Kategori
Politik Society

Tidak Ada Kiamat Hari Ini

Akan tiba waktunya. Gunung-gunung meledak. Laut terbelah. Langit pecah. Bumi dan semesta sudah mencapai batasnya. Seluruh isi bumi, termasuk manusia-manusia celaka yang hidup sampai Hari Akhir, akan musnah.

Kapan hari itu datang? Tak ada yang tahu, kecuali Sang Ilahi.

Kategori
Politik

Tawa dan Sensor: Politik Humor Hari Ini

Roasting politics artinya apa? Kalau ada pertanyaan begini, kira kira bagaimana jawaban mesin AI (artificial intelligence) ya? Saya mencoba menanyakannya ke ChatGPT yang dikembangkan oleh Open AI. Begini hasilnya:

Kategori
Politik

Busana Dalam Politik: Kain Tenun di Kantor KPU

Selama ini, dalam setiap kesempatan berbusana resmi, alam pikir urusan pernik baju dan asesoris lekat dengan istilah batik. Ada beragam motif batik yang jadi “kode motif” dan narasi untuk mengirimkan pesan dan “jati diri” penggunanya. Sejarah kain batik lekat dengan kehidupan di istana. Untuk simbol kuasa, ada motif khusus, termasuk aturan ketat juga berlaku.

Kategori
Politik

Republik Medsos, Panggung Digital Politisi Kita

Masa kampanye yang sesuai jadwal memang masih belum ada. Tapi “rasa kampanye” politisi sudah sangat terasa dengan bungkus aneka kegiatan di akhir pekan. Bahkan bisa saja setiap kesempatan untuk bisa menjangkau lebih banyak individu di daerah pemilihan yang potensial dilakukan. Tentu saja, bungkusnya atau penampilan diri politisi tidak boleh secara vulgar berkampanye untuk dipilih, atau ajakan secara terbuka untuk dicoblos di kartu suara.

Kategori
Politik Society

Pengarang Telah Mati, Kapan Ayah dan Ibu Menyusul?

Pengarang telah lama mati. Kita membunuhnya. Seorang pengarang kini tak lagi pantas mengklaim bahwa karya yang ia produksi adalah murni ciptaan dirinya. Begitu juga dengan interpretasi atas karya yang ia hasilkan. Ia tak lagi bisa bilang bahwa hanya pemaknaan dari dirinyalah yang paling valid. Seluruh tafsiran yang muncul dari para penikmat karyanya patut juga dipertimbangkan.

Kategori
Infrastruktur Politik

Teknologi Bukan Hanya Alat: Implikasi Konseptual Teknologi Komputasi Skala Planet

Ada dua jenis teknologi. Pertama, teknologi yang hanya berfungi sebagai alat. Teknologi jenis ini membantu pengguna (sebagian besarnya adalah manusia) dalam mengoptimalkan aktivitas sehari-harinya. Sepeda membantu manusia berpindah dengan jarak yang lebih jauh untuk setiap energi yang dikeluarkan oleh otot-otot kakinya. Gelas membantu manusia untuk meminum air dengan leher tetap tegak, tanpa harus menjulurkan kepala langsung ke dalam ember, seperti kambing.

Kategori
Politik

Praktek Jurnalisme Damai di Era Perang Siber

Digital War vs Peace Journalism dalam satu laporan jurnalistik terkini sudah sangat mudah ditemui. Hadirnya platform digital, telah menambah kecepatan informasi serta-merta ke seluruh penjuru dunia dalam hitungan sekejap saja. Ia memberikan kabar damai juga konflik dalam waktu bersamaan.

Kategori
Politik

Bentuk Lain Teknokrasi

Di benak sebagian besar generasi pasca-Orde Baru, kata “teknokrasi” berkonotasi negatif. Secara umum, kata ini digunakan untuk memberi nama pada proses pengambilan keputusan dalam sebuah kebijakan publik yang lebih memberi ruang pada pendapat para ahli ketimbang orang-orang yang terkena dampak. Orde Baru menerapkan model kebijakan yang seperti ini secara konsisten selama masa hidupnya. Kelompok ahli dominannya saja yang berbeda tiap periodenya. Di periode 1968 hingga 1980an, para ekonom yang mendominasi penentuan arah kebijakan. Sedangkan mulai akhir 1980an, ahli-ahli teknik yang giliran mendominasi. Habibie menjadi ikon utamanya.

