Kategori
Society

Paradoks Pendidikan (Politik Humor Tawa) Indonesia

MAMAT ALKATIRI, komika asal Papua berkisah bagaimana geregetan, gerundelan dan keluh kesahnya soal urusan keterbatasan yang dimiliki dan pengalaman mendapatkan pendidikan dasar sampai menengah.

Semua hal soal paradoks pendidikan diumbar dan disampaikan secara lugas di atas panggung. Suaranya disampaikan dengan lantang dan keras dalam aneka forum. Kisah pilu bagaimana anak-anak Papua belajar. Tentu dengan materi yang menurutnya aneh-aneh, tidak masuk akal dan lain sebagainya.

Pecah tawa, terpingkal-pingkal selalu, dan tepuk tangan adalah respon jamak tiap kali cerita paradoks pendidikan yang dialami oleh anak-anak Papua kala dirinya masih duduk di bangku sekolah adalah satu materi komika yang mengundang tawa. Berulang kali disampaikan, dengan mimik muka serius. Kadang juga dengan bahasa tubuh yang bagi lawan bicara atau audiens berbalas tertawa.

Mamat Alkatiri cuek saja bahkan dengan senang hati, dia selalu berupaya berbagi cerita betapa lucunya kebijakan pendidikan dan praktiknya di kelas. Iya, aneka keterbatasan yang dialami. Misal urusan pelajaran komputer. Intruksi pembelajaran dalam narasi yang disampaikan oleh guru, materinya serasa dongeng atau pengalaman di alam khayalan, serasa mimpi saja.

Pengalaman “berbeda” dirasakan kala menempuh pelajaran lebih jauh, yaitu kesempatan belajar di perguruan tinggi. Tentu saja orang tuanya yang kebetulan mampu, memiliki preferensi apa itu sekolah yang baik, yang bisa memberikan pendidikan untuk bekal pengetahuan dan seperangkat keterampilan yang berguna kelak saat seseorang hidup secara mandiri. Hidup bersama masyarakat, bekerja.

Lagi-lagi, paradokslah yang disampaikan oleh mahasiswa asal Papua. Pengalaman “berbeda” warna kulit, bahasa dan kebiasaan harus membuat Mamat Alkatiri beradaptasi dengan cepat. Budaya dan pertempuran dengan hal-hal baru dikisahkan juga sebagai materi dalam monolog, celotehan dirinya sebagai stand up comedian.

Ejekan dan pertanyaan aneh-aneh berulang kali didapatkan kala awal-awal dirinya kuliah dan tinggal hidup bersama kawan mahasiswa dari berbagai daerah di Yogyakarta. Bahkan tak jarang diajari bahasa Jawa, tapi dengan pelajaran berbahasa yang salah dan tak cocok. Semua hal dikisahkan di atas panggung, lagi-lagi untuk mengundang tawa, ditertawakan banyak orang.

Mamat Alkatiri tidak sendiri, ada banyak yang mengalami hal-hal buruk dalam perjalanan hidupnya, dalam proses belajar di kelas, di bangku kelas menengah hingga pendidikan tinggi. Beragam hal dikisahkan, diceritakan berulang bahkan soal kisah asmaranya yang gagal berjodoh dengan gadis idaman. Berbeda suku, dan betapa dirinya mencintai sosok gadis pujaan. Gara-gara identitasnya yang berbeda. Lagi-lagi, semua tertawa begitu tahu kisahnya. Bagaimana dirinya, dengan aneka ragam pengalaman ganjil serba berat, mengundang tawa khalayak.

Mamat Alkatiri adalah dokter gigi, yang tak pernah praktek, mencari rejeki dari mulut orang lain. Ia gunakan mulutnya sendiri untuk bisa berdiri tegak di atas panggung, bicara keras dan bersuara untuk protes atas ketidakadilan yang dialaminya.

**

Tegas, dirinya tak suka perlakuan dan cara-cara, model pendidikan yang ada. Ia kritik pejabat, ia kritik sistem pendidikan, juga budaya bullying antar-budaya yang ada di masyarakat karena “berbeda”. Sampai beberapa kali bicara sebagai komika, Mamat Alkatiri juga hadir, berada di panggung berhadapan dengan politisi, pejabat daerah untuk didengarkan ceritanya yang sering disampaikan dengan suara keras. Banyak yang mengajaknya berpolitik, karena sekarang sudah terkenal, dikenal khalayak. Ia menolak.

Setiap manusia tak bisa memilih untuk lahir dari rahim seseorang yang ia kehendaki. Perjalanan kehidupannya bisa jauh berbeda dari orang tuanya. Lewat pendidikan, ada harapan untuk mendapatkan kehidupan yang lebih baik.

Pak Wali

MALING adalah kata yang dipopulerkan oleh Komika asal Papua ini. Para maling-maling disapanya dengan jenaka. Begitu satu kata kunci yang dipilihnya secara sadar. Sebagai komika, yang berhasil merebut perhatian khalayak, kini dirinya memiliki program podcast rutin di kanal Youtube. Sejumlah tokoh politik nasional mendapatkan panggung, bisa berbicara langsung dengan cara santai, bersama ikon sepeda khas berisi kopi sachetan ala kopi keliling yang populer di ibukota. Tak hanya bercakap, tapi juga “roasting” setiap narasumber.

Setiap manusia, entah orang biasa atau anak tokoh, tak bisa memilih untuk lahir dari rahim seseorang yang ia kehendaki. Perjalanan kehidupannya bisa jauh “berbeda” dengan hal-hal yang pernah dialami kedua orang tuanya. Lewat pendidikan, ada harapan untuk mendapatkan kehidupan lebih baik.

Cerita kemiskinan yang dirasakan, dialami saat kecil, kondisi serba keterbatasan dan hal hal lain, adalah hal lumrah yang dihadirkan di ruang publik. Panggung hiburan, panggung akademis hingga panggung politik memberikan ruang bicara yang bebas bagi siapa saja yang “berani” tampil dan menyampaikan buah pikir, gagasan dan harapan hingga ilmu pengetahuan. Jamak dilakukan oleh mereka yang ada di atas panggung.

Sekedar berbagi ingatan saja, bangsa ini sungguh akrab dengan hal-hal ganjil, aneh, mitos dan cerita palsu aneka rupa. Soal relasi kuasa, melalui humor, di masa lalu risikonya dipenjara. Melalui hal-hal yang menghibur dengan nyanyian pun, berisiko dihukum masuk penjara, kala bangsa ini dalam cengkeraman pemerintah otoriter. Gus Dur (Kyai Abdurrahman Wahid) punya humor urusan berkuasa, tidak terlintas untuk jadi Presiden karena tak ada modal, terpilihnya sebagai pemimpin RI juga karena modal dengkulnya Amien Rais.

Menjadi tahu, jadi memiliki pengetahuan atas hal-hal di luar nalar, di luar pengalaman diri, merasakan hidup dan budaya yang “berbeda” dengan “asal-usul” dirinya sendiri hingga kemampuan belajar bahasa orang lain, budaya liyan, budaya asing bisa didapatkan dalam beragam kesempatan, di era sekarang.

Belum lama berselang, di Yogyakarta, di tempat Mamat Alkatiri asal Papua bercita-cita ingin bisa jadi dokter ini, di kampus yang pertama dibangun, hadir juga pentas komika.

Kali ini, Panji Pragiwaksono, komika ibukota yang pernah bermimpi berkarir di Amerika untuk bisa hidup sukses bicara di atas panggung, bukan dengan cerita yang mengundang empati, tapi suara keras kritik kepada pemimpin negeri, relasinya dengan para pembantunya, kepercayaan yang diberikan dan tanggung jawab. Omongan dan obrolan tepi juranglah, begitu generasi muda mengidentifikasi dan menyebutnya. Lagi-lagi mengundang tawa, alih alih memahami risiko bahaya yang ada.

Tak lama berselang, di panggung juga beda tempatnya, anak Presiden RI, Joko Widodo yang tengah menjabat dan memiliki kuasa penuh atas jutaan nasib rakyat di Indonesia di atas panggung meminta izin kepada ayahnya secara terbuka, untuk bisa memilih jalannya sendiri. Terpilih dan dipercaya memimpin partai politik.

Semua tahu, ia juga punya program podcast bersama Kiki Saputri dkk, yang tak jauh beda dengan Mamat Alkitiri, bedanya tak ada sapaan untuk para maling.

Bagaimana respon khalayak, ada tepuk tanganlah, meski banyak juga yang terbahak-bahak. Tersenyum melihat dan mendengarkan sosok yang disebut-sebut Mawar itu. Namanya Kaesang Pangarep.

Tinggalkan komentar