Kategori
Politik Society

Tukang Sapu, Pekerja Kebersihan dan Residu Politik

Ada yang berbeda di awal tahun ini, utamanya aktivitas sehabis subuh di pinggir jalan. Biasanya tukang sapu yang bekerja mengenakan seragam. Kali ini ada banyak orang baru yang menggantikan pekerjaan membersihkan sampah dedaunan di pinggir jalan.

Keriuhan obrolan pagi juga beda kisahnya. Ada beberapa tukang sapu yang sudah akrab dengan warga sekitar. Sekarang berbeda, berganti semuanya. Alat-alat lengkap, tapi minus gerobak sampah. Kali ini mereka menggunakan karung dan terkadang menyeret dahan pohon palem yang jatuh dari pohon. Tukang sampah yang lama pernah berkisah, gerobak sampah yang mereka pakai adalah investasi mereka sendiri.

Tentu saja ini memberikan pertanyaan, kenapa semua berganti, ke mana para tukang sapu pinggir jalan yang selama ini bekerja? Beberapa pertanyaan ini lalu terjawab setelah mendapatkan penjelasan, pilkada baru saja usai.

Pejabat terpilih segera dilantik. Tukang sapu lama bergeser, berhenti bekerja karena mereka bagian dari struktur pemimpin lama yang kalah. Kebetulan kepala daerah lama tersandung kasus korupsi, sempat mengajukan anaknya maju jadi kandidat kepala daerah tapi gagal terpilih, gagal mendapatkan kepercayaan rakyat. Efek dari proses demokrasi tingkat lokal, langsung terasa.

Setidaknya bagi mereka, tukang sampah, pekerja kebersihan yang bekerja berdasarkan kontrak yang sudah berakhir, efeknya sangat nyata. Tak bisa diperpanjang karena ada kebijakan rekruitmen petugas kebersihan. Orang-orang lama yang bekerja diganti orang-orang baru.

Politik kuasa, politik adalah peristiwa sehari-hari sekarang ini nyata adanya. Minimal itulah yang terasa dari keberadaan tukang sampah, pekerja pemungut sampah perkotaan. Bukan di wilayah sendiri ini saja.

Di kabupaten lain, sampah sempat menumpuk di tempat pembuangan sampah sementara karena petugasnya mogok bekerja. Bukan tidak mau kerja, tapi jadi bagian protes sebab gaji jatah mereka tak bisa cair. Sebab ada krisis kepemimpinan karena adanya penataan organisasi, di tengah kompetisi kandidasi kepala daerah.

Sampah benar-benar menumpuk di pinggir jalan. Tak diangkut karena armada pengangkut sopirnya berhenti bekerja. Meski para tenaga kebersihan, tukang sapu sampah tetap bekerja memungut sampah perkotaan. Situasi yang cukup berbeda begitu terasa, kala sampah teronggok di pinggir jalan.

*****

Masih soal sampah, di DIY ada persoalan serius karena lokasi TPA di Piyungan Bantul, tempat pembuangan sampah akhir tak mampu lagi menampung sampah perkotaan. Ini juga akibat adanya protes tata kelola sampah yang belum tuntas diselesaikan. Sampah sempat menumpuk di banyak TPS, di perkotaan karena tidak terangkut.

Fenomena sampah, tata kelola sampah jelas buah dari kebijakan politik. Saat ada salah kelola, ada masalah efeknya tentu langsung dirasakan oleh rakyat oleh masyarakat.

Sampah boleh dianggap masalah sepele, sampah rumah tangga sejatinya bisa terkelola oleh masing-masing keluarga. Semua juga mengenal apa itu reduce, re-use, recycle, kurangi sampah, gunakan kembali atau daur ulang saja, agar tak membebani lingkungan.

Gunakan dan pilih barang ramah lingkungan yang mudah didaur ulang, jalankan gaya hidup hijau. Budayakan kelola sampah sejak dari dapur masing-masing keluarga. Saat ini terlewatkan, tak berjalan sempurna maka persoalan bergeser ke ruang publik. Beberapa solusi urusan sampah bisa difasilitasi dengan menghadirkan Bank Sampah, BUMDes kelola sampah dan lain sebagainya. Di beberapa pondok pesantren kini menginisiasi hadirnya tempat pengolahan sampah modern untuk minimalkan sampah keluar dari pondok mereka. Sampah terkelola mandiri.

Di sisi lain, bagi mereka yang abai soal budaya kelola sampah, efek bagi lingkungan jelas ada kerusakan lingkungan, utamanya limbah yang dibuang seenaknya. Apalagi kalau limbah sampah yang dibuang adalah limbah atau sampah industri. Ada kerugian besar dan tentu saja dibutuhkan energi lebih, dana yang besar untuk mengatasi dampak merugikan dari limbah dan sampah.

Banjir besar di sungai yang membelah ibukota DKI Jakarta salah satu masalah rutin, tiap tahun yang selalu jadi berita. Seakan tanpa henti terjadi. Jadi peristiwa rutin, bencana.

*****

Tukang sapu, pekerja kebersihan tidak bisa dianggap sepele peran mereka. Sangat strategis posisinya. Meski sambil lalu, bisa jadi banyak yang mengabaikan hal begini.

Baru terasa kala mereka berhalangan atau berhenti bekerja. Tapi mereka juga tak bisa berbuat banyak kala kesejahteraan, kesempatan kerja hilang karena habis kontraknya. Siapa peduli?

Tentu, sesuai tugas dan kewenangan kuasa yang ada nasib kesejahteraan tukang sampah dan pekerja kebersihan adalah tanggung jawab pemilik kuasa. Pemerintah daerah, sesuai undang-undang adalah kepala daerah dan DPRD. Di pundak pemilik kuasa inilah nasib kesejahteraan rakyat di daerah bergantung.

Kala terjadi dinamika politik, jelas arahnya harus berpihak kepada rakyat sepenuhnya. Tak boleh ditawar, karena memang begitulah proses politik sejatinya. Lewat pemilihan langsung, rakyat sudah memberikan hak politiknya, memilih dan berpartisipasi aktif memberikan suara.

Politik bukan berefek hanya milik elitnya saja. Bagi mereka yang berpolitik aktif dalam lingkaran kekuasaan seharusnya juga sadar diri. Demokrasi hari ini, esensinya perlu lebih diutamakan.

Lebih substantif, apalagi setelah politik elektoral selesai. Kalau ada masalah politik berkepanjangan, bisa jadi itulah sejatinya residu politik. Harus dipungut, dibersihkan dan dibuang ke tempat yang semestinya.

Apa saja residu atau sampah politik dan demokrasi di tanah air sekarang? Korupsi, kolusi, dan nepotisme, nyata masih terasa.

Adakah sampah politik demokrasi yang lain. Politisi busuk? Mari bersih-bersih bersama.

