Kategori
Society

Siasat Supir Bus di Tengah Situasi Sulit Masa Pandemi

Ini perjalanan ke sekian kali naik bus antar-kota antar-provinsi (AKAP). Hanya saja dengan suasana berbeda. Perjalanan kali ini terjadi di masa pandemi.

Boleh jadi, sepenggal kisah ini jamak terjadi dalam keseharian pelaku dan penggerak perekonomian di sektor transportasi massal di tanah air. Kisah kali ini membahas seputar ‘siasat’ sopir bus di tengah krisis akibat dampak pandemi.

Kategori
Society

Covid Hunter Mampir Juga di RT Saya

Semua yang awalnya virtual telah berubah menjadi nyata. Kecepatan informasi terkait penyakit menular baru, Covid-19 yang bermula di China dan merembet cepat menjadi wabah pandemi dunia itu sempat membuat geger warga dunia. Membuat takut dan rasa was-was. Beberapa waktu rupanya Covid-19 sudah sampai di lingkungan RT (Rukung Tetangga) saya. Inilah fakta riil. Hanya saja, suasana psikologi warga di lingkungan RT tidak lagi dipenuhi ketegangan dan ketakutan atas resiko kematian akibat penyakit menular baru, seperti saat awal penyakit akibat virus ini diumumkan.

Kategori
Society

Gunung Es Problema Pendidikan dan Kesehatan

Sudah setahun berlalu, masa pandemi dirasakan oleh seluruh warga dunia. Semoga setelah pandemi, kesehatan sebagai hak dasar mendapat perhatian bersama.

Termasuk keberpihakan negara dalam soal memberikan kesempatan pendidikan gratis untuk rakyatnya. Di segala lini pendidikan sampai jenjang pendidikan tertinggi, jadi spesialis di bidang keilmuan masing-masing, agar semakin banyak rakyat teredukasi, rakyat jadi cerdik cendekiawan yang memiliki kemampuan menyelesaikan masalah bangsa. Rakyat yang lebih berdaya.

Mobilitas sosial, semua mahfum salah satunya bisa diraih dengan jalan pendidikan. Kesempatan ini harus dibuka dan lebih diperhatikan ke depan. Tentu saja, bekal pendidikan karakter kebangsaan penting diutamakan mengiringi kebijakan pendidikan untuk semua.

Ada banyak kisah dan inspirasi dari begitu banyak tokoh, pemimpin dan kepemimpinan yang terbuka jalan kehidupannya menjadi lebih baik saat mendapatkan kesempatan merasakan mobilitas sosial lewat jalur pendidikan.

“Saya dulu, berasal dari keluarga susah, miskin dan terbelakang. Beruntung bisa sekolah, sampai jadi seperti sekarang,” begitu kisahnya.

Pernyataan demikian yang jamak kita bisa simak bagaimana jalan hidup seorang tokoh.

Meski saat ini jalur pendidikan formal seringkali tak jadi bermakna, di jagat kemajuan teknologi informasi yang semua hal diyakini tersedia dan bisa terakses, namun tetap saja dibutuhkan kebijakan dan keberpihakan untuk membuka akses seluas-luasnya bagi semua.

Hanya sisi paradoksnya adalah hadirnya fenomena pengkhianatan kaum cendekiawan. Kondisi yang bisa membuat kacau semua hal. Siapa saja mereka? Silakan menelisik dan membuat catatan tersendiri soal begini.

Setidaknya selama satu tahun masa pandemi, semua bisa berefleksi, siapa cendekiawan yang bekerja memberikan ilmunya untuk publik, siapa saja yang bekerja profesional dan siapa saja yang justru berkelana berselancar, mengambil untung dari kondisi ketidakpastian.

Orang biasa yang berilmu, jelas lebih baik. Apalagi orang biasa yang paham ilmu kesehatan.

Orang biasa, berilmu dan berkuasa apakah bisa lebih baik?

Nanti dulu. Selama masa pandemi, debat soal urusan kesehatan saja bisa berjilid-jilid dan berpanjang lebar urusannya.

KE ARAH MANA ARTIKEL INI DIBUAT?

Tentu saja belajar dari kondisi terkini kala ribet urusan tenaga kesehatan. Ada yang mampu, tapi tak bekerja di bidangnya karena beragam alasan. Di Daerah Istimewa Yogyakarta misalnya, langkah rekruitmen tenaga kesehatan gagal memenuhi target dalam pelaksanaan.

Padahal tenaga kesehatan benar-benar dibutuhkan di masa pandemi untuk memastikan optimalnya pelayanan kesehatan. Salah satunya karena tidak adanya izin dari orang tua nakes yang terseleksi dan terpilih untuk mengisi posisi yang dibutuhkan.

Dengan sangat berat hati, iri juga menonton rekaman senyum dan bersemangatnya nakes di China yang dengan pengawalan khusus pulang dari Wuhan tahun lalu, begitu upaya penanganan wabah penyakit menular di sana dinyatakan selesai. Ikut haru dan trenyuh juga melihatnya. Berbeda jauh dengan faktual yang dihadapi di negeri ini.

