeh? Begitu ingat sekilas saja, langsung mereka tertawa, keras sekali.  Oalaah, asyeeemmm.

Begini, sejatinya kisah tawa bisa berjilid-jilid dalam buku. Ada banyak buku humor dan komedi diterbitkan, pun kisah cerita lucu mulai stensilan hingga serius sampai jadi komika dikerjakan.  Beragam upaya dilakukan oleh banyak tokoh di masa lalu baik itu oleh badut, pelawak hingga punokawan maupun Abu Nawas.

Humor dan komedi,  itu serius sebenarnya. Sulit sekali bisa menulis dan menciptakan humor lalu tetap aktual meski dibacakan dan dipanggungkan.

Mbah Guno Prawiro, seorang legenda humor dan lawak yang mengajar teater di Intitut Seni Indonesia Yogyakarta pernah melakukan protes yang lucu, karena sudah sering tampil menang lomba humor, lomba lawak dirinya tak boleh lagi ikut.

Satu rumus komedi atau humor yang disampaikan beberapa di antara teori humor tiga babak, puncak humor adalah satu tindakan semata sudah berhasil membuat dan memancing tawa.

Cermati lagi, bagaimana satu orang pemain Srimulat bersedekap, bikin tawa penonton setiap dirinya hadir di layar atau di panggung. Wajah seseorang yang hadir dalam bingkai layar kaca juga sudah bikin terkekeh, tertawa meski tanpa bicara.

Di usianya yang sudah lanjut, Guno Prawiro (alm) pernah ada usul untuk menambah kategori penilaian, pelawak lansia. Itu yang jarang dikerjakan sebab biasanya lomba lawak maupun lomba komedi dan humor adalah mencari bakat bukan memberi ruang tampil semata.

Di masa pandemi, yang entah kapan tuntasnya ini ada saran untuk meningkatkan imun tubuh. Harapan nya adalah bisa menjadi selamat tatkala penyakit menular datang.

Beragam skema pengobatan hingga vaksin terumuskan konsep dan aturan pelaksanaan, tapi sepertinya masih belum memberikan opsi humor dan komedi sebagai resep ampuh meningkatkan imun tersosialisasikan dengan baik.

Hari-hari penuh kabar duka masih saja merundungi situasi keseharian di masa pandemi.

Relaks sejenak, istirahat seperlunya. Mulai 11-25  Januari 2021 ada ajakan #dirumahsaja mengurangi aktivitas keluar rumah, berkerumun dan sejenisnya.

Bagi yang sakit, pahami lebih baik tak ke mana-mana karena bisa berpotensi serius.

Namun semua harus ingat, jangan melupakan dan mengabaikan humor, cerita lucu dan kisah komedi.  Siapa tahu justru lewat hal sederhana,  merawat tawa, imun kita lebih meningkat.

Jangan lupa tertawa, minimal tiga kali
sehari. Jangan lebih dan kurang apalagi kelebihan dosis tawa, terkekehnya.  Beresiko!

Ayo hidup Sehat, Waras,  Bahagia 🙂

Kategori
Society

Kebijakan Publik dan Respon Publik Kala Pandemi

Merancang kebijakan dari balik meja dan kursi ber-AC,  beda kala merancang dengan “berada” di lingkup kehidupan rakyat, seperti pasar, terminal, pelabuhan, jalan raya dan lain lain.

Masalah Jakarta jadi masalah nasional, sejatinya belum tentu jadi masalah daerah,  apalagi daerah yang selama ini terisolir.

Nah, repotnya kalau manut masalah daerah, belum tentu sama pokok masalahnya.

Jadi, kebijakan publik skala nasional memang tak selalu cocok diterapkan di daerah. Hanya, soal kesehatan dan hadapi pandemi, rasanya #adaptasikebiasaanbaru disiplin protokol kesehatan adalah hal yang penting harus dipastikan bisa terlaksana.

Saat faskes sudah penuh menangani pasien maka apa yang bisa dilakukan warga Jawa Timur atau Jakarta bisa sama pilihannya, kalau sudah terpapar tanpa gejala bisa  jalankan ISOMAN alias isolasi mandiri.

