Akan tiba waktunya. Gunung-gunung meledak. Laut terbelah. Langit pecah. Bumi dan semesta sudah mencapai batasnya. Seluruh isi bumi, termasuk manusia-manusia celaka yang hidup sampai Hari Akhir, akan musnah.
Kapan hari itu datang? Tak ada yang tahu, kecuali Sang Ilahi.
Begitulah, secara umum, skenario akhir dari manusia menurut agama-agama dan kepercayaan-kepercayaan sebelum agama. Manusia adalah faktor utama. Kemusnahan manusia juga berarti kemusnahan alam semesta. Dari skenario semacam ini, sulit untuk sekadar memikirkan dua pertanyaan ini: Mungkinkah seluruh manusia binasa, sedangkan bumi masih terus berputar menjalani orbitnya, dan tata surya beroperasi seperti biasa? Mungkinkah kemusnahan manusia tak berarti apa-apa bagi bumi?
Bagi skenario Hari Akhir, itu tidak mungkin. Ada manusia yang menyaksikan kehancuran bumi. Artinya, sungguh mustahil manusia musnah sebelum Hari Akhir itu datang.
Manusia Musnah, Tapi Bangkit Lagi
Di Hari Akhir itu, seluruh manusia sirna, baik yang percaya ataupun tidak pada takdir di hari tersebut. Namun, ini bukanlah akhir dari manusia. Manusia akan bangkit lagi, untuk diminta pertanggungjawaban atas perbuatannya selama di bumi. Sehabis itu, tiap-tiap manusia akan menjalani konsekuensi perbuatannya masing-masing, seterusnya hingga waktu yang tak terhingga.
Tubuh manusia raib, tetapi jiwanya abadi selama-selamanya. Seperti kata Sapardi Djoko Damono, “Yang fana adalah waktu, kita abadi.”
Kepercayaan pada takdir alur cerita semacam ini mempunyai konsekuensi yang serius, yaitu betapa manusia tidak bisa hilang. Manusia abadi. Sekali lahir, manusia akan terus ada, sekalipun sudah berpisah dengan tubuhnya. Kematian dan kiamat hanyalah suatu fase belokan di ujung jalan yang mengubah cerita perjalanan manusia ke jalan yang lain.
Sia-Sia Menciptakan Manusia
Sekitar lima belas tahun yang lalu, di suatu kelas SMP yang suasananya ceria karena tidak ada guru yang masuk ke kelas, saya menoleh ke teman saya yang berceloteh sambil jari telunjuknya menunjuk-nunjuk binatang yang terlentang dan kakinya mencakar-cakar udara, “Meskipun sampai saat ini aku nggak tahu apa gunanya Kumbang Bego ini, tapi aku percaya semua yang diciptakan pasti ada tujuan dan manfaatnya. Semoga suatu hari nanti aku bisa memahami kenapa Kumbang Bego diciptakan, walaupun mereka selalu terlihat mati dengan cara bodoh.”
Sikap optimis memang dibutuhkan. Tanpa adanya rasa oprimis walau secuil saja, kita tak akan bisa beranjak dari tempat tidur lalu melakukan aktivitas yang terencana maupun tak terencana. Kita mampu melakukannya karena ada rasa optimis hari ini akan menjadi hari yang menyenangkan, atau minimal tidak seburuk yang diperkirakan. Namun demikian, rasa dan sikap optimis yang berlebihan bisa menyesatkan. Contohnya, rasa dan sikap optimis yang begitu besar sampai bisa yakin bahwa segala sesuatu yang ada di bumi, tata surya, Galaksi Bima Sakti, hingga seluruh alam semesta memiliki tujuan, seperti yang diyakini oleh teman SMP saya itu. Bagi seseorang yang super-optimis, sungguh pekerjaan sia-sia menciptakan 1023 (seratus miliar triliun) planet tapi hanya di planet bumi yang ada kehidupan. Seluruh benda ini tidak hadir hanya untuk menjadi sia-sia. Bagi para super-optimis, pasti ada kehidupan di antara ratusan-miliar-triliun planet-planet itu.