Kategori
Politik Society

Nalar (Anti) Kebohongan Publik

Sebenarnya, tulisan ini hendak berjudul Nalar Kebenaran Publik untuk mempertegas pentingnya kebenaran dimiliki oleh publik. Tapi apa perlunya sekarang ini berkata hal kebenaran di padang pasir informasi digital yang berlimpah hoaks, kebohongan dan fitnah begitu rupa?

Tulisan ini juga hendak mengelaborasi lebih jauh soal apa yang digelisahkan oleh penulis Hamsad Rangkuti. Cerpenis kelahiran Kisaran, yang bertutur jujur dalam problematika etik kepenulisan sebagai pengarang cerita fiksi dan kebohongan yang dituliskan dalam ceritanya.

Fiksi berbeda dengam fakta. Artinya, dalam kisah fiksi yang semua pembaca tentu akan sepakat jika bisa saja hal yang tertulis adalah rekaan semata, imajinasi si penulis. Namun dalam soal menulis cerita, jelas dibutuhkan sikap jujur, sebagai moral cerita untuk keberpihakan penulis pada problem moral, masalah etis atas tematik yang dibingkai dalam tulisan.

Cobalah kembali membaca ulang apa yang telah ditulis oleh Hamsad Rangkuti dalam karya buku kumpulan cerpen Bibir Dalam Pispot terbitan Kepustakaan Populer Gramedia. Meski sudah diberikan tulisan kata pengantar dan penutup rasanya belum tuntas juga untuk tak memberikan pandangan pendapat atas pembenaran nalar kebohongan yang diajukan oleh Hamsad Rangkuti.

Sebagai pembaca, saya mengakui dan terkesan atas kejujuran pengarang dalam sikapnya, bertutur tentang kebohongan yang dituliskan. Ada pengetahuan baru, atas kebohongan yang dalam bingkai cerita menjadi kebenaran karena logika yang logis terbangun.

Penulis bisa selamat dari cap pembohong karena dirinya adalah penulis fiksi. Semua bisa mahfum bahwa apa yang dituliskan bisa saja memang tak pernah terjadi dalam kehidupan nyata, bersifat rekaan, dibuat-dibuat dan seterusnya.

Bahkan dalam artikel penutup, Hamsad disebutkan tak perlulah ikut larut dalam polemik apakah kebohongan diperbolehkan dalam karya sastra, seni bercerita? Biarlah kritikus dan ahli sastra yang berdebat soal itu. Sebagai pengarang, ia terbebas dari kewajiban berdebat atas karya cerpen yang dibuatnya. Tapi itu tak dipilih oleh Hamsad Rangkuti, dirinya melibatkan diri secara penuh dan secara terbuka menjelaskan aneka kebohongan yang pernah dituliskan dalam karya cerpen. Silakan menelusuri alasan dalam tiap karya cerpen Hamsad, membaca lagi kebohongan yang dituliskan soal sosok tokoh, nasibnya dan problema yang dihadapi.

Meminjam cara Hamsad Rangkuti menjelaskan kebohongan secara terbuka ke publik, rasanya tepat kalau memahami logika kebohongan yang disampaikan sebagai kebenaran. Iya, kebenaran versi penulis. Ada bingkai lain kebohongan yang diakui secara jujur. Itulah kebenarannya. Ada nalar anti kebohongan yang dipaparkan lewat narasi kisah yang ditulis.

******

Sekarang, terkini, kita berhadapan dengan sorotan seorang yang dikenal publik sebagai intelektual. Rocky Gerung (RG) dan narasinya soal Petruk dan Pinokio yang dilekatkan dengan sosok Joko Widodo. Sebagai intelektual, RG berkomentar dalam bahwa apa yang disajikan oleh seniman Butet Kertaredjasa si tukang kritik, aktor teater dan budayawan itu adalah bentuk sindiran seniman untuk kekuasaan Joko Widodo terkait soal kepemimpinan, etika dan integritas . Ini berpangkal soal hidung panjang Petruk yang diasosiasikan sama bingkai narasinya dengan Pinokio. Dua tokoh rekaan, yang ada dalam alam pikiran cerita wayang dan cerita anak-anak.