Bagaimana agar rakyat tahu, punya kesadaran kapan lakukan isoman, atau kapan harus ke faskes?

“Mon mate ya mate,” kata orang Madura (mohon dibenarkan dan dibetulkan kalo bahasa madura saya buruk). Begitulah yang ada dalam alam pikiran rakyat.

Apa sebab kematian? Sudah takdir, garis nasiblah. Itu alam pikiran yang jamak dipahami rakyat Indonesia.

Lalu bagaimana agar kebijakan publik bisa operasional, efektif dijalankan dari pusat hingga daerah?

Edukasi, edukasi, sosialisasi pengetahuan yang benar soal wabah, pandemi ini, penting juga dipahamkan resiko saat abai cegah penyebaran atau tak peduli langkah memutus mata rantai penyebaran penyakit menular ini.

Media sosial, menembus batas geografis. Ini bisa jadi pilihan kanal komunikasi kebijakan publik, dengan bahasa sederhana dan mudah dipahamkan sesuai konteks daerah.

Selain PSBB (pembatasan sosial berskala besar) kini rakyat harus memahami baik-baik PPKM (pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM) Jawa-Bali pada 11-25 Januari 2021 untuk mengendalikan Covid-19.

#ceritapinggirjalan
#isupublik

Kategori
Society

Cerita Rebahan Di Hari Minggu

Awalnya hanya cerita nun jauh di sebuah negeri, berjarak ribuan kilo jauhnya.  Orang-orang melantunkan ayat-ayat dari kitab suci yang dibaca bergantian, disimak dengan seksama lewat gadget. Itulah kisah dari negeri China. Di saat bersamaan, hadir kabar adanya virus mematikan. Namanya COVID-19.

Ternyata bukan hanya kabar saja yang datang begitu cepat via gadget,  paltform digital. Tak berapa lama, penyebaran virus sampai juga ke Indonesia.

Bahkan, keluarga sendiri ada yang mengalami dan terpapar virus. Semua hal berubah cepat, semua orang belajar cepat, beradaptasi.

Ada yang sampai kini menyangkal, menyatakan tidak perlu takut soal virus ini dengan sandaran keyakinan agama dan Tuhan.

Pengetahuan kedokteran, base evidence ditolak mentah-mentah oleh kelompok orang yang lebih percaya hidup dan mati sudah ada takdirnya.  Tidak perlu takut berlebihan, percayakan semua kepada Maha Pencipta, hidup jadi tenang.

Masalahnya tidak sederhana seperti itu. Ini wabah, pandemi yang membutuhkan respon perilaku agar penularan lebih masif bisa dicegah. Kesehatan tidak mengenal agama, suku, bangsa dan warna kulit.  Pelayanan kesehatan adalah hak dasar bagi setiap orang. Ini urusan kemanusiaan.

Jujur saja, melihat tayangan televisi, liputan media asing dalam membingkai penyebaran penyakit menular dari China secara kasat mata,  bisa dengan mudah kita kenali keberpihakan pemilik media, para pengendali newsroom di tiap institusi penyiaran atau media massa.

Bersyukur saja, di era digital begini, informasi tunggal tidak berlaku dan diistimewakan.

Siapapun bisa menjadi sumber berita secara serta-merta, lewat status medsos, postingan dan tulisan, opini pribadi yang bisa dilipatgandakan pesannya.

Sangat mudah, pesan berpindah dalam aneka platform media sosial. Termasuk soal COVID-19.

Respon tanggap darurat, yang awalnya hanya bisa dilihat di layar kaca,  kini hadir kasat mata. Lalu lalang ambulan pengangkut jenazah dengan pengawalan polisi, jadi penanda bahwa itulah pasien yang meninggal karena terpapar virus.

Angka kematian, angka jumlah yang OTG, angka suspect, angka kesembuhan paska perawatan dan daya tampung rumah sakit/faskes kini di beberapa daerah memasuki tahap krisis. Butuh segera diantisipasi, butuh lebih banyak relawan tenaga kesehatan guna memastikan fasilitas pelayanan kesehatan tetap prima. Mereka yang sakit,  bisa terlayani.

