Selama ini, dalam setiap kesempatan berbusana resmi, alam pikir urusan pernik baju dan asesoris lekat dengan istilah batik. Ada beragam motif batik yang jadi “kode motif” dan narasi untuk mengirimkan pesan dan “jati diri” penggunanya. Sejarah kain batik lekat dengan kehidupan di istana. Untuk simbol kuasa, ada motif khusus, termasuk aturan ketat juga berlaku.
Rakyat biasa juga berkain batik, tentu dengan motif yang lebih sederhana. Harganya kainnya juga beda jauh. Murah itu jelas, karena produksi massal. Batik tulis, harganya lebih mahal dibandingkan dengan batik cap. Yang paling populer tentu saja batik printing karena bisa dicetak oleh siapa saja dan di negara mana saja.
Ada hal menarik terkait urusan busana, berbatik atau berkain. Ini berkaitan dengan sejarah pasang surutnya industri batik dari masa ke masa. Di masa lalu, juragan batik tentu saja memiliki posisi sosial yang dihormati di masyarakat. Sampai suatu ketika, para juragan dan pelaku industri batik gulung tikar, kalah bersaing di pasar.
Di Indonesia, jika bicara urusan kain, sebenarnya tidak melulu tentang baik. Kesadaran adi busana, sesuai perkembangan zaman, punya pasang surutnya. Sebagai negeri dengan jumlah penduduk besar, kini lebih dari 270 juta jiwa tentu adalah pasar yang empuk. Masalahnya, itu tak bisa juga diisi oleh produksi dalam negeri, karena beragam sebab. Proteksi terhadap keberlangsungan industri tekstil tentu penting dijalankan.
Di masa lalu, juragan batik tentu saja memiliki posisi sosial yang dihormati di masyarakat. Sampai suatu ketika, para juragan dan pelaku industri batik gulung tikar, kalah bersaing di pasar.
Nah, hal yang menarik tentu saja bicara urusan motif (kuasa) berbusana. Ya, mumpung lagi hangat masa jelang proses formal pemilihan umum. Boleh lah sedikit bicara urusan baju.
Kalau di masa lalu, menjadi Indonesia bagi sebagian orang identik dengan sekedar berbatik. Kini ada sentuhan politis penyelenggara pemilu dengan mengenalkan kain tenun. Komisi Pemilihan Umum memberikan motif tenun yang sama kepada pasangan calon presiden dan wakil presiden yang telah mendaftarkan diri.
Kain tenun itu berasal dari Sumba. Motifnya bergambar ayam jago dan singa. Kain tenun ini dipakaikan ke semua paslon (pasangan calon).
Apa pesan yang hendak disampaikan?
Motif ayam, atau ayam jantan itu, adalah kain tenun yang berasal dari Kabupaten Sumba Timur. Motif ayam jantan memiliki makna kesadaran (karena ayam selalu berkokok setiap pagi untuk membangunkan manusia), kehidupan, serta pemimpin yang bersifat melindungi.
Sementara kain motif singa atau Mahang berasal dari Kabupaten Sumba Timur. Motif ini terinspirasi dari gambar di uang Belanda (Mahang Appa Uki) karena di sana tidak terdapat hewan singa. Hal tersebut membuktikan bahwa sejak dahulu kala, masyarakat telah mengenal hubungan dengan dunia luar.
KPU sebagai penyelenggara pemilu jelas ingin memberikan pesan kepada seluruh calon pemimpin bangsa Indonesia agar kelak kala terpilih bisa menjalankan kepercayaan rakyat.
Tapi sebentar, di era disrupsi ini, KPU boleh nggak ya kreatif gitu. Sebab soal urusan motif (kuasa) berbusana sejatinya kita kenal bukan saia berbatik, berkain sarung atau memakai kain tenun. Ada juga ekspresi motif busana khas, tanpa busana, dan kain yang menutup badan. Aneka motif tatto, misalnya. Menarik juga kalau KPU memberikannya ke masing-masing paslon.
Memang jadi agak ribet sedikit plus bisa jadi hadir kontroversi ya. Meskipun kita bisa memberikan keyakinan sih, bahwa motif tatto itu bisa jadi hal menarik yang digemari gen Z dan millenial. Lumayan tho, sebagai cara gaet suara pemilih nanti.