Sunardian Wirodono (SW) lalu memberikan bingkai bahwa bingkai pendapat yang dirangkai oleh Rocky Gerung tidak benar, hidung panjang Petruk bukan terbentuk karena kebohongan seperti yang terjadi di kisah anak-anak soal Pinokio. Jauh berbeda, beda budaya dan latar ceritanya. Tak elok, dan salah besar kala membangun logika, membangun nalar publik soal kebenaran dan kebohongan begitu rupa.

Lewat tulisan SW, pembaca diberikan beberapa alasan berkaitan ngawurnya narasi Rocky Gerung membingkai sosok Joko Widodo, Petruk dan Pinokio. Panjang lebar uraian bisa dibaca sendiri di dalam status SW di medsos ini. Bagaimana RG membangun narasi dan SW membuat kontra narasi dalam tulisan.

Mana yang bisa dipercaya dan bisa dianggap kebenaran atau kebohongan bagi publik?

Hal yang menarik berikutnya adalah kegiatan vaksinasi yang dilakukan di sela hadirnya bingkai para penari berhidung panjang, sosok Petruk yang mengiringi kehadiran Joko Widodo di Padepokan Seni Bagong Kusudiardjo, Bantul DIY beberapa waktu lalu.

Tak kurang, hadir kritik soal peristiwa itu. Kenapa seniman lebih dahulu harus divaksin, kenapa juga dilakukan vaksin tidak di fasilitas kesehatan, kenapa bukan guru-guru di daerah tidak lebih diprioritaskan dan seterusnya? Ramai-lah kritiknya.

******

Nalar Kebenaran Publik, lewat peristiwa seni maupun faktual yang terjadi hari ini tengah beradu logika pembenaran masing-masing. Soal urusan publik, vaksinasi, vaksin saja ada beragam pendapat juga klaim kebenaran di dalamnya. Apalagi ini Petruk Divaksin hadir nyata. Ada satu kesamaan pemahaman soal ini, seluruh penafsir sama-sama menganggap lucu, termasuk Presiden Joko Widodo. Hanya saja, di luar ahli seni, warganet ada yang berkomentar hadirnya hidung panjang identik dengan Pinokio si tokoh fiksi yang berbohong.

Berlimpahnya informasi, kecepatan penyebaran dengan hadirnya teknologi digital, terkadang dan lebih sering mengaburkan kebenaran. Kebohongan yang lebih cepat menyebar, jelas membahayakan dan perlu dijernihkan. Bener ning ra pener, begitu manusia Jawa memberikan petuah bagi siapa saja yang merasa benar atas tindakan, pendapat yang disampaikan. Alam pikiran manusia Jawa begini juga menjadi siasat klaim kebenaran itu seperti apa yang tepat.

Filsafat, sebagai ilmu, mengingatkan secara etimologi philo dan sophia yang bermakna cinta kebijaksanaan (wisdom) sebagai dasar berpijak, dasar bertanya dan berpikir manusia modern seperti dalam pengertian bahasa Yunani sejatinya mengajak untuk menguji.

Kalau mengikuti alam pikir Socrates model tanya jawab yang digunakan Rocky Gerung bebas saja dipakai, apakah narasi yang dibangun adalah sebuah kebenaran? Disiplin filsafat barat, kala bersinggungan dengan alam pikiran timur (Jawa) memang seringkali bermasalah. Setidaknya itulah yang tengah kita temui bersama dalam konteks narasi Petruk, Pinokio plus Joko Widodo.

Mana yang paling bisa disebut kebohongan, mana yang benar?

Kekuasaan yang absolut jelas akan memonopoli kebenaran, juga kebohongan. Di sekitar orang-orang yang memiliki kuasa, hadir produksi kebenaran dan kebohongan setiap waktu. Publik boleh percaya dan menolaknya jika perlu.