#ceritapinggirjalan
#bersepedaselalu
#isupublik
#ceritasampah
#sehat
#waras
#bahagia

Kategori
Society

COVID-19: Masa Depan Bumi dan Kesenjangan Sosial

Dunia sedang digegerkan oleh menyebarnya SARS-CoV-2, virus yang menyebabkan Covid-19. Cepat menular antar-manusia, dan bisa mengakibatkan kematian. Peluasan dan percepatan penyebaran SARS-CoV-2 difasilitasi oleh kemajuan teknologi transportasi beserta infrastrukturnya yang memungkinkan manusia berpindah tempat secara cepat, dengan jarak yang jauh, untuk saling berinteraksi. Sementara itu, kemajuan teknologi komunikasi dan informasi – terutama internet – memungkinkan pengetahuan dan kabar seputar virus ini juga menyebar secara cepat dan meluas. Termasuk hoaks dan berita palsu. Bukan hanya pengetahuan dan kewaspadaan yang diciptakan dan dipertukarkan, namun juga kepanikan.

Ada saatnya ketika suatu materi mikro tertentu muncul di planet bumi dan mengganggu bekerjanya organ tubuh manusia, sehingga menimbulkan penyakit yang bisa mengakibatkan kematian. Katakanlah materi mikro tersebut adalah mikroorganisme seperti bakteri atau virus (anggap saja virus sebagai organisme, meski ada yang tidak sependapat). Percepatan dan perluasan mobilitas manusia juga mempercepat dan memperluas penyebaran mikroorganisme tersebut antar-manusia. Tidak adanya tempat yang terisolasi mengakibatkan tidak ada rintangan bagi perpindahan atau penyebaran mikroorganisme tersebut ke berbagai tempat, meloncat ke semua tubuh manusia yang ada di muka bumi.

MASA DEPAN BUMI

Jika mikroorganisme yang mengakibatkan penyakit tersebut berhasil membinasakan seluruh manusia di bumi – misal karena tubuh manusia tidak bisa melawannya, atau tidak ada obat pembunuhnya – maka manusia (homo sapiens) tidak ada lagi di planet bumi. Tidak ada yang tersisa. Pada saat itu, sejarah manusia telah selesai. Apa yang mungkin terjadi kemudian?

Setelah manusia lenyap dari planet bumi, maka ekosistem di bumi mengalami perubahan atau penyesuaian. Puncak rantai makanan tidak lagi diduduki oleh manusia. Hewan-hewan dan tumbuh-tumbuhan akan memulai perubahan, pertumbuhan, dan perkembangan tanpa ada intervensi manusia. Predator-predator dan mangsa-mangsa di bumi akan tetap ada, namun tanpa kehadiran manusia. Terjadi penyesuaian-penyesuaian baru.

[mks_pullquote align=”left” width=”300″ size=”24″ bg_color=”” txt_color=”#1e73be”]”Kepunahan manusia mungkin menjadi awal kemunculan kembali keragaman kehidupan organisme lain. Kiamat bagi manusia ternyata bukan kiamat bagi organisme-organisme lain di bumi.”[/mks_pullquote]

Artefak-artefak fisik hasil kebudayaan manusia, yang telah ditinggalkan oleh manusia, akan menjadi wahana bagi perkembangan kehidupan organisme-organisme non-manusia. Kapal-kapal yang karam di pantai akan menjadi terumbu karang di dasar laut. Tumbuh-tumbuhan mulai muncul di bangunan-bangunan gedung atau rumah, bandara-bandara, pelabuhan-pelabuhan, jalan-jalan, dan sebagainya. Organisme herbivora menggantungkan sumber energi pada tumbuh-tumbuhan yang beragam tersebut. Kemudian, organisme herbivora dimangsa oleh organisme carnivora dan omnivora, di dalam sebuah rantai makanan.

Saat itu, daratan, air, dan udara bersifat ideal bagi wahana kemunculan kembali berbagai tumbuhan dan hewan secara lebih beragam karena tidak ada lagi zat-zat kimia buangan atau limbah aktivitas manusia yang menjadi penghalang bagi kemunculan dan perkembangan berbagai organisme tersebut. Planet bumi seolah kembali ke keadaan sebelum manusia menempati puncak rantai makanan, sebagai predator tertinggi. Tidak ada “bencana” bagi flora dan fauna yang diakibatkan oleh manusia. Kepunahan manusia mungkin menjadi awal kemunculan kembali keragaman kehidupan organisme lain. Kiamat bagi manusia ternyata bukan kiamat bagi organisme-organisme lain di bumi. Tidak ada yang memburu hewan secara masal, tidak ada yang menghilangkan flora secara meluas.

Namun jika mikroorganisme tersebut bisa dikalahkan, disingkirkan, dibunuh, maka eksistensi manusia di planet bumi akan terus berlanjut. Mungkin mikroorganisme tersebut disingkirkan melalui usaha manusia, misal dengan penciptaan obat atau vaksin. Dengan demikian, manusia melakukan serangan balik pada mikroorganisme, dan mikroorganisme kalah.

Kemungkinan lain, mikroorganisme disingkirkan oleh sebab-sebab natural, yang bisa saja tidak pernah diduga oleh manusia. Misal, terjadinya evolusi pada tubuh manusia yang mengakibatkan tubuh manusia secara natural bisa mengalahkan atau mengendalikan mikroorganisme bersangkutan. Mungkin juga sebab natural lain, semisal perubahan cuaca atau iklim yang kemudian melenyapkan mikroorganisme tersebut. Atau sebab-sebab lainnya. Pada intinya, manusia tetap hidup, tidak punah.

Manusia akan melanjutkan sejarahnya lagi. Manusia akan tetap menempati puncak rantai makanan di planet bumi. Manusia akan kembali meneruskan eksploitasi terhadap apa yang ada di planet bumi (organik maupun anorganik) untuk kepentingan mempertahankan dan melangsungkan kehidupan manusia.

Berbagai tumbuhan dan hewan memang dibudidayakan oleh manusia. Didomestifikasi dan dipertahankan keberadaannya. Dipelihara atau ditangkarkan untuk dikonsumsi ataupun sekadar sebagai hiburan. Namun – sebagai dampak keberadaan manusia – tidak sedikit dari flora dan fauna kemudian tersingkir, punah dari planet bumi, secara disengaja (misal diburu atau dihancurkan oleh manusia) ataupun tidak disengaja (misal, habitatnya hilang karena telah dialihfungsikan oleh manusia). Kepunahan beberapa tumbuhan dan hewan tidak terelakkan. Ini adalah dampak natural dari keberadaan manusia yang selama ini telah terjadi.

EFEK YANG BERBEDA

Suatu serangan mikroorganisme – yang merusak organ vital manusia sehingga bisa mengakibatkan kematian – bisa saja tidak mengenal identitas kultural (agama, suku, bangsa, negara, dll). Menginfeksi semua manusia dengan latar belakang kultural yang beragam. Selama masih berada di dalam spesies manusia, mikroorganisme tersebut akan menyebar antar-individu. Mungkin akan ada orang-orang tertentu (misal, berdasar usia atau sejarah kepemilikan penyakit) yang akan mengalami pemburukan kesehatan saat terinfeksi mikroorganisme menular tersebut, yang itu tidak terjadi pada orang-orang “sehat” lainnya.

