Masa kampanye yang sesuai jadwal memang masih belum ada. Tapi “rasa kampanye” politisi sudah sangat terasa dengan bungkus aneka kegiatan di akhir pekan. Bahkan bisa saja setiap kesempatan untuk bisa menjangkau lebih banyak individu di daerah pemilihan yang potensial dilakukan. Tentu saja, bungkusnya atau penampilan diri politisi tidak boleh secara vulgar berkampanye untuk dipilih, atau ajakan secara terbuka untuk dicoblos di kartu suara.
Memperhatikan dengan seksama tingkah polah politisi, utamanya dalam memanfaatkan media baru dalam berkomunikasi dengan masyarakat luas cukup menarik. Media baru yang hadir, berkat teknologi komunikasi terkini dengan beragam aplikasi yang ada memang memberikan kesempatan bagi politis untuk “membelah diri” hadir di banyak tempat sekaligus untuk menjangkau publik.
Dunia digital menghadirkan budaya baru dalam berkomunikasi dengan publik dan membutuhkan seperangkat ikon, kode, kultur yang baru. Politisi yang memilih media baru, misalnya aplikasi sosial media, tentu harus paham sejumlah hal teknis agar efektif dan terhubung baik dengan khalayak, publik atau masyarakat luas.
Secara sederhana, sejatinya pola komunikasi publik secara langsung masih efektif dan perlu. Melalui sosial media, efek pesan inti dari politisi yang mau tampil menggunakan media baru jelas berlipat-lipat efeknya. Nah, di era teknologi komunikasi inilah bungkus pesan politik perlu aneka kemasan yang lebih soft.
Ada beberapa keuntungan menjangkau publik dengan pilihan marketing politik secara digital.
Pertama, cepatnya informasi bisa dibagikan secara langsung, serta merta atau pilihan tunda dengan diolah atau ditambah editing visual terlebih dahulu.
Kedua, sebaran pesan sesuai platform media sosialnya berpengaruh sesuai target khalayak yang ingin dijangkau.
Ketiga, terjadwal dan terdokumentasi yang memudahkan evaluasi efektivitas pesan politik yang dibuat dalam narasi, foto, video atau gabungan keduanya bisa hadir di layar gadget atau HP kelompol khalayak yang jadi target komunikasi.
Urusan hadir di jagat digital ini sejatinya bisa memberikan impresi seberapa “serius” para politisi secara terbuka mau mengisi ruang publik digital.
Bahasa sederhananya ada rekam jejak digital yang memudahkan politisi, seseorang hadir di jagat digital.
Nah urusan hadir di jagat digital ini sejatinya bisa memberikan impresi seberapa “serius” para politisi secara terbuka mau mengisi ruang publik digital. Semua tentu paham, politisi adalah sosok yang memiliki sejumlah previlege, memiliki posisi sosial, menjadi magnet bagi khalayak.
Di dunia politik, ada yang memilih menjadi bintang lapangan dengan beragam wajah, beragam atribusi identitas yang melekat pada dirinya. Urusan “menjual pengaruh” ini membutuhkan seperangkat tips dan trik marketing. Pilihan tepat penggunaan sosial media untuk menjangkau lebih banyak orang penting disadari oleh para politisi, yang dalam kehidupan masa kini lekat dengan posisi jabatan publik di beragam level. Melalui marketing politik di jagat digital, kita semua, kini tengah disuguhi aneka kemasan pesan politik para politisi.
Salah satu media populer, platform yang jamak digunakan adalah YouTube, IG, TikTok, Facebook, Twitter hingga WA dan Telegram.
Tak begitu lama lagi, masa kampanye resmi dalam proses demokrasi elektoral digelar. Hari-hari ini, prosesnya oleh publik disorot dan dilipatgandakan efek pesannya.
Sebagai sesama pemilik gadget, pemilik telepon pintar, pemilik HP baik politisi maupun khalayak tentu harus “lebih cerdas” dan “lebih selektif” kala terhubung (connected) dengan jagat dunia digital. Berselancar di dunia digital dengan aneka konten orisinal, penuh hal baik sampai konten palsu sama-sama hadir serta-merta.
Sekali “klik” jagat digital membuka peluang pengguna untuk terpapar informasi valid hingga hoaks. Semua bergantung pada pemilik jari dan jempol khalayak digital, netizen yang serba maha benar.
Ada “republik medsos” yang memiliki kuasa dan hukumnya sendiri. Bingkai kecil yang bisa menghubungkan atau memutuskan keterikatan publik dengan panggung para politisi.
Jagat digital adalah hutan belantara informasi, yang bisa menguntungkan semua, kala terkelola dengan baik. Begitu juga sebaliknya, sangat merugikan saat semena-mena tanpa tanggung jawab terhubung via jagat digital. Ada hal remeh temeh sampai hal hal serius yang bisa jadi pilihan panggung digital politisi kita. Jadi bagian narasi pesan dan konten. Mana suka-lah.
Perayaan jagat digital, jadi panggung politik untuk sarana berkomunikasi dengan khalayak lebih luas tentu wilayah “terra incognita” yang tak terbatas luasnya. Meski harus diingatkan juga, jagat digital, hal-hal yang cepat viral ada ongkosnya. Ada reputasi, rekognisi dan rekam jejak digital yang mudah ditelusuri. Bijak dalam bermedia sosial, literasi digital sejatinya bagian cara pejabat publik “berdaulat dalam berpolitik” dan bertanggung jawab jaga kesehatan ekosistem digital, agar jadi bagian membangun peradaban dunia menjadi lebih baik. Ini harapan semuanya, kiranya.
