Kategori
Kapital Society

Manusia Pasca Tiktok

Beberapa waktu yang lalu dalam sebuah percakapan, saya diberi tahu oleh lawan bicara bahwa saat ini ia sedang kesulitan mencari sebuah informasi dari topik penelitiannya di Tiktok. Pada momen tersebut ada dua hal yang secara khusus membuat saya merasa terhelat. Pertama, anak ini lahir ketika saya sudah Sekolah Dasar (SD) dan sekarang dia sudah melakukan penelitian skripsi. Kedua, dia mencari informasi terkait penelitian di Tiktok.

Alangkah bijaksana jika hal yang pertama tidak perlu dibahas lebih lanjut.

Kategori
Kapital

Melampaui Tuntutan Hak Cuti Melahirkan dan Ruang Laktasi di Tempat Kerja

Belakangan cuti hamil dan melahirkan menjadi perbincangan. Pemicunya, ada beberapa orang di media sosial yang bilang bahwa ada banyak kejadian pekerja perempuan mengambil cuti melahirkan, 3 bulan digaji tapi tidak kerja. Setelah cutinya habis, perempuan ini mengundurkan diri dari pekerjaannya. Mereka yang memulai perbincangan ini, menganggap hal ini sangat merugikan perusahaan. Sehingga, perusahaan mungkin akan berpikir ulang jika ingin merekrut tenaga kerja perempuan. Takutnya, baru sebentar bekerja, ternyata hamil, mengambil cuti hamil-melahirkan, lalu resign.

Pihak yang keberatan dengan argumen ini mempertanyakan komitmen perusahaan dalam memberikan kenyamanan bagi para ibu untuk bekerja. Apakah perusahaan sudah menyediakan berbagai fasilitas untuk perempuan yang baru saja melahirkan? Misalnya ruang laktasi, kelenturan dalam aturan jam kerja, fasilitas penitipan anak, dll. Bagi para ibu, apalagi baru melahirkan anak pertama, tentu saja sangat berat jika harus meninggalkan anaknya terlalu lama. Lebih-lebih buat keluarga yang tidak punya uang banyak untuk membayar pengasuh anak. Jadi, ketimbang memberi tuduhan yang macam-macam bagi para pekerja perempuan, perusahaan semestinya lebih aktif untuk mencari tahu apa penyebab perempuan yang baru melahirkan berhenti bekerja.

Saya sangat setuju bahwa cuti hamil-melahirkan yang lebih panjang dan fasilitas untuk para orang tua yang baru punya anak adalah hak pekerja yang harus disediakan. Dalam kasus resign, sepanjang tidak ada perjanjian tertulis, sah-sah saja bagi pekerja mau resign kapanpun.

Namun demikian, tuntutan atau tujuan kita, kelas pekerja, semestinya tidak hanya sampai titik ini. Sebab, ini belum menyentuh permasalah mendasarnya.

Masalah cuti hamil-melahirkan dan fasilitas buat orang tua yang baru punya anak sebaiknya tidak hanya dilihat sebagai hubungan antara pekerja dan perusahaan. Ini masalah sistem ekonomi secara keseluruhan yang saling berkaitan, yakni tentang bagaimana kita memberi nilai pada sebuah kerja. Kegiatan apa saja yang termasuk kerja? Mengapa ada aktivitas yang dianggap bernilai secara ekonomi dan mendapatkan kompensasi berupa gaji, sedangkan aktivitas lain tidak?

Misalnya, kalo kita melihat seorang perempuan yang bekerja sebagai ilustrator, apa saja kegiatannya yang harus dikompensasi dan hal-hal apa saja yang mendukung dan memungkinkan dia melakukan kegiatan itu? Saat ini, yang dianggap bernilai dari kegiatan si perempuan ilustrator ini hanyalah kerja-kerja dia yg menghasilkan sebuah ilustrasi. Sehingga, perusahaan cukup membayar kerja-kerja si perempuan saat mengilus saja.

Tapi, pertanyaannya, bagaimana si perempuan ini bisa membuat ilustrasi? Ada begitu banyak kerja yang berperan. Mari kita urai beberapa. Ibunya dulu saat mengandungnya menjaga kesehatan dengan baik, makan makanan bernutrisi. Setelah lahir, ia dirawat dengan penuh kasih sayang oleh ibu, bapak, dan keluarganya yang lain. Agak besar, dia punya banyak teman yang membuatnya bisa mudah bersosialisasi dengan masyarakat. Di sekolah, dia diajari ilmu pengetahuan biar pintar. Lalu, ia kuliah di jurusan desain yang dibiayai oleh orang tuanya. Di kampus, dia ikut UKM (Unit Kegiatan Mahasiswa) sehingga punya ruang untuk melatih softskill. Kemudian, ia lulus menjadi seorang perempuan yang bisa membuat ilustrasi, punya kreativitas tinggi dalam mengeksplorasi ide-ide desain, dan punya daya banting fisik dan psikologis yang kuat dalam menghadapi deadline.

Perusahaan tempat si perempuan ini bekerja tidak menanggung biaya ini semua. Tinggal memakai tenaga si perempuan saja. Ibu dan bapak yang merawat dan membesarkan anaknya tidak dibayar; para tetangga yang membantu si anak mudah bersosialisasi juga tidak dibayar; si perempuan bersekolah dan kuliah dengan biaya sendiri (dari orang tuanya); guru-guru honorer di sekolahnya dibayar dengan sangat-sangat murah. Singkatnya, kerja-kerja yang menghasilkan tenaga kerja (labour power) itu tidak dianggap bernilai dalam sistem ekonomi hari ini, sehingga dianggap tidak perlu diberi kompensasi, dan tetap diserahkan kepada keluarga dan komunitas-komunitas yang ada di masyarakat untuk mengerjakannya dengan alasan itu sesuatu yang alamiah.

Mungkin bakal muncul pertanyaan, bagaimana mungkin kasih sayang orang tua kepada anaknya harus dinilai secara ekonomi? Bukankah sudah menjadi kewajiban orang tua merawat anaknya? Jawabannya, di dalam sistem ekonomi yang sebagian besar orang bergantung pada upah untuk hidup, dan fakta bahwa sesungguhnya seluruh pertambahan nilai dalam perusahaan baik itu manufaktur maupun jasa berasal dari pekerja, maka seluruh akivitas yang membuat si pekerja itu bisa bekerja ya harus diberi nilai juga.

Dari sini bisa dilihat, seprivat apapun itu, mulai dari kamar tidur, ruang tamu rumah, dapur, sebenernya sangat berkaitan dengan ruang publik dan ruang kerja. Yang jadi masalah hari ini, antara ruang kerja dan rumah dianggap terpisah dan tidak ada hubungannya. Makanya, si perempuan ilustrator tadi hanya dibayar kerja-kerjanya di kantor atau kerja di rumah saat WFH (work from home). Tapi ketika ia hamil, misalnya, itu dianggap urusan pribadi/privat. Padahal, berputarnya ekonomi juga sangat bergantung pada kerja-kerja orang tua membesarkan anak, yang di kemudian hari menjadi seorang tenaga kerja yang menghasilkan nilai-nilai ekonomi.

Berdasarkan pemahaman inilah, menurut saya, sebaiknya pembelaan pada cuti hamil-melahirkan dan fasilitas untuk orang tua yang baru punya anak bukan hanya dari segi moralitas. Jadi bukan hanya tentang apakah perusahaan jahat kepada perempuan (karena tidak menyediakan cuti hamil-melahirkan yang panjang dan fasilitas daycare dan ruang laktasi yang berkualitas) atau perusahaan baik kepada perempuan (sebaliknya). Walaupun tentu ini sah-sah saja dan akan menarik banyak perhatian (mudah viral), tapi kritiknya juga bisa objektif dan saintifik, yaitu tentang fakta bahwa ada banyak sekali nilai-nilai kerja yang diambil secara gratis oleh perusahaan.

Saya setuju dengan Koko Dirgantoro ketika ia bilang bahwa peran negara diperlukan dalam mengatur cuti lahir-melahirkan dan ikut menyediakan fasilitas daycare dan ruang laktasi. Tapi, lagi-lagi sebaiknya kita tidak berhenti di sini. Karena kalo ini cuma tentang bagaimana negara mengatur secara tegas cuti lahir-melahirkan dan menyediakan fasilitas laktasi dan daycare secara gratis, tanpa mengubah struktur perusahaan menjadi benar-benar demokratis (pekerja punya suara dan kuasa yang nyata dalam menentukan bagaimana keuntungan perusahaan digunakan dan dibagikan, bagaimana perusahaan berproduksi, dll.), maka negara bakal empot-empotan dan sebagian besar nilai kerja/nilai ekonomi tetap diambil oleh para pemilik perusahaan raksasa yang sama sekali tidak bekerja.

Mungkin Kokok Dirgantoro dan orang-orang lain yang hanya menekankan pentingnya negara menyediakan banyak fasilitas dan kesejahteraan pada pekerja, tanpa bicara bagaimana mendemokratiskan perusahaan, berkaca pada Eropa di masa welfare state (negara kesejahteraan). Memang, negara-negara di sana bisa menyediakan cuti hamil-melahirkan yang panjang, fasilitas dan pembiayaan untuk anak-anak baru lahir, pendidikan gratis, kesehatan gratis, dll. Tapi jangan lupa, negara-negara itu bisa menjalankan program yang sedemikian rupa karena kaya dan kekayaannya banyak didapatkan dengan cara mengisap negara-negara bekas jajahan, seperti Indonesia.

Kategori
Kapital

Pilkada Sumenep: Mengatasi Kemiskinan Tidak Cukup Hanya dengan Pelatihan Wirausaha

Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS), Sumenep menempati urutan kedua tingkat kemiskinan terburuk se-Jawa Timur. Jumlah penduduk miskin di Sumenep mencapai 19,48 persen di tahun 2019. Dengan jumlah total penduduk 1.085.227 jiwa, berarti ada 211.402 penduduk miskin di kabupaten ujung timur Madura ini. Selama masa pemerintahan Busyro-Fauzi, dari tahun 2016 sampai 2019, tingkat kemiskinan di Sumenep hanya turun sebesar 0,59 persen. Ini jauh dari rata-rata pencapaian penurunan tingkat kemiskinan di Jawa Timur yang sebesar 1.67 persen.

Tandanya, perlu ada kerja yang lebih keras dan perubahan tata kelola pemerintahan di kabupaten Sumenep khususnya dalam usaha menyejahterakan rakyat. Pilkada Sumenep di tahun ini, yang akan dilaksanakan pada tanggal 9 Desember 2020, adalah kesempatan bagi rakyat Sumenep untuk menentukan siapa yang layak mengelola uang pajak mereka agar digunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.

Permasalahan kemiskinan ini menjadi salah satu topik yang diangkat di debat publik Pilkada Sumenep pada hari Selasa (10/11). Kedua calon sempat mendapatkan pertanyaan yang mirip dari para panelis terkait kemiskinan.

Achmad Fauzi, calon bupati nomo urut 01 yang hadir sendiri, ditanya tentang apa langkah konkretnya untuk membuat rakyat Sumenep lebih sejahtera dan mandiri dengan bertumpu pada kearifan lokal. Ia bilang akan melaksanakan program wirausaha mandiri berbasis pesantren dan wirausaha muda. Program ini untuk mendorong para santri dan para pemuda di Sumenep agar memiliki semangat dan keterampilan berusaha secara mandiri, sehingga tidak bergantung pada ketersediaan lapangan pekerjaan. Apalagi di masa pandemi yang berlarut-larut ini, lapangan pekerjaan terus berkurang drastis, bahkan PHK terjadi di mana-mana. Dengan memiliki jiwa wirausaha, diharapkan para santri dan pemuda bisa menemukan banyak peluang ekonomi baru yang efeknya juga bisa menumbuhkan ketersediaan lapangan kerja. Itu tawaran dari Fauzi.

Sementara itu, pasangan nomor urut 02 Fattah Jasin – Ali Fikri ditanya oleh panelis tentang apa strategi mereka untuk menurunkan angka kemiskinan di Sumenep. Menurut Fattah, 5-10 tahun lalu, tingkat kemiskinan di Sumenep belum termasuk yang paling parah di Jawa Timur. Namun kini, Sumenep menempati urutan paling bawah bersama kabupaten Sampang. Fattah menguraikan hal ini untuk menggambarkan bahwa pembangunan di Sumenep selama ini tidak mampu menyejahterakan rakyat. Sayangnya, Fattah tidak memberikan rencana yang jelas bagaimana mengatasi masalah ini. Ia hanya bilang bahwa kategori kemiskinan perlu lebih diperinci lagi, agar penanganannya lebih tepat sasaran. Di segmen-segmen selanjutnya pun, Fattah memberikan jawaban yang sama seperti Fauzi terkait pengentasan kemiskinan, yaitu dengan melaksanakan program wirausaha.

Mantra “wirausaha” dan “entrepreneur” memang digemari oleh para peserta pemilu beberapa tahun terakhir. Mulai dari calon bupati, walikota, gubernur, sampai level presiden, keranjingan menggunakan istilah-istilah tersebut untuk menarik para pemilih. Program “mencetak para pengusaha” sebetulnya memang bagus karena menambah ilmu dan keterampilan masyarakat untuk membangun usaha sendiri. Namun demikian, seringkali narasi ini digencarkan untuk menutupi kenyataan sesungguhnya yang sungguh buruk, yaitu perlambatan pertumbuhan ekonomi yang berefek pada minimnya ketersediaan lapangan pekerjaan.

Di kabupaten Sumenep, Jawa Timur, Indonesia, dan bahkan dunia, peningkatan kesejahteraan masyarakat memang dibuat bergantung pada pertumbuhan ekonomi yang sangat cepat. Dengan pertumbuhan yang cepat, yang ditandai dengan banyaknya barang dan jasa yang ditransaksikan sehingga investasi mengalir deras, maka akan semakin banyak orang yang bisa bekerja, lalu penghasilannya naik, lalu hidupnya lebih sejahtera. Sebaliknya, jika pertumbuhan ekonomi melambat sedikit saja, maka masyarakat kelas ekonomi menengah ke bawah langsung kena dampak berupa hilangnya sumber penghasilan. Pola pikir seperti ini yang dipahami oleh para calon pejabat.

Padahal, permasalahannya bukan hanya sesederhana itu. Kita sebetulnya juga perlu bertanya, apakah kue ekonomi yang dihasilkan dari pertumbuhan ekonomi dibagi secara adil dan merata? Tentu saja jawabannya tidak. Kue ekonomi lebih banyak dilahap oleh para kelas ekonomi atas, yang mempunyai banyak modal dan aset. Sementara kelas menengah ke bawah hanya menadah remah-remah kue berupa lapangan pekerjaan. Hal inilah yang membuat kita harus terus membuat ekonomi melaju kencang, agar setidaknya remah-remah yang didapatkan kelas menengah ke bawah semakin banyak. Dan tentu saja kelompok ekonomi atas mendapatkan bagian yang semakin luar biasa banyak.

Pembagian kue ekonomi yang tidak adil inilah yang seharusnya menjadi program pembenahan para calon kepala daerah. Bagaimana membuat aktivitas ekonomi yang sudah berjalan bisa dinikmati oleh sebagian besar rakyatnya? Bagaimana kekuatan politik pemerintah daerah bisa memaksa usaha-usaha besar yang dimonopoli satu-dua orang tidak mengambil terlalu banyak kue ekonomi sehingga bisa dibagikan kepada rakyat agar terlepas dari kemiskinan? Bagaimana bupati dan wakil bupati membantu para pekerja swasta agar bisa punya saham di tempat kerjanya masing-masing?

Aktivitas ekonomi di kabupaten Sumenep, dan daerah-daerah lain tentunya, sebetulnya sudah cukup untuk menyejahterakan rakyat. Namun, hal ini tidak bisa terwujud karena pundi-pundi ekonomi diembat orang-orang rakus.

Pembenahan ekonomi secara struktural inilah yang seharusnya menjadi program dan nantinya dilaksanakan. Momentum krisis akibat Covid-19 yang berefek ke segala sektor seharusnya menjadi momen pembenahan besar-besaran. Hanya memberi pelatihan dan pendampingan wirausaha kepada tiap-tiap individu berarti hanya membekali dan memotivasi rakyat untuk mengais remah-remah ekonomi yang amat sedikit itu. Selama para pemodal besar tidak dikoreksi kuasa monopolinya dalam ekonomi, maka ide-ide usaha baru yang minim modal itu pada akhirnya akan dicaplok juga oleh gurita-gurita besar.

Kategori
Kapital

Apa yang Dirampas oleh Kapitalisme?

Biasanya, kalau bicara tentang eksploitasi pekerja, sebagian besar orang bicara tentang upah murah. Upah minimum di suatu daerah dibandingkan dengan biaya hidup di daerah tersebut. Besaran upah dibandingkan dengan kuantitas dan kualitas kerja yang dilakukan. Ini betul.

Namun, ada lagi yang dirampas oleh kapitalisme, dan efeknya lebih ganas, yaitu samudra kemungkinan. Sederhananya begini. Jutaan anak muda sudah belajar di universitas. Selama di kampus, walaupun hanya belajar satu bidang ilmu saja, dia punya miliaran kemungkinan ide di kepalanya untuk mendesain dunia yang lebih baik, yang ekonominya adil, adil gender, tidak rasis, dll. Potensi kemungkinan ini hancur-lebur ketika ia masuk dunia kerja. Ia terpaksa menyerahkan sebagian besar waktunya untuk melakukan aktivitas yang ditetapkan oleh perusahaan, agar bisa melanjutkan hidup. Bahkan di waktu non-kerjanya, energinya sudah habis untuk melakukan hal lain. Bahkan untuk sekadar berpikir hal lain! Apalagi semakin banyak model-model kerja hari ini yang tidak hanya menyedot fisik dan pikiran analitis sederhanya saja, tapi juga sofskill yang melibatkan emosi (mood). Softskill pun kini lebih kencang dieksploitasi.

Walaupun hari-hari ini banyak perusahaan yang seakan ramah pada sisi kreatif, kebebasan, dan gairah eksploratif pekerja, tapi tetap saja harus dalam kerangka kemajuan dan keuntungan perusahaan. Miliaran kemungkinan kreatif yang berada dalam diri pekerja dipaksa melayani dan menjaga keberlangsungan sistem ekonomi dan kehidupan yang eksploitatif.

Saya menuliskan ini bukan adalam kerangka seperti yang dimunculkan oleh Megawati, “mana konstribusi anak muda bagi negara?”. Yang saya maksud di sini adalah kerugian di level individu dan society (masyarakat). Bagi individu, ia tidak punya banyak waktu dan energi untuk mengembangkan dirinya sesuai dengan yang ia inginkan. Pengembangan dirinya dipaksa berada di dalam rel. Jikapun bisa keluar dari rel, itu membutuhkan pemaksaan energi yang tidak main-main, sehingga tubuh dan psikisnya menjadi rentan. Ketika individu-individunya sudah begini, maka kerugian sudah pasti juga dialami oleh society. Sebuah masyarakat tidak bisa menggapai hidup yang lebih baik, nyaman, aman, dan tidak menindas. Inilah yang dirampas: kesempatan.

Samudra kemungkinan ini yang menurut Karl Marx tak bernilai. Nilainya tidak dapat diukur atau dikonversi menjadi upah. Jadi, upah sebesar apapun, bahkan 100 juta per bulan sekalipun, tetaplah eksploitatif. Meskipun secara subjektif atau orang yang punya gaji segitu tidak merasa dirinya sedang dieksploitasi, secara objektf ia tetap sedang dieksploitasi. Eksploitasi kerja tidak ada hubungannya dengan perasaan orang yang bekerja (merasa dieksploitasi atau tidak). Karena ini bukan cuma tentang besaran gaji yang tidak sepadan dengan beban kerja. Tapi juga tentang potensi kemungkinan yang dikubur.

Terlalu fokus pada eksploitasi yang berhubungan dengan upah murah dan melupakan samudra kemungkinan yang dirampas akan membuat visi pekerja hanya sampai pada upah yang layak. Pekerja seharusnya mempunyai visi yang jauh lebih besar dari itu. Pekerja harus punya kendali pada kerjanya, apa yang akan dia kerjakan, bagaimana ia mengerjakannya, seberapa lama ia harus mengerjakan itu, dan bagaimana pembagian hasil kerja tersebut.

Kategori
Kapital

Gig Economy: Perusahaan Melimpahkan Risiko Bisnis kepada Pekerja

Gig economy adalah istilah untuk menyebut sistem kerja kontrak pendek, freelance, outsourcing, dan “on-demand work” (kerja sesuai pesanan, misalnya ojek online). Penamaan tersebut untuk membedakan model industri ini dengan sistem pekerja/pegawai tetap. Dalam gig economy, pemberi kerja tidak menganggap penerima kerja sebagai pekerja di perusahaannya, tapi sebagai “mitra”, seperti dipopulerkan oleh beberapa start-up di Indonesia.

Gig economy tidak hanya terjadi di industri digital yang belakangan marak. Model ekonomi ini juga terjadi di berbagai sektor lain, misalnya konstruksi. Berbagai perusahaan konstruksi kerap menawarkan pekerjaan kontrak per proyek. Misalnya, lowongan drafter untuk proyek Jembatan Siliwangi. Jika proyek sudah selesai, putus kontrak. Tukang batu, kayu, besi yang sangat berperan dalam industri konstruksi juga bisa disebut sebagai pekerja gig karena tidak punya kepastian status sebagai pegawai tetap. Mereka sudah biasa dilempar sana-sini antar-proyek sesuai kehendak sang mandor.

Penjabaran definisi umum tentang gig economy ini penting, agar ketika kita membayangkan pekerja gig tidak hanya fokus ke yang serba digital saja.

Telah banyak yang mengkritisi gig economy. Ada dua kelompok kritik. Pertama, kritik terhadap pendapatan pekerja. Gig economy dianggap memperkecil pendapatan pekerja jika dibandingkan dengan waktu bekerjanya. Artinya, waktu dan beban kerja yang dibutuhkan untuk mendapatkan upah yang layak semakin panjang dan berat.

Seorang freelancer desain grafis harus bekerja lebih panjang, mengambil beberapa pekerjaan, dengan jam kerja tak keruan (sering lembur) agar penghasilannya dalam sebulan setidaknya melebihi upah minimum provinsi (UMP). Lemburnya pun dihargai sama, tidak seperti pekerja tetap yang upah per jam untuk lembur lebih besar. Belum lagi kalau bicara bonus yang menjadi hak pegawai tetap. Freelancer tidak mempunyai kesempatan mendapatkan bonus karena tidak dianggap karyawan.

Kritik kedua yaitu tentang kontrol perusahaan yang semakin besar pada para penerima kerja. Penjelasan kritik ini lebih mudah jika menggunakan contoh perusahaan platform. Misalnya ojek online. Para pengojek harus mematuhi semua langkah-langkah yang sudah ditentukan oleh platform. Mulai dari bagaimana ia menerima pesanan, dari titik mana pesanan berasal, berapa lama harus sampai ke titik penjemputan, bagaimana berinteraksi dengan pemesan, bagaimana sistem pembayaran yang ia terima, dan bagaimana ia mengajukan komplain. Jika tidak mengikuti langkah-langkah tersebut, pekerjaannya tidak dianggap selesai. Selain itu, perusahaan platform juga bisa mengubah-ubah ketentuan/algoritma platformnya tanpa persetujuan pekerja. Perusahaan platform lebih tidak akuntabel. Keputusan-keputusan tersebut juga didasarkan pada data pekerja dan pelanggan yang setiap hari dikumpulkan. Perusahaan tersebut menjadi lebih berkuasa karena mengetahui secara detail profil pekerja.

Namun demikian, 2 kritik di atas belum menyasar konsekuensi yang lebih krusial dari sistem kerja yang fleksibel. Kritik pertama, tentang berkurangnya pendapatan, tidak sepenuhnya benar karena banyak pekerja gig yang upahnya sangat tinggi dengan jam kerja yang pendek. Umumnya ini didapatkan oleh pekerja dengan keahlian yang masih langka, misalnya programmer dan data science. Untuk kritik yang kedua, memang benar perusahaan semakin punya kontrol yang kuat pada pekerja fleksibel. Namun, lagi-lagi, untuk pekerja yang mempunyai keahlian langka, mereka bisa dengan mudah menolak pekerjaan jika terlalu membatasi dan memaksa.

Oleh karena itu, kita perlu membangun kritik yang lebih krusial: gig economy membuat perusahaan melimpahkan risiko bisnis kepada pekerja. Pelimpahan ini kerap tak kentara. Mungkin juga karena jarang dibahas.

Yang namanya perusahaan tentu punya risiko kekurangan pelanggan dan naiknya bahan baku atau modal operasional. Berbagai risiko ini seharusnya menjadi tanggung jawab pemilik perusahaan. Namun, pemilik perusahaan tentu saja ingin memperkecil risiko bisnis yang muncul dari ketidakpastian ini. Salah satu cara yang efektif, dan kini banyak digunakan, yaitu melimpahkan risiko bisnis kepada pekerja.

Menurut Bieber & Moggia (2020), ada 4 cara yang digunakan oleh perusahaan untuk mewujudkan pelimpahan risiko tersebut. Pertama, kontrak kerja durasi pendek. Ini sangat berguna bagi perusahaan, sebab ketika pemasukan sedang seret, pekerja tidak perlu dipecat. Tinggal ditunggu masa kontraknya habis. Dengan begitu, perusahaan tak perlu memberikan pesangon. Sebaliknya, jika penjualan terus bagus, kontrak kerja bisa diperpanjang sedikit demi sedikit.

Yang kedua, jam kerja yang fleksibel. Perusahaan tidak perlu membayar pekerja jika tidak ada pekerjaan. Ini sangat menguntungkan dibandingkan dengan mengontrak karyawan tetap yang harus terus dibayar per bulan. Pekerja pun akhirnya tidak mempunyai kepastian kerja.

Kerja yang fleksibel ini juga berarti perusahaan bisa memanggil pekerja kapan saja. Respon perusahaan terhadap permintaan pelanggan menjadi lebih cepat. Walau tengah malam, misalnya, Gojek dan Grab masih bisa melayani pelanggan karena ada pekerja yang stand by (dengan iming-iming berupa imbalan lebih, yang sebetulnya tidak seberapa dibanding dengan yang seharusnya didapatkan pekerja).

Yang ketiga, pengaturan upah yang fleksibel. Perusahaan dapat dengan mudah mengubah-ubah nilai upah tiap komponen pekerjaan. Keputusan ini menjadi lebih mudah dilakukan karena perusahaan tidak terikat perjanjian dengan serikat pekerja. Di sebuah perusahaan yang pekerjanya berstatus pegawai tetap, apalagi terdapat serikat pekerja, perubahan upah mesti menempuh jalur negoisasi yang panjang. Ya walaupun di Indonesia banyak kasus perubahan/pemotongan upah yang dilakukan sepihak oleh perusahaan.

Yang terakhir, perusahaan terbebas dari asuransi pekerja. Dalam sistem pegawai tetap, perusahaan wajib menanggung asuransi ketenagakerjaan dan ikut iuran asuransi kesehatan bersama pekerja. Namun, dalam gig economy, perusahaan tidak perlu mengeluarkan biaya untuk hal ini. Pekerja pun akhirnya tidak mendapatkan hak-hak yang semestinya ia dapatkan dari negara terkait asuransi.

Keempat cara di atas digunakan dalam bentuk yang berbeda-beda oleh berbagai perusahaan gig economy. Yang jelas, keempat cara tersebut sangat berguna bagi perusahaan untuk mengurangi pengeluaran di sektor tenaga kerja.

Akibat dari pelimpahan risiko ini, pekerja dihadapkan pada 2 risiko. Pertama, ia tidak dapat membuat perencanaan yang matang tentang masa depannya. Karena tidak ada kepastian apakah bulan depan atau 2 bulan lagi masih bekerja, ia tidak dapat menyusun target di tiap tahap rencana hidupnya. Misalnya, ia tidak bisa memastikan kapan ia sudah mampu secara finansial untuk menikah. Termasuk kapan punya anak, jika ingin. Misalnya lagi, ia bakal kesulitan merencanakan kapan ia akan mulai membeli rumah. Siapa pula yang bisa memastikan bahwa ia akan tetap menetap di kota yang sekarang? Tidak ada jaminan bulan depan ia masih dapat pekerjaan di tempat yang sama, lalu terpaksa harus pindah ke kota lain demi tetap bisa bekerja.

Yang kedua, karena jam kerja yang tak keruan dan begitu panjang, pekerja gig menjadi tak punya banyak waktu untuk pengembangan diri. Keahliannya jadi itu-itu saja, karena mengerjakan pekerjaan yang itu-itu mulu, dan tak punya tenaga, pikiran, dan waktu untuk belajar hal-hal baru. Perpindahan yang cepat antara satu perusahaan ke perusahaan yang lain, juga membuat pekerja tak punya jenjang karir yang jelas. Masa depannya semakin buram.

Kategori
Kapital Society

Pekerja Bukan Hanya yang Mendapatkan Upah

Definisi umum pekerja yang banyak diamini orang-orang: semua manusia yang masih bergantung pada upah untuk hidup. Jadi, selama kamu mendapatkan gaji, dan kamu bergantung pada gaji tersebut untuk hidup, maka kamu adalah pekerja. Kamu adalah bagian dari kelas pekerja. Tak peduli posisimu di tempat kerja adalah staf atau manajer, jika kamu tidak ikut terlibat dalam pengaturan pembagian hasil usaha, terikat jam kerja, SOP, dan peraturan perusahaan yang tidak demokratis, maka suka atau tidak, rela atau tidak, ikhlas atau tidak, kamu adalah kelas pekerja. Definisi ini objektif, sehingga tidak ada urusannya dengan perasaanmu.

Dengan definisi yang sempit ini pun, ternyata masih banyak orang-orang yang tidak merasa dirinya adalah bagian kelas pekerja. Entah karena tidak paham atau tidak mau saja. Kelompok ini umumnya adalah orang-orang yang sudah puas dengan nominal gajinya. Mereka menganggap gaji yang didapatkan sudah cucok dengan tugas mereka. Namun, sekali lagi, karena definisi pekerja adalah sesuatu yang objektif, maka sekalipun kau puas dengan gajimu, fakta bahwa kau adalah kelas pekerja tidak menjadi luntur. Kau tetaplah kelas pekerja, yang tidak punya kebebasan untuk menentukan apa yang akan kau produksi, bagaimana memproduksinya, ke mana nilai produksi itu akan mengalir, dan bagaimana pembagian nilai lebih dari produksi tersebut.

Namun demikian, seperti yang sudah saya nyatakan, definisi pekerja yang seperti ini terlalu sempit. Ia hanya merangkul sebagian pekerja saja dan mengabaikan yang lain. Jika kita mendefinisikan pekerja hanya sebagai orang-orang yang mendapatkan gaji, bagaimana dengan orang-orang yang tidak mendapatkan gaji? Ibu rumah tangga, pegiat komunitas, pelajar, adalah para pekerja yang tidak digaji. Ya, mereka adalah pekerja.

Ibu rumah tangga, misalnya, hasil kerjanya sangat krusial untuk membuat suaminya terus produktif di tempat kerja. Selain itu, ia juga merawat tumbuh-kembang anaknya yang kelak akan menjadi tenaga kerja (sebab keluarga mereka terpaksa harus bergantung pada kerja upahan untuk hidup). Jadi, seluruh perusahaan bergantung pada kerja-kerja para ibu rumah tangga. Tanpa kerja-kerja tersebut, perusahaan tidak bisa hidup karena tenaga kerja tidak tersedia. Lalu bagaimana bisa kita tidak menganggap para ibu rumah tangga sebagai pekerja?

Ibu rumah tangga, pegiat komunitas, pelajar dan aktivitas sejenis bisa kita bilang sebagai kerja reproduktif. Hasil kerja mereka memungkinkan tenaga kerja produktif bisa ada dan terus produktif. Mari kita ambil contoh pekerjaan ibu rumah tangga lagi. Suami si ibu ini ketika pulang kerja terbebas dari pekerjaan rumah tangga seperti mencuci baju, memasak, menyapu, mengasuh anak, dll. Ia hanya perlu mandi, makan, santai-santai, lalu istirahat. Esoknya, ia bisa bangun pagi, tidak telat sampai di tempat kerja, pikirannya segar, sehingga bisa kembali produktif.

Penjelasan lebih lanjut tentang kerja reproduktif bisa dibaca di sini.

Dampak pemahaman ini tentu saja signifikan. Salah satunya yaitu dalam pembuatan serikat pekerja dan penyusunan visi-misinya. Sampai saat ini, secara umum serikat pekerja hanya merangkul para pekerja berupah saja. Bahkan tidak semua pekerja berupah, tapi hanya pekerja yang statusnya pegawai tetap. Pekerja outsourcing, kontrak, freelance, masih luput dari rangkulan serikat pekerja.

Untungnya, mulai ada insiatif bagus dari SINDIKASI (Serikat Pekerja Media dan Industri Kreatif untuk Demokrasi). Ia tidak hanya merangkul para pegawai tetap, tapi juga tenaga-tenaga kontrak dan freelance yang lebih rentan. Langkah ini perlu dilanjutkan, diperbanyak, dan tentu saja diperluas untuk pekerja-pekerja yang tidak bergaji.

Kita perlu meyingkirkan jauh-jauh definisi sempit pekerja a la kapitalisme, yang menganggap kerja hanyalah kerja produktif (kerja di pabrik, kantor, dll). Aktivitas reproduktif (ibu rumah tangga, pegiat komunitas, pelajar) adalah kerja juga!

Kategori
Kapital Society

Pekerjaan Rumah Tangga Juga Aktivitas Ekonomi

Beberapa hari belakangan, linimasa Twitter kembali ramai. Masalahnya kini, adalah utas yang menggunakan judul Bekal buat Suami Hari Ini dianggap sebagai sebuah ‘penghambaan’ kepada laki-laki. Bahkan seorang netizen berkata, “I don’t think anybody should be this nice to a man“, yang kurang lebih berarti “yaelah ngapain sih bersikap baik sama laki-laki”.

Sejujurnya, saya tidak merasa bahwa utas tersebut bermasalah apalagi membawa semangat patriarki. Pertama, saya justru bersyukur karena lagi-lagi saya mendapatkan ide dan referensi resep masakan. Maklum, saya mulai bosan memasak menu yang itu-itu saja. Kedua, yang disampaikan si pembuat utas hanyalah sebuah bentuk love language atau bahasa cinta. Ketika kita sedang jatuh cinta atau lagi sayang-sayangnya sama seseorang, pasti kita ingin memberikan yang terbaik untuk si dia kan?

Jadi, tolong dibedakan ketika perempuan memasak karena tuntutan suami/laki-laki dengan perempuan yang berinisiatif memasak sendiri karena ingin memberikan bekal kepada orang yang tersayang. Lagipula, dengan memasakkan menu kesukaan pasangan tidak akan membuatmu terlihat lebih rendah atau lebih hina darinya. Dengan catatan, hal itu dilakukan atas inisiatif atau keinginanmu sendiri.

Namun, masalah bekal menjadi semakin runyam dan liar tatkala seorang netizen mencoba menyampaikan pandangan bahwa bagi sebagian feminis, memasak itu adalah pekerjaan yang tidak dibayar. Memasak juga tidak dianggap sebagai pekerjaan produktif yang bisa menghasilkan uang maupun keuntungan. Meski argumen tersebut muncul di luar konteks bekal, tetapi kali ini saya sungguh sepakat dengan apa yang ia bicarakan.

Pekerjaan seperti memasak, menyapu, mencuci hingga mengurus anak adalah kerja reproduktif, yang sayangnya tidak pernah diperhitungkan dalam ekonomi. Karena sifatnya yang tidak kasat mata dan kerap dilekatkan dengan beban reproduktif perempuan, pekerjaan ini selalu dipandang sebagai pekerjaan remeh temeh. Padahal jika dikaji lebih mendalam, pekerjaan reproduktif sesungguhnya memiliki peranan yang cukup besar dalam perekonomian.

Tangan Tak Terlihat Adam Smith

Pada tahun 1776 Adam Smith, Sang Bapak Ekonomi, pernah mengemukakan pendapat fenomenal yang dipercaya oleh para ekonom hingga sekarang. Ia berkata, “Bukan karena kebaikan tukang daging, tukang minuman, atau tukang roti kita bisa mendapatkan makan malam kita, melainkan karena mereka memikirkan kepentingan diri mereka sendiri.”

Menurut Smith, tukang daging, tukang minuman hingga tukang roti bekerja dengan keras bukan semata untuk menyenangkan pembelinya dengan berbuat baik. Mereka melakukannya agar pelanggannya puas, sehingga mereka pun mendapatkan uang darinya. Konsep kepentingan diri—mencari keuntungan—inilah yang kemudian memunculkan istilah pasar bebas.

Smith percaya, pasar bebas adalah cara terbaik untuk membentuk sistem ekonomi yang efisien. Sebab, ketika semua orang bekerja demi dirinya sendiri, maka semua orang juga akan memiliki akses atas barang-barang yang mereka perlukan. Roti dijual di toko roti, minuman tersedia di rak supermarket hingga listrik yang senantiasa menyala inilah yang membuatmu bisa menikmati sepiring makan malam.

Kepentingan diri menjamin bahwa segala sesuatu akan berjalan sebagaimana mestinya. Bahkan tanpa adanya cukai atau regulasi sekalipun, pasar bebas memungkinkan seseorang untuk menjual atau membeli barang apapun sekaligus mengatur harga barang maupun jumlah barang. Kepentingan diri adalah tangan-tangan tak terlihat yang akan menjamah, menuntun hingga memutuskan segala sesuatu—meski kita tidak merasakan kehadirannya.

Konsep tersebut mungkin terasa logis, mengingat selama ini ekonomi hadir atas dasar butuh-sama-butuh. Namun Katrine Marçal dalam buku Who Cooked Adam Smith’s Dinner? A Story About Women and Economics menyangkal pendapat tersebut. Menurut Katrine, bagaimana mungkin Adam Smith mengungkapkan teori tangan tak terlihat, sementara sepanjang hidupnya ia tidak perlu mengurusi urusan domestik? Ada sosok ibunya yang mengurus dirinya, mencuci bajunya, dan memasakkan makan malam untuknya, sehingga ia terbebas dari pekerjaan tersebut.

Tukang daging, tukang roti, dan tukang minuman bisa saja menyediakan kebutuhan makan malam untukmu. Begitu pula dengan pekerja kantoran, mereka bisa fokus mengerjakan dokumen, mencatat keuangan perusahaan atau mengadakan meeting dengan klien. Mereka semua bisa melakukan pekerjaan produktif karena tidak dibebani dengan pekerjaan rumah tangga. Sementara itu, ada ibu atau istri yang tinggal di rumah, membersihkan kotoran di toilet, memasak makan malam, mencuci baju, mengurus anak, dan memastikan semuanya sudah beres saat mereka pulang ke rumah.

Ekonomi Kedua

Konon, kata ‘ekonomi’ berasal dari bahasa Yunani οἶκος (oikos) yang berarti keluarga atau rumah tangga dan νόμος (nomos) yang berarti peraturan, aturan atau hukum. Secara umum, ekonomi bisa diartikan sebagai aturan dalam rumah tangga.

Bicara soal ekonomi, berarti turut membicarakan uang, barang, jasa, investasi, produksi, distribusi, konsumsi, emas, harta, utang, piutang, dan sebagainya. Sayangnya, dari semuanya tidak ada satupun yang menyebutkan rumah tangga sebagai kegiatan ekonomi. Aktivitas seperti bersih-bersih, memasak, mencuci baju, menyetrika hingga mengurus anak tidak dianggap sebagai kegiatan ekonomi—hanya karena semua ini tidak menghasilkan ‘nilai’ yang dapat dibeli, ditukar, diperdagangkan atau dijual. Mirisnya, aktivitas tersebut mayoritas dilakukan oleh perempuan atau perempuan terpaksa melakukannya karena ‘kewajiban’ akibat beban reproduktif yang ditanggungnya.

Simone de Beauvoir dalam The Second Sex pernah mengatakan bahwa perempuan adalah ‘jenis kelamin kedua’. Perempuan tidak punya ‘kehadiran’ karena yang memberinya ‘makna’ adalah laki-laki. Perempuan juga digambarkan sebagai sang ‘liyan’ (the other) yang tidak hanya berbeda secara fisik, melainkan dalam berbagai hal juga sengaja dibeda-bedakan dan didiskriminasi oleh laki-laki.

Akibat titel ‘liyan’, apapun yang dilakukan perempuan menjadi tidak dihitung. Yang dihitung hanya kerja laki-laki saja. Konsep kerja seperti inilah yang kemudian menjadi dasar pandangan ekonomi dunia. Perempuan melakukan segala sesuatu yang tidak dilakukan laki-laki, tetapi ironisnya laki-laki justru bergantung darinya agar ia dapat leluasa melakukan kerja produktif.

Perempuan Juga Manusia Ekonomi

Ada salah satu komentar netizen dalam utas bekal kemarin yang cukup menganggu saya. Ia berkata, “It’s just cooking bro, it’s not that deep. Imagine being so woke you’re angry at people making meals,”. Dalam konteks love languange, membuat bekal untuk pasangan memang tidak ada salahnya. Bahkan saya sendiri juga senang-senang saja memasakkan sesuatu untuk pasangan saya.

Masalahnya ada pada kalimat it’s just cooking bro, it’s not that deep. Memasak memang bukan hal yang besar bahkan seharusnya sudah menjadi kebutuhan. Namun sayangnya, kalimat semacam itu sering digunakan untuk membenarkan kerja reproduktif yang tidak dihargai apalagi diberi upah. Dalam ekonomi, kegiatan memasak tidak pernah diperhitungkan karena dianggap tidak ‘bernilai’ dan tidak menghasilkan keuntungan. Ini juga menjawab mengapa selama ini, pekerja rumah tangga—yang biasanya dilakukan perempuan—tidak mendapatkan upah secara layak.

Sesungguhnya pekerjaan reproduktif adalah pekerjaan perawatan yang membutuhkan kasih sayang dan empati. Tanpa perawatan, mungkin bayi tidak akan bisa tumbuh, piring berserakan karena tidak dicuci atau daging lekas membusuk karena tidak kunjung dimasak. Namun, pekerjaan tersebut dianggap tidak membawa kemakmuran hanya karena tidak menghasilkan uang.

Padahal kerja perawatan ini sebagian besar dilakukan di rumah—yang seringnya dijadikan laki-laki sebagai tempat untuk pulang dari kerja produktif. Ketika pulang, laki-laki tidak perlu mengerjakan pekerjaan rumah, karena semuanya sudah dilakukan oleh istri atau ibunya. Ia bisa beristirahat seharian di rumah, mendapatkan perhatian dan kasih sayang dari istri/ibunya, dan bisa memulihkan rasa laparnya, sehingga esok ketika hendak berangkat bekerja, ia sudah bugar kembali. Ia bisa fokus mengerjakan pekerjaannya di luar tanpa terbebani oleh urusan-urusan di rumah.

Meski kerjanya dianggap tak terlihat, tetapi melalui perawatan dan kasih sayangnya, perempuan ikut berkontribusi dalam pekerjaan si laki-laki. Tangan-tangan perempuan yang melakukan pekerjaan reproduktif mampu memberi makna bagi laki-laki di dunia kerja. Laki-laki bisa fokus meniti karier karena ia (merasa) tidak perlu mengerjakan pekerjaan rumah. Hal ini bukan semata-mata karena ketiadaan pembagian kerja di dalam rumah, melainkan bagaimana pekerjaan reproduktif juga turut berkontribusi dalam perekonomian.

Menghargai Kerja Reproduktif

Ketika SD dulu, saya membaca biografi Florence Nightingale yang dimuat dalam buku Seri Tokoh Dunia. Ia dikenal sebagai pelopor ilmu keperawatan modern yang berhasil menumbangkan stigma “perawat adalah pekerjaan hina”. Seperti namanya, ia lahir di kota Florence/Firenze, Italia dan merupakan anak dari seorang bangsawan ternama di Inggris.

Meski ditentang oleh keluarganya, Florence berkeyakinan bahwa Tuhan memanggilnya menjadi seorang perawat. Di kala Perang Krimea pecah pada 1853, Florence bersama puluhan relawan perawat lainnya pergi ke Laut Hitam untuk merawat korban perang. Dengan uang yang dimilikinya dan beberapa sumbangan dana dari The Times, Florence berhasil mengubah keadaan rumah sakit yang semula kotor menjadi bersih dan layak ditinggali. Ia juga menyuplai kebutuhan gizi pasien agar tidak mengalami gizi buruk. Semua perubahan sanitasi dan keberhasilan mengurangi angka kematian, ia catat secara mendetail menggunakan statistik sebagai argumentasi perubahan ke arah yang lebih baik pada bidang keperawatan di hadapan pemerintahan Inggris. Tak mengherankan jika kemudian ia digelari sebagai The Lady With The Lamp.

Florence Nightingale adalah contoh bahwa perempuan yang melakukan kerja perawatan bisa mendorong terjadinya perubahan. Meski yang dilakukannya adalah ‘kerja Tuhan’ dan berlandaskan kasih sayang, tapi tidak serta-merta semua yang dikerjakannya menjadi gratis dan tidak dibayar. Toh, sepanjang hidupnya, Florence mengupayakan upah yang layak untuk dunia keperawatan.

Hanya karena perempuan menginginkan upah dalam kerja perawatan—termasuk persoalan rumah tangga—bukan berarti perempuan tersebut egois atau mata duitan. Faktanya, jika sebuah pekerjaan diakui, dihargai, diapresiasi, dan didukung terutama secara finansial, maka seseorang akan menjadi lebih termotivasi dan merasa bahagia melakukan pekerjaan tersebut. Lagipula, siapa sih yang ingin terus-terusan merasa dieksploitasi?

Begitu pula dengan ibu Adam Smith. Ia memang ‘hanya’ ibu rumah tangga. Ia memasak, mencuci pakaian Smith, dan merawatnya ketika sakit. Namun kita juga harus mengakui, kalau bukan karena tangan-tangan penuh kasih dari ibunya, mungkin Smith tidak akan bisa berkata, “Bukan karena kebaikan tukang daging, tukang minuman, atau tukang roti kita bisa mendapatkan makan malam kita, melainkan karena mereka memikirkan kepentingan diri mereka sendiri.”

Kategori
Kapital

Logika Platform dan Para Pekerja yang Semakin Terhempas

Anak muda hari ini, yang termasuk kelas menengah-atas dan berada di kota, sedang senang-senangnya bicara tentang platform. Walaupun arti kata “platform” dalam KBBI cukup luas, tapi yang dimaksud anak-anak muda ini umumnya mengacu pada platform digital, yakni website, aplikasi digital, dan akun media sosial. Sayangnya, sejauh pengamatan saya, obrolan tentang platform terlalu mengekor pada narasi yang dibawa oleh para CEO startup unicorn, pegawai negara yang ingin terlihat update, dan aktivis lawas alias tua yang berusaha keras untuk relevan, seperti Budiman Sudjatmiko. Ada satu pernyataan menggelikan dari Budiman, yang saya rasa mewakili mental keriuhan seputar platform: “Apps apa yang sudah kamu buat? Software apa yang sudah kamu buat untuk menyelesaikan masalah distribusi barang?”. Menurut Budiman, pertanyaan-pertanyaan seperti inilah yang perlu ditujukan pada anak muda hari ini. Bukan malah ditanya kenapa nggak sering demo. Sebab, kata Budiman, zaman sudah berubah. Berbagai macam persoalan kini bisa dengan mudah diselesaikan dengan membuat aplikasi, yang didukung teknologi mutakhir seperti blockchain dan artificial intelligence.

Mental berpikir para CEO startup unicorn dan Budiman ini, yang sedikit-sedikit bikin platform digital untuk “menyelesaikan” masalah ekonomi, sosial, dan politik, disebut sebagai solutionism oleh pengkritik teknologi terkemuka Evgeny Morozov. Bukannya membedah masalah mendasar dan struktural yang melanggengkan ketidakadilan, para solutionism hanya mengutak-atik permukaan atau efek di hilir saja. Memang dampaknya langsung kelihatan, mendapatkan banyak pujian, dan karenanya terasa menyejukkan hati. Dipuji sebagai orang-orang yang solutif dan inovatif menyelesaikan masalah-masalah bangsa. Padahal masalah utamanya tidak terjamah.

Salah satu contoh solutionism yaitu Gojek dan Grab yang membuat layanan Go-Ride dan Grab Bike. Sejak kemunculannya sampai sekarang, layanan ini disebut sebagai inovasi yang luar biasa dalam bidang transportasi dan ekonomi. Di bidang transportasi, mereka membuat perjalanan semakin mudah dan cepat. Orang yang biasanya capek membawa kendaraan di tengah kemacetan atau berdesakan di angkutan umum, kini bisa cepat sampai tujuan dengan menggunakan ojek online. Di bidang ekonomi, dua perusahaan ini dipuji karena membuka banyak lapangan pekerjaan dengan model sharing economy (ekonomi berbagi).

Padahal, masalah mendasar transportasi adalah layanan kendaraan umum belum optimal sehingga tidak menjadi pilihan utama. Sedangkan masalah mendasar ekonomi adalah penguasaan aset yang terpusat di segelintir orang dan ketergantungan pada pertumbuhan terus-menerus, sehingga lama-lama jenuh. Dua perusahaan ini, Gojek dan Grab, muncul sebagai “solusi semu” bagi persoalan tersebut. Beberapa pegawai negara, yang pemalas dan miskin akal, girang bukan main dan berbusa-busa memuji “inovasi” ini. Ujungnya mudah ditebak, kemacetan tidak teratasi (malah semakin buruk, jalanan makin semrawut) dan sharing economy yang dulunya dielu-elukan kini terlihat jelas dijadikan alibi oleh perusahaan aplikasi untuk lepas dari tanggung jawab dan membuat pekerja semakin rentan.

Supaya tidak menjadi seperti orang-orang toxic positivity (racun optimisme) ini, yang terlalu percaya platform digital dan berbagai teknologi 4.0 akan menyelesaikan banyak masalah krusial, kita perlu memahami apa itu platform. Seperti apa alur logikanya, bagaimana ia bekerja, dan siapa saja yang menopang keberadaannya. Hal ini penting bagi pikiran dan imajinasi kita, agar tidak mudah diracuni oleh bacotan CEO startup dan aktivis karatan.

WAJAH PLATFORM

Platform punya beberapa wajah dan fungsi. Berikut saya urai satu per satu.

Semua bisa jadi pengusaha

Mencari kerja semakin sulit. Abaikan ocehan para penjaja industri 4.0 yang bilang penyebabnya adalah teknologi semakin berkembang pesat sehingga mengganti manusia di tempat kerja. Biang kerok utamanya adalah merosotnya sektor industri, sehingga tak lagi mampu menyediakan lapangan pekerjaan yang cukup. Padahal, manusia semakin banyak tinggal di kota dan bergantung pada lapangan pekerjaan di sektor ini. Ruang hidupnya di desa sudah hancur oleh perkebunan, pertambangan, pariwisata, atau memang dibiarkan mati perekonomiannya.

Terima kasih platform. Manusia kelas menengah-bawah kini tak lagi harus bergantung pada kerja upahan. Berkat platform, semua orang bisa menjadi pengusaha. Tak lagi butuh banyak modal untuk memulai. Cukup dengan barang dan tenaga yang sudah dimiliki, seperti sepeda motor, kamar kosong, keahlian memijit, atau kegemaran membuat kue. Banyak hal terpangkas, mulai dari modal awal, urusan administrasi, biaya pemasaran, sampai pengelolaan. Hal-hal yang sebelumnya menjadi hambatan bagi kelas menengah-bawah untuk bersaing di pasar transaksi. Yang penting mau bekerja keras. Kini persaingannya lebih setara. Privilege tak lagi menjadi tabir hambatan.

Begitulah kira-kira angan-angan mulia model bisnis platform.

Contohnya begini. Sebelum ada platform, orang yang mau bikin bisnis penginapan setidaknya harus keluar modal dan tenaga yang lumayan. Modal untuk membangun gedung penginapan beberapa kamar, biaya pemasaran, perawatan gedung, gaji pekerja, serta tenaga untuk mengurus berbagai syarat administrasi dan pengelolaan penginapan. Kini, Anda cukup punya kamar atau rumah kosong, lalu daftarkan di Airbnb. Anda pun sudah menjadi pengusaha penginapan yang mampu menjangkau pasar internasional.

Kemampuan platform untuk memberi kesempatan yang sama pada semua orang inilah yang disebut sebagai terobosan. Ia membobol tembok-tembok yang selama ini dibangun oleh para pebisnis kelas kakap atau pemodal besar. Platform memungkinkan ibu rumah tangga bersaing seorang diri dengan hotel di wilayahnya dalam bisnis penginapan. Platform dipandang sebagai sebuah wadah yang egaliter. Tidak hirarkis seperti korporasi lawas.

Namun demikian, kesan kesetaraan dan kebebasan yang ditempelkan pada platform adalah ilusi. Platform sangat hirarkis dan berhasrat untuk memonopoli segala bidang kehidupan. Walaupun kelihatannya antara penjual dan pembeli di Tokopedia berinteraksi secara bebas, cara mereka berinteraksi tetaplah diatur dan dikendalikan oleh Tokopedia. Tokopedia juga bisa sesuka hati mengubah aturan main yang ada. Usaha Tokopedia untuk merekrut sebanyak mungkin orang untuk menjadi pedagang tidak bisa kita pandang sebagai peluang kesetaraan ekonomi, tapi sebagai strategi dominasi di pasar kerja. Ya, semua orang kini bisa menjadi pengusaha. Tapi hanyalah pengusaha-pengusaha kecil yang dijadikan sapi perah.

Mengapa sapi perah? Pemilik platform untung besar dan terus berkembang umumnya karena mengalihkan berbagai biaya atau modal usaha kepada para pekerjanya. RedDoorz, misalnya. Mereka tidak perlu mengeluarkan biaya pembangunan atau sewa bangunan, operasional, dan biaya tidak terduga lainnya. Mereka lepas tangan dari urusan proses produksi dan pelayanan penginapan. Tanggung jawab ini dialihkan pada para pemilik penginapan. RedDoorz hanya membajak proses transaksi. Begitu juga dengan Grab yang tidak perlu mengeluarkan biaya untuk menyiapkan moda transportasi dan mengoperasikannya. Para pekerja RedDoorz dan Grab-lah, yang sebutannya diperhalus menjadi “mitra”, yang menyiapkan modal bisnis dan menjalakannya.

Membangun kekuatan politik

Salah satu yang paling menyebalkan dari bisnis ojek online adalah tuntutannya untuk diakui sebagai angkutan umum. Padahal, jelas-jelas dalam UU Lalu Lintas dan Angkutan Jalan Tahun 2009 sepeda motor tidak diakui atau dilarang menjadi angkutan umum. Hal ini karena sepeda motor tidak memenuhi syarat-syarat keselamatan dalam transportasi. Pengendara dan penumpangnya rentan mengalami kecelakaan fatal. Berdasarkan data kepolisian, 73 persen kecelakan di jalan melibatkan sepeda motor. Untungnya, baru-baru ini Wakil Ketua Komisi V DPR RI Nurhayati Monoarfa menyatakan sebagian besar fraksi menolak permohonan sepeda motor menjadi angkutan umum. Selain karena faktor keselamatan, penolakan ini juga untuk mengingatkan pemerintah bahwa penyediaan layanan transportasi umum yang berkualitas, bisa diandalkan, dan berkeselamatan adalah tanggung jawab mereka.

Sikap dari DPR ini tentu saja mendapatkan respon dari para pengemudi ojek online. Mereka kecewa. Sikap DPR akan membuat ojek online tetap menjadi angkutan umum yang ilegal. Alhasil, lapangan pekerjaan mereka menjadi serba terancam.

Gangguan pada layanan ojek online tentu saja akan memicu respon dari pengguna/konsumen. Mereka menikmati layanan ini. Berbagai urusan menjadi lebih mudah, mulai dari bepergian sampai memesan makanan dan minuman. Keluhan dari konsumen ini akan mudah direspon oleh para pegawai pemerintah, biar terkesan memihak pada rakyat. Saya sendiri susah lupa pada langkah Jokowi membatalkan keputusan Menteri Perhubungan Ignasius Jonan yang melarang ojek online di tahun 2015. Menurut Jokowi, ojek online dibutuhkan oleh masyarakat.

Dari kilas balik peristiwa di atas, kita bisa melihat bahwa perusahaan platform sudah mempunyai kekuatan politik yang mampu menantang kekuatan birokrasi negara. Kekuatan politik yang saya maksud di sini bukan dalam ranah politik elektoral, tapi kemampuan membentuk logika atau pandangan publik tentang suatu masalah. Dalam kasus ojek online, perusahaan aplikasi sudah berhasil membuat rakyat semakin lupa pada haknya dalam transportasi. Orang-orang kini memandang dirinya sebagai konsumen, yang seharusnya diberi kebebasan memilih layanan transportasi. Negara tidak boleh melarang-larang ojek online karena layanan ini sangat memudahkan aktivitas sehari-hari. Mengapa negara anti-kemajuan? Mengapa anti-inovasi? Begitulah pertanyaan yang akan muncul dari pikiran konsumen. Kita semakin lupa bahwa kita adalah warga negara. Kita seharusnya dilayani oleh negara, terutama dalam kebutuhan mendasar seperti transportasi. Kita semakin tak sadar bahwa kita adalah rakyat yang terbentuk atas dasar solidaritas, bukan individualitas yang menjadi ciri konsumen.

Mengontrol pekerja lebih ketat

Sebelum era platform, sebenarnya kita sudah bisa melihat bahwa para pekerja manufaktur, misalnya industri peniti, sistem kerjanya dikontrol oleh mesin. Tiap bagian lini perakitan sudah punya tugas dan tanggung jawab masing-masing. Seluruh pekerja harus menyelesaikan pekerjaan di bagiannya agar sistem mesin berjalan dengan baik. Manusia menjadi penopang kinerja mesin dan daftar tugasnya disesuaikan dengan kebutuhan dan ritme operasional mesin.

Namun demikian, para pekerja manufaktur masih bisa mengelak dari rangkaian aturan lini perakitan. Mereka masih mampu memodifikasi beberapa metode kerja, agar pekerjaan bisa menjadi lebih mudah dan cepat bagi mereka. Kepastian status sebagai karyawan tetap dan lokasi kerja yang memungkinkan interaksi intens antar-pekerja, membuat mereka mampu bersama-sama mempertanyakan berbagai aturan dan kerja dari manajemen.

Di era platform, kontrol pemilik usaha kepada para pekerja lebih kuat lagi. Platform memungkinkan pemberi kerja menerjemahkan aturan kerja yang dikehendaki menjadi urutan perintah di aplikasi. Para pekerja harus mengikuti alur perintah tersebut secara tepat, tanpa modifikasi sedikitpun. Jika si pekerja tidak mengikutinya, pekerjaannya tidak akan selesai. Platform mendikte pekerjaan sampai hal-hal yang detail.

Penjual nasi uduk yang mendaftar di Grab Food harus mengikuti seluruh proses transaksi yang semuanya sudah ditetapkan dan diatur oleh Grab. Mulai dari apa saja informasi yang harus ia berikan, bagaimana barang jualannya ditampilkan, bagaimana ia menerima pesanan, berinteraksi dengan pembeli, memproses pesanan, sampai bagaimana mekanisme pembayaran yang ia dapatkan. Jika ada satu saja proses yang ia tak mau ikuti, transaksinya tidak akan selesai.

Apa yang dilakukan oleh platform sehingga ia bisa punya kontrol yang luar biasa besar pada pekerja?

Pertama, platform mengumpulkan sebanyak mungkin data operasional dan memonopolinya. Ia tidak membagikannya pada pekerja. Akhirnya, pekerja menjadi buta. Pekerja tidak tahu secara pasti kapan permintaan konsumen sedang banyak atau sedikit. Seorang penyedia jasa pijit yang mendaftarkan diri di perusahaan aplikasi tidak tahu kapan dan seberapa banyak pesanan dari konsumen. Ia pun tidak mendapatkan kepastian. Fleksibilitas kerja yang sering ditawarkan oleh bisnis platform sejatinya adalah bentuk ketidakpastian kerja.

Selain itu, pencatatan data seluruh aktivitas pekerja juga memungkinkan platform memasang berbagai target yang harus dipenuhi oleh pekerja. Misalnya, berapa lama pekerja harus menyediakan waktunya, berapa lama ia harus merespon, berapa minimal rating dari konsumen yang harus didapatkan, dan berapa banyak pekerjaan yang harus diselesaikan untuk mendapatkan tambahan upah yang layak?

Kedua, platform mengelabui pekerja dengan membuat berbagai bentuk gamesreward, notifikasi berisi pesan-pesan manis, dan berbagai cara lainnya agar pekerja selalu menyerahkan badan dan pikirannya pada aplikasi. Biar pekerja senang menggunakan aplikasi kerjanya dan terus berproduksi.

Yang terakhir, platform memungkin para pekerjanya tidak saling mengenal, karena bekerja di tempat yang berbeda-beda. Walaupun beberapa orang berpendapat ini adalah sistem yang bagus karena pekerja tidak perlu ke kantor, tapi ini juga membuat sesama pekerja sulit berserikat untuk menghadapi otoritas manajemen jika kebijakannya merugikan. Alhasil, platform semakin kuat cengkeramannya.

Memang ada fenomena para pengojek online yang solidaritasnya sangat kuat. Mereka mampu mendesak pemerintah membuat atau membatalkan sebuah kebijakan. Namun perlu dilihat juga apakah sistem organisasi mereka mampu melawan atau setidaknya bertahan dari logika sistem platform yang sangat eksploitatif ini.

Platform juga memunculkan metode kontrol baru. Jika perusahaan konvensional mengontrol pekerjanya secara terpusat, dengan melakukan berbagai evaluasi capaian kerja tiap periode, platform mengalihkan tugas evaluasi ini kepada konsumen. Konsumenlah yang diberikan kewenangan untuk menilai layanan dan hasil kerja seorang pekerja. Pekerja mendapatkan bonus atau sanksi berdasarkan penilaian tersebut. Contohnya dengan sistem rating bintang dan komentar. Sudah sering kita mendengar seorang pekerja ojek online diblokir akunnya karena mendapatkan bintang 1 dari konsumen.

Pendelegasian kontrol ini membuat Platform semakin kurang tugasnya sebagai sebuah perusahaan. Ia bisa mengurangi biaya dan tenaga yang seharusnya digunakan untuk menjalankan evaluasi. Namun, jangan salah mengira bahwa kekuatan untuk mengontrol pekerja sudah tidak lagi di tangan platform. Seperti yang dikemukakan oleh Eka Kurniawan di Jawa Pos. Ia bilang, kekuasaan untuk mengontrol tindak-tanduk orang lain kini tidak lagi terpusat di tangan penguasa, tapi terdistribusi ke hampir semua orang. Ia mencontohkan perilaku orang-orang di media sosial, yang hobinya “sekadar mengingatkan” tingkah laku orang lain yang tidak sejalan dengan keyakinannya. Kata Eka:

“[…] yang kita hadapi bukanlah kekuasaan terpusat yang sangat kuat, tapi kekuasaan yang memencar dan terus-menerus mencari perimbangan dalam dirinya. Sebagian merupakan kelompok-kelompok kuat, baik karena jumlah, uang, maupun teknologi. Kelompok-kelompok kecil bukan berarti gampang dihadapi. Sering kali mereka lebih berisik, mengganggu. Mati satu tumbuh seribu.”

Setiap orang yang mempunyai media sosial memang bisa nyolot ke akun lain yang tidak ia sukai. Namun, perilaku orang lain yang seperti apa yang muncul di lini masanya, cara ia nyolot ke orang lain, serta bagaimana omongan nyolot tersebut terdistribusi ke akun-akun lain, semuanya diatur oleh platform. Di sinilah Eka Kurniawan keliru dengan menganggap kuasa untuk mengontrol sudah terdistribusi. Yang terdistribusi adalah aktivitas mengontrolnya, sedangkan kuasa (power) untuk mengatur sistem kontrol semakin terpusat di platform.

PEKERJA PLATFORM

Setelah menjelaskan wajah-wajah platform yang sesunguhnya, berikut ini saya akan menuliskan 5 macam pekerja platform beserta uraian yang saya rasa perlu. Supaya jelas, siapa saja sebenarnya penggerak utama bisnis platform.

“Inovator”

Pekerja platform yang pertama ialah orang-orang yang sering disebut media sebagai “inovator”. Mereka adalah para pendiri start up yang produktif membuat berbagai macam platform. Semakin banyak bidang kehidupan yang kini dicaplok oleh platform, mulai dari keuangan, pertanian, perikanan, transportasi, belanja bahan pokok, investasi, sampai pendidikan. Sayangnya, walaupun lahan bisnisnya berbeda-beda, secara umum bentuk platform yang muncul bisa dibilang serupa. Sebagian besar wajah platform yang hadir mengikuti model yang sudah saya uraikan panjang lebar di atas.

Para “inovator” ini bisa dilihat sebagai orang-orang yang “kreatif”, pekerja keras, yang mau begadang panjang demi menemukan lahan baru yang bisa di-platform-kan. Harapannya, “inovasi” yang mereka temukan mampu menarik lirikan para pemodal besar untuk berinvestasi di platformnya. Jika kita mau jujur, sebetulnya “inovasi” para pendiri start up ini tidak inovatif-inovatif amat. Bentuknya begitu-begitu saja. Mereka hanya terus berusaha memburu berbagai bentuk kehidupan yang belum dimasuki bisnis platform.

Kondisi ini sangat disayangkan. Mereka-mereka ini adalah para pemuda yang beruntung bisa mengenyam pendidikan tinggi yang sangat layak, yang kebanyakan orang tidak mendapatkannya, tapi “inovasi”nya tidak ke mana-mana karena pemahamannya pada platform digital sudah diracuni oleh narasi CEO start up unicorn. Para “inovator” ini tidak lagi punya bayangan tentang model platform yang lain, yang koordinasi sosialnya bukan hanya kompetesi dan pasar bebas, tapi solidaritas.

Yang termasuk kategori “inovator” ini bukan hanya para pendiri start up sebetulnya, tapi juga para pekerja tetap di perusahaan platform. Mereka inilah yang sebetulnya terus melakukan inovasi hari demi hari, selama bekerja. Patut dicatat juga bahwa untuk perusahaan platform yang masih kecil, pendiri dan pekerja sering kali adalah orang yang sama.

Freelancer

Ini adalah para pekerja yang menawarkan berbagai keahlian top hari ini, seperti desain grafis, pemprograman komputer, jurnalisme, content creator, dan analisis data. Berbeda dengan pekerja tetap, kontrak mereka dengan pemberi kerja hanya per proyek. Mereka banyak ditemui di platform seperti Sribulancer dan FastWork. Para freelancer bisa memperoleh pendapatan yang layak jika mendapatkan pekerjaan yang bagus dan mampu menyelesaikan banyak pekerjaan. Walaupun, tentu saja, sering kali waktu kerjanya bisa lebih panjang dan tak menentu. Antara waktu istirahat dan bekerja sering tak ada bedanya.

Bentuk hubungan kerja yang semacam ini sebetulnya sudah ada sebelum era platform. Kita mengenalnya sebagai outsourcing. Sistem outsourcing adalah strategi perusahaan konvensional untuk mengurangi biaya membayar karyawan. Banyak hal terpotong dengan sistem outsourcing, yakni bonus kerja, iuran asuransi kesehatan, asuransi kecelakaan kerja, dan pesangon. Platform mempercepat dan memperluas penerapan sistem kerja yang seperti ini. Dengan konsep freelance, platform sebetulnya menghilangkan peran perusahaan outsourcing, dengan memanfaatkan teknologi terkini yang memungkinkan pengusaha langsung berhubungan dengan pekerja outsource. Alhasil, lebih banyak lagi biaya yang bisa dihemat.

Pekerja Gig

Biasanya, pekerja gig disamakan dengan freelancer. Namun, sesungguhnya perlu dibedakan. Mereka umumnya adalah pekerja jasa yang meskipun berinteraksi di platform dengan konsumen, tapi juga harus melaksanakan tugas di lapangan. Mereka adalah para pengemudi ojek daring, jasa pijat, jasa bersih-bersih kamar, jasa antar-makanan dan barang, dan pekerjaan lain yang sejenis. Mereka adalah pekerja yang bayarannya minim dan harus terbebani dengan biaya operasional serta risiko. Misalnya risiko kecelakaan bagi para pengemudi ojek daring, atau pelecehan seksual bagi pijat online. Selain itu, pekerja gig juga harus menghadapi komplain dari pelanggan beserta konsekuensinya. Sedangkan si platform lepas tangan.

Pelatih algoritma

Pekerja industri 4.0 sering kali dianggap sebagai orang-orang yang punya skill tinggi. Padahal, para pengisi survei di internet, pengetes berbagai aplikasi dan website baru, dan kerjaan lain yang intinya mengajari algoritma agar semakin pintar adalah pekerja industri 4.0 juga. Mereka adalah pekerja kognitif yang tidak memerlukan keahlian tinggi, cukup tahan saja melakukan berbagai pekerjaan berulang-ulang. Seluruh kegiatan kerja dilakukan secara online.

Pemilik akun media sosial

Semua orang yang beraktivitas di Twitter, Facebook, Instagram, dan media sosial lainnya selama ini tidak dianggap sebagai pekerja. Padahal, mereka memproduksi nilai yang dijadikan profit oleh pemilik platform. Seluruh konten yang mereka hasilkan, baik itu berupa teks, gambar, video, atau gabungan ketiganya adalah produk yang ditampilkan oleh platform kepada pengguna lain.

Para pengguna medsos, kita, adalah produsen sekaligus konsumen. Data aktvitas kita di media sosial, mau itu isinya kisah cinta, sedih, amarah, hinaan, cacian, ekspresi agama, politik, nasihat, maupun dakwah, semuanya dijadikan komoditas oleh platform untuk dijual kepada para pengiklan. Saya sudah pernah membahasnya secara detail di artikel berjudul “Kita adalah Bahan Baku, Buruh, dan Komoditas dalam Ekonomi Digital”. Menyedihkannya lagi, kerja-kerja yang dilakukan kelompok ini tidak dibayar oleh platform. Hanya sebagian kecil saja yang bisa menjadikan kontennya penghasil uang, misalnya dengan menerima endorse. Tapi toh itu bukan dari platform.

Kategori
Kapital Politik

Kartu Prakerja Hanya Memanjakan Startup

Sejak outbreak COVID-19 pertama di Indonesia, ekonomi sudah mulai carut-marut. Puncaknya, ketika 1,5 juta orang terpaksa kehilangan pekerjaan. Menurut keterangan Menteri Ketenagakerjaan, Ida Fauziah, dari jumlah tersebut, ada sebanyak 10% pemutusan hubungan kerja (PHK) sementara 90% lainnya dirumahkan oleh perusahaan masing-masing.

Di tengah gelombang besar PHK dan fenomena unpaid leave ini, kartu prakerja seolah-olah hadir sebagai juru selamat. Ia datang membawakan sedikit harapan kepada mereka yang hampir putus asa dengan iming-iming bantuan finansial.

Apa Itu Kartu Prakerja?

Wacana kartu prakerja sebenarnya bukan hal baru mengingat ini adalah program yang digadang-gadang Presiden Jokowi sejak pilpres 2019. Namun karena adanya peningkatan pengangguran akibat wabah virus corona, implementasi program ini pun dipercepat. Kementrian Keuangan disebut telah menggelontorkan dana sebesar Rp20 triliun. Dengan dana sebanyak ini, orang-orang yang terkena PHK atau dirumahkan sementara bisa menerima “gaji”. Plus, mereka yang ingin menambah keterampilan juga akan dibiayai langsung oleh negara.

Melalui kartu prakerja, peserta disebut akan mendapatkan insentif sebesar Rp3.550.000. Skema perhitungannya meliputi bantuan pelatihan sebesar Rp 1 juta, insentif pascapelatihan sebesar Rp 600 ribu per bulan selama 4 bulan, dan insentif survei bekerja sebesar Rp 50 ribu per survei yang dilakukan selama 3 kali survei atau jika dijumlahkan menjadi Rp 150 ribu.

Meskipun demikian, untuk mendapatkan insentif Rp 600 ribu selama 4 bulan, peserta diharuskan mengikuti pelatihan keterampilan terlebih dahulu. Mekanisme pelatihan yang tadinya offline pun diubah menjadi online yang tersedia dalam paket-paket pembelajaran. Paket ini disediakan oleh mitra kerja pemerintah, seperti Skill Academy oleh Ruangguru, MauBelajarApa, Pintaria, Sekolah.mu, Pijar Mahir, Bukalapak, Tokopedia, dan OVO.

Polemik Kartu Prakerja

Kartu prakerja sebenarnya dimaksudkan bagi anak-anak muda yang baru tamat sekolah menengah atas, sekolah menengah kejuruan atau lulusan perguruan tinggi yang akan mencari kerja. Dengan kartu ini, para lulusan tersebut bisa mendapatkan program pelatihan keterampilan yang diharapkan akan menunjang karier mereka kelak. Namun karena wabah virus corona, kartu prakerja kemudian dijadikan sebagai solusi untuk membantu mereka yang terkena imbas PHK massal atau dirumahkan sementara.

[mks_pullquote align=”left” width=”300″ size=”24″ bg_color=”#ffffff” txt_color=”#1e73be”]Karena wabah virus corona, kartu prakerja kemudian dijadikan sebagai solusi untuk membantu mereka yang terkena imbas PHK massal atau dirumahkan sementara.[/mks_pullquote]

Masalahnya, siapa sih yang masih sempat mengembangkan skill di tengah pandemi corona? Bagi mereka yang masih bisa bekerja dari rumah, it’s okay, tetapi bagaimana dengan mereka yang kehilangan pekerjaan? Boro-boro memikirkan pengembangan diri, bisa makan saja sudah alhamdulillah.

Lagipula berdasarkan konsepnya, kartu prakerja memang ditujukan kepada siapa pun yang ingin membentuk keahlian diri sebelum terjun ke dunia kerja. Sehingga, program tersebut menjadi tidak efektif mengingat yang paling dibutuhkan masyarakat saat ini adalah uang. Toh, mereka yang di-PHK atau dirumahkan sementara bukan berarti nggak punya skill kan? Jadi, kenapa mereka harus ikutan pelatihan terlebih dahulu sebelum mendapatkan insentifnya?

Startup Malah Untung

Selain tidak efektif, pelatihan keterampilan secara daring ini justru memboroskan anggaran negara. Pertama, materi yang disampaikan sebenarnya bisa diakses secara gratis melalui sosial media atau YouTube. Modalnya juga murah, tak perlu membayar kelas seharga ratusan ribu, tetapi hanya cukup dengan paket internet unlimited yang disediakan oleh beberapa operator. FYI, ada lho paket data yang harganya nggak sampai Rp100 ribu.

Pun kemunculan kartu prakerja juga bisa menjadi masalah baru bagi para “pengangguran”. Bagaimana mereka bisa memperoleh akses internet yang bagus? Bagaimana pula jika mereka tidak memiliki gawai yang menunjang untuk mengikuti pembelajaran online? Masa harus keluar modal duluan, sementara kartu ini dimaksudkan untuk “mengganjal” perut yang sedang lapar.

Kedua, monopoli startup sebagai penyedia kelas online dikhawatirkan hanya akan menguntungkan startup itu sendiri. Tidak hanya persoalan anggaran triliunan yang akan mengalir ke dompet tebal mereka. Ada hal yang jauh lebih berharga ketimbang uang, yaitu data. Yes, benar sekali. Data para pengguna kartu pekerja dikhawatirkan akan dijadikan “modal” bisnis mereka.

[mks_pullquote align=”left” width=”300″ size=”24″ bg_color=”#ffffff” txt_color=”#1e73be”]Monopoli startup sebagai penyedia kelas online dikhawatirkan hanya akan menguntungkan startup itu sendiri. [/mks_pullquote]

Jikalau demikian, maka yang paling diuntungkan dari adanya kartu prakerja ini tentu saja perusahaan startup. Salah satu CEOnya saja menjadi staff khusus presiden, bukan tidak mungkin kan kalau ada konflik kepentingan? Bukan mau berburuk sangka (meskipun iya sih), tetapi saya merasa eman-eman banget kalau uang segitu hanya untuk mengisi pundi-pundi rupiah para petinggi startup. Lebih baik anggaran kursus ini dijadikan bantuan langsung tunai saja.

Kartu Prakerja Tidak Penting

Saya masih percaya sih kalau pemerintah memiliki niat baik. Melalui program kartu prakerja, pemerintah ingin sedikit membantu buruh yang terdampak PHK atau pekerja informal yang pendapatannya tertekan akibat penyebaran virus corona. Targetnya yang semula sejumlah 2 juta orang pun dinaikkan menjadi 5,6 juta orang agar semakin banyak orang terjangkau oleh program ini.

Namun sayangnya, kemunculan kartu prakerja justru menjadi kebijakan paling tidak bijak mengingat sebagian besar masyarakat yang terdampak itu sudah menguasai keahlian kerja di bidangnya masing-masing. Demi mendapatkan insentif sebesar Rp600 ribu selama 4 bulan berturut-turut, mereka diharuskan mengikuti pelatihan keterampilan online terlebih dahulu. Padahal di masa krisis begini, yang dibutuhkan adalah bantuan langsung tunai kan?

Lagipula jika masyarakat diberikan bantuan langsung tunai, maka daya beli yang tadinya lesu akan kembali pulih. Toh, ekonomi juga tetap bisa berjalan pelan-pelan seiring dengan bertumbuhnya kegiatan belanja kebutuhan pokok dan perputaran uang di masyarakat. Kalau hanya mencari resep untuk berbisnis rumahan, di YouTube dan IG TV juga banyak kali!

Kategori
Kapital Politik

Seberapa Efektif Jika Lockdown Ditetapkan di Indonesia?

Jagad media sedang gonjang-ganjing. Penyebabnya, publik semakin mendesak pemerintah untuk menerapkan lockdown atau karantina wilayah. Konsep ini dipercaya menjadi solusi paling ampuh untuk menghentikan penyebaran virus corona, yang sayangnya sering bertambah seiring dengan ramainya arus pergerakan manusia.

Beberapa negara seperti China, Italia, Prancis, Filipina, dan Malaysia telah menerapkan kebijakan tersebut demi membatasi pergerakan manusia. Meskipun demikian, beberapa negara seperti Korea Selatan dan Singapura berhasil menekan angka penyebaran tanpa melakukan karantina wilayah. Kedua negara ini lebih memilih untuk melakukan tes massal.

Karena penularannya melalui droplet atau percikan, membatasi jarak dan menghentikan sementara laju pergerakan manusia memang mampu menahan penyebaran virus yang lebih luas lagi. Namun, benarkah lockdown terbukti efektif menghentikan pandemi?

Memahami Konsep Lockdown

Secara umum, lockdown didefinisikan sebagai upaya untuk mengisolasi suatu wilayah agar populasi di dalamnya tidak keluar dari wilayah tersebut. Aturan ini bersikap temporer atau sementara, sehingga bisa dicabut sewaktu-waktu jika kondisi sudah dianggap membaik.

Meski bertujuan untuk mengisolasi wilayah, tetapi pada penerapannya tergantung kebijakan masing-masing kepala pemerintahan. Misalnya di Wuhan, China, lockdown diberlakukan secara total. Artinya, warga di sana tidak boleh melakukan aktivitas di luar rumah, beberapa ruang publik ditutup, transportasi umum dihentikan, dan tidak diperbolehkan menggunakan kendaraan pribadi.

[mks_pullquote align=”left” width=”300″ size=”24″ bg_color=”#ffffff” txt_color=”#1e73be”]Meski bertujuan untuk mengisolasi wilayah, tetapi pada penerapannya tergantung kebijakan masing-masing kepala pemerintahan.[/mks_pullquote]

Sementara itu, lockdown di Italia dimaksudkan untuk membatasi ruang gerak warganya. Meski ada anjuran untuk tetap berada di dalam rumah, warga masih tetap diperbolehkan pergi ke luar rumah. Apalagi jika memiliki alasan tertentu dan urgent, seperti membeli kebutuhan pangan.

Sayangnya, kebijakan lockdown yang dinilai cukup efektif untuk menangani pandemi, ternyata bisa menimbulkan masalah baru. Di India saja, meskipun PM Narendra Modi telah mengumumkan lockdown sejak 24 Maret 2020, alih-alih membatasi ruang gerak masyarakat, kebijakan tersebut justru menimbulkan chaos. Akibatnya, banyak orang kelaparan karena kesulitan mencari makanan. Pun tak sedikit pula para perantau yang mulai pulang kampung halaman karena sudah tidak memiliki penghasilan lagi.

Kebijakan lockdown mungkin bisa jadi solusi paling bagus untuk mereka yang sudah siap dan tentunya punya dana yang memadai. Namun jika tidak, alih-alih memerangi virus tak kasat mata ini, lockdown justru menimbulkan masalah baru, yaitu kelaparan dan kesenjangan sosial.

Lockdown atau Karantina Wilayah?

Meski wacana lockdown sudah digaungkan sejak outbreak pertama di Indonesia, tapi maknanya pun masih simpang siur. Kata Pak Mahfud sih, lockdown tidak sama dengan karantina wilayah. Menurutnya, lockdown mengacu pada pembatasan ketat di suatu wilayah dan melarang warga untuk keluar masuk dari wilayah tersebut. Sementara karantina wilayah adalah istilah lain dari physical distancing (pembatasan jarak fisik) dan masih memungkinkan warga untuk melakukan aktivitas seperti biasa.

Padahal menurut UU No. 6 Tahun 2018, karantina wilayah adalah pembatasan penduduk dalam suatu wilayah yang diduga terinfeksi penyakit dan/atau terkontaminasi sedemikian rupa untuk mencegah kemungkinan penyebaran penyakit. Pun dalam postingan Instagram @badanbahasakemendikbud disebutkan bahwa lockdown adalah padanan kata dari karantina wilayah. Meskipun demikian, karantina wilayah bisa juga diartikan sebagai pembatasan perpindahan orang dan kerumunan di tiap wilayah yang telah ditetapkan. Nah lho, makin bingung kan 😦

[mks_pullquote align=”left” width=”300″ size=”24″ bg_color=”#ffffff” txt_color=”#1e73be”]Menurut UU No. 6 Tahun 2018, karantina wilayah adalah pembatasan penduduk dalam suatu wilayah yang diduga terinfeksi penyakit dan/atau terkontaminasi sedemikian rupa untuk mencegah kemungkinan penyebaran penyakit. [/mks_pullquote]

Mungkin saja yang dimaksud Pak Mahfud adalah perbedaan anggaran biaya. Apabila lockdown ditetapkan maka negara lah yang harus menanggung semua hajat hidup warganya tanpa terkecuali karena mereka tidak diperbolehkan untuk melakukan aktivitas di luar rumah. Namun, jika “karantina wilayah” yang ditetapkan, maka negara terbebas dari kewajiban menanggung biaya hidup warganya. Plus, warga juga masih diperbolehkan melakukan aktivitas seperti biasa meski ada pembatasan, sehingga roda ekonomi pun akan tetap berputar.

Efektif Sih, tapi…

Saya kembali terngiang dengan kutipan Presiden Ghana, Nana Akufo Addo, tentang kebijakan lockdown di negaranya. Kutipan yang terasa menyejukkan di tengan wabah COVID-19 ini pun menjadi viral di media sosial.

Tidak ada negara yang tidak mengalami kejatuhan ekonomi selama pandemi. Sekelas Wall Street saja sempat tumbang lebih dari 4% sejak Presiden Donald Trump memperingatkan bahwa korban meninggal akibat virus corona di AS bisa terus meningkat. Bursa Efek Indonesia juga pernah menghentikan perdagangan saham selama 30 menit karena IHSG anjlok 5% ke level 3.000. Kedua contoh tersebut adalah bukti bahwa baik negara maju atau negara berkembang atau negara miskin sekalipun pandemi tetap membuat perekonomian terombang-ambing.

Saya paham, lockdown memang akan membuat perekonomian ambruk. Bahkan belum resmi diberlakukan karantina wilayah saja sudah banyak perusahaan yang “merumahkan” karyawannya. Industri pariwisata dan perhotelan juga sudah melakukan efisiensi karena terancam gulung tikar.

Meskipun demikian, saya lebih setuju apabila lockdown ditetapkan. Semakin cepat diberlakukan pembatasan wilayah, maka semakin cepat pula kita move on dari pandemi. Saya sadar, saya bisa saja kehilangan pekerjaan dan penghasilan jika lockdown benar-benar ditetapkan. Namun, bukankah selama karantina negara wajib menanggung dan menyuplai semua kebutuhan warganya? Pun mereka yang kehilangan pekerjaan, akan mendapatkan santunan dari negara.

Selain itu, pemerintah saat ini hanya kebanyakan mengimbau physical distancing tanpa disertai sanksi tegas. Duh, kaya nggak paham aja deh sama kelakuan warga negara +62. Larangan saja banyak yang dilanggar, apa lagi kalau hanya sebuah imbauan?

Opsi lockdown juga semakin masuk akal mengingat bahwa kita harus melandaikan kurva penyebaran virus corona. Ini krusial banget lho karena penyakit COVID-19 masih tergolong baru, belum ada obat apalagi vaksinnya, sementara fasilitas kesehatan dan tenaga medis sangat terbatas. Lagipula, mereka yang sedang sakit juga butuh waktu kan buat sembuh dan agar rumah sakit tidak overload?

Namun, mengingat karakter masyarakat Indonesia, rasanya lockdown masih belum dijadikan keputusan yang tepat. Meskipun begitu, pemerintah tetap harus melakukan pengawasan ketat jika opsi physical distancing atau “karantina wilayah” ditetapkan. Jangan cuma mengeluarkan imbauan dan arahan saja atau malah berharap semua warga bakal disiplin. Percuma kalau tidak dibarengi dengan ketegasan mengatur laju pergerakan manusia.

Yang ada kita justru semakin bertanya-tanya: kapan ya mimpi buruk ini berakhir?