[mks_pullquote align=”right” width=”300″ size=”24″ bg_color=”” txt_color=”#1e73be”]”Masyarakat dari kelas atas maupun kelas bawah bisa saja sama-sama terinfeksi mikroorganisme penganggu. Namun, masyarakat dari kelas sosial-ekonomi bawah akan mengalami pemburukan ganda, yakni gangguan kesehatan tubuh (tubuh sakit) dan kelumpuhan kelangsungan kehidupan ekonomi.”[/mks_pullquote]

Hanya saja, semua gangguan tersebut seringkali berbeda dampaknya pada tiap-tiap manusia dengan latar belakang kelas sosial-ekonomi tertentu. Perbedaan latar kelas sosial dan penguasaan sumber daya ekonomi menyebabkan perbedaan dampak sosial-ekonomi. Suatu hierarki sosial ciptaan manusia, yang membagi-bagi kadar previlise, telah mendiskriminasikan dampak sosial-ekonomi di antara anggota masyarakat. Semua kelompok kelas-kelas bisa sama-sama terganggu secara sosial-ekonomi, namun dengan kadar yang berbeda.

Masyarakat dari kelas atas maupun kelas bawah bisa saja sama-sama terinfeksi mikroorganisme penganggu. Namun, masyarakat dari kelas sosial-ekonomi bawah akan mengalami pemburukan ganda, yakni gangguan kesehatan tubuh (tubuh sakit) dan kelumpuhan kelangsungan kehidupan ekonomi. Kelangsungan kehidupan ekonomi mudah lumpuh dikarenakan ketiadaan atau kurangnya kepemilikan sumber daya ekonomi. Kekurangan sumber daya ekonomi itu sendiri sering berada di dalam lingkaran-setan dengan kondisi kekurangan dalam hal sumber pengetahuan (pendidikan), perawatan kesehatan, pemukiman, juga previlise sosial-kultural.

Peristiwa sakitnya tubuh manusia akibat gangguan mikroorganisme adalah berada di dalam wilayah determinisme alam (sebab-akibat), berada di luar kesadaran manusia. Adalah suatu peristiwa natural ketika sebuah mikroorganisme mencari tempat untuk bisa aktif (hidup), meski kadang bisa merugikan organisme lain, termasuk tubuh manusia.

Sedangkan peristiwa kelumpuhan ekonomi seseorang dari kelas bawah sebagai dampak atas peristiwa sakitnya tubuh orang tersebut dikarenakan serangan mikroorganisme, maka hal ini tidak semata berada dalam konteks determinisme alam (jika memang dianggap demikiran), namun juga melibatkan faktor motif, dan faktor motif ini berkaitan dengan kehendak (will) manusia.

Dengan demikian, perbedaan dampak sosial-ekonomi pada setiap manusia (dikarenakan perbedaan syarat-syarat sosial-ekonomi di antara mereka) atas peristiwa sakitnya seseorang karena gangguan mikroorganisme juga merupakan peristiwa kultural, bukan semata peristiwa natural. Kesenjangan kelas-kelas sosial-ekonomi antar manusia merupakan hasil dari praktek-praktek dan gagasan-gagasan kehidupan sosial yang diciptakan manusia, digerakkan oleh motif-motif, diperintahkan oleh kehendak manusia. Justru faktor motif dan kehendak ini yang seharusnya sebelumnya dapat diketahui, diprediksi, diantisipasi, direkayasa, agar dampak buruk sosial-ekonomi (bencana sosial-ekonomi) atas suatu peristiwa natural bisa dikendalikan dan diatasi, termasuk dicegah. Motif-motif dan kehendak-kehendak sosial-ekonomi, yang menciptakan kesenjangan kelas-kelas sosial-ekonomi, yang mengakibatkan perbedaan dampak sosial-ekonomi ketika suatu bencana terjadi.

Kategori
Society

Mari Jaga Lingkungan, Biar Korporasi Yang Merusaknya

Menggunakan produk-produk yang mengurangi single use plastic, seperti tempat minum, makan, kantong, maupun yang lain, kini kian menjadi gaya hidup baru masyarakat. Kesadaran akan meningkatnya limbah sampah, dan proses terurainya yang lama membawa kita semakin prihatin dan ikut berperan dalam menjaga umur bumi ini. Karena tentu kita masih ingin udara yang layak hirup bumi yang layak tinggal bagi seluruh makhluk hidup. Atau minimal, secara egois, bagi kita dan keturunan kita.

Sudah tentu, gaya hidup yang sejalan dengan Sustainable Development Goals (SDGs) ini didukung penuh oleh pemerintah. Baik pusat maupun daerah. Bahkan mereka pun mengampanyekan gaya hidup ini ke khalayak ramai. Tidak dapat dipungkiri bahwa kelestarian bumi dan makhluk hidup adalah konsen mereka. Selain peningkatan produksi limbah plastik yang tak kunjung ketemu bagaimana solusinya.

Kampanye kian marak, di beberapa kantor pemerintah bahkan sampai mewajibkan karyawannya menggunakan tumbler dan melarang botol plastik sekali pakai. Terdengar seperti future society, dimana setiap stakeholder di masyarakat sadar akan kelestarian lingkungan.

Memang, penggunaan plastik sekali pakai memberikan ancaman bagi lingkungan. Mulai dari proses produksi, konsumsi, dan pembuangannya menghasilkan emisi karbon yang mengakibatkan suhu bumi yang semakin memanas dan berujung pada perubahan iklim. Namun selain penggunaan plastik sekali pakai oleh masyarakat umum, tidak kalah penting juga walau sering dilupakan, bahwa perubahan iklim juga disebabkan oleh deforestasi (penggundulan hutan) dan pembakaran bahan fosil oleh industri.

Utamanya pada deforestasi, hal ini sangat mendesak untuk dihentikan. Apalagi di Indonesia sebagai negara yang masuk dalam wilayah tropis.  Menurut Conservation International, hutan tropis sangat baik dalam menyimpan karbon sehingga mencegah kemungkinan terburuk dari perubahan iklim. Namun pencegahan perubahan iklim berdasar alam yang merupakan solusi terbaik itu belum terlalu dilirik. Bahkan hanya mendapatkan jatah 2 persen dari pendanaan iklim. Di Indonesia sendiri, pemerintah masih belum sadar bahwa masalah lingkungan itu bukan hanya-tanpa mengesampingkan kepentingannya-tentang sampah plastik. Masalah pencemaran lingkungan bukan hanya sekadar sampah tetapi juga emisi yang dihasilkannya.

Selain keasyikan memberi seminar-seminar tentang pentingnya penggunaan tumbler, perlu juga bagi pemerintah melakukan regulasi yang mengurangi tindakan deforestasi. Pencemaran sampah memang perlu dikurangi, tetapi produksi limbah sampah plastik bukan hanya sekadar tentang kesadaran. Permasalahan itu lebih jauh adalah akibat dari permasalahan kelas. Contoh sederhananya, tidak semua masyarakat dapat mengakses dengan mudah sampo botol. Perihal makan saja belum tentu setiap hari, apalagi keramas. Sehingga penggunaan sampo saset menjadi pilihan.