Namun, tunggu dulu, apakah terciptanya benda-benda yang dianggap hidup pasti bukan sesuatu yang sia-sia? Misalnya, benda hidup berkaki dua bernama manusia. Apa tujuan penciptaan manusia? Agama dan kepercayaan punya jawabannya masing-masing. Tetapi, teori evolusi yang diinisiasi oleh pemikiran Charles Darwin berkata lain. Munculnya spesies Homo sapiens lebih pas disebut sebagai “kecelakaan” daripada “penciptaan”. Manusia yang ada hari ini adalah hasil dari perubahan genetik yang prosesnya berlangsung selama jutaan tahun. Perubahan genetik ini tidak ada rambu-rambu perencanaannya. Ia bukan master plan ibu kota baru yang sudah mengatur secara ketat apa yang harus dilakukan oleh masing-masing aktor. Evolusi genetik berlangsung tanpa master plan. Faktor-faktor yang mempengaruhinya sangatlah acak. Sehingga, bisa jadi, jika 7 juta tahun yang lalu “kecelakaan genetik” yang terjadi pada nenek moyang manusia menghasilkan gen yang berbeda, maka tidak ada Homo sapiens hari ini.
Lalu, apakah ini adalah keberuntungan manusia? Apakah alam memang berpihak pada manusia sehingga Homo sapiens-lah yang muncul, bukan spesies lain? Pendapat manusia pasti berbeda-beda mengenai ini. Sebab, masing-masing manusia mempunyai kebahagiaan dan penderitaannya masing-masing. Tetapi, kita tidak bisa mengabaikan penjelasan Sigmund Freud tentang tragedi manusia: sejak manusia dipaksa lepas dari puting susu ibunya, sejak itulah ia menderita; ia tidak bisa lagi menggapai kepuasaannya yang sejati, tapi sudah harus mencari-mencari kepuasan lain, yang tidak akan pernah memuaskannya, meskipun ia akan selalu berpura-pura mendapatkan kepuasan itu.
Jika kemunculan manusia adalah sebuah “kecelakaan acak”, dan tidak ada tujuan mulia apapun dari kehadiran spesies Homo sapiens di muka bumi, mengapa takdir bumi dan seluruh semesta ini harus bergantung pada manusia? Apabila manusia suatu saat musnah, sungguh kemungkinannya sangat terbuka bagi bumi dan semesta untuk terus beroperasi seperti biasa.
Jika kemunculan manusia adalah sebuah “kecelakaan acak”, dan tidak ada tujuan mulia apapun dari kehadiran spesies Homo sapiens di muka bumi, mengapa takdir bumi dan seluruh semesta ini harus bergantung pada manusia?”
Kita membenci kesia-siaan. Bagi kita, kesia-siaan itu irasional. Jika alam dengan segala energi magisnya telah ditakdirkan menghadirkan manusia, sungguh adalah kesia-siaan yang akbar apabila pada akhirnya manusia mesti lenyap dan tak bangkit lagi. Kalau pada akhirnya mesti lenyap permanen, mending tak usah memunculkan manusia sekalian. Manusia harus bangkit lagi, biar segalanya tetap masuk akal. Namun, sial bagi manusia, alam semesta tak peduli dengan konsep kesia-siaan dan rasionalitas semacam itu.
Langit Sunyi Sekali
Trauma itu perlu. Trauma mengindikasikan ada kemajuan dalam kesadaran kita. Entah sependapat dengan ini atau tidak, Thomas Moynihan membuka isi bukunya yang berjudul X-Risk: How Humanity Discover Its Own Extinction dengan cerita tentang trauma.
Pada tahun 1950, di suatu acara makan siang di Los Alamos Ranch School, New Mexico, Amerika Serikat, para fisikawan nuklir bercanda tentang kartun yang sedang tayang di New Yorker. Kartun itu menggambarkan para alien sedang mengangkut tong-tong sampah ke pesawat bundar mereka. New Yorker sejatinya sedang memberikan respon yang bernada guyon pada situasi saat itu, yakni hilangnya banyak tong sampah di kota New York yang tak kunjung ditemukan siapa pencurinya.
Suasana canda-gurau di Los Alamos kemudian menjadi serius ketika Enrico Fermi mengajukan pertanyaan, ‘Where, then, is everybody?’. Lalu di mana makhluk-makhluk itu?
Di tengah begitu bejibunnya faktor-faktor yang membuat kita bisa berekspektasi ada kehidupan lain selain di bumi, mengapa sampai saat ini tidak ada bukti apapun kehidupan di luar sana? Dengan semakin banyak ditemukannya planet-planet lain, galaksi-galaksi lain, dan fakta bahwa semesta ini begitu luasnya, mengapa tak ada respon apapun dari luas sana? Tidak ada tanda-tanda kehidupan, bahkan satu sinyal radiopun tak ada. Fakta bahwa bumi adalah planet yang relatif muda jika dibandingkan dengan planet-planet di galaksi lain yang sudah ada di awal-awal kemunculan semesta, seharusnya sudah ada peradaban yang begitu tua dan canggih, sehingga bisa melakukan perjalanan dan komunikasi lintas-galaksi dan sinyalnya mencapai bumi. Tetapi ini tidak. Langit sunyi sekali. Ketika astronot keluar dari atmosfer, yang ditemui adalah keheningan yang mencekam. Teleskop raksasa lintas benua juga tidak menangkap tanda-tanda kehidupan apapun. Ini adalah kenyataan yang bikin tidak nyaman. Ini merusak optimisme dan gairah usaha pencarian kehidupan di luar sana. Ini adalah dorongan yang kuat bagi kita untuk menerima bahwa “kecelakaan” yang memunculkan adanya kehidupan hanya terjadi di bumi ini. Bisa jadi kita dan seluruh makhluk hidup di bumi memang sendirian di alam semesta ini. Yang ada di luar sana hanyalah benda-benda inorganik. Ini bikin trauma. Inilah Fermi Paradox.
Paradoks Fermi mendorong kita untuk bisa menerima kemungkinan kenyataan bahwa kehidupan bukan sesuatu yang universal di alam semesta. Ia langka dan hanya terjadi di bumi. Oleh sebab itu, asumsi-asumsi yang didasarkan pada kepentingan makhluk hidup organik (salah satunya, manusia) tidak bisa dijadikan dasar untuk menentukan takdir bumi, apalagi semesta. Walaupun seluruh manusia yakin bahwa takdir bumi bergantung pada manusia, sehingga ketika seluruh manusia musnah di Hari Akhir maka bumi juga seharusnya hancur, karena sungguh tidak masuk akal bagi manusia jika bumi terus berputar seperti biasa padahal manusia telah tiada, tetapi bagi bumi itu semua tidak penting. Bodoh amat dengan perasaan dan keyakinan manusia. Bumi yang inorganik ini akan tetap baik-baik saja meski seluruh manusia tumpas.
Dimulai Sejak Renaissance
Manusia mulai sadar bahwa hukum yang beroperasi di bumi, tata surya, hingga semesta tidak dipengaruhi oleh standar-standar etika yang diyakini oleh manusia, sehingga kepunahan manusia secara total tanpa ada kemungkinan bangkit lagi sangatlah mungkin terjadi tanpa ada kerusakan berarti pada bumi, sebetulnya relatif baru. Itu baru muncul di abad pencerahan, sekitar abad ke-17 hingga ke-18 Masehi. Salah satu tokohnya, Immanuel Kant, di abad ke-18 Masehi mengkritik asumsi di zaman sebelumnya yang menyatakan bahwa hukum-hukum alam sejalan dengan nilai-nilai yang dipegang oleh manusia. Misalnya, manusia percaya bahwa alam adalah suatu sistem yang stabil dan tidak ada satupun yang muncul tidak mempunyai tujuan dan kegunaan. Apabila ada yang musnah di suatu tempat, maka akan muncul di tempat yang lain. Lalu muncullah ide reinkarnasi. Lalu bertebaranlah ide kebangkitan kembali. Juga muncullah narasi planet yang lahir kembali di galaksi lain. Menurut Kant, kita perlu memisahkan secara ketat antara nilai dengan fakta. Sebelum kita berhasil memisahkan keduanya, tidak akan terbayangkan kepunahan manusia secara permanen karena kita akan terus meyakini bahwa manusia adalah benda organik yang paling penting di semesta ini.
Tokoh-tokoh Renaissance sebetulnya juga tidak langsung insaf dari doktrin-doktrin lama. Mereka juga berproses. Pendapat-pendapat di masa muda mereka masih naif. Misalnya, di tahun 1755, Immanuel Kant yang masih muda dan kadar kekritisannya belum pekat, mempercayai bahwa peristiwa kehancuran-kelahiran adalah sebuah siklus yang terus belanjut dan tak berhingga. Ia menyebut alam seperti seekor burung Phoenix yang mati terbakar tapi kemudian terlahir kembali dari abu. Apapun yang hancur, mulai dari manusia, bumi, sampai planet-planet di luar sana, pada akhirnya akan terlahir kembali di ruang dan waktu lain. Kant bisa berpendapat seperti ini karena di periode tersebut ia masih dipengaruhi oleh keyakinan bahwa nilai tidak bisa hancur. Dan alam serta isinya bernilai. Ia tidak bisa, atau tepatnya tidak boleh, musnah untuk selama-lamanya.
Menurut Kant, kita perlu memisahkan secara ketat antara nilai dengan fakta. Sebelum kita berhasil memisahkan keduanya, tidak akan terbayangkan kepunahan manusia secara permanen karena kita akan terus meyakini bahwa manusia adalah benda organik yang paling penting di semesta ini.”
Begitu juga Galileo Galilei. Walaupun pemikirannya begitu maju dengan menjadi pendukung Heliosentrisme (matahari sebagai pusat, bukan bumi) yang paling dahsyat, ia juga pernah mencampuradukkan antara ketidakadilan moral ala manusia dengan ketidakmungkinan hukum alam. Di tahun 1632, ia membayangkan suatu planet yang mati total. Ia menerka-nerka kemungkinan tidak ada lagi satupun kehidupan di bumi. Semua kehidupan yang ada telah dimusnahkan oleh bencana yang hebat. Namun, ia kemudian terganggu dengan kemungkinan yang ia bayangkan tersebut. Ia berkesimpulan bahwa kematian total suatu planet semacam itu tidak mungkin diizinkan oleh alam. Dalam hal ini, ia ingin hukum alam bertindak seturut nilai-nilai manusia yang mencintai dan menjunjung tinggi kehidupan.
Pendapat kita saat ini mungkin masih seperti pendapat Kant dan Galileo sewaktu muda. Tapi, tentu kita juga bisa insaf seperti mereka.
Kepunahan vs. Kiamat
Seringkali orang menyamakan kedua konsep ini. Kiamat sama dengan kepunahan dan kepunahan manusia terjadi saat kiamat. Thomas Moynihan tidak setuju dengan hal ini. Baginya, kedua konsep ini tidak hanya berbeda, tetapi juga tidak kompatibel dan kontradiktif. Ia menulis, “In short, where apocalypse secure the sense of ending, extinction anticipates the ending of sense.” Menurut Thomas, kiamat itu tentang kepercayaan pada adanya titik akhir, sedangkan kepunahan manusia berbicara tentang kemungkinan berakhirnya manusia, baik fisiknya maupun kesadarannya.
Mengapa kedua konsep ini sering dianggap sama? Sebab, konsep kepunahan manusia sering dianggap sebagai kelanjutan atau penjelasan lebih baru, lebih saintifik, dan lebih sekuler dari konsep kiamat. Manusia kuno di awal sejarah sudah punya bayangan tentang kiamat. Manusia modern sejak masa pencerahan hanyalah melanjutkannya dengan cara yang lebih logis. Narasi sejarah yang seperti inilah yang menyebabkan dua konsep ini menjadi tercampur-aduk. Ditambah dengan kelakuan saintis yang menyamakan makna ‘extinction‘ dengan ‘doomsday‘.
Ketika kita menganggap konsep kepunahan hanyalah narasi yang lebih modern dari kiamat, maka penemuan-penemuan saintifik dan pencapaian-pencapaian epistemologis hanyalah sebagai justifikasi terhadap nilai-nilai yang sudah kita percaya. Seruan dari para tokoh Renaissance untuk memisahkan secara radikal antara fakta dan etika hanya akan menjadi angin lalu yang tak kita gubris.
Mengapa kita lebih menyukai konsep kiamat? Dugaan saya, karena lebih menenangkan secara psