Kategori
Politik

Politik Kuasa dengan Menu di Atas Meja

Politik dengan menu di atas meja dan menu tersembunyi, lebih suka yang mana?

Urusan publik, keterbukaan informasi, apalagi soal politik memang kadang mudah diwakilkan ibarat bermain bola. Ada umpan lambung ke depan, ada yang bertahan, ada libero dan tentu saja striker yang siap menusuk eh, menendang bola ke gawang lawan.

Kemenangan permainan bola adalah terkumpulnya skor siapa yang lebih banyak memasukkan gol ke gawang lawan. Bagi tim yang kebobolan gawang, jelas jadi pihak yang kalah.

Siapakah pemenang sejati dalam permainan bola? Siapa pemenang sejati dalam permainan politik?

Di luar permainan bola, ada manajer, ada pelatih, ada penonton, ada banyak pihak yang terlibat dalam emosi permainan bola.

Apalagi dalam urusan politik.

Bisa kelelahan kalau sekedar menulis ragam permainan aktor politik. Apalagi memperhatikan permainan politik tanpa tujuan jelas. Apa itu? Berkuasa semata.

Nah, di tiap negara, tiap aktor politik memiliki karakter masing-masing. Budaya politik yang dipanggungkan juga jelas berbeda.

Di periode kedua Joko Widodo, jelas isu politik lebih dinamis. Sejumlah lembaga survei politik sudah memiliki peta dukungan dan popularitas individu, popularitas pasangan untuk mengisi kandidat pengganti Joko Widodo – Maruf Amin di pilpres 2024.

Waktu yang cukup pendek, bagi siapa saja yang memang berkehendak maju menjadi pasangan capres dan cawapres. Termasuk kendaraan politik (parpol)  yang bisa memuluskan proses pencalonan kandidat pemimpin Indonesia paska Joko Widodo-Maruf Amin.

Rasanya belum lama hingar bingar kampanye pilpres diikuti bersama. Betapa riuhnya, betapa bersemangatnya kala itu, bukan hanya tim kampanye tapi pendukungnya sampai mengkristal ke dua kubu cebong-kampret. Sama-sama punya amunisi saling ejek, saling serang, terutama ekspresi politik di medsos. Gaduh sekali.

Akhir permainan politik?

Sebagai pemenenang, ada budaya politik baru yang dihadirkan.  Semua paslon mencicipi kuasa pemerintahan.

*****

Ini bukan beromantisme, sekedar review kilas balik saja. Bagaimana Prabowo Subianto bisa maju menjadi kandidat capres bersama Sandiaga Uno, bagaimana Joko Widodo dan Maruf Amin bisa berpasangan melenggang meraih kemenangan?

Lebih ke belakang lagi. Bagaimana euforia partai politik kala pertama kali terlepas dari kuasa otoriter Jenderal Soeharto dengan orde baru-nya?

Ada yang ingat siapa saja yang menjadi tim sebelas, yang mempersiapkan Komisi Pemilihan Umum penyelenggara Pemilu 1999? Bagaimana posisi mereka sekarang?

Apalagi? Upaya pelengseran Presiden Abdurahman Wahid oleh poros tengah dengan tokoh-tokoh politiknya. Ada yang terekam kuat peristiwa itu. Siapa saja politisi busuk yang menggerogoti duit negara, pejabat korup yang masih saja bisa tersenyum kala kasusnya dibongkar, diadili?

Bagaimana kelanjutan proses hukum, kasus orang hilang yang belum kembali ke keluarganya? Kekerasan politik di masa lalu, dan penyelesaiannya.

Masih banyak berderet isu politik yang bisa jadi menu perbincangan publik belum tuntas terselesaikan sampai saat ini. Masalah hukum, keadilan, kesenjangan ratio gini, kesehatan, pendidikan, kebudayaan dan perekonomian masih bertumpuk butuh penyelesaian. Termasuk kerja bersama, keluar dari krisis dampak pandemi yang begitu dalam, di seluruh sektor peri kehidupan bangsa.

*****

Gaduh, riuh, populer di media termasuk medsos bukanlah ukuran ada urusan publiknya. Rasanya hal beginilah yang penting, yang perlu dipahamkan kepada semua.

Jika politik diibaratkan permainan bola, bolehlah berlatih dan memilih lawan bermain, untuk bersiap dalam momen laga, musim kompetisi liga demokrasi elektoral lima tahunan.

Kalaupun gaduh, semarak dan berhasil memikat perhatian publik, permainan bola politik, isu elit, isu kuasa di level elit, jauh dari jangkauan penggemar biasa, perhatian rakyat.