Nah soal hidung yang panjang ataupun pendek, dalam kenyataan kemanusiaan semua ras manusia tak ada yang sepanjang hidung Petruk dan Pinokio. Hidung panjang ala keduanya adalah hal yang dibuat-buat, diimajinasikan, ada karena cerita dan narasi pelabelan karakter di luar kenyataan keseharian. Jadi hadir nyata, karena divisualkan, dipentaskan, dihidupkan.

Apakah kita semua lebih percaya kisah latar Petruk atau Pinokio, mana suka sajalah. Kalau cocok dengan nalar, gunakan. Tidak cocok ya tinggalkan saja.

Kategori
Politik Society

Sikap Tubuh Sikap Politik

Melalui sebuah foto, Presiden Amerika Serikat Joe Biden tampak tertangkap kamera ketika mencium istrinya Jill Biden. Foto ini jadi satu foto ‘kuat’ yang tampil dalam rangkaian rekaman momen pergantian kepemimpinan, setelah Donald Trump lengser.

Amerika Serikat disorot karena adanya aksi demontrasi yang diwarnai kekerasan sampai mengakibatkan korban jiwa. Foto kemesraan pemimpin negara tentu mendinginkan suasana politik yang menghangat di negara adikuasa.

Melalui foto, publik bisa membuat aneka tafsir pesan sendiri, di luar pesan utama yang ingin disampaikan oleh tokoh atau public figure. Foto berciuman pemimpin negeri, pejabat negara tentu tak lazim di negara lain. Sebab ada budaya dan alam pikir yang berbeda. Apalagi kalau misalnya, dilakukan oleh pemimpin di nusantara untuk mengekspresikan rasa kasih sayang, rasa cinta.

Alih alih memberikan pesan cinta, foto ala Joe dan Jill Biden bisa bawa narasi jauh berbeda, jika dilakukan oleh pemimpin di negara lain. Apalagi di era meme dan twit war medsos zaman digital ini.

Budaya berciuman di Amerika Serikat dan negara liberal yang lain, dilakukan untuk menunjukan romansa, rasa cinta pemimpin kepada sosok terdekatnya. Mewakili kecintaan kepada negara dan rakyatnya.

Foto-foto natural, foto bercerita yang menempatkan public figure adalah satu foto yang biasa jadi konsumsi publik. Bukan hanya sekedar ilustrasi atau pelengkap berita. Foto portrait seorang tokoh misalnya bisa membawa impresi pesan kuat.

Wajah Presiden yang tertunduk lelah di meja kerja istana (sepengetahuan saya, belum menemukan momen begini di tanah air) tentu akan memberikan kabar tafsir beraneka rupa. Soal kondisi negara.

***

Sikap tubuh tokoh politik, apakah mencerminkan sikap politik?

Semua mahfum, foto adalah bagian tools pesan dalam propaganda. Keberadaan foto portrait Presiden Mao, China di masa lalu jelas sekali tujuan propaganda yang ingin disampaikan.

Rakyat harus memiliki kecintaan kepada negara, kepada pemimpin. Ini ditujukan bukan hanya ke dalam negeri tapi pesan untuk negara lain betapa kuatnya kepemimpinan Mao, kala itu.

Sezaman dengan model propaganda sejenis, melalui foto tokoh dalam aneka pose, juga teknik manipulasi ruang kamar gelap, untuk penciptaan citra diri tokoh, banyak dibuat foto dalam ukuran besar.

Propoganda kekuatan tokoh lewat foto, menautkan citra diri pemimpin model begini jelas masih dianggap efektif sampai sekarang. Berwujud baliho besar, spanduk hingga meme di era digital.

Sikap tubuh dan atribusi simbol kebesaran dengan aneka bintang jasa jamak ditemui dalam foto protrait tokoh di berbagai era. Sebelum teknologi fotografi ditemukan, lukisanlah yang dipakai untuk menunjukan kuasa. Lukisan raja-raja di dalam istana misalnya.