*****

Cerita rebahan di hari minggu begini, bisa mengalir ke mana saja. Berseliweran pesan respon aksi tentara menurunkan spanduk bergambar Habib Rizieq lalu berbuih ragam pemberitaan sikap Pangdam Jaya, yang menyatakan bubarkan saja FPI. Lalu. kita heboh oleh hadirnya artis Nikita Mirzani melawan pimpinan FPI yang baru kembali ke tanah air.

Sungguh, ada satu moment peristiwa yang membuat sedih, nggrantes jeru banget. Kala mendengar adanya aksi dari sekelompok orang yang membunuh, menghilangkan nyawa saudara sendiri.

Kabar dari Sigi, Sulawesi Tengah membuat duka dan luka bagi Indonesia. Bagaimana mungkin, saat energi bangsa ini difokuskan untuk membebaskan rakyatnya agar selamat dari terpaparnya penyakit menular,  malah ada aksi pembunuhan keji berlatar kebencian, aksi teror yang jelas berlawanan dengan akal sehat. Menghabisi nyawa orang lain, apapun motifnya adalah bentuk kejahatan.

Menuliskan cerita di hari Minggu sembari rebahan kala hujan deras di luar, mencatat detail dan ingatan soal betapa pentingnya bahasa kemanusiaan harus selalu disuarakan, dimenangkan.

Apapun jalannya, bagaimanapun caranya. Asal kita semua tetap sehat,  waras. Tidak larut dalam selubung jubah palsu. Lawan aksi teror,  apapun bentuk baju dan gerakannya. Termasuk virus intoleran tak boleh punya ruang di negeri ini.

#ceritapinggirjalan
#isupublik

Kategori
Politik Society

Pilkada Jember: Yang Terpenting di Masa Pandemi adalah Keselamatan

Dalam pembukaan Forum Festival 2020, Hilmar Farid, Dirjen Kebudayaan Kemendikbud menyatakan bahwa tujuan terpenting di masa pandemi hari ini adalah keselamatan. Keselamatan yang dimaksud oleh Hilmar bukan hanya tentang usaha menurunkan jumlah korban Covid-19 dan menemukan vaksin, tapi juga tentang bagaimana menyusun tata kehidupan baru yang menempatkan faktor keselamatan sebagai dasar desain kehidupan. Sebab pola kehidupan kita hari ini menempatkan pemburuan harta sebanyak-banyaknya sebagai motivasi utama, sehingga faktor lingkungan, ikatan sosial, dan kekeluargaan dikesampingkan. Kita tidak bisa terus hidup dengan pola kehidupan seperti hari ini. Jika pun vaksin Covid-19 sudah ditemukan, tak ada jaminan pandemi-pandemi selanjutnya tak datang lagi.

Menurut Hilmar, pola hidup new normal atau kebiasaan baru mestinya tidak hanya dimaknai sebagai adaptasi pada kehadiran virus, misalnya dengan menyusun hal-hal yang seharusnya dilakukan agar terhindar dari virus (menjaga jarak, memakai masker, rajin cuci tangan, dll). New normal adalah membenahi hal-hal mendasar dalam kehidupan yang akan membuat tempat kita hidup, bumi, tetap bisa ditinggali. Misalnya, Hilmar memberi contoh, perlunya pembenahan besar-besaran di sektor pertanian dan peternakan. Sebab sudah banyak penelitian yang menunjukkan hubungan yang sangat erat antara sistem pertanian-peternakan yang tidak berkelanjutan (mementingkan penumpukan profit dibandingkan pemenuhan kebutuhan hidup) dengan kemunculan berbagai virus baru.

Pandemi tidak hanya membuat orang terpapar virus, sakit, dan bahkan sudah banyak yang mati. Pandemi juga menyadarkan kita bahwa hal-hal mendasar yang membuat kita bisa terus sehat, nyaman bekerja dan beraktivitas, bisa berpikir jernih dan berkreasi, ternyata selama ini tidak kita urus dengan baik. Apa itu? Pertama, sistem layanan kesehatan. Hari ini mungkin masih banyak yang sepakat bahwa kesehatan adalah hak mendasar setiap manusia. Dalam prinsip Hak Asasi Manusia (HAM), semua manusia berhak hidup. Namun, apakah prinsip dan kepercayaan kita ini menjadi dasar dalam desain layanan kesehatan? Masih sungguh jauh dari harapan. Ternyata kita tidak mendapatkan kesempatan yang sama untuk hidup.