Ini problem yang nyata. Bayangkan jika sebelumnya (sebelum pandemi) dalam skema jalur pendidikan kedokteran dibuka seluasnya, ongkos pendidikan tenaga kesehatan ditanggung negara, tentu kondisi berbeda yang terjadi. Mudahnya memperoleh tenaga kesehatan yang siap bekerja.

Kejadian begini jelas, bagian dari gunung es problema masalah kesehatan terkini. Bagaimana problem penanganan penyakit menular di lingkungan wilayah/kawasan pusat pendidikan kesehatan terbaik yang ada di Indonesia, masih kelimpungan menghadapi fakta kenyataan tingginya pasien yang butuh perawatan.

Akhir kata, semua berharap agar seluruh masalah akibat dampak penetapan pandemi bisa segera teratasi. Semua yang bekerja keras, bisa sehat dan selamat juga.

Rakyat sehat, negara kuat.

Kategori
Politik

Kesehatan Adalah Hak Dasar

Soal (harapan) kemampuan rumah sakit memberikan pelayanan optimal ke setiap pasien kala terjadi bencana besar, sudah nyata mendesak direalisasikan. Ini pekerjaan rumah yang butuh energi besar bukan hanya soal dana operasionalnya tapi tentu saja sumber daya manusia.

Mari menengok sejenak ke angka statistik terbaru yang dirilis dari hasil sensus penduduk 2020. Angka yang terekam dan diolah tersebut tentu bukan sekedar angka hasil laporan semata.

Semakin detail angka yang dikumpulkan sesuai kategorisasinya, sudah memberikan gambaran soal kebutuhan pelayanan kesehatan. Urusan kesehatan adalah urusan pelayanan hak dasar yang harus dipenuhi oleh negara.

Keberadaan UU Kebencanaan bisa menjadi pedoman apa yang harus dikerjakan dan sanksi apa yang bisa diberikan kepada pihak-pihak yang lalai ataupun gagal dalam menangani bencana. Jadi wajar saja, jika suara keras publik kini diwakilkan oleh media meski sebagian saja.

Apakah perlu merevisi UU Kebencanaan setelah hadirnya pandemi seperti sekarang ini? Merevisi sejumlah hal untuk memastikan pemenuhan hak dasar rakyat terlayani dengan baik?

Pertanyaan yang bisa saja sangat tidak relevan diajukan kala pandemi masih membara, masih penuh masalah terutama urusan kemampuan memberikan pelayanan kesehatan yang optimal, merawat mereka yang sakit gegara penyakit menular. Pertanyaan yang sebenarnya hanya membutuhkan peningkatan pelayanan kesehatan sebagai hak dasar warga negara.

Tidak ada orang sehat, warga negara yang lebih suka sakit agar mendapat seluruh akses pelayanan kesehatan dengan jaminan kesehatan yang diberikan pemerintah. Meski disebutkan seluruh pelayanan gratis untuk warga negara yang sakit.

Simak saja, janji kampanye politisi, calon kepala daerah yang baru saja menyelesaikan pemilihan kepala daerah secara langsung. Calon kepala daerah terpilih, yang sebentar lagi dilantik menjadi pelayan rakyat, menjadi kepala daerah sebagai Bupati, Walikota atau Gubernur. Lihat kembali janji mereka, beri garis tebal untuk satu urusan ini, pelayanan kesehatan.

Kalau ingin diperluas soal urusan tagih janji, lihat dokumen perencanaan urusan pelayanan kesehatan di APBD-nya kepala daerah yang tengah menjabat. Seberapa serius urusan pelayanan kesehatan sebagai hak dasar diutamakan?

Itulah kira-kira buah hasil perencanaan yang bisa dipahami, adanya beragam masalah yang kini kita hadapi bersama selama masa pandemi. Khusus urusan kesehatan.

Semua tentu mahfum, sampai hari ini setelah hampir setahun terjadi wabah penyakit menular baru, yang bermula di Wuhan China telah membawa aneka ragam dampak sangat besar dalam kehidupan.

Ada budaya baru, budaya adaptif yang penting. Budaya hidup sehat, mendapatkan momen sejarah untuk dijalankan lebih masif, serempak dan bersama-sama dikerjakan. Begitu juga disiplin protokol kesehatan. Semua kalangan wajib menjalankan, sebab resiko langsung, terpapar penyakit menular adalah nyata adanya. Disiplin ini bukan sekedar berlaku untuk diri sendiri semata tapi memiliki dampak besar untuk kehidupan orang lain, agar terhindar terpapar penyakit menular.

Tentu bukan hal yang mudah. Adaptif terhadap perubahan apalagi berkaitan dengan urusan pelayanan publik.

Tak ada orang yang ingin sakit, semua ingin sehat. Kenapa terus dibangun rumah sakit baru, kalau semua orang ingin sehat?

Urusan kesehatan, pelayanan kesehatan publik memang tak fokus soal kuratif semata. Urusan pencegahan penyakit juga jadi bagian pelayanan kesehatan masyarakat. Di Indonesia, langkah pemenuhan pelayanan kesehatan sudah berjalan lama dengan kehadiran Pusat Kesehatan Masyarakat (Puskesmas). Bagaimana soal pelayanan prima yang diberikan untuk masyarakat? Apakah fasilitas pelayanan di seluruh wilayah sudah ideal? Baik fasilitas kesehatan maupun tenaga medisnya?

