Kalau hanya untuk memperbaiki lagi pagar jembatan yang rusak, warga sanggup gotong royong. Kesepakatan begitu, menurut keterangan kepala desa, pihak desa tengah di garis finish dan tidak mengetahui kalau sound system yang hendak lewat jembatan desa terhalangi pagar jembatan.
Sedang beredar video di Youtube aksi penghancuran jembatan jalan raya di Kabupaten Malang. Visualisasinya: sejumlah orang merusak pagar jembatan guna melancarkan kendaraan truck bermuatan sound system menuju desa mereka. Jadilah video itu viral karena ramai-ramai dibagikan oleh warganet. Tentu saja ada yang berseru, kenapa jembatan harus dirusak untuk memprioritaskan sound system yang lagi hit saat ini di banyak karnaval desa.
Tak lama, hadir update berita dari Mukhammad Khusaini, kepala desa Kasri, Bululawang, Malang Jawa Timur yang menjelaskan bahwa pihak desa tak tahu ada perusakan jembatan, tapi warga bersepakat untuk bergotong royong menggantinya. Nilai penggantian jembatan rusak, klaimnya, lebih murah daripada ongkos mengundang rombongan truck sound system sebagai hiburan meriahnya peringatan HUT RI ke-78 di desa tersebut.
Bagaimanapun, karnaval desa dengan sound system horeg, jedug-jedug dalam beberapa waktu ini lagi naik daun, menjadi “panggung bersama” untuk hiburan meriah seluruh warga kampung dan desa-desa. Tentu saja ada kontroversinya, sebab tak jarang ada yang menimbulkan daya rusak, genteng rumah jatuh, kaca pecah dan lain sebagainya. Malah ada yang sampai memicu perkelahian antar-anak muda. Urusan terakhir sih bukan monopoli penyelenggaraan sound horeg, tapi persoalan laten kala ada panggung hiburan gratis tanpa tiket.
Suara keras dari sound system bahkan jadi lomba kreasi, lomba kompetisi dan hiburan bersama di lapangan desa dan jalan desa dalam beragam event. Ongkosnya juga tak murah, tapi warga desa dan kampung merasa senang karena mendapatkan hiburan kerasnya suara musik yang diputar. Di beberapa event, mereka bersedia urunan untuk bisa mengundang beragam kelompok pemilik sound system terbaik versi mereka.
Apa yang ada di venue, lapangan, dan sekitar jalan desa selama event sound horeg, sound jedug-jedug ini berlangsung? Ada keramaian tentu saja, banyak muda-mudi dan anak-anak bergoyang, ada kreasi tari, goyang bersama. Mereka yang jadi peserta karnaval tampil dengan baju kreasi aneka rupa, ada yang berdandan rapi, ada yang unik dan modis sesuai tema yang dipilih. Di luar itu, tentu saja ada pasar tiban, pedagang dadakan yang meraih untung dengan menggelar dagangan masing-masing.
Bagaimana dengan misalnya ada orang yang merasa terganggu dengan suara keras, dentuman suara bas yang dihasilkan dari sound system mahal? Semua juga tahu ya, sound system yang mahal bisa menghadirkan harmoni suara yang lembut, syahdu dan enak didengar di telinga kala musik, lagu dan nyanyian disuarakan.
Suara keras, bikin jantung berdebar dengan dentuman irama musik aneka ragam adalah hal-hal yang bisa dicapai dengan kekuatan teknologi sound system terbaik.
Ada harga yang harus dibayar, ada yang harus iuran untuk bisa menghadirkan karnaval di desa mereka. Hingga akhirnya, suasana desa sunyi kembali, normal seperti biasa saja. Tegur sapa tak perlu harus berteriak-teriak untuk saling bicara.
Event karnaval, festival musik di desa, adalah panggung peristiwa seni partisipatif. Bisa saja tak sempurna digelar.
Event musik horeg boleh jadi adalah peristiwa seni seperti beragam festival besar yang lain, yang diselenggarakan dengan manajemen ketat. Kala jadi panggung seni tentu melahirkan pasarnya sendiri, ada juga panggung nonseni lain yang hadir.
Ada yang untung dan ada yang rugi, kala tujuan penyelenggaraan event bisa membuat hadirnya rasa bahagia, rasa senang cukuplah. Kalau ada keuntungan ekonomi, itu bonus. Apalagi di era serba bergoyang bersama dari pinggiran desa hingga ibu kota pun di halaman istana negara. Musik, lagu dan bergoyang milik semua golongan, si miskin, kaya, si pejabat ataupun rakyat biasa. Apa begitu ya kira-kira.