Layanan kesehatan yang baik hanya bisa diakses dengan mudah oleh orang-orang yang banyak duit. Sementara yang miskin dan hampir miskin hanya bisa mengandalkan layanan kesehatan gratis dari negara yang layanannya tidak lengkap, ruwet, harus menunggu lama, dan hal-hal yang menguji kesabaran lainnya. Sebelum pandemi masalah ini tidak terlalu mendapat sorotan. Malah ada kecenderungan dianggap wajar. Namun, saat pandemi menghantam, ketika banyak karyawan dipecat oleh bosnya, ketika pemasukan bisnis seret, biaya kesehatan segera mencuat. Kelas menengah pun kena dampak pengelolaan dan infrastruktur layanan kesehatan yang buruk.

Yang kedua adalah sistem pendidikan. Masalah pendidikan mirip dengan masalah layanan kesehatan: sangat tidak terjangkau. Menurut catatan Badan Pusat Statistik, per tahun 2019, hanya 9,98 persen pemuda yang menyelesaikan pendidikan hingga perguruan tinggi. Ini menyedihkan sekali. Bagaimana juntrungnya kita membiarkan hanya sekitar 10 persen anak muda yang bisa kuliah?

Ini bisa terjadi karena umumnya kita memandang perguruan tinggi hanya sebagai salah satu tahap yang perlu dilalui agar seseorang bisa mendapatkan pekerjaan. Akibatnya, kita menganggap wajar bahwa yang bisa kuliah kebanyakan hanya yang punya banyak uang. Sudah biasa logika semacam ini hinggap di pikiran kita: kalau pengin dapat pekerjaan, ya investasi dong? Kuliah adalah investasi diri!

Pendidikan tidak bisa dilihat hanya sebagai kepentingan individu. Ada kepentingan kita sebagai masyarakat dalam dunia pendidikan. Di masa krisis ini, kepentingan tersebut terlihat lebih jelas. Bagaimana jika seorang anak tukang tambal ban di pedesaan Jember sebetulnya punya potensi kecerdasan untuk menemukan vaksin Covid-19, tapi karena ia tak mampu sekolah sampai perguruan tinggi, ia tidak bisa mengembangkan potensinya? Tidak hanya anak ini yang rugi. Tapi kita, sebagai sebuah bangsa, yang rugi. Kita menyia-nyiakan banyak sekali potensi sumber daya manusia yang bisa membuat hidup ini menjadi lebih baik.

Dari dunia sektor ini saja, kesehatan dan pendidikan, bisa dilihat bahwa desain kehidupan kita tidak berdasar pada tujuan keselamatan. Belum lagi kalau berbicara sektor pangan, perumahan, transportasi, dan hak-hak mendasar lainnya.

Topik tentang strategi keluar dari krisis Covid-19 ini ternyata juga muncul di debat Pilkada Jember yang dihelat pada hari Minggu (15/11). Panelis memberikan pertanyaan pada ketiga paslon, kurang lebih begini: Apa strategi Anda untuk mengoptimalkan APBD agar bisa membantu rakyat bangkit dari krisis yang dipicu Covid-19?

Paslon 01, Faida-Vian, memberikan jawaban yang tepat sasaran: APBD harus diatur sedemikian rupa untuk keselamatan rakyat. Penjabarannya yaitu dengan melanjutkan layanan kesehatan gratis, termasuk perluasan operasi gratis di Kabupaten Jember. Selain itu, program beasiswa bagi para pemuda, termasuk para santri, untuk melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi yang sudah dikerjakan oleh Faida di periode pertamanya akan dilanjutkan dan diperluas. Rencana ini sesuai dengan prinsip keselamatan yang sudah diuraikan di atas. Jadi tidak hanya memperkecil jumlah korban Covid-19, tapi membenahi hak-hak dasar masyarakat.