Rasanya pas beragam pertanyaan ini diajukan, kala masa pandemi ini. Pemerintah di semua level baik daerah maupun pusat, penting untuk menjawab dengan detail. Guna memastikan ke depan pelayanan hak dasar masyarakat dalam urusan kesehatan bisa benar benar mewujud nyata.

Rakyat sehat dan selamat, negara kuat.

Salam sehat, waras dan bahagia.

#ceritapinggirjalan
#bersepedaselalu
#isupublik

Kategori
Society

Terkekeh, Tertawa Menambah Imun

Berbahagialah kala dirimu masih bisa tertawa. Tak banyak orang memiliki kesempatan untuk urusan sepele begini. Bahkan untuk mentertawakan diri sendiri, tak setiap orang mampu melakukan.

Hal yang sering kita dengar adalah emosi berlebihan kala mendengar tertawa, tawa orang lain.  Kondisi ini membuat diri seseorang merasa berbeda, menjadi obyek dan ada penyangkalan atau respon yang berbeda. Berhati-hati jika sudah mengalami kondisi begini. Ada yang salah dalam soal respon tawa.

Apa contohnya?

Simak TASS Bukan Kantor Berita, ini hanya sebuah potret sederhana bagaimana hal hal yang mengundang tawa itu beresiko. Ada dampak yang tidak terduga. Sebagai seorang dosen sebuah PTS,  sosok utama dan satu-satunya dalam akun ini adalah manusia yang menggunakan humor sebagai cara melawan kemapanan, melawan rezim otoriter di masa mudanya.

Beruntunglah, siapa saja yang pernah bersinggungan dengan isi humor yang pernah disampaikan oleh sosok bertampang serius itu. Humor berujung penjara, itulah yang banyak orang mengenal dan mengingatnya.

Terakhir, ada kemajuan dalam visualisasi cara bertutur. Bagi saya pribadi, itulah cara kemampuan membelah diri tercanggih yang bisa hadir berkat teknologi. Entah apa sumber idenya.

Bisa jadi begitulah cara TASS mentertawakan diri sendiri. Omong-omong sendiri, direspon sendiri dan menginterview diri sendiri. Ini dilakukan secara sadar dan terkonsep, perkiraan, tepatnya prasangka saya demikian. Salah atau benar, ya ayo terkekeh saja.

Bagaimana dengan isi konten? Ya tentu saja soal kisah humor yang masih saja politis, klop dengan karir kelucuan yang selama ini ditekuni.  Gegara melawan dengan humor, penjara sekian waktu dijalani dulu. Kala otoritarian berkuasa. Hanya saja, kali ini tidak dalam konteks melawan dengan humor tapi memberikan ucapan selamat dengan aneka kisah humor.

Apakah semua lucu? Simak saja kalau merasa penasaran dengan paparan ini. Pastikan syaraf dan ketentuan berlaku. Syarat maksudnya, kalau syaraf beda urusan itu.

Sedikit melompat dari bingkai humor dan hal-hal yang lucu di kanal milik dosen ilmu pemerintahan tersebut, perlu kiranya dipahami otoritas saya menulis soal humor soal lawak, soal lucu lucuan begini. Apalagi kini tengah populer soal mantan.

Iya, jabatan direktur kajian data dan komedi pernah menempel dalam kartu nama yang dibuatkan untuk diri saya. Jadi sah rasanya kalau menulis apapun soal humor, komedi dan lawak.

Soal tawa, ya termasuk ahlinya. Sampai satu waktu dengan penuh percaya diri pernah meminta kepada kawan-kawan satu kontrakan agar bersedia mendengar kelucuan yang direkam dalam program radio, sandiwara radio.   Simak baik-baik kisah sandiwaranya, ada suara saya dalam program sandiwara radio tersebut. Benar, berbekal rasa penasaran mereka (kawan-kawan satu kontrakan itu)  menyimak sampai selesai.

Respon pertama setelah siaran rekaman sandiwara radio usai adalah pertanyaan sekaligus kekecewaan. Tidak ada satu kalimatpun yang bisa mereka simak dari obrolan dan humor yang disampaikan. Santai saja, saya jawab. Apakah terdengar tawa berderai berkali-kali tak ada dalam rekaman sandiwara radio itu?  Apakah tak ada hal yang lucu dan humor bekerja menghasilkan tawa terkekeh? Begitu ingat sekilas saja, langsung mereka tertawa, keras sekali.  Oalaah, asyeeemmm.

Begini, sejatinya kisah tawa bisa berjilid-jilid dalam buku. Ada banyak buku humor dan komedi diterbitkan, pun kisah cerita lucu mulai stensilan hingga serius sampai jadi komika dikerjakan.  Beragam upaya dilakukan oleh banyak tokoh di masa lalu baik itu oleh badut, pelawak hingga punokawan maupun Abu Nawas.

Humor dan komedi,  itu serius sebenarnya. Sulit sekali bisa menulis dan menciptakan humor lalu tetap aktual meski dibacakan dan dipanggungkan.

Mbah Guno Prawiro, seorang legenda humor dan lawak yang mengajar teater di Intitut Seni Indonesia Yogyakarta pernah melakukan protes yang lucu, karena sudah sering tampil menang lomba humor, lomba lawak dirinya tak boleh lagi ikut.