Iya, bagi tim dan elemen tim tentu akan selalu jadi bahan hangat obrolan, perbincangan, diskusi. Tapi sebagai tontonan, hiburan di kala pandemi,  permainan politik kuasa rasanya macam menonton laga uji nyali,  pertandingan latihan semata. Tak ada piala dan kemenangan yang bisa dirayakan.

Apalagi piala trophy bergilir dari Presiden. Ini masih pandemi, masih butuh jaga jarak, hidup sehat, rajin cuci tangan dan pakai masker.

Sing sabar ngadepi kahanan.

Kategori
Politik

Pasir Sakti dan Tata Kelola Sumber Daya Alam

“Butir butir pasir di laut,…” kalimat pendek ini lamat-lamat mengisi ruang memori dan ingatan atas beragam peristiwa. Drama radio serial ini disiarkan oleh Radio Republik Indonesia yang baru saja berulang tahun 11 September lalu.

Pasir, butiran pasir tentu sangat lekat dengan kita semua. Baik untuk urusan nasib buruk maupun baik. Pasir bisa berguna, memberikan penghidupan sekaligus sangat mengganggu kala mata kena debu pasir, kelilipan.

Di pesisir pantai, butiran pasir terhampar menjadi lanskap keindahan di sepanjang pesisir negeri. Jadi bagian obyek wisata alam yang potensial. Jadi tujuan destinasi wisata pantai dengan hamparan pasir putihnya.

Di sungai, pasir adalah bagian ekosistem kawasan daerah aliran sungai yang penting dan kadang diperebutkan pemanfaatannya oleh banyak pihak.

Ada istilah “wedi kengser” untuk menandai wilayah kanan-kiri daerah aliran sungai yang dimanfaatkan oleh mereka yang menjadikan bantaran sungai sebagai tempat bersandar. Hidupnya bergantung di kawasan bantaran sungai. Ada yang dikuasai jadi hunian sampai ada yang mendapatkan penghidupan dengan menambang pasir di alur alur sungai.

Pasir, memberi banyak manfaat saat terkelola baik, jadi bagian ekosistem penting di sebuah kawasan.

Gumuk pasir di pesisir selatan Bantul adalah kawasan geopark yang bisa jadi tempat mempelajari fenomena alam yang unik di pesisir. Tidak semua pesisir pantai memiliki gumuk yang berpindah-pindah puncaknya karena hembusan angin. Ada pelajaran dari butiran pasir di laut yang terbawa angin.

Di pegunungan, lereng gunung Merapi Sleman, pasir menjadi sumber penghidupan juga dengan adanya banyak pihak yang menambang pasirnya. Konon banyak yang hidupnya menjadi sejahtera.

Mbah Maridjan pernah berpesan kepada bangsa ini, “Ojo njupuk opo sing dudu dadi hakmu,” kalau diterjemahkan bebas ya jangan mengambil apa saja yang bukan menjadi hak kita. Jangan mengambil berlebihan, karena pasir bisa membawa barokah sekaligus menjadi musibah kalau tidak terkelola dengan baik. Manusia penambang pasir mati akibat tertimbun longsoran, adalah kabar duka yang bisa terjadi kapan saja.

Ada rejeki kalau mau mengelola, karena faktanya banyak pihak yang menjadi sejahtera dengan keberadaan pasir. Baik yang ngapling pasir dengan cara tradisional maupun yang besar-besaran dengan backhoe untuk penambangan.

Soal tata kelola sumber daya alam, butuh kearifan dalam tindakan. Kalau ada yang salah, jelas butuh diingatkan agar tak lagi terulang dan alam bisa lestari.

Di lereng Gunung Kelud kabupaten Blitar, kok ya kebetulan ada juga kabar dari penegak hukum yang memilih mundur sebagai polisi dan mengajukan surat pengunduran diri. Pasir, kok ya masuk bingkai narasi sebagai satu sebab seorang polisi minta diproses pengunduran dirinya.

Ada apakah gerangan, benarkah kisah mundur diri anggota polisi ini gara-gara sebutir pasir yang salah dikelola?

Saya jadi ingat sebuah kawasan, Pasir Sakti nama daerahnya, di Lampung Timur. Pernah jadi berita juga karena kawasan pesisir pantainya pernah rusak akibat dikeruk, ditambang dan dibawa jauh hingga ke negeri lain, memperluas wilayah Singapura katanya. Bawa keuntungan sebagian pihak sekaligus bawa kerugian dan kerusakan alam.