Presiden RI Ir. Soekarno juga memanfaatkan foto untuk bawa pesan kepada publik. Semua ingat bagaimana pose foto kala Presiden Soekarno merangkul Jenderal Soedirman. Foto yang konon peristiwanya perlu diulang untuk diambil rekaman foto terbaik telah jadi bagian sejarah negeri ini.

Aneka pose foto proklamator RI menjadi sumber sejarah penting. Bukan hanya dalam bingkai foto resmi semata tapi beragam foto dengan pose dan sikap tubuh Soekarno bisa terlacak bagaimana pemimpin pertama Republik Indonesia itu bisa berada dekat di hati banyak pemimpin negara lain. Akrab dengan pemimpin dunia dan memiliki kedekatan dengan rakyatnya, dengan petani, dengan Marhaen.

Di zaman Gus Dur, fotografi tokoh atau elit lebih berwarna, berbeda dari kelaziman. Apalagi kala ada momen Gus Dur hanya bercelana pendek di beranda istana, harus berhenti melepaskan kekuasaan karena dimakzulkan. Di momen yang lain,  banyak Gus Dur yang apa adanya, tampil sebagai sosok nahdliyin, pemimpin juga intelektual, penceramah sekaligus sosok kyai terekam di banyak bingkai foto.

Megawati Soekarnoputri mendapat tempat unik. Sosok perempuan pertama pemimpin bangsa. Presiden kelima ini sempat memberi warna perlawanan kepada rezim otoriter orde baru di bawah Presiden Soeharto dengan sikap tubuhnya di atas panggung orasi.

Era Susilo Bambang Yudhoyono, fotografi lebih personal karena ibu negara sendiri, Any Susilo Yudhoyono yang asik mencipta foto dengan bidikan lensa kameranya.

***

Mengisi ruang publik dengan foto-foto tokoh adalah satu peran yang tetap strategis di media massa. Termasuk kehadiran foto-foto di media online masa sekarang.

Melalui sebuah foto, bisa terkirim pesan dan impresi publik merespon tokohnya, peristiwanya, termasuk pesan utama untuk menaikkan citra atau menurunkan rasa suka publik kepada seseorang.

Presiden Joko Widodo memilih lebih sering menggunakan pakaian putih, celana hitam, mendaku diri sebagai pelayan publik yang baik untuk rakyatnya. Berfoto soliter, di titik lokasi pembangunan infrastruktur, di tempat wisata terpencil hingga di lokasi bencana. Sesekali tampak bermain  bersama cucu tercinta, Jan Ethes dan keluarga.

Kali ini, di awal tahun 2021 ada peristiwa yang menghangat dalam jagat politik kekuasaan. Beredar foto AHY di panggung podium dalam pakaian resmi partai.

Di saat yang sama, ditunjukan sosok Moeldoko, Jenderal TNI di masa SBY mencium tangan ayah AHY.  Lalu, diberi tambahan narasi downgrade bagaimana sikap politik sang jenderal yang kini berada di pusaran kuasa.

Melalui foto, rupanya dalam politik di setiap era zaman masih menjadi pilihan strategi untuk melipatgandakan pesan, ketokohan, keberpihakan dan kemuliaan seseorang.

Sesuai sejarah fotografi dalam teknik penciptaan foto ada ‘ruang gelap’ yang  memungkinkan aneka manipulasi foto agar lebih kuat, sempurna kecerahan, ketajaman visualnya. Sementara dalam politik,  ada ruang gelap juga yang tak bisa terlihat dan dilihat publik.

Fotografi adalah seni lukis dengan cahaya, sementara politik adalah seni negosiasi yang memiliki nilai keutamaan untuk urusan kepentingan publik.

Apakah akan ada upaya dan langkah yang benar-benar serius untuk mendongkel kepemimpinan politik di tubuh parpol masa kini?

Bagaimana media menampilkan wajah dan aktivitas para politisi dan calon pemimpin negeri ini agar terus bisa menghiasi alam pikiran rakyat?

Mari simak dan nikmati sikap tubuh mereka para politisi, para pemimpin kala berhadapan dengan kamera foto.