Satu rumus komedi atau humor yang disampaikan beberapa di antara teori humor tiga babak, puncak humor adalah satu tindakan semata sudah berhasil membuat dan memancing tawa.

Cermati lagi, bagaimana satu orang pemain Srimulat bersedekap, bikin tawa penonton setiap dirinya hadir di layar atau di panggung. Wajah seseorang yang hadir dalam bingkai layar kaca juga sudah bikin terkekeh, tertawa meski tanpa bicara.

Di usianya yang sudah lanjut, Guno Prawiro (alm) pernah ada usul untuk menambah kategori penilaian, pelawak lansia. Itu yang jarang dikerjakan sebab biasanya lomba lawak maupun lomba komedi dan humor adalah mencari bakat bukan memberi ruang tampil semata.

Di masa pandemi, yang entah kapan tuntasnya ini ada saran untuk meningkatkan imun tubuh. Harapan nya adalah bisa menjadi selamat tatkala penyakit menular datang.

Beragam skema pengobatan hingga vaksin terumuskan konsep dan aturan pelaksanaan, tapi sepertinya masih belum memberikan opsi humor dan komedi sebagai resep ampuh meningkatkan imun tersosialisasikan dengan baik.

Hari-hari penuh kabar duka masih saja merundungi situasi keseharian di masa pandemi.

Relaks sejenak, istirahat seperlunya. Mulai 11-25  Januari 2021 ada ajakan #dirumahsaja mengurangi aktivitas keluar rumah, berkerumun dan sejenisnya.

Bagi yang sakit, pahami lebih baik tak ke mana-mana karena bisa berpotensi serius.

Namun semua harus ingat, jangan melupakan dan mengabaikan humor, cerita lucu dan kisah komedi.  Siapa tahu justru lewat hal sederhana,  merawat tawa, imun kita lebih meningkat.

Jangan lupa tertawa, minimal tiga kali
sehari. Jangan lebih dan kurang apalagi kelebihan dosis tawa, terkekehnya.  Beresiko!

Ayo hidup Sehat, Waras,  Bahagia 🙂

Kategori
Society

Kebijakan Publik dan Respon Publik Kala Pandemi

Merancang kebijakan dari balik meja dan kursi ber-AC,  beda kala merancang dengan “berada” di lingkup kehidupan rakyat, seperti pasar, terminal, pelabuhan, jalan raya dan lain lain.

Masalah Jakarta jadi masalah nasional, sejatinya belum tentu jadi masalah daerah,  apalagi daerah yang selama ini terisolir.

Nah, repotnya kalau manut masalah daerah, belum tentu sama pokok masalahnya.

Jadi, kebijakan publik skala nasional memang tak selalu cocok diterapkan di daerah. Hanya, soal kesehatan dan hadapi pandemi, rasanya #adaptasikebiasaanbaru disiplin protokol kesehatan adalah hal yang penting harus dipastikan bisa terlaksana.

Saat faskes sudah penuh menangani pasien maka apa yang bisa dilakukan warga Jawa Timur atau Jakarta bisa sama pilihannya, kalau sudah terpapar tanpa gejala bisa  jalankan ISOMAN alias isolasi mandiri.

Bagaimana agar rakyat tahu, punya kesadaran kapan lakukan isoman, atau kapan harus ke faskes?

“Mon mate ya mate,” kata orang Madura (mohon dibenarkan dan dibetulkan kalo bahasa madura saya buruk). Begitulah yang ada dalam alam pikiran rakyat.

Apa sebab kematian? Sudah takdir, garis nasiblah. Itu alam pikiran yang jamak dipahami rakyat Indonesia.

Lalu bagaimana agar kebijakan publik bisa operasional, efektif dijalankan dari pusat hingga daerah?

Edukasi, edukasi, sosialisasi pengetahuan yang benar soal wabah, pandemi ini, penting juga dipahamkan resiko saat abai cegah penyebaran atau tak peduli langkah memutus mata rantai penyebaran penyakit menular ini.

Media sosial, menembus batas geografis. Ini bisa jadi pilihan kanal komunikasi kebijakan publik, dengan bahasa sederhana dan mudah dipahamkan sesuai konteks daerah.

Selain PSBB (pembatasan sosial berskala besar) kini rakyat harus memahami baik-baik PPKM (pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM) Jawa-Bali pada 11-25 Januari 2021 untuk mengendalikan Covid-19.

#ceritapinggirjalan
#isupublik

Kategori
Society

2020 Drama di Antara Kekhawatiran vs Optimis

Sepanjang tahun 2020, perasaan khawatir menggelayuti pikiran banyak orang. Kecepatan informasi lintas batas antar-benua melipatgandakan kekhawatiran ini.

Bermula dari China, sumber awal ditemukan adanya penyakit menular dengan segala peristiwa di Wuhan telah membawa peradaban baru. Adaptasi.

Sebelum melakukan adaptasi kebiasaan baru, di awal terjadinya wabah sorotan ke episentrum penyebaran penyakit ini telah membelah pemahaman warga dunia untuk urusan penyakit.

Bukan hanya China yang khawatir bin was-was. Negara adikuasa lain seperti Amerika, negara Eropa. Negara-negara di benua Afrika hingga Arab demikian juga. Termasuk negara-negara di kawasan Asia seperti Jepang sampai Indonesia bersiap untuk menghadapinya.