Faida,  petahana Bupati Jember dengan bekal jalur independen memilih berada di belakang rakyat dengan ambil posisi menolak tambang emas di Silo sebab petani lebih yakin dunia pertanian, kebun kopi dan aneka hasil pertanian sudah cukup bawa kesejahteraan.

Butir-butir pasir di laut, membawa kisah aneka rupa perjalanannya.

Di awal Desember ada pemilihan kepala daerah (pilkada) di  270 tempat. Banyak narasi lain yang berlintasan tentunya, isu publik soal tata kelola, rasanya masih jadi magnet untuk dapat perhatian bersama.

Sumber daya alam (SDA) dan kebijakan tata kelolanya, bisa jadi tema topik utama debatnya agar rakyat bisa dapat manfaatnya.

Saatnya bagi pemilih memberikan dukungan untuk paslon pilkada saat memiliki rekam jejak baik, atau abaikan segala janji kampanye paslon kalau mereka tak becus dan tak memiliki keberpihakan yang jelas soal tata kelola SDA agar sebesar-besar manfaatnya untuk rakyat.

Selamat menimbang pilihan,  selamat memilih pemimpin dengan rekam jejak kepemimpinan yang jelas. Bukan sekedar populer saja.

Kategori
Politik Society

Dulu Pelacur Punya Peran dalam Perjuangan Kemerdekaan, Kini Mereka Hanya Jadi Korban Politik

Apa yang akan kita ucapkan ketika ditanyai siapa yang berperan dalam Kemerdekaan Indonesia? Kebanyakan dari kita pasti akan menyebut Sukarno, Hatta dan tokoh-tokoh dalam struktur PPKI dan BPUPKI. Sedikit dari kita mungkin akan bercerita perjuangan tokoh lainnya yang berhasil melahirkan embrio-embrio revolusi seperti Pangeran Diponegoro, Budi Utomo, Umar Said Cokroaminoto. Tetapi untuk kali ini mari bersepakat bahwa Kemerdekaan Indonesia didapatkan karena peran dari semua warganya yang punya kemauan tulus untuk merdeka. Tak terkecuali dari seorang pelacur.

Pelacur dalam masa perjuangan kemerdekaan yang dimotori oleh Sukarno mempunyai peran sangat penting. Seperti yang telah diuraikan dalam buku autobiografi Sukarno berjudul ‘BUNG KARNO – Penyambung Lidah Rakyat’ (penulis Cindy Adams), pada awalnya Sukarno sangat kesulitan untuk menghimpun kekuatan untuk bergabung dalam PNI partai yang didirikannya pada tahun 1928. Pergerakannya sangat dibatasi dan terus-menerus diawasi oleh Belanda. Sangat sulit mengadakan pertemuan dan diskusi. Apalagi menghimpun dana untuk berbagai kegiatan partai. Disaat itulah kekuatan dahsyat dari 670 pelacur secara tulus membantu perjuangan Sukarno di Bandung.

Meski awalnya ditentang oleh rekan-rekannya karena dianggap memalukan dan tidak bermoral, Sukarno dengan tegas menentang dengan mengatakan, “Apakah Bung, pernah menanyakan alasanku untuk mengumpulkan 670 perempuan yang dianggap sampah masyarakat ini? Itu karena aku tahu bahwa aku tidak akan pernah dapat maju tanpa suatu kekuatan. Aku memerlukan sumber daya manusia, sekalipun tenaga perempuan. Bagiku persoalannya bukan bermoral atau tidak bermoral. Tenaga yang dahsyat itulah yang satu-satunya yang kuperlukan.”

Peran pelacur menurut Sukarno sangat penting, bahkan ia mengatakan, “Anggota lain dapat kutinggalkan. Tetapi meninggalkan perempuan macam mereka, tunggu dulu.” Pernyataan Sukarno bukan tak berdasar. Jika Anda pernah membaca tentang kisah Madame Pompadour, seorang pelacur yang sangat tersohor dalam sejarah. Theroigne de Merricourt pemimpin perempuan yang terkenal di Perancis. Perjuangan revolusi yang terkenal sebagai barisan roti di Versailles. Siapa yang memulai? Ya kupu-kupu malam ini.