Pasangan Hendy-Firjaun, paslon 02, menekankan pentingnya sinergi antara pemerintah, DPRD, Bappeda, BKPD, dan masyarakat dalam penyusun APBD, sehingga terbentuk rencana kerja yang ideal. Mereka juga bilang akan memfokuskan anggaran untuk pencegahan dan penanganan pandemi. Selain itu, pasangan ini juga berjanji akan memberikan bantuan modal kepada masyarakat sebagai daya ungkit kebangkitan ekonomi.

Walaupun menyebut penanganan pandemi, jawaban Hendy-Firjaun hanya menyasar permasalahan di permukaan, yang langsung nampak, yaitu banyak orang yang terkena virus. Mereka tidak membedah persoalan yang berada di balik layar, yaitu tidak terpenuhinya hak-hak dasar rakyat untuk hidup dan berbahagia yang kini semakin sulit didapatkan di masa pandemi. Bagi orang yang tidak terkena virus, menjalani hidup hari-hari ini tetap saja lebih sulit. Apalagi jika untuk mendapatkan hak-hak dasar saja mereka harus membeli.

Hendy-Firjaun malah mengumbar janji untuk langsung memberikan bantuan modal kepada masyarakat. Ini janji yang keliru. Di masa pandemi ini, menurut ekonom Chatib Basri, investasi dan pelonggaran kredit tidak signifikan untuk memulihkan ekonomi. Sebab daya beli dan minat konsumsi masyarakat masih begitu rendah. Yang pertama harus diselesaikan adalah masalah Covid-19, sambil memastikan rakyat tetap mendapatkan hak-hak dasar untuk hidup layak.

Sementara itu, terkait APBD, paslon 03 Abdussalam-Ifan akan membuat BUMD maju dan berkembang, dengan cara memberikan stimulus (aliran dana) untuk BUMD yang sudah ada dan akan membentuk beberapa BUMD baru. Abdussalam menyebut secara khusus BUMD di bidang pertanian dan pariwisata. Selain itu, mereka juga menjelaskan bahwa belanja modal harus menjadi pendorong bergeraknya sektor-sektor utama di Jember, agar target pertumbuhan ekonomi bisa tercapai. Seperti Hendy-Firjaun, paslon 03 ini juga menekankan pentingnya perencanaan APBD yang partisipatif, yakni dengan melibatkan masyarakat.

Entah karena tidak menyimak pertanyaan atau mencoba menghindar, paslon ini tidak membahas perencanaan APBD dalam konteks krisis akibat pandemi. Padahal moderator sudah memberi penekanan pada saat membaca pertanyaan, bahwa situasi hari ini dan hari esok sudah berbeda karena ada faktor Covid-19. Jawaban yang diberikan paslon 03 ini adalah jawaban umum yang biasa dilantunkan oleh kebanyakan calon kepala daerah. Tidak ada strategi untuk penanganan pandemi yang muncul. Janji untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi melalui stimulus pemerintah sebetulnya mengulangi kesalahan jawaban yang diberikan paslon 02. Ekonomi baru bisa bergerak tumbuh lagi jika masalah kesehatan sudah bisa ditangani. Dan masyarakat akan kembali produktif jika sudah dipastikan hak-hak dasarnya terlayani.

Jawaban yang jelas dan tepat sasaran yang diberikan oleh paslon 01 rasanya tidak terlepas dari faktor pengalaman Faida yang sukses menjalankan periode pertamanya sebagai bupati. Ia benar-benar memastikan hak-hak dasar rakyat terpenuhi. Selain layanan kesehatan gratis dan beasiswa untuk belajar di perguruan tinggi, ia juga sukses menjalankan program 1 desa 1 ambulans. Seluruh desa di Jember, yang berjumlah 248 itu, semuanya diberikan jatah 1 ambulans. Bahkan di tiap-tiap kecamatan, yang berjumlah 31, juga disediakan ambulans. Keberadaan ambulans ini sangat krusial dalam pelayanan kesehatan di masyarakat, terutama masyarakat pelosok. Kecepatan dan kenyamanan perjalanan pasien memang menjadi salah satu kunci keberhasilan layanan kesehatan yang optimal. Pemenuhan hak-hak dasar di masa Covid-19 seperti ini perlu terus dilanjutkan dan ditingkatkan di kabupaten Jember, serta perlu diikuti oleh daerah-daerah lain.