Dibanding terus menekan masyarakat kelas bawah, lebih baik fokus meregulasi korporasi-korporasi dan segala industrinya. Tidak dapat dipungkiri bahwa keberadaannya memberi manfaat ekonomi. Tapi apakah tidak sayang jika keturunan kita tidak bisa menikmati hidup dengan alam yang masih terjaga. Saya rasa jika terus seperti ini, di masa depan orang sudah tidak lagi memikirkan ekonomi. Karena bisa dapat tempat hidup saja sudah syukur. Walaupun investasi penting, namun keberlangsungan alam lebih penting.

Kategori
Society

Wisuda Kampus Penyumbang Kerusakan Lingkungan

Sabtu lalu saya datang ke wisuda saudara. Sudah banyak wisuda kawan yang saya datangi, namun kali ini berbeda. Selain karena kali ini saudara saya yang akhirnya saya datangi, di kesempatan ini saya lebih “sebel” melihat wisudawan-wisudawati itu. Tak lain karena tak kunjung wisuda juga diri ini. Asu.

Oleh karenanya saya lebih tertarik untuk memerhatikan hal lain. Cuaca sangat panas, gawai saya menunjukkan suhu di kota ini mencapai 37 derajat celcius. Kesempatan yang tidak dilewatkan oleh penjaja minuman untuk mengais rezeki dari para wisudawan dan tamu wisudawan yang kepanasan.

Penjual minuman menjajakannya dengan cara yang berbeda-beda. Minuman yang dijual pun bermacam-macam. Namun terdapat kesamaan di antara semua itu, yaitu kemasannya. Sebagian besar, kalau tidak bisa dibilang semuanya, diwadahi dengan kemasan plastik. Mulai dari yang berbentuk kantong, gelas, hingga botol.

Ironi yang menarik bagi saya. Di tengah gencarnya kampanye pengurangan penggunaan single use plastic waste di media sosial oleh masyarakat so called educated, acara seremonial di institusi pendidikan menyumbangkan sampah plastik yang sangat besar. Lahir bersama dengan ribuan sarjana yang diwisuda oleh universitas.

Beberapa di antara mereka adalah para sarjana ilmu-ilmu lingkungan. Atau bahkan mungkin ada yang jadi aktivis, yang pernah mendemo pemanasan global. Saya ingin tertawa, tapi takut kualat karena saya sendiri belum wisuda. Asu meneh.

Tempat duduk tamu sangat penuh dan sumpek, saya dan saudara yang lain menyingkir ke tempat yang lebih lapang dan teduh. Saat sibuk merenung, datang seorang nenek dengan membawa karung berukuran cukup besar dan sebuah trash bag hitam.

Ngapunten nggih, Mas“, izinnya saat akan membuka tong sampah di depan saya.

Kemudian beliau membuka tempat sampah di dekat saya. Lalu perlahan mulai memilah isinya sesuai yang beliau butuhkan. Gelas, kantong, dan sebuah kardus air mineral kemasan. Tiga jenis barang yang diambil nenek ini adalah sampah limbah minuman yang dijual tadi.

“Sampah-sampah ini mau diapakan, Bu?”, saya mencoba basa-basi di tengah sibuknya beliau.

“Dijual ke tempat daur ulang, Mas”

Pahlawan.

Begitulah yang terpikir oleh saya sesaat. Saking seringnya melihat media sosial penuh dengan caci maki terhadap pengguna sampah plastik. Saya melihat seorang nenek-nenek yang langsung aksi. Menjadi garda terdepan dalam pencegahan kerusakan lingkungan yang diakibatkan oleh masyarakat. Mungkin saja beliau paham, tidak mudah menghentikan penggunaan single use plastic karena memang sangat praktis.

Di saat kita, so called educated people, yang suka marah-marah saat makan bareng temen dan dia tidak punya sedotan stainless steel atau bambu. Ada orang yang peduli dan mengambil sampah-sampah itu untuk didaur ulang. Recycle. Terdengar sangat environment friendly sekali bukan profesi beliau?

Deg. Kemudian saya tersadar, bahwa saya terlalu lama berada di puncak menara gading. Nenek itu tentu tidak pernah tahu atau peduli tentang bahaya lingkungan atau semacamnya. Makan apa besok saja mungkin belum pasti, di sini ia hanya mencari rezeki. Diselenggarakannya acara wisuda kampus adalah kabar baik baginya, karena sampah plastik berkumpul di satu tempat.

Menarik bukan?

Kampus secara umum kini sudah tidak lagi dekat dengan rakyat miskin seperti nenek tadi. Pengabdian masyarakat yang dilakukan pun tidak terlalu substansial. Hanya dilakukan dengan cara-cara formal seperti KKN, atau pengabdian masyarakat oleh dosen, yang mungkin hanya untuk menjaga sertifikasi. Bahkan seringkali keduanya dikerjakan bersamaan, pengabdian masyarakat oleh dosen di-KKN-kan, biar praktis dan ekonomis.

Instansi pendidikan tinggi ini, hanya berfokus menjadi pabrik pencetak manusia terdidik yang dipersiapkan untuk industri sesuai bidangnya. Ah, yang penting jangan pengangguran terlalu lama, nanti jadi omongan tetangga. Apakah bermanfaat bagi masyarakat atau tidak, itu urusan belakangan. Apalagi masyarakat itu bukan tetangga.

Sampah-sampah plastik yang bertumpukan di acara seremonial ini bisa jadi satu-satunya sumbangsih terbesar sarjana-sarjana baru ini bagi rakyat miskin. Nenek tadi, penjual minuman dingin, penjaja suvenir, dan lain-lain. Setelah itu mereka akan masuk ke industri, sibuk dengan diri sendiri.

Matahari sudah di atas kepala. Suhu kurasa semakin panas saja. Saudara saya dan wisudawan lainnya tak kunjung keluar. Saya kehausan. Akhirnya, saya membeli segelas es teh dari penjaja keliling yang lewat dekat saya. Setelah bayar, es teh disajikan dengan gelas plastik lengkap dengan sedotan plastiknya.

Tidak. Saya tidak sedang merusak lingkungan. Dalam konteks ini, saya sedang membantu nenek tadi dan teman-temannya mengais rezeki. Juga bapak penjual es teh yang saya beli ini. Lagipula penjual es teh keliling ini sudah menata es dalam gelas saat dia keliling. Jadi sampah plastik yang terproduksi jumlahnya akan tetap sama, dengan atau tidak saya beli. Bukan begitu?

Ah bodo amat. Kalau memang ingin mengurangi single use plastic, ya memang harus dari hulu dan regulasi. Mari kita berserikat untuk mewujudkannya. Kalau hanya menghindari single use plastic, bukannya tambah merepotkan? Halo? tidak semua orang suka repot seperti Anda.

Huft. Daripada pusing dan pingsan, mending saya minum saja es teh yang barusan saya beli.

Kategori
Society

Sampah, Sampah, Sampah, Kalau Banyak Mau Jadi Apa?