[mks_pullquote align=”right” width=”300″ size=”24″ bg_color=”” txt_color=”#1e73be”]” Aku memerlukan sumber daya manusia, sekalipun tenaga perempuan. Bagiku persoalannya bukan bermoral atau tidak bermoral. Tenaga yang dahsyat itulah yang satu-satunya yang kuperlukan.” -Sukarno- [/mks_pullquote]

Dan memang benar, para pelacur ternyata memperlihatkan hasil yang hebat. Awalnya mereka hanya dimintai tolong untuk memberikan tempat untuk agenda pertemuan dan rapat, sekaligus sebagai pengawas. Otak siapa yang akan mengira di tempat prostitusi akan dijadikan tempat berdiskusi secara serius. Di tempat ini siapapun bisa datang, kolega-kolega partai bisa aman menyusun strategi dan ketika pergi bisa mengaku ‘cuma melampiaskan hasrat seks’ tanpa siapapun yang curiga.

Kemudian tugas pelacur mulai ditambah sebagai informan karena tidak ada satupun laki-laki anggota partai yang terhormat dan sopan itu dapat mengerjakan tugas itu. Para pelacur membuai aparat Belanda dan cecunguk-cecunguknya untuk melalaikan tugasnya. Memuaskan birahinya tetapi mengambil semua informasi dari mereka. Tentu saja sangat berhasil. Siapapun akan setuju dengan penyataan, “Jika kau memerlukan mata-mata, pelacurlah orang yang tepat. Mereka adalah mata-mata terbaik sejagat raya.” Bahkan di penjara pun para pelacur tentara Sukarno ini masih bisa menunaikan tugasnya dengan baik.

Tidak bisa dipungkiri, karena profesi mereka sebagai perempuan jalanan, seringkali mereka harus berurusan dengan hukum dan diancam dengan hukuman penjara. Suatu kali seluruh pasukan pelacur ini terjaring oleh razia. Dalam hal ini Sukarno mendorong mereka agar memilih menjalani hukuman kurungan saja. Mereka tetap patuh dan setia kepada pemimpinnya, sehingga ketika hakim meminta mereka membayar denda, mereka menolak, “Tidak, kami tidak bersedia membayar.” Lagi-lagi hal ini mempunyai alasan khusus, agar para pelacur dapat menunaikan tugas selanjutnya yaitu perang urat syaraf. Dengan menggoda aparat penjara, istri mana yang tidak menjadi gila menghadapi keadaan ini?

Kisah peran pelacur selanjutnya ada pada saat pasukan Jepang menyerbu Kota Padang. Singkat cerita, Sukarno yang direncanakan akan dilarikan kembali ke Jawa oleh Belanda dari tempat pengasingannya di Bengkulu, harus berlayar melalui Pelabuhan Padang karena saat itu Pelabuhan Palembang sudah diserbu oleh Jepang. Sialnya, setelah sampai Padang, Jepang telah memporak porandakan Kota Padang. Belanda kocar-kacir dan pasukan pengawal Sukarno kabur. Gantian pasukan Jepang yang menangkap Sukarno. Di Padang Sukarno dipekerjakan oleh Jepang sebagai kolabolator -penyambung mulut dari orang Jepang kepada pribumi- untuk memenuhi semua kebutuhan pemerintah Jepang. Sukarno dijanjikan akan diberikan kebebasan untuk menghimpun kekuatan untuk menyusun komite pelaksana kemerdekaan Indonesia dan diberikan berbagai fasilitas untuk itu. Berbagai keluhan Jepang dapat dipenuhi oleh Sukarno termasuk untuk pemenuhan paksa pasokan beras kepada Jepang. Ia memperoleh beberapa ton beras dari para petani, pengikut setianya.

Suatu hari, Jepang dengan nada mengancam, menekan Sukarno untuk mengatasi krisis yang sangat krusial. Yakni, krisis kehidupan seks prajurit Jepang. Suku Minangkabau terkenal sangat beragama. Kaum perempuan dibesarkan sangat ketat. Saat itu Sukarno memperingatkan, “Kalau anak buah Anda mencoba berbuat sesuatu dengan gadis-gadis kami, rakyat akan berontak. Anda akan menghadapi pemberontakan besar di Sumatera.” Namun Sukarno juga berpikir jika masalah ini tidak terleselasikan, bangsa ini akan mengalami dihadapkan kepada persoalan yang lebih besar lagi.

Sukarno sempat berdikusi sengit dengan ulama Padang dengan kesimpulan harus melindungi gadis-gadis Padang sekaligus menjaga nama baik bangsa. Kesimpulan itu segera ditafsirkan Sukarno dengan mendatangkan 120 pelacur dari daerah sekitar Kota Padang dan menempatkan mereka pada suatu kamp di suatu daerah terpencil dengan pagar yang tinggi di sekelilingnya. Setiap prajurit diberi kartu dengan ketentuan hanya boleh mengunjungi tempat itu sekali dalam seminggu. Dalam autobiografinya, Sukarno mengutarakan, ” Maksudku, mungkin tidak baik bagi seorang pemimpin dari suatu bangsa untuk menyerahkan perempuan. Memang, aku mengetahui satu istilah untuk jenis manusia seperti itu. Tetapi ini merupakan kesulitan yang serius untuk mencegah bencana yang hebat. Karena itu aku mengatasinya dengan cara yang kutahu paling baik. Hasilnya pun sangat baik. Setiap orang merasa senang dengan rencanaku itu.”

Dengan bantuan para pelacur tersebut Sukarno diperbolehkan kembali ke Jakarta. Berjuang kembali dengan kolega-koleganya untuk membangun siasat memperjuangkan Kemerdekaan Indonesia.

Itulah beberapa peran pelacur dalam perjuangan kemerdekaan yang sempat tertuliskan, dan yakinlah di berbagai penjuru bangsa masih banyak kisah heroik yang dilakukan para perempuan yang selalu dihina ini untuk kebebasan dan kemerdekaan bangsa yang dicintainya. Siapa yang berharap seseorang perempuan mau menjadi pelacur, semua orang pasti tidak mau. Namun, keadaan bisa memaksa seseorang untuk tenggelam dalam pekerjaan tersebut. Mari kita buka mata kita lebih lebar lagi dan membiarkan tulisan ini lebih panjang lagi.

Awal bulan Februari tahun 2020, masyarakat Indonesia dihebohkan dengan skandal penggerebekan pekerja seks yang diduga dilakukan oleh politisi Partai Gerindra, Andre Rosiade. Berlokasi salah satu hotel di Padang, sebuah daerah yang disebutkan di tulisan ini menjadi saksi bagaimana peran para pelacur sangat membatu Sukarno untuk dapat kembali ke Jakarta. Lebih tragisnya lagi, korban penggerebekan berinisial, NN, ini mengaku ia dipesan terlebih dahulu, dipesankan kamar, dibiarkan telanjang untuk ditangkap dan disorot kamera.

Sebagian orang mungkin setuju, razia pekerja seks seperti itu dikatakan sebagai “memberantas maksiat”. Tetapi semua berhak setuju, sekenario yang dilakukan oleh ‘terduga’ Andre Rosiade tersebut sangatlah tidak pantas dilakukan. Alih-alih ingin mendapatkan simpati dan keuntungan politik, yang datang hanyalah kutukan terhadap perbuatan tersebut sebagai perlakukan yang tidak manusiawi.

Bagaimanapun pelacur tetaplah manusia. Walaupun pekerjaannya dipandang hina, ia pasti masih mempunyai harga diri. Dan negara masih punya kewajiban melindunginya. Dengan model rekayasa penggerebekan seperti itu Anda tidak hanya menangkap seseorang, tapi Anda telah menghancurkan harga diri seseorang, menikam hak asasinya, dan membunuhnya. Tentu saja banyak yang berdiri bersama NN saat ini, bukan tentang ia mendukung maksiat, tetapi berdiri demi kemanusiaan.

Mari kita renungkan dan mencoba memposisikan perempuan-perempuan seperti NN ini sebagai korban. Apa dasarnya? Tidak ada satu perempuan pun yang ingin terlahir sebagai pelacur, namun keadaan bisa memaksa seseorang untuk tenggelam dalam pekerjaan tersebut. Jika ditanyai alasannya mengapa ia terpaksa menjalani pekerjaan tersebut, pasti hulunya adalah pada masalah ekonomi.

[mks_pullquote align=”left” width=”300″ size=”24″ bg_color=”” txt_color=”#1e73be”]”Bagaimanapun pelacur tetaplah manusia. Walaupun pekerjaannya dipandang hina, ia pasti masih mempunyai harga diri. Dan negara masih punya kewajiban melindunginya.”[/mks_pullquote]

Harusnya negara belajar dari masih banyaknya kasus prostitusi ini. Bisa jadi jaminan sosial yang selalu dijanjikan tiap kampanye hanya agenda politik semata dan tidak pernah nyata terlaksana. Bisa jadi pendidikan yang pincang tidak dapat menyaring arus globalisasi membiarkan saja rantai kapitalisme global masuk. Menjadikan warga negara hanya menjadi konsumen, tanpa ada transfer teknologi dan penyerapan tenaga kerja.  Tentu saja perempuanlah yang paling dirugikan. Lihat di TV Anda berapa menit prosentase iklan tayang dibanding acaranya. Jika dicermati sebagian besar iklan dan acara TV tersebut menyasar konsumen perempuan. Mereka menciptakan sebuah tren baru seolah-olah setiap perempuan harus mengikuti itu. Ketika semua kebutuhan dan keinginan memuncak tetapi tidak punya uang untuk membeli, akhirnya melacur dijadikan solusi.

Tidak hanya itu, perempuan-perempuan seperti NN ini juga rentan menjadi korban politik praktis. Siapapun yang ingin dapat simpati masyarakat dan mendapatkan keuntungan politik (elektabilitas) berusaha menutup semua tempat prostitusi. Apalagi sekarang ditambah lagi dengan sentimen agama bahwa mereka ini adalah orang-orang maksiat yang menyebabkan bencana.  Terkadang perlu juga kita lempar pertanyaan kepada orang ini, apakah maksiat hanya terdiri dari kegiatan pelacuran? Bagaimana dengan korupsi yang nyata-nyata menyebabkan bencana kepada semua orang? Bagaimana dengan money politics? Bagaimana dengan black campaign? yang sering memecah belah masyarakat. Tidakkah itu tindakan yang lebih terkutuk dan menjijikan?

Tragisnya lagi penutupan daerah prostitusi tersebut tidak pernah disertai penanganan lebih serius. Para pelacur kadung dicap sebagai orang tidak bermoral dan tidak pantas bekerja dimanapun.  Akhirnya mereka yang perlu uang untuk memenuhi kebutuhannya terpaksa menjalani pekerjaan itu lagi dengan menyebar menjadi kelompok-kelompok kecil sehingga susah untuk dikendalikan. Beberapa kelompok mereka yang menyebar secara tidak langsung juga dapat mempengaruhi lingkungan kecil mereka untuk bekerja dengan hal yang sama. Praktik pelacuran semakin parah dan penyelesaian penanganannya semakin rumit. Niat awal yang ingin memberantas maksiat, justru menambah permasalahan maksiat baru. Pelacur tetap yang disalahkan.

[mks_pullquote align=”right” width=”300″ size=”24″ bg_color=”” txt_color=”#1e73be”]”Disaat mereka merazia para pelacur. Hutan-hutan digunduli, gunung-gunung dijadikan komplek vila, tambang-tambang yang menyiksa warga dilanggengkan, aktivis lingkungan digebuki, dan pendirian pabrik dengan limbah membahayakan dilegalkan. Ketika ada bencana, pelacur tetap nomor satu yang dituduh menjadi biang keladinya.“[/mks_pullquote]

Pada akhirnya kita perlu menguji pernyataan politisi-politisi yang menjadikan pelacur sebagai obyek kegiatan politiknya. Mereka seringkali mengatakan, “Kita mememerangi maksiat agar tidak terjadi bencana pada bangsa.” Disaat mereka merazia para pelacur. Hutan-hutan digunduli, gunung-gunung dijadikan komplek vila, tambang-tambang yang menyiksa warga dilanggengkan, aktivis lingkungan digebuki, dan pendirian pabrik dengan limbah membahayakan dilegalkan. Ketika ada bencana, pelacur tetap nomor satu yang dituduh menjadi biang keladinya.

Tentu lucu mendengar hal demikian, namun harus kita terima bahwa itulah faktanya, politisi kita kadangkala ada yang berkata seperti itu. Apakah mereka pura-pura bodoh? Kita tidak tahu. Yang Jelas Sukarno dengan pasukan 670 pelacur di Bandung dan 120 pelacur di Padang dapat bergotong royong untuk meraih kemerdekaan.

Atau jangan-jangan intisari dari kata ‘maksiat’ yang sebenarnya adalah orang dengan rasa kemanusiaan yang hilang. Nah, kalau itu jelas akan membawa bencana.

Kategori
Politik

Mahasiswa Teknik Seluruh Indonesia, Berpolitiklah!

Dulu, di tahun kedua aku kuliah, ada kuliah umum salah satu matakuliah yang mendatangkan alumni sebagai pembicara. Seluruh mahasiswa diwajibkan hadir. Jadi aku pun hadir.

Namun, karena malam sebelumnya begadang, aku tidak terlalu memperhatikan omongan si pembicara. Tapi ada satu kalimat yang tiba-tiba menarik perhatianku. “Seorang insinyur jangan alergi politik! Karena setiap keputusan dalam bidang teknik ditentukan oleh kebijakan politik!” Begitu kata si pembicara. (Bagi kawan yang mendengarnya juga, mohon koreksi apabila kalimatnya salah).

Kalimat itu terngiang-ngiang di kepalaku hingga hari ini…

Satu semester sebelumnya, aku baru bergabung dengan organisasi di bidang sosial politik. Jadi, sebetulnya aku telah terpapar dengan aktivitas politik. Walaupun aku masih ogah-ogahan waktu itu. Sebab aku masih menganggap politik hanyalah tentang perebutan kekuasaan, politik praktis, saling sikut, saling tikung, dan hal-hal menjijikkan lainnya.

Seminar yang kuceritakan tadi sungguh telah membuka pikiranku. Ternyata penerapan bidang ilmuku juga dipengaruhi politik! Bagaimana aku bisa acuh?

Tahun-tahun berlalu. Kini aku sudah berada di penghujung masa kuliah. Seperti mahasiswa akhir pada umumnya, aku mulai gelisah. Apalagi waktu itu sedang ada isu pembangunan prasaran transportasi di provinsi tempatku menuntut ilmu. Dalam proses pembangunannya, terjadi konflik lahan antara masyarakat dan pemerintah. Peristiwa ini semakin membuatku gelisah.

Dari pelajaran di kelas, aku paham bahwa infrastruktur yang memicu konflik lahan ini perlu dibangun karena yang ada sudah tak lagi mampu menampung penumpang yang makin padat. Namun juga aku tahu dari pengalaman dan bacaan, pemilihan lokasi pembangunan infrastruktur perlu mempertimbangkan aspek sosial.

Sungguh pusing kami waktu itu mencari trase (jalur) terbaik dalam matakuliah geometri jalan, gara-gara menerobos kuburan dan pemukiman warga. Tapi kenapa pada pembangunan proyek ini bisa sampai terjadi konflik? Bukankah perancangnya adalah insinyur-insinyur terbaik negeri ini?

Jawaban pun kudapat, walau hanya kata seorang teman dan masih kupertanyakan kevalidannya. Prasarana tersebut telah memiliki beberapa opsi lokasi dan yang dipilih itu bukan opsi terbaik berdasarkan aspek sosial. Sasus yang kudengar, masalah keuntungan wilayahlah yang menyebabkan dipilihnya lokasi itu.

Dari informasi tersebut aku semakin sadar. Politik memang tidak memengaruhi tulangan beton yang akan digunakan. Namun lebih besar dari itu, dampak sosial pada masyarakat akibat kerja-kerja insinyur ditentukan olehnya. Keputusan politiklah ujung tombaknya. Oleh karena itu, aku serukan pada para insinyur dan calon insinyur yang sadar akan kemanusiaan: berpolitiklah! Kalau tidak karya-karya yang kau pikir mulia itu hanya dimanfaatkan oleh mereka yang memiliki kuasa untuk mengambil keuntungan.

Kategori
Society

Kaum Muda yang Berpikiran Segar, Mari Bersatu!

Sebelumnya aku tak tahu ia siapa. Pemandu acara PPSMB Teknik UGM memperkenalkannya sebagai pelopor mobil listrik nasional. Ia diundang sebagai pembicara di depan barisan mahasiswa baru teknik, termasuk diriku.

Aku tidak ingat ia bicara apa. Yang kuingat, nampaknya ia tak terlalu bersemangat menjawab pertanyaan dari mahasiswa baru. Sampai kemudian ada yang bertanya begini: kalau kami sudah bekerja keras untuk menemukan inovasi dalam bidang teknik, lalu terbentur dengan persoalan politik, bagaimana?

Begini ia membuka jawabannya, “Nah, pertanyaan ini yang saya tunggu-tunggu dari tadi.” Kalimat selanjutnya aku lupa persisnya. Tapi kira-kira singkatnya seperti ini, “Tidak usah mikirin politik. Kalian berkaryalah dengan tekun.” (Koreksi kalau aku salah, bagi yang mendengarnya juga).

Sampai beberapa bulan kemudian, aku mengamini perkataannya. Ngapain juga ikut-ikut mengurusi politik. Aku kan kuliah teknik. Setiap orang sudah punya perannya masing-masing. Jika setiap orang menjalankan perannya dengan baik, maka dunia ini akan semakin cepat mencapai cita-cita bersama. Aku ingin mempelajari bidang ilmuku secara sungguh-sungguh. Dan tak perlu ambil pusing dengan bagian orang lain, termasuk politik.

Sejujurnya aku tidak tahu kapan dan di momen apa mulai meragukan omongan si pelopor mobil listrik nasional. Bisa jadi memang tidak ada momen spesial yang mengubah pandanganku. Prosesnya berangsur-angsur.

Kini aku percaya, tanpa politik, penerapan ilmu-ilmu teknik akan sulit berdampak luas. Uji coba inovasi teknik di sebuah desa memang bikin kagum, dan tidak ada salahnya. Namun, jika terus dilakukan oleh komunitas-komunitas kecil, tanpa ada peran aktif negara, maka hanya sebagian kecil (bahkan sangat kecil) kelompok masyarakat saja yang menikmatinya.

Mengapa? Karena yang punya perangkat lengkap itu negara. Dengan dukungan birokrasi negara yang gemuk dan anggaran yang jumbo, negara bisa menerapkan kegiatan yang dampaknya sangat luas.

Pekerjaan rumahnya memang besar. Karena saat ini, citra ilmu teknik cukup buruk apalagi di benak masyarakat terdampak pembangunan. Ilmu teknik kerap dituding menjadi alibi penguasa dalam melaksanakan proyek-proyek yang tidak sensitif pada kemanusiaan. Jalanan macet, kata ilmu teknik via bibir penguasa: bangun jalan tol. Ada potensi gelombang laut tinggi, kata ilmu teknik via mulut penguasa: bangun tembok. Lahan hunian sudah sesak, kata ilmu teknik via lidah penguasa: reklamasi pantai.

Pola penyelesaian masalah seperti di atas merebut banyak ruang hidup rakyat. Belum jelas memang apakah dampak positifnya jauh melampaui efek negatifnya. Tapi perut yang lapar tidak bisa menunggu. Rakyat yang kena efek negatif berjuang untuk hidupnya setiap hari.

Beberapa kalangan menyimpulkan, deretan masalah pembangunan ini karena pengambil keputusan didominasi orang-orang dengan pola pikir teknik, juga ekonomi. Akibatnya, pembangunan nasional tidak menempatkan manusia sebagai pertimbangan utama.

Namun menurutku, justru karena orang-orang yang punya sudut pandang segar dalam ilmu teknik belum menjadi wajah pemerintahan. Mereka ini belum punya kendali dalam pemerintahan, sehingga berbagai keputusan pembangunan terus mengacu pada konsep teknik yang sudah kedaluwarsa.

Zaman sudah maju. Di berbagai belahan dunia, ilmu teknik berkembang pesat. Teori-teori yang sudah basi dan terbukti tak efektif, dibuang ke bak sampah lalu diganti teori yang lebih manjur.

Misalnya di bidang transportasi. Negara-negara macam Amerika dan Korea Selatan pernah keranjingan membangun jalan tol tiap ada sumbatan aliran kendaraan. Mereka dulunya percaya jika jalan macet, berarti jalan tidak cukup lebar untuk menampung kendaraan. Jadi bangunlah terus jalan sampai pertumbuhan jalan baru lebih cepat daripada pertumbuhan jumlah kendaraan. Salah satu kota di Korea Selatan, Seol, bahkan pernah membuat jalan layang di atas sungai!

Kini mereka mulai insyaf. Beberapa jalan tol di negeri mereka sudah dihancurkan. Sebab mereka sudah meresapi teori baru, yang menyatakan bahwa semakin kau membuat jalan baru, orang akan semakin pengin ke mana-mana membawa kendaraan pribadi, dan selanjutnya akan mendorong orang-orang membeli kendaraan baru.

Patut dicatat, perubahan kebijakan di Amerika dan Korea Selatan itu tidak hanya dipengaruhi oleh setumpuk penelitian orang-orang teknik tentang transportasi yang dipublikasikan di jurnal ilmiah lalu sudah. Perubahan besar-besaran terjadi saat ada keputusan politik. Orang-orang teknik yang punya pemikiran baru ini punya suara di dalam pemerintahan, sehingga bisa mempengaruhi arah pembangunan.

Indonesia kini sudah banyak memiliki cendikia teknik yang pikirannya lebih terbuka pada kemungkinan-kemungkinan baru. Apalagi mereka adalah kaum muda yang di zaman ini melihat dunia dengan cara yang jauh berbeda dengan generasi sebelumnya. Tinggal kita bersama-sama, di bidang masing-masing, merebut suara kekuasaan agar tidak terus menerus terjebak di kubangan yang sama. Jangan sampai kendali kekuasan jatuh pada orang-orang yang tubuhnya doang muda, tapi isi kepalanya tidak bergerak ke mana-mana.