![]() |
Para pemudik mengantre tiket di Pelabuhan Jangkar Foto: Dandy IM |
Ketika aku mendapatkan pelanggan kelima, tanganku tiba-tiba dicengkeram oleh pemudik bodong itu. Aku dibawa ke pos polisi pemantau arus mudik lebaran. Semua tiket di tanganku dirampas. Di kejauhan, para pemudik mulai rusuh di depan lubang tiket.
Padahal sebelumnya aku yakin berjualan hari itu akan lancar seperti biasanya. Seorang kenalan yang menjadi pengurus Pelabuhan Jangkar sudah memberikan dua puluh tiket kapal ke genggamanku beberapa jam yang lalu. Para pemudik tujuan Pulau Raas juga telah menumpuk di depan lubang tiket. Dari raut wajah dan gerak-gerik badan mereka, tampak sebagian besar tidak biasa antre. Aku menjajakan tiket di genggamanku ke bola mata mereka yang sudah tidak sabar. Aku menjual tiket seharga duaratus ribu rupiah. Sedangkan harga aslinya tigapuluh enam ribu rupiah. Tentu saja lebih mahal sampai lima kali lipat. Mereka, para pemudik itu, kan jadi nggak perlu antre. Mengantre di lubang busuk itu juga tak menjamin kau bakal dapat tiket.
Sehari sebelum rusuh di pelabuhan, aku menunda kepulanganku karena Hari raya Kuningan amat menggoda. Siapa yang bakal melewatkan kesempatan besar untuk meraup lembar-lembar uang di hari besar Hindu ini? Seakan melampaui kegundahan lirik lagu populer Pulang Malu Tak Pulang Rindu, debar jantung terjebak di antara pilihan cepat-cepat pulang atau menambah modal lebaran.
Pagi-pagi sekali di tanggal 9 Juni 2018, kaki tak kuasa menahan langkah ke alun-alun Puputan, Badung, Bali. Malam sebelumnya, aku sudah mengisi puluhan balon berbagai bentuk dengan gas helium untuk dijajakan kepada siapapun yang berpotensi membelinya. Di malam itu aku berharap taruhan esok hari berakhir epik.
Aku sudah berada di atas motor bebek keesokan harinya, membonceng istri dan satu anak perempuanku yang baru berumur lima tahun. Anakku duduk di antara aku dan istriku. Di kedua kakiku terdapat satu tas ukuran sedang dan kardus yang disusun. Sepengamatanku, pemudik lain yang membawa motor juga tak beda kondisinya denganku. Rimbun juga sepeda motor mereka dengan keluarga dan barang bawaan.
Sepeda motor menjadi tunggangan yang aku pilih karena kereta belum ada di Bali. Bus juga tidak bisa menjadi pilihan karena saking sepinya jalur ke arah Situbondo. Oh… ya, aku ini mau mudik ke Kepulauan Sumenep, tepatnya Pulau Sapudi, dengan memanfaatkan layanan penyeberangan di Pelabuhan Jangkar, Situbondo.
Kami tiba di Pelabuhan Jangkar bersamaan dengan matahari yang sedang terik. Aku tidak berpuasa. Istriku pun juga tidak. Mungkin aku memang tak terlalu perkasa melawan nafsu sendiri. Namun, banting raga mengejar duit ke pusat-pusat keramaian di Bali ditambah dengan pertarungan di jalan menggunakan roda dua membuat nafsu badani perlahan-lahan aku terima – semoga Tuhan memakluminya.
Terik matahari di Pelabuhan Jangkar jadi begitu memuakkan saat bola mataku bergulir ke arah antrean sepeda motor. Panjangnya sudah bagai Naga Dasamuka. Bahkan ada tiga naga yang berbaris di sana. Aku makin kesal. Tapi entah mau kesal sama siapa. Apa memasang tulisan yang menandakan bahwa di sini antrean sepeda motor tujuan Pulau Sapudi, di situ tujuan Pulau Raas, di sana tujuan Pulau Madura begitu susah? Dengan mengandalkan naluri, aku antre di salah satu bagian, ternyata itu tujuan Pulau Raas. Aku mesti pindah ke antrean sebelah yang sudah diisi orang yang tiba di pelabuhan setelah aku. Anjing kan.
Setelah mencarikan tempat duduk istri dan anakku di warung makan yang sekaligus rumah – ruang tunggu pelabuhan menurutku tak layak jadi tempat istirahat – aku mencari informasi tentang tiket. Lagi-lagi menuruti naluri, aku bertanya ke seseorang yang berseragam Kementerian Perhubungan, tapi dia tidak memberikan jawaban yang bikin paham, lalu malah menunjuk orang berkaus hitam polos.
Jawaban orang berkaus hitam gampang ditebak: pemudik mesti banyak berdoa agar kendaraannya dapat diangkut oleh kapal yang hanya bisa diisi limapuluh sepeda motor. Terutama pemilik sepeda motor yang berada di antrean paling belakang seperti aku ini. Kalau doamu tidak dikabulkan, kau mesti menunggu esok hari. Untunglah para pengurus pelayaran ini menambah armada kapal saat arus mudik lebaran. Sebab biasanya kapal hanya beroperasi dua kali seminggu.
Sebetulnya kondisi semacam ini gampang diatasi dengan mengandalkan kenalanku, pegawai pelabuhan. Tapi tukang becak bedebah yang sampai ketahuan menjual tiket gelap itu membikin situasi jadi sulit. Pengawasan menjadi lebih ketat. Kenalanku itu tidak berani ambil risiko. Bau-baunya sudah tercium: aku, istri, dan anakku harus menunggu kapal besok!
Aku terus mengumpat dalam hati. Kekesalan seperti ini gampang sekali merangsang otakmu berangan-angan. Seandainya… seandainya tiket kapal laut di Pelabuhan Jangkar ini dapat dibeli melalui ponsel, seperti kereta api maupun pesawat. Pemudik sepertiku ini kan jadi tahu mesti pulang kapan dari Bali. Aku sudah perang di jalanan pakai motor bebek melawan truk-truk yang kelebihan muatan, sesampainya di pelabuhan malah nggak dapat tiket. Aku makin tak habis pikir, sistem tiket yang buruk ini masih terjadi di pelabuhan yang berada di Pulau Jawa.
Tidak ada bulan puasa di Pelabuhan Jangkar. Warung ini, yang aku buka sejak lima tahun yang lalu tak pernah sepi. Pemudik, tukang becak, kuli, syahbandar, pegawai Perhubungan, dan bahkan para suami di sekitar pelabuhan yang tak betah di rumah karena istri mereka tak masak, mampir ke sini untuk menyumpal nafsu mulut mereka. Pelabuhan memang sangat menarik. Ia tampaknya mengalami evolusi paling lamban ketimbang kerabatnya yang lain: bandara, stasiun, dan terminal. Padahal, mungkin saja pelabuhan adalah tempat transit yang lebih lampau di negeri terkutuk ini.
Para perusuh di depan loket tiket itu bisa jadi belum mampir ke warung tercinta ini. Namun ada juga yang bilang, mereka berasal dari pulau yang bisa membuatmu pengin emosi melulu. Tapi ya calo yang tertangkap itu tolol juga. Mengapa mesti terang-terangan menjual tiket gelap di depan loket?
Walaupun membuka warung di bulan puasa, aku rasa Tuhan tidak marah padaku. Di warung inilah pemudik mendapatkan tempat yang nyaman setelah kecewa tak dapat tiket. Mereka mesti menunggu esok hari. Bahkan bisa jadi lusa. Aku tidak mengutip biaya ketika mereka menempati emperan warung, lincak, dan teras rumah samping warung sebagai tempat meluruskan punggung. Uang makan mereka sudah cukup buatku.
Memangnya apakah kau bisa tega merampas lebih banyak uang dari pemudik yang terlantar di pelabuhan apalagi membawa anak-anak? Rata-rata si anak tidak sabar. Mereka ingin cepat pulang. Mereka merengek. Mungkin protes karena setelah terlalu lelah menyisir jalanan Bali, Banyuwangi, dan Situbondo, kok ya masih tidur di emperan warung selama sehari semalam. Ini sudah lumayan, Nak, daripada kau masuk ruang tunggu pelabuhan yang kotornya masyaallah.
Bapak dari seorang anak bilang ke teman mengobrolnya, dengan ponsel canggih di tangan dan bahasa yang gaul nanggung, bahwa solusi dari kesemrawutan ini adalah tiket yang bisa dipesan langsung lewat ponsel. Identitas penumpang pun bakal jelas, sehingga semakin sempit peluang bagi tiket gelap. Aku yang mendengarnya terkesan. Itu akan membuat waktu tunggu pemudik di pelabuhan menjadi singkat dan warungku jadi sepi.