Sejauh pengamatan saya, tercatat dua kali media nasional telah memberitakan penutupan Tempat Pembuangan Sampah (TPS). Pada tahun 2018 Pemerintah Kota (Pemkot) Bekasi mengancam akan menutup TPS Bantar Gebang. Kemudian, baru-baru ini terjadi pemboikotan TPST Piyungan, Bantul oleh warga sekitar.

Boikot tersebut membuat sampah pada TPS-TPS kecil yang ada di perumahan atau di pasar menumpuk. Tumpukan sampah ini menimbulkan pemandangan yang tidak elok dan bau yang mengganggu.

Menurut Detikcom, warga menutup TPST Piyungan karena truk-truk yang membawa sampah merusak jalan kampung. Selain itu, tumpukan sampah di TPST tersebut menimbulkan bau yang menyengat ketika musim hujan.

Penutupan TPS oleh warga sejatinya adalah akibat dari pengelolaan sampah yang kurang baik. Sebenarnya apa saja yang membuat sampah bisa menumpuk sampai sebuah kota kewalahan untuk mengurusi sampah-sampah tersebut?

Penyebab tumpukan sampah bisa disebabkan oleh berbagai hal. Penumpukan sampah bisa terjadi karena berlebihnya sampah dibandingkan kapasitas tampungan sampahnya. Kemudian, kurangnya tempat pengelolaan kembali sampah yang bisa didaur ulang.

Integrasi antar-daerah juga terkadang bermasalah. Contohnya, DKI Jakarta kan membuang sampahnya di TPS Bantar Gebang, Bekasi. Jika birokrasi antara kedua Pemda tidak harmonis, maka kejadian boikot TPS kapan saja bisa terjadi.

Permasalahan tata ruang wilayah menjadi induk dari permasalahan-permasalahan tersebut. Sistem zonasi seharusnya diatur dengan baik sehingga di tempat pembuangan sampah tidak ada pemukiman dengan radius tertentu, sehingga masyarakat tidak terganggu dengan aktivitas TPS.

Tata ruang ini tidak hanya mengatur posisi TPSnya saja, tapi juga jalur transportasi truk agar semaksimal mungkin tidak melewati pemukiman warga. Infrastruktur prasarananya pun perlu diperhatikan dengan seksama agar tidak terjadi kerusakan-kerusakan jalan yang tidak diinginkan.

Solusi Permasalahan Sampah

Solusi permasalahan sampah bisa dilakukan dengan dua pendekatan. Pendekatan yang pertama adalah dari sisi masyarakat kemudian pendekatan kedua dilakukan dari sisi pemerintah.

Hal yang bisa dilakukan masyarakat adalah mengurangi sampah dengan gerakan zero waste, yaitu mengurangi penggunaan bungkusan plastik pada setiap belanja. Zero waste juga bisa dengan cara memanfaatkan sisa bahan makanan untuk dimasak agar tidak semerta-merta dibuang ke tempat sampah.

Mulai membiasakan diri untuk tidak meminta plastik jika hanya berbelanja sedikit dan membawa tas belanjaan jika memang ingin belanja dengan jumlah banyak. Faktor kali dari gerakan ini pasti akan berdampak besar terhadap volume sampah yang terbuang.

Sampah juga harus dipilah dan benar-benar dibuang sesuai dengan kategori. Harapannya, sampah organik dapat diproses kembali menjadi bahan organik. Sampah plastik dan sampah lain yang bisa didaur ulang akan masuk ke tempat daur ulang. Baru nanti residu atau sampah sisa yang masuk ke TPS.

Solusi yang dapat dilakukan oleh pemerintah antara lain dengan menata ulang TPS dengan pemukiman warga agar tidak terjadi komplain di kemudian hari. Perbaikan infrastruktur jalan akses juga harus diperhatikan. Pengelolaan sampah ini harus terintegrasi dari mulai perumahan sampai dengan TPS akhir.

Sampah selalu menjadi tantangan di daerah urban maupun rural. Pemerintah dan masyarakat harus menyesuaikan sistem pengelolaan sampah sesuai dengan karakteristik masing-masing daerah. Integrasi yang baik antara pengelolaan dan pengurangan sampah diharapkan dapat mengurangi permasalahan sampah di kemudian hari.

Kategori
Politik

Selama Rezim Jokowi, Penghancuran Pulau Kecil Terus Berlanjut

Jokowi-JK memilih kapal pinisi sebagai tempat pidato kemenangannya dalam Pilpres 2014 silam. Pesan pemilihan tempat ini kuat: kita telah lama memunggungi laut. Jokowi ingin kita kembali menyadari bahwa Indonesia punya potensi laut yang amat melimpah.

Nama Susi Pudjiastuti tak boleh luput disebut dalam usaha mengembalikan kedaulatan laut Indonesia. Sejak 2014, sudah ada 488 unit kapal ilegal yang ditenggelamkan oleh menteri KKP ini dan timnya. Selain itu, Satgas Patroli Laut telah dikuatkan kembali kemampuannya untuk mencegah pencurian ikan. Dua hal ini penting untuk menjaga sumber daya laut kita. Ini kabar yang menggembirakan.

Namun demikian, sebagai bangsa yang katanya besar, mestinya kita tak puas sampai di situ. Uraian di atas tadi baru sebatas penegakan hukum di lautan (walaupun, sekali lagi, ini patut diapresiasi karena bertahun-tahun lamanya sejak Deklarasi Djuanda, pemerintah abai). Kita mesti mengecek lagi apakah pemerintah sudah mulai mengubah haluan ekonominya ke bidang maritim? Jika tak begitu, kemajuan yang kita peroleh tidak beda jauh dengan capaian Djuanda yang hanya fokus ke persoalan hukum kekuasaan laut.

Salah satu faktor krusial yang membuat ekonomi maritim mengemuka adalah kerusakan lingkungan yang hebat akibat eksploitasi daratan, terutama pertambangan. Kerusakan yang memicu banjir, longsor, hingga perubahan iklim ini membuat beberapa orang yang peduli berpikir, sudah tepatkah orientasi ekonomi kita?

Eksploitasi daratan tidak hanya terjadi di pulau besar seperti Kalimantan, tapi juga pulau kecil. Faktanya, selama rezim Jokowi, penambangan pulau kecil terus berlanjut. Menurut laporan Jaringan Advokasi Tambang (JATAM), hingga kini ada 55 pulau kecil yang dikaveling pertambangan mineral dan batu bara. Sebaran pulau tersebut bisa dilihat pada gambar di bawah ini.

Berapa batas ukuran pulau kecil? Menurut UU No. 1 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, yang disebut pulau kecil adalah pulau yang luasnya maksimal 2000 kilometer persegi.

Dari 55 pulau kecil yang sudah dikaveling itu, ada 2 pulau yang bisa dijadikan contoh untuk memahami bagaimana pola penghancuran pulau kecil bekerja. Pertama, pulau Gebe di Maluku Utara. Pulau ini sudah dikaveling oleh PT Aneka Tambang (Antam) sejak 1979. Hingga 2004, PT Antam masih mengeksploitasi pulau ini. Setelah PT Antam angkat kaki, terbit lagi 12 IUP (Izin Usaha Pertambangan) untuk eksplorasi dan produksi nikel di Pulau Gebe.

Kedua, Pulau Bunyu di Kalimantan Utara. Ini adalah pulau yang dieksploitasi oleh tiga jenis penambangan sekaligus, yaitu minyak, gas bumi, dan batu bara. Bahkan, wilayah ketiga jenis penambangan ini tumpang tindih satu sama lain. Itu adalah indikasi proses pemberian izin yang amburadul.

Wilayah pertambangan di Pulau Bunyu sudah mencapai 70 persen. Artinya, penduduk yang berjumlah 11.000 ribu jiwa cuma kebagian 30 persen wilayah pulau.

Tidak hanya itu, Pertamina pun sudah menguasai wilayah perairan di kawasan tersebut. Aktivitas ekonomi nelayan menjadi terganggu. Susah dapat ikan. Terumbu karang hancur tertumbuk jangkar tongkang. Laut tercemar batu bara yang tumpah-tumpah.

Pertambangan juga membuat rusak hutan, kelangkaan bahan pangan, hingga kekeringan. Air sungai dan hujan kualitasnya memburuk sehingga warga terpaksa menggunakan PDAM atau air kemasan.

Fakta-fakta ini ironis jika disandingkan dengan janji Jokowi untuk tak lagi memunggungi laut. Sebab pulau-pulau kecil adalah bagian yang amat vital dalam menjaga kedaulatan dan pemanfaatan potensi ekonomi laut. Para sejarawan boleh berkata bahwa bagi negara maritim seperti Indonesia, yang utama adalah laut. Tapi pulau-pulau kecillah yang membuat laut itu menjadi berharga. Di daratan-daratan mungil inilah tradisi dan pandangan hidup yang berhubungan dengan laut masih terjaga. Lalu apa jadinya kalau pulau-pulau kecil dihancurkan?

Tentu saja ini bukan berarti tambang di pulau besar tak punya efek buruk. Punya juga. Tapi kerusakan lingkungan akibat pertambangan di pulau kecil lebih cepat lajunya.

Dalam merespon masalah ini, Jokowi sebaiknya tidak memakai alasan yang sama saat menanggapi kasus HAM dan penguasaan lahan. Kalimat semacam “saya tidak punya beban masa lalu” tidak relevan, karena ia sudah jadi presiden tapi tak bisa menyelesaikan beberapa kasus HAM yang sudah jelas putusannya. Logika yang sama juga berlaku untuk menanggapi ucapan Jokowi di debat Pilpres kedua: yang mengeluarkan izin penggunaan lahan bukan saya. Kalau jurus semacam ini masih dipakai Jokowi dalam merespon kasus penghancuran pulau kecil, kita bisa bertanya, Jokowi sadar nggak sih sedang jadi pegawai kita yang nomor 1?

Kategori
Beranda

Banjir Bukan Salah Hujan

Paling mudah memang menyebut hujan deras sebagai penyebab banjir. Namun, sikap ini tidak membawa kita pada jalan untuk memahami persoalan. Mengapa? Karena hujan toh segitu-gitu aja. Tidak bertambah atau berkurang secara signifikan. Memang dewasa ini kita semakin mahfum bahwa terjadi perubahan iklim di bumi ini. Akan tetapi, hal itu tak membuat jumlah hujan yang turun pada hari dan jam tertentu berubah drastis.

Sayangnya, penjelasan tentang penyebab banjir dari lembaga pemerintah sering hanya mentok di frasa “terjadi hujan deras”. Kalau penjelasan ini muncul sesaat setelah ada kejadian banjir, bisa dimaklumi. Sebab, pemerintah mungkin memang belum tahu secara pasti apa penyebab banjir yang sedang terjadi. Namun, kalau berhari-hari kemudian tak kunjung ada penjelasan apa penyebab banjir sesungguhnya serta bagaimana pemerintah dan kita, masyarakat, harus menyelesaikannya, patut kita bertanya apakah pemerintah serius mau menyelesaikan masalah banjir atau tidak?

Media, yang semestinya menjadi anjing penjaga aktivitas pemerintah, malah juga sering hanya puas melahap penjelasan “terjadi hujan deras”. Bukannya menjadi anjing yang menggonggong kalau para pegawai rakyat tidak menjalankan amanat rakyat, Media hanya menjadi pengeras suara. Cuma jadi microphone. Revolusi 4.0 yang sering kita dengar seakan tak mengubah cara kerja dan pola pikirnya. Padahal perkembangan digital memberikan kemudahan bagi pekerja Media untuk belajar, mehamami konteks, dan menyimpan memori kejadian banjir. Sehingga, ketika suatu saat terjadi banjir, Media dapat menggunakan pisau pengetahuannya untuk membedah peristiwa, serta membantu publik dan pemerintah memahami banjir berdasarkan ingatan kejadian-kejadian sebelumnya.

Bagaimana pemerintah bisa memberi penjelasan yang tuntas soal banjir? Pertama, simpan dan susun dengan baik data yang berhubungan dengan banjir. Seperti: curah hujan, kualitas drainase, serta penggunaan lahan dan perubahannya. Pekerjaan ini sekarang lebih mudah dengan bantuan teknologi komputer dan informasi. Jika ini dilakukan, pemerintah bisa punya data potensi banjir yang lengkap dan detail, bukan hanya asumsi umum saja. Hal ini juga akan membantu pemerintah dalam melakukan langkah pencegahan. Jadi tidak hanya bekerja pas terjadi banjir saja.

Selain untuk keperluan kerja pemerintah, data tersebut semestinya juga dibuka seluas-luasnya pada publik. Agar publik tahu dan bisa berkontribusi baik pemikiran maupun perbuatan untuk penyelesaian banjir. Selain karena hari ini adalah era keterbukaan informasi, bukankah hakikat demokrasi adalah partisipasi rakyat yang tinggi dalam urusan publik? Mengingat, sampai hari ini pemerintah belum cukup terbuka soal data bencana.

Kedua, meningkatkan kualitas petugas inspeksi banjir. Orang-orang inilah yang akan mengumpulkan fakta di lapangan lalu melaporkannya. Bagaimanapun, beragam data sekunder pada bagian pertama tadi, mesti didukung oleh data primer (data terbaru) yang langsung diambil di tempat kejadian. Banyak hal yang bisa didapatkan oleh orang yang terjun ke lapangan, misalnya kapan banjir mulai terjadi (hari, jam, tanggal), berapa lama, seberapa tinggi air banjirnya, seberapa cepat air banjirnya mengalir.

Dan yang tak kalah penting, yang berhubungan dengan tulisan ini, yaitu melacak sumber banjir. Air banjir tersebut berasal dari mana? Pertanyaan ini yang akan mengantarkan kita pada penjelasan soal penyebab banjir. Misal, air banjir berasal dari air sungai yang meluap. Berarti sungai tak mampu menampung aliran air yang melewatinya. Apakah sungai tersebut mengalami degradasi (kerusakan)? Ataukah terjadi aliran permukaan yang lebih deras di bagian hulu akibat kerusakan lahan? Pertanyaan-pertanyaan ini yang selanjutnya mesti dijawab oleh tim inspeksi.

Ketiga, melatih para pegawai penyampai informasi banjir agar punya komunikasi publik yang baik dan efektif. Urusan banjir secara khusus, dan bencana alam secara umum, menyangkut nyawa manusia. Jika informasi tidak disampaikan dengan baik, atau penyampai informasi tak bisa membedakan mana saat serius mana bercanda, ujung-ujungnya masyarakat yang dirugikan. Dan dampaknya akan berkepanjangan: kita tak akan pernah belajar dari kesalahan dan banjir akan terus-terusan menerjang.

Saya kira kita perlu mengubah secara radikal cara pandang kita terhadap fenomena alam. Alam tak pernah salah. Ia hanya mengikuti hukumnya untuk mencari keseimbangan baru karena perubahan yang dibuat manusia. Seperti ujaran lawas: air mengalir dari tempat tinggi ke tempat rendah. Jika tanah tak bisa lagi menyerap air hujan untuk dibawa ke tempat terendah (karena tanahnya sudah dibeton atau dipaving), niscaya air hujan akan menjadi limpasan yang siap menggenangi kumpulan rumah. Dan apakah kita terus akan puas dengan menganggap “hujan lebat” sebagai penyebab banjir? Kapan kita intropeksi diri pada apa-apa yang sudah kita bangun?

Kategori
Transportasi

Pendirian Bangunan Asal-asalan, Banjir Menerjang Jogja

Walau sore masih rintik, warga melihat jembatan Nganggen yang runtuh. Kerusakan ini membuat akses mereka ke desa sebelah harus melalui jalan yang lebih jauh.
Foto: Dandy IM

Jembatan Nganggen, di Bantul, DIY, runtuh terbawa banjir pada Selasa (28/11). Hanya tersisa fondasi jembatan yang termangu sendirian. Balok jembatan, kerikil, dan aspal berguling-guling terbawa aliran air. Itu terjadi di siang hari yang gulita. Saat tetesan hujan masih terjun bebas. Hilangnya jembatan itu membuat dua desa, Tamantirto dan Bangunjiwo, menjadi terpisah.

Kejadian ini menjadi sangat krusial – meski terjadi di wilayah pinggiran. Sebab pada prinsipnya, sekali jalan dibangun, tidak boleh ditutup. Makanya, ketika ada perbaikan, jalan tak boleh ditutup sama sekali. Separuh badan jalan tetap harus disediakan bagi para pengendara.

Dugaan awal akan cepat menyalahkan konstruksi jembatan. Terutama orang-orang yang hanya memantau kejadian lewat layar yang hanya segenggam. Media arus utama juga tidak memberikan penjelasan yang tuntas. Seakan-akan ini hanyalah keruntuhan jembatan biasa di desa yang biasa-biasa saja. Esok atau lusa, kita sudah lupa.

Mungkin jembatan itu memang dibangun asal-asalan dan tidak ada perawatan. Tetapi, banjir yang menggenang sampai 40 meter dari bibir sungai jelas bukanlah beban yang wajar bagi jembatan Nganggen. Bentang jembatan yang hanya 15 meter tentu bukan lawan sepadan bagi terjangan arus banjir sebesar itu.

Grafis: Ridwan AN

Lalu, kenapa terjadi banjir? Mengapa di daerah yang masih banyak sawah dan permukimannya tidak padat tergenang air? Apakah hujan yang tak henti-henti selama dua hari menjadi penyebab utamanya?

Intensitas hujan yang tinggi memang menjadi penyebab. Namun, dengan menyadari bahwa genangan air itu tidak tenang-tenang saja, tapi mengalir sepanjang bantaran sungai, tentu bisa disimpulkan bahwa ini adalah banjir kiriman. Topografi Jogja yang miring dari Utara ke Selatan, membuat kita paham dari mana banjir itu datang.

Lebar sungai di bawah jembatan Nganggen sekitar 8 meter. Dengan lebar sebesar itu dan bentuk tampang sungai yang mendekati trapesium, dapat diperkirakan debit maksimum yang dapat ditampung adalah 11 meter kubik per detik.

Untuk mengukur perkiraan debit banjir yang terjadi, perlu penelusuran DAS (Daerah Aliran Sungai) di daerah hulu (sebelah Utara) Jembatan Nganggen. DAS adalah daerah yang berpengaruh terhadap volume air yang mengalir di sungai. Sederhananya, air hujan yang jatuh di daerah ini, setelah melalui saluran atau mengalir di dalam tanah, akan bermuara di sungai. Berikut hasil penelusuran tim riset Pijak menggunakan Afri GIS.

Grafis: Ridwan AN

Luasan DAS yang ditinjau oleh tim riset Pijak adalah 673 hektare. Dari luasan ini, 479 hektare berupa perumahan padat, gudang/pabrik, dan jalan (warna merah). Bila dirata-rata, koefisien limpasan daerah semacam ini adalah 0,9. Artinya, apabila menggunakan drainase konvensional yang anti-air, maka 90 persen air hujan akan mengalir ke sungai. Sedangkan luas sisanya berupa sawah seluas 194 hektare (warna hijau). Untuk daerah sawah, besarnya koefisien limpasan adalah 0,6. Sehingga, air yang mengalir keluar dari sawah menuju sungai sebanyak 60 persen.

Baca juga: Mencegah Banjir Sejak Dari Rumah

Hujan yang mendera daerah Jogja dari Senin (27/11) sampai Selasa (28/11) yang nyaris tanpa jeda itu, membuat intensitas hujan menjadi tinggi, sekitar 300 mm. Dengan intensitas hujan sebesar ini, dan koefisien limpasan serta luas DAS yang sudah dijelaskan sebelumnya, perkiraan debit yang akan diterima sungai di Jembatan Nganggen sebesar 19 meter kubik per detik. Maka, ada air sebesar 8 meter kubik per detik (19 dikurangi 11) yang tidak dapat ditampung oleh sungai. Kelebihan air inilah yang menggenangi sawah di kiri-kanan sungai, dan merusak tanamannya. Aliran air ini jugalah yang memberikan tekanan tambahan pada jembatan Nganggen. Tekanan terus menerus dari aliran air ini membuat jembatan runtuh. Sebab jembatan itu tidak didesain menahan aliran air sebesar itu.

Semoga ulasan ini dibaca oleh para manusia yang mendirikan bangunan di Utara jembatan Nganggen. Karena, kiriman air hujan dari bangunan-bangunan itulah yang sejatinya menyebabkan runtuhnya jembatan tersebut – sekaligus membuat dua desa terpisah. Keputusan para penghuni rumah itu untuk membuang saja air hujan yang jatuh di genteng rumah mereka melalui saluran atau jalan aspal telah membuat para petani hanya bisa memandangi tanamannya yang porak-poranda diterjang banjir. Tidak hanya itu, kiriman banjir dari bangunan asal-asalan itu telah mengancam para penghuni rumah di sekitar jembatan. Mereka takut jiwa dan harta bendanya diterjang banjir yang semakin meninggi.

Kali ini jembatan Nganggen yang runtuh. Bisa saja esok, lusa, bulan depan, atau tahun depan, giliran bangunan publik lain di Selatan Jogja yang binasa. Itu bisa saja terjadi jika pendirian bangunan di daerah pusat Kota Jogja terus berlangsung secara sporadis.

Kondisi semacam ini semestinya tidak dibiarkan. Perlu gerak bersama untuk mengubah cara pandang kita. Air hujan yang mendarat di atap rumah kita, itu menjadi milik kita. Sebaiknya kita simpan saja. Selain karena limpasan air itu mengancam orang lain yang berada di wilayah yang lebih rendah, air juga mulai langka. Tidak cukupkah kabar kekeringan di berbagai daerah menjadi pelajaran bagi kita untuk mulai menyimpan persediaan air? Meskipun kita tinggal di kota, yang pasokan airnya mungkin aman, tapi air hujan juga bisa mengurangi kadar pencemaran di sekitar rumah. Dengan meresapkan air hujan, limbah-limbah yang bersembunyi di dalam tanah sekitar rumah menjadi lebih encer.

Apabila masih ngotot untuk tidak mengubah pola pendirian bangunan, lalu apakah mau mengganti rugi berbagai kerusakan dan kerugian yang disebabkan oleh air kiriman dari rumah kita? Namun, jika pun kita malah lebih suka mengganti beragam kerusakan itu, daripada mencegahnya, berarti kita masih terjebak di kubangan yang sama. Kita masih lebih suka memperbaiki kerusakan daripada mencegahnya (mitigasi). Kita masih lebih tertarik untuk kelayapan saat bencana terjadi daripada memikirkan solusi agar kejadian itu tidak terulang lagi.

Dandy IM
PijakID
Kategori
Society

Izin Mendirikan Tempat Berteduh

Sumber: Yogyes

Apa yang paling enak dilakukan ketika hujan? Beberapa kawan memilih kelonan. Kawan yang lain memilih bobok. Ada juga yang lebih suka menonton film di laptop atau handphone. Tetapi, kawan saya yang paling gila bilang bahwa yang paling enak adalah berteduh. Buat apa kelonan, bobok, atau menonton film di bawah injakan kengerian kaki-kaki hujan? Itu hanya akan membuat badanmu menggigil dan gadget-mu rusak. Berteduh dulu, baru kelonan.

Maka, sebagian besar manusia butuh berteduh ketika hujan. Kecuali anak-anak yang ketagihan main bola sambil basah-basahan. Pemancing yang tahu bahwa ikan laut lebih lapar ketika hujan juga bakal rela hujan-hujanan.

Sayangnya, tidak semua manusia mendapatkan tempat berteduh yang nyaman. Sebagian orang bisa berteduh di balik dinding bata dan atap beton. Sebagian yang lain masih terkena rembesan hujan dari celah kardus. Bahkan ada yang hanya bisa memanfaatkan ruang di bawah jembatan sambil menekuk lutut.

Tentu tidak perlu menjadi pejuang HAM untuk mengatakan bahwa tempat berteduh yang layak adalah hak setiap manusia. Karena bumi ini terlanjur dibagi-bagi menjadi 196 negara, berarti pengurus negara yang punya kewajiban mewujudkan hal itu. Sayangnya, pengurus negara punya standar ganda dalam memberikan penilaian kelayakan suatu bangunan yang akan atau sudah didirikan. Menjadi ironis jika sifat tersebut juga menular pada kita. Misalnya, yang terjadi di Yogyakarta.

Kita menyesalkan banyaknya rumah yang berdiri di bibir Kali Code ketika tebing di daerah tersebut longsor. Memang, setidaknya tiga tahun terakhir, setiap tahunnya terjadi longsoran tebing di beberapa titik. Dua atau tiga titik bahkan sudah pernah diperbaiki tahun sebelumnya. Analisis Pijak menjelaskan ada yang salah dalam penanganan masalah tersebut. Kita menuding para warga yang rumahnya mepet kali adalah penyebab keruntuhan itu. Secara peraturan memang betul. Dalam aturan perizinan mendirikan bangunan Kota Yogyakarta, setiap rumah yang akan dibangun di pinggir kali atau sungai harus mendapatkan rekomendasi dari Balai Besar Wilayah Sungai Serayu Opak. Salah satu persyaratannya, rumah harus berjarak minimal tiga meter dari kali atau sungai. Memang banyak rumah yang tak memenuhi persyaratan itu.

Tetapi kita sering kali tidak adil. Mungkin ketidakadilan itu juga dipengaruhi oleh ketidaktahuan. Padahal, runtuhnya tebing Kali Code “hanya” membahayakan bangunan di dekat situ. Rumah-rumah yang jauh dari situ tentu tidak akan terdampak. Tetapi para penghuni “rumah jauh” itu mungkin punya jiwa lingkungan yang luhung. Mereka kerap kali berkomentar bahwa orang-orang pinggir kali “mendirikan rumahnya nggak mikir-mikir”.

Baca juga: Kotak Kuning Pengatur Lalu Lintas

Padahal hotel, mall, apartemen, atau bangunan jenis lainnya yang langsung berjendela ring road sehingga menjadi penyumbang besar terhadap kemacetan tidak menjadi bahasan menarik bagi kita. Bangunan-bangunan itu punya akses langsung masuk ring road yang berkelas Jalan Nasional. Hal itu tentu melanggar hierarki jaringan jalan. Secara prinsip tata ruang ngawur. Mungkin karena kendaraan pribadi sudah mendarah-jantung, kini bangunan-bangunan di kota berlomba-lomba paling dekat ke badan jalan. Tengok saja bangunan yang berada di kanan-kiri Jalan Kaliurang yang dekat UGM. Seluruhnya menjadi penyumbang hambatan samping terbesar. Namun apakah kita pernah mengeluh, misalnya di sosial media, tentang persoalan itu? Mari kita jangan meremehkan sosial media. Pengurus negara ini juga memantau sosial media. Dan sebaiknya tidak ada yang dijadikan alasan untuk pesimis. Sebab perubahan dimulai dari hari ini.

Persoalan macet tentu saja sangat berpengaruh pada kita ketimbang runtuhnya tebing kali. Terutama bertambahnya jumlah usia kita yang habis di jalanan. Pemkot Yogyakarta dan Pemda Sleman sebetulnya juga menyaratkan bahwa semua bangunan wajib melakukan kajian dampak lalu lintas bila diperlukan (dekat dengan jalan). Tetap kenapa hal ini jarang sekali menyedot perhatian kita ketika ada yang melanggar? Apakah kita sudah menilai hal itu sebagai sesuatu yang wajar? Apakah pejuang lingkungan menganggap persoalan tersebut tidak masuk dalam ranah lingkungan?

Sesungguhnya persoalan lalu lintas sangat masuk dalam bahasan lingkungan. Sebab bidang itu juga berpengaruh pada kelanjutan hidup kita.

Dandy IM
PijakID