Seperti kecepatan informasi yang melintas batas, drama wabah, pandemi coronavirus menerabas sekat dan batas antar-benua.

Semua negara tak terkecuali terpapar penyakit menular yang oleh para ahli disepakati dengan nama COVID-19. Semua sibuk urusan kesehatan, sibuk memastikan warga negaranya bisa sehat.

Mari menelusur lagi lini masa peristiwa yang berkaitan dengan penyakit menular baru ini. Bagaimana fase awal penyakit menular baru ini, respon stakeholder buat perencanaan program mitigasi sudah dibuat.

Jurus untuk menangani pencegahan penyebaran penyakit sudah ditetapkan. Hanya saja, masalah disiplin menjalankan protokol kesehatan belum serius mewujud dalam adaptasi kebiasaan baru. Bukan hanya rakyat, petugas pelayan publik pun ada yang abai. Menambah kluster baru penyebaran penyakit, klaster perkantoran.

Ada pertanyaan apakah penyakit menular baru yang menggelisahkan banyak warga dunia ini bisa segera teratasi atau sebaliknya membuat repot bahkan mengelisahkan karena resiko kematian yang dihadapi. Kekhawatiran inilah yang muncul kala pelayanan kesehatan tak mampu memberikan kesembuhan bagi pasien.

Apa yang dikhawatirkan kini sedang dialami oleh Indonesia, laporan dari faskes yang melayani mereka yang terpapar Covid-19 sudah nyata terjadi. Harus ada upaya serius dan kebersamaan dalam satu tindakan yang efektif bisa memutus mata rantai penyebaran penyakit menular baru.

Drama kekhawatiran dan optimisme hadir bersamaan di 2020 ini. Semua tentu ingin sehat dan selamat. Bisa melanjutkan kehidupan di tahun baru 2021.

Pilihan rasionalnya, sosialisasi dan edukasi publik dikerjakan secara massif baik dengan pamflet, baliho, poster juga iklan display media cetak maupun pamflet digital berupa tagar #JagaJarak, #pakemasker, #cucitangan, #imun #aman #iman, #ingatpesanIBU agar selalu pakai masker tatkala beraktivitas digaungkan lebih keras.

Di akhir tahun 2020, pilihan untuk #dirumahsaja harus juga disuarakan, mereka yang patuh diakui sebagai pahlawan.

Apakah ini benar dipahami oleh seluruh elemen rakyat nusantara?

Melawan virus, tak boleh berharap pada vaksin saja. Mencegah dan memutus mata rantai penyebaran penting dikerjakan. Setelah semua ikhtiar dijalankan, selebihnya memang berdoa saja agar pandemi segera berlalu.

Di akhir tahun 2020, resufle kabinet Indonesia Maju baru saja dilakukan dengan dilantiknya menteri, enam pembantu Presiden RI. Semoga dramanya benar-benar happy ending membawa optimisme, seperti di isi pesan dalam meme yang dibagikan oleh banyak orang.

Kategori
Politik Society

Menebalkan Harapan Agar Pandemi Segera Berlalu

Bagi mereka yang berkecimpung di bidang farmasi, urusan obat dan cara raciknya adalah keahlian yang harus dikuasai. Ada ilmunya juga etika profesi yang wajib dipatuhi.

Begitu juga dengan dokter yang membuat resep bagi pasien, profesi inilah yang memiliki mimbar akademik guna memberikan obat yang pas dosisnya untuk pasien. Tidak bisa dokter membuat resep asal-asalan, karena berhubungan dengan urusan nyawa dan kehidupan manusia.

Urusan pelayanan kesehatan tak selesai hanya dikerjakan oleh farmasi dan kedokteran saja.

Ada bidang keperawatan yang memberikan sumbangan besar dalam proses penyembuhan pasien.  Soal sakit, soal kesembuhan ada banyak faktor yang berhubungan antar-profesi pelayanan bidang kesehatan.

Apakah lulusan tiap sekolah atau kuliah bidang kesehatan selalu mengabdikan diri menjadi tenaga kesehatan di faskes? Bagaimana standar kompetensi yang harus dimiliki oleh para pelayan kesehatan ini?

Menjawab rangkaian pertanyaan ini bisa pendek, bisa panjang. Jawaban pendek, bisa dengan menyajikan beberapa contoh. Publik di tanah air tentu kenal sosok Wahyudi Anggoro Hadi seorang kepala desa Panggungharjo yang fenomenal. Ia lulusan Farmasi UGM. Sosok lain, ada Rommy Fibri yang lulus dokter gigi UGM. Kerja beliau ini sekarang jadi Ketua Badan Sensor Film. Apa relasinya coba? dua bidang keahlian ini. Meski kalau dipaksa memiliki relasi, dokter gigi dan urusan sensor film ya bisa saja dinarasikan begitu rupa.

Siapa lagi ya? Apalagi ya?

Saya ingin memberikan perspektif bagaimana pentingnya kerjasama, kerja bersama lintas profesi dalam soal pelayanan publik. Ini penting di era sekarang. Di tengah situasi sulit, ada dampak pandemi yang berkepanjangan dan belum tahu secara pasti sampai kapan selesai dan teratasi semua.

Beberapa contoh profesi dan latar bidang keilmuan seperti farmasi, kedokteran dan keperawatan adalah paket setengah komplit untuk mendeskripsikan kerjasama yang wajib dilakukan untuk pelayanan publik.

Masih ada kebutuhan mengoptimalkan pelayanan publik di bidang kesehatan, teknologi canggih pelayanan kesehatan. Ilmu fisika dasar, ahli teknik fisika dibutuhkan untuk menghasilkan alat-alat pelayanan canggih, alat test kesehatan.

Ilmu manajemen kesehatan memberikan kepastian guna mengatur bagaimana pelayanan publik yang prima bisa berjalan baik untuk melayani rakyat.

Sangat kompleks, hanya untuk satu urusan yaitu bagaimana mengoptimalkan pelayanan publik di bidang kesehatan. Kesehatan adalah hak dasar yang harus mudah terakses oleh semua, baik si kaya dan si miskin. Kesehatan adalah hak universal yang harus diwujudkan pemerintah.

Hari-hari ini, warga dunia diliputi rasa khawatir. Soal urusan hak dasar kesehatan ini. Ada pandemi yang belum teratasi, meski sudah tersedia peta jalan untuk pencegahan penularan penyakit menular COVID-19. Hadirnya pelayanan kesehatan yang optimal saja tak cukup kuat, untuk tangani mereka yang terpapar virus.

Awalnya,  berhadapan dengan penyakit menular baru ini respon mitigasi bencana non-alam disosialisasikan. Ada yang abai, ada yang begitu bersemangat melakukan edukasi ke publik. Tak berhenti di sini, banyak elemen warga yang mengorganisasi diri dalam kelompok maupun individu untuk menjalankan advokasi kebijakan agar langkah penanganan penyakit menular bisa dikerjakan secara optimal.

Dampak pandemi ini nyata dan langsung menghantam beragam sektor.  Penyakit menular baru menyebar dengan cepat,  seiring mudahnya mobilisasi penduduk antar-negara dan antar-benua yang lebih mudah, ada akses keterhubungan.

Harus ada cara-cara yang tepat dan efektif.

Repotnya, urusan pelayanan kesehatan belum selesai tuntas, ternyata ada masalah sosial politik hadir. Urusan bekerja sama antar-pihak, terganggu karena adanya masalah politik.

Dilarang berkumpul untuk hindari kluster baru, diacuhkan dengan gegap gempita. Pandemi masih ada, nyata adanya.

Adakah ini benar-benar disadari semua pihak, baik yang mengaku merasa paling benar atau mereka (tokoh politik) yang suka meniti buih opini publik bahwa dirinya punya pengaruh. Rasanya perih, mendapatkan fakta bahwa hingga kini banyak yang abai.

Saya merasakan, yang dibutuhkan hari ini adalah bekerja sama, terhubung sama lain. Rakyat butuh terlayani hak dasarnya, urusan kesehatan mudah dan murah aksesnya.

Tapi apa daya, panggung politik kuasa tampaknya lebih menarik diisi, dimainkan, dinarasikan begitu rupa. Lakon di panggung silih berganti diisi akto- aktor jahat, aktor antagonis dan protagonis saling beradu akting. Babak demi babak drama tersaji dalam layar kaca dan kotak ajaib gadget pintar.

Sampai kapan selesai, urusan melawan pandemi ini? Siapa yang tahu.

Hanya yang jelas, tidak ada salahnya menebalkan harapan, semoga obat-obat dan vitamin, juga vaksin tersedia dan pas dosisnya.

Tahun ini, banyak yang merasakan kehilangan orang tercinta, yang paling disayangi semoga tak hanya sekedar jadi angka semata yang diingat.

Kepemimpinan ala mas Wahyudi atau kepiawaian seleksi gambar indah dan memotong visual yang tak elok penting hari ini dikerjakan, seperti tugas yang diemban Rommy Fibri.

Endingnya, rakyat bisa hidup lebih nyaman, sehat jiwa raganya.

#ceritapinggirjalan

Kategori
Politik

Masuk Hari Tenang, Menimang Pilihan di TPS

Inilah fase sejarah pemilihan kepala daerah yang begitu banyak drama politiknya.

Babak demi babaknya bisa membuat hidup rakyat berada di dua pilihan, hidup susah atau hidup bahagia kelak paska coblosan pada 9 Desember 2020.

Nasib rakyat ditentukan pada pilihan sadar, ketika mencoblos di Tempat Pemungutan Suara.

Kenapa banyak drama politik? Semua tentu ingat dan paham kondisinya. Ada pandemi, ada wabah yang mematikan sedang hadir dalam kehidupan keseharian rakyat Indonesia.

Opsinya, pilkada ditunda atau terus dilangsungkan dengan beberapa prasyarat, untuk memastikan rakyat selamat. Terbebas dari penyakit menular dan penyelenggaraan pilkada harus dipastikan mematuhi protokol kesehatan.

Pemerintah sudah membuat keputusan berani, bersejarah untuk pertama kalinya pilkada diselenggarakan dalam kondisi situasi pandemi. Jelas keputusan yang menimbulkan reaksi kuat, di satu sisi menolak apapun alasan yang diajukan.

Misalnya, gugatan datang dari Busyro Muqodas dkk. Mereka mengajukan gugatan ke PTUN. Penggugat meminta majelis hakim menyatakan tindakan Mendagri, KPU dan Komisi II DPR sebagai perbuatan melanggar hukum. Tidak ada jaminan pilkada bebas dari potensi hadirkan klaster baru, penyebaran wabah.

Di sisi yang lain, Ajang pilkada oleh Mendagri Tito Karnavian bisa jadi sarana edukasi kesehatan dalam tiap kampanye paslon.

Pemerintah berikan ketegasan, proses pilkada bisa berjalan seiring mengedukasi publik untuk kesadaran pentingnya #cucitangan atau hidup bersih, #pakaimasker saat beraktivitas di luar rumah. Tentu saja #jagajarak jadi cara terbaik menjalankan pencegahan dari paparan COVID-19.

***

Pilkada 2020 merupakan Pilkada serentak gelombang keempat yang dilakukan untuk kepala daerah hasil pemilihan Desember 2015.

Pilkada diselenggarakan di 270 daerah itu rinciannya adalah 9 provinsi, 224 kabupaten, dan 37 kota.

Proses kampanye, sosialisasi visi dan misi paslon kini tengah bergulir dan sudah mendekati masa akhir pada 5 Desember 2020 atau hari Sabtu ini.

Di Jawa Timur, dari 19 titik kabupaten dan kotamadya yang selenggarakan pilkada, berdasarkan keterangan Bawaslu Jatim, Aang Kurniafi menjelaskan dari 42 paslon semuanya pilih metode tatap muka. Bahkan Bawaslu Jatim menyoroti ratusan pelanggaran protokol kesehatan dilakukan. Rasanya kasus sejenis jamak dan mudah ditemui di daerah lain.

Dominasi kegiatan kampanye kegiatan tatap muka. Ada pilihan lain berkampanye daring, namun opsi ini jarang sekali yang gunakan. Alasan teknisnya berkait kendala sinyal misalnya. Semua juga mahfum bahwa tidak seluruh daerah mudah akses internet, masih banyak area blankspot.

Choirul Anam, Ketua KPU Jatim berupaya meyakinkan publik agar bersama-sama mewujudkan pilkada sehat. Sebanyak 37 ribu petugas wajib menjalankan protokol kesehatan untuk pencegahan COVID-19.

Ini secara ketat dijalankan baik saat penyerahan form C-6, penyampaian pemberitahuan undangan. Saat hadir di lokasi, cuci tangan, pakai masker dan secara khusus di tiap TPS disediakan masker medis 150 pcs, cek suhu tubuh dilakukan.

Simulasi coblosan juga sudah dijalankan dengan prosedur ketat penerapan protokol kesehatan.

***

Memasuki masa tenang seiring berakhirnya masa kampanye, menjadi saat yang krusial dan penting. Inilah kesempatan yang baik untuk menimang dan memantabkan pilihan.

Mana paslon yang benar-benar pas untuk dicoblos di TPS. Rakyat punya kuasa penuh, memberikan dukungan untuk paslon yang layak jadi pemimpin atau sebaliknya.

Memutar fakta dan peristiwa drama pilkada, sudah ada paslon peserta pilkada yang positif COVID19. Ada yang berhasil sembuh ada juga yang akhirnya meninggal. Ada kabar duka dari Banggai Laut, calon wakil bupatinya jadi korban kecelakaan laut, tenggelam kala hendak berkampanye. KPK pun ikut mewarnai pilkada di sana dengan melakukan OTT kepada petahana.

Pilkada jalan terus, tinggal selangkah lagi prosesnya yaitu pemilihan langsung di TPS. Ringkas memang istilahnya tapi justru fase inilah muara beragam drama politik pilkada. Kemenangan atau kekalahan dalam politik adalah hal yang biasa.

Hanya, residu dan ekses pilkada yang perlu dikelola agar rakyat Indonesia bisa menikmati hasil pilihan, merasakan pahit dan manisnya coblosan yang dikerjakan di TPS.

Begitu nanti kotak suara mengumpulkan hasil coblosan, saat dibuka dan dibacakan satu-satu pilihan rakyat, berhamburan juga beragam harapan untuk hidup lebih sejahtera, pelayanan publik yang lebih baik, terpenuhinya hak-hak dasar rakyat, terjamin kebutuhan papan sandang pangan hingga hidup bahagia.

Selamat bersiap memilih, gunakan hak pilih, jangan salah pilih karena satu kali mencoblos, lima tahun akan dilayani. Salah mencoblos,  pemilih cuma bisa gigit jari.

Kategori
Society

Kita Setelah Pandemi

Beberapa waktu yang lalu ketika Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) belum dilaksanakan di Jakarta, jalan-jalan di ibu kota mulai sepi dan langit biru yang biasanya tertutup polusi mulai tampak. Namun di waktu yang bersamaan, masih kondisi di KRL masih cukup ramai. Ketika melihat ini saya jadi menyadari satu hal, bahwa pandemi COVID-19 menunjukkan pada kita bahwa privilese work from home dan memiliki kendaraan pribadi itu adalah diagram venn yang kedua anggota himpunannya sebagian besar beririsan.

https://platform.twitter.com/widgets.js

KESADARAN-KESADARAN AKIBAT PANDEMI

Selain keterkaitannya dengan kesenjangan sosial, pandemi ini membawa masyarakat menuju tatanan sosial yang baru. Semakin kita menyadari bahwa banyak pekerjaan yang dapat kita kerjakan dari rumah tanpa berkurang nilai produktivitas pekerjaannya. Yang mana dapat mengurangi pengeluaran perusahaan, pergerakan manusia di dalam kota yang menyebabkan kemacetan, dan fleksibilitas dalam bekerja. Untuk kalian para pekerja yang sebelum ini tidak mendapat tunjangan biaya transportasi, nanti saat sudah diwajibkan kembali ke kantor sepertinya kalian harus mempertanyakannya.

Ada juga kenyataan bahwa hubungan antar manusia sebenarnya sudah tidak lagi terhalang oleh ruang. Kita bisa nongkrong, bercanda, dan bermain gartic.io atau game lainnya bersama kawan jauh di luar pulau sana. Untuk yang satu ini waktu masih bisa jadi penghalang, mungkin.

Hal lain yang juga baru disadari adalah bahwa kita yang terlalu asik dengan coffee shop bersama teman sedang di rumah orang tua tidak pernah kita ajak ngobrol. Waktu terasa sangat cepat untuk berangkat pagi hari dan pulang hampir larut sehingga terlalu lelah untuk bercengkrama dengan keluarga.

Kemanan digital juga mulai menjadi concern, di mana kita tidak bisa lagi acuh dengan teknologi yang kita gunakan. Seperti harus selektif memilih aplikasi rapat daring yang akan digunakan berdasarkan tingkat kerahasiaan materi yang akan dibahas. Terutama untuk instansi-instansi pemerintah agar tidak disadap rapatnya.

Pandemi ini menunjukkan kepada kita banyak hal. Mulai dari kenyataan mengenai kelas sosial, hubungan antar manusia, kesadaran mengenai keamanan digital, dan bahkan sekadar siapa anggota group RT yang toxic dan suka menyebar informasi hoaks.

Beberapa semester lalu dalam sebuah kelas transportasi seorang dosen bercerita bahwa suatu saat, sebagai salah satu dari solusi dari masalah transportasi yaitu perpindahan orang, perkuliahan akan dapat dilakukan secara jarak jauh tanpa perlu tatap muka. Sehingga meminimalisasi perpindahan orang terutama mahasiswa dan dosen yang mayoritas menggunakan kendaraan pribadi. Siapa sangka saat yang diimajinasikan itu datang akibat pandemi.

KITA, MASYARAKAT, YANG SANGAT BARU

Kita, masyarakat, setelah pandemi akan menjadi orang yang benar-benar baru dari siapa kita sebelumnya. Pilihan-pilihan yang kita buat selama terkurung di rumah ini akan menjadi pondasi baru kehidupan kita di masa yang akan datang. Mulai dari cara kita menyikapi suatu permasalahan, sampai pada nilai-nilai hingga norma-norma yang kita anut.

[mks_pullquote align=”left” width=”300″ size=”24″ bg_color=”#ffffff” txt_color=”#1e73be”]Pilihan-pilihan yang kita buat selama terkurung di rumah ini akan menjadi pondasi baru kehidupan kita di masa yang akan datang. Mulai dari cara kita menyikapi suatu permasalahan, sampai pada nilai-nilai hingga norma-norma yang kita anut.[/mks_pullquote]

Berdasarkan tulisan Yuval Noah Harari, The World after Coronavirus, di China dan Israel teknologi sudah dimanfaatkan sebagai alat pengawas bagi pasien yang dinyatakan positif. Dan langkah penanganan itu disanjung oleh golongan liberal yang menghendaki data privasi. Terlepas dari konteks pemanfaatannya, nilai-nilai yang mulai bergeser seperti ini akan menjadi sebuah keadaan normal yang sama sekali baru bagi kita. Batasan baru telah tercipta, dan tanpa kita sadari telah kita sepakati bersama.

Bahkan kita mulai menyadari pentingnya cuci tangan dengan sabun. Hal sederhana yang ditemukan manfaatnya oleh ilmuwan dari abad ke-19 itu kini menyelamatkan banyak nyawa. Ironis bukan?

MUSUH BERSAMA

Kini, akhirnya kita mulai dapat bekerja sama dengan golongan yang berbeda. Hal ini disebabkan oleh masyarakat dari segala spektrum nilai menemukan musuh yang sama. Corona Virus Disease 2019. Musuh yang telah merontokkan sekat-sekat, setidaknya untuk saat ini. Namun saya yakin sikap ini, persatuan akibat musuh bersama, akan menjadi hal yang makin lazim.

Akhirnya kita menemukan cara bagaimana menyatukan berbagai spektrum dalam menghadapi satu masalah. Di masa yang akan datang, kita tinggal menunjukkan musuh bersama yang mengancam seluruh bagian dalam sebuah spektrum golongan untuk menyatukannya dan bekerja sama. Sebuah utopia yang terdengar mudah dan menyenangkan.

Akhir kata, saya tidak yakin pandemi ini akan selesai dalam waktu dekat. Namun saya yakin setelah semua ini selesai, kita akan menjadi orang yang baru.