Kategori
Society

Mari Jaga Lingkungan, Biar Korporasi Yang Merusaknya

Menggunakan produk-produk yang mengurangi single use plastic, seperti tempat minum, makan, kantong, maupun yang lain, kini kian menjadi gaya hidup baru masyarakat. Kesadaran akan meningkatnya limbah sampah, dan proses terurainya yang lama membawa kita semakin prihatin dan ikut berperan dalam menjaga umur bumi ini. Karena tentu kita masih ingin udara yang layak hirup bumi yang layak tinggal bagi seluruh makhluk hidup. Atau minimal, secara egois, bagi kita dan keturunan kita.

Sudah tentu, gaya hidup yang sejalan dengan Sustainable Development Goals (SDGs) ini didukung penuh oleh pemerintah. Baik pusat maupun daerah. Bahkan mereka pun mengampanyekan gaya hidup ini ke khalayak ramai. Tidak dapat dipungkiri bahwa kelestarian bumi dan makhluk hidup adalah konsen mereka. Selain peningkatan produksi limbah plastik yang tak kunjung ketemu bagaimana solusinya.

Kampanye kian marak, di beberapa kantor pemerintah bahkan sampai mewajibkan karyawannya menggunakan tumbler dan melarang botol plastik sekali pakai. Terdengar seperti future society, dimana setiap stakeholder di masyarakat sadar akan kelestarian lingkungan.

Memang, penggunaan plastik sekali pakai memberikan ancaman bagi lingkungan. Mulai dari proses produksi, konsumsi, dan pembuangannya menghasilkan emisi karbon yang mengakibatkan suhu bumi yang semakin memanas dan berujung pada perubahan iklim. Namun selain penggunaan plastik sekali pakai oleh masyarakat umum, tidak kalah penting juga walau sering dilupakan, bahwa perubahan iklim juga disebabkan oleh deforestasi (penggundulan hutan) dan pembakaran bahan fosil oleh industri.

Utamanya pada deforestasi, hal ini sangat mendesak untuk dihentikan. Apalagi di Indonesia sebagai negara yang masuk dalam wilayah tropis.  Menurut Conservation International, hutan tropis sangat baik dalam menyimpan karbon sehingga mencegah kemungkinan terburuk dari perubahan iklim. Namun pencegahan perubahan iklim berdasar alam yang merupakan solusi terbaik itu belum terlalu dilirik. Bahkan hanya mendapatkan jatah 2 persen dari pendanaan iklim. Di Indonesia sendiri, pemerintah masih belum sadar bahwa masalah lingkungan itu bukan hanya-tanpa mengesampingkan kepentingannya-tentang sampah plastik. Masalah pencemaran lingkungan bukan hanya sekadar sampah tetapi juga emisi yang dihasilkannya.

Selain keasyikan memberi seminar-seminar tentang pentingnya penggunaan tumbler, perlu juga bagi pemerintah melakukan regulasi yang mengurangi tindakan deforestasi. Pencemaran sampah memang perlu dikurangi, tetapi produksi limbah sampah plastik bukan hanya sekadar tentang kesadaran. Permasalahan itu lebih jauh adalah akibat dari permasalahan kelas. Contoh sederhananya, tidak semua masyarakat dapat mengakses dengan mudah sampo botol. Perihal makan saja belum tentu setiap hari, apalagi keramas. Sehingga penggunaan sampo saset menjadi pilihan.

Dibanding terus menekan masyarakat kelas bawah, lebih baik fokus meregulasi korporasi-korporasi dan segala industrinya. Tidak dapat dipungkiri bahwa keberadaannya memberi manfaat ekonomi. Tapi apakah tidak sayang jika keturunan kita tidak bisa menikmati hidup dengan alam yang masih terjaga. Saya rasa jika terus seperti ini, di masa depan orang sudah tidak lagi memikirkan ekonomi. Karena bisa dapat tempat hidup saja sudah syukur. Walaupun investasi penting, namun keberlangsungan alam lebih penting.