Menonton film adalah peristiwa memasuki ruang gelap dalam bioskop lalu menjelajah beragam imajinasi. Hening dan bisu. Hitam putih semata pada awalnya. Sejarah lahir dari gambar yang bergerak di layar perak.
Apa yang divisualisasikan oleh sineas Garin Nugroho dalam film Samsara di Gelanggang Inovasi dan Kreatifitas Universitas Gadjah Mada, Kamis 5 Desember 2024 menegaskan kelahiran kembali cara menikmati sebuah film dengan serta merta, secara langsung.
Film bisu semacam ini bukan pertama kali dikerjakan oleh sineas yang lekat dengan pilihan estetika film seni. Ada Setan Jawa yang dikerjakan dan divisualisasikan dalam format pertunjukan film bisu diiringi latar musik orkestra.
Sepertinya, sutradara film Garin Nugroho ingin mengikuti sekaligus menegaskan penjelajahan eksplorasi seni film tanah air. Tak mau kalah dengan seniman berkelas dunia. Seperti film Metropolis yang juga menjadi catatan sejarah film dunia ataupun film dengan judul yang sama Samsara oleh Ron Fricke dengan cara visualisasi time lapse dokumenter visual yang estetis.
Tentu saja, ada kekayaan budaya, ekspresi seni yang khas dimiliki dan dekat dengan dunia keseharian sang kreator film. Seni karawitan yang digunakan berpadu dengan musik modern. Berbeda dengan Setan Jawa, Samsara dihadirkan dengan format hitam putih yang mengambil narasi cerita budaya di Bali berpadu dengan iringan gamelan Bali dan musik EDM (Electronic Dance Music) yang dikerjakan Gabber Modus Operandi.
Samsara, yang berarti kelahiran kembali, tentu bermakna meluas tatkala bingkai visualisasi narasi gambar bergerak menjadi ingatan bersama di benak penonton. Setiap individu akan memiliki rekaman pengalaman menonton yang berbeda-beda.
Eksplorasi seni visual, seni film dengan ragam genre-nya kini memang terbuka lebar. Teknologi film kini lebih ringkas dan lebih mudah diproduksi oleh siapa saja. Merekam ingatan perjalanan hidup seseorang dalam sekejap bisa tersaji menjadi film pendek hingga panjang, dari film seni hingga film dokumenter.
Di tengah-tengah mudahnya reproduksi visual, berkat kemajuan alat-alat kamera film yang lebih modern dan canggih, hingga dengan kamera HP atau gadget saja kini setiap orang bisa menjadi sutradara hinga aktor film. Tentu ada tantangan seni bertutur (naratif).
Bagi individu, cukup dengan kamera di gadget kita bisa memotret, merekam hingga melakukan editing dalam waktu sekejap. Merekam ingatan visual di mata kita atas peristiwa keseharian dalam kehidupan, perjalanan individu sangat mudah dikerjakan.
Bedanya, hanya di tangan individu yang terampil, berpengalaman dan memiliki sense of art, hasil yang didapatkan berbeda-beda. Tantangan tentu saja bagaimana melahirkan kembali peristiwa, ingatan pribadi juga ingatan publik atas suatu masa dan waktu yang menjadi penanda zaman hadir kembali.
Merasakan visualisasi narasi cerita Samsara, yang menjadi in memoriam personal sosok penari Bali, menjelajah ingatan masa kecil, cerita mitologi kerajaan monyet, kisah cinta romantis dan tragedinya kehidupan manusia, konflik dan kekerasan berdarah hingga hal hal yang indah dalam kehidupan adalah bahan visualisasi yang berebutan hadir kembali di ingatan.
Setiap manusia, memiliki narasi, cerita hidupnya sendiri. Keterampilan membingkai dan menceritakan ulang dengan beragam media, menghadirkan dalam rekaman visual menjadi karya utuh akan selalu membuka interaksi bersama kala dihadirkan di ruang publik. Entah itu dalam layar sinema atau layar gadget kita masing-masing.
Kita setiap hari dibombardir banyak hal. Melalui mata ada pengalaman peristiwa yang datang entah itu keseharian. Tontonan juga apa saja lewat layar gadget dari dunia yang jauh dengan kehidupan keseharian diri. Menemukan jiwa, kesadaran dan nilai kehidupan universal jelas dibutuhkan, dengan harapan akan lahir individu dan masyarakat yang berkeadaban. Itu idealnya.
