Desi Dwi Prianti, dosen Departemen Komunikasi Universitas Brawijaya Malang, menulis artikel ilmiah berjudul “The Identity Politics of Masculinity as a Colonial Legacy“. Kalau saya terjemahkan bebas jadinya bunyi judul tersebut begini: Politik Identitas Maskulinitas sebagai Warisan Penjajahan. Melalui tulisannya ini, Desi menyimpulkan bahwa pemahaman orang Indonesia atas maskulinitas dan bagaimana menjadi seorang laki-laki, terutama bagi para lelaki urban, sangat dipengaruhi oleh penjajahan Belanda.
Sejak masa penjajahan dan masa-masa selanjutnya, karakter laki-laki yang berada di imajinasi kebanyakan orang Indonesia mengacu pada sebuah gambaran laki-laki Eropa yang ditampilkan oleh para penjajah. Laki-laki adalah seorang manusia yang sangat rasional, bertubuh kekar dan berotot, mandiri, dan individualis. Laki-laki adalah manusia yang tampil dan menguasai ruang publik. Sebaliknya, manusia yang percaya pada hal-hal gaib, tidak berotot, menjunjung kebersamaan dan kolektivitas, dan mengurusi urusan domestik dianggap tidak sempurna sebagai laki-laki. Padahal, menurut Desi, sifat-sifat yang terakhir ini biasa dipraktekkan oleh lelaki Indonesia sebelum era penjajahan. Sayangnya, selama penjajahan berlangsung, orang Indonesia ditempatkan pada posisi kelas sosial terendah, di bawah orang Eropa. Orang Indonesia dijadikan buruh bahkan budak, pembantu, pemuas hasrat seks, dan pekerjaan-pekerjaan yang berupa penindasan lainnya. Akibatnya, orang Indonesia, khususnya para laki-laki ningrat, berusaha keras mengadopsi karakter kelaki-lakian orang Eropa. Mulai dari cara berpakaian, bentuk badan, serta cara berpikir dan bersikap.
Strategi Belanda ini, yang membuat laki-laki Indonesia sungguh ingin meniru karakter laki-laki Eropa, sangat efektif dalam merawat penjajahan. Laki-laki Indonesia akhirnya banyak yang meninggalkan sifat-sifat kolektif yang difeminimkan atau diperempuankan oleh Belanda. Kalau mau jadi laki-laki beneran ya harus agresif, kompetitif, rasional, dan individualis. Tinggalkan rasa gotong royong. Kuasai harta, tahta, dan wanita. Begitu kira-kira yang disampaikan secara tersirat oleh Belanda kepada laki-laki Indonesia yang bermimpi untuk setara kedudukannya dengan laki-laki Eropa. Kekuatan kolektif masyarakat Indonesia akhirnya hancur lebur.
Untuk lebih memahami mengapa Belanda pada masa penjajahan memaksa masyarakat Indonesia mengubah pemahaman bagaimana menjadi laki-laki, kita perlu melihat apa yang terjadi di Eropa pada abad ke-15. Setelah pandemi Black Death melanda Eropa dan membunuh 30-40% warga Eropa, tenaga kerja pada masa itu menjadi sangat langka. Landlords (tuan tanah) kelimpungan karena bayaran petani penggarap menjadi sangat mahal dan harga sewa tempat tinggal di daerah urban turun drastis. Ini karena jumlah penduduk berkurang jauh. Di masa setelah musibah ini, kehidupan menjadi lebih enak sebenarnya untuk kelompok ekonomi bawah. Bahkan mereka semakin memperkencang perlawanan pada penguasa yang di masa-masa sebelumnya sudah dilakukan. Feodalisme benar-benar berada di ujung tanduk.
Salah satu cara yang dilakukan oleh para penguasa Eropa waktu itu agar keadaan menjadi “normal” dan “stabil” kembali adalah melegalkan pemerkosaan. Tujuan strategi ini yaitu untuk memecah kekuatan kelas bawah. Di masa itu, di kalangan masyarakat bawah, bisa dibilang tidak ada pembedaan peran perempuan dan laki-laki di ruang publik (termasuk sebagai pemimpin acara-acara keagamaan). Para penguasa melegalkan pemerkosaan agar para lelaki kelas bawah tergoda untuk menikmati bagaimana rasanya berkuasa secara seksual, yang selama ini hanya dinikmati oleh kalangan atas.
Pelegalan pemerkosaan ini juga berbarengan dengan usaha mendisiplinkan tubuh perempuan agar bisa digunakan secara maksimal untuk memproduksi anak. Di masa itu, pertumbuhan penduduk yang sangat pesat sangat diperlukan agar jumlah tenaga kerja juga semakin meningkat. Dalam konteks ini juga kita perlu menilai perburuan penyihir di Eropa yang menolak tubuh dan pikirannya digunakan untuk sarana reproduktif. Para penyihir perempuan ini, bagi kelas penguasa, harus dikembalikan fungsi tubuh dan pikirannya ke ranah domestik (bikin anak dan mengurus pekerjaan rumah).
Jadi, di Eropa periode ini, maskulinitas dan feminitas, bagaimana menjadi lelaki dan perempuan didefinisikan ulang secara sangat signifikan. Pembedaan ruang publik dan domestik dibuat lebih jelas dan kaku. Pembedaan sisi produktif dan reproduktif dibikin lebih terinstitusi atau terlembaga. Tujuannya jelas, agar masyarakat berjalan sesuai dengan kemauan penguasa, yaitu para lelaki rajin bekerja, perempuan mengurus rumah dan banyak melahirkan anak yang kemudian akan jadi tenaga kerja, sehingga pundi-pundi terus mengalir kencang ke kantong penguasa.
Nah, ternyata yang dilakukan oleh para penguasa Eropa abad ke-15 ini diterapkan juga oleh Belanda di Indonesia, seabad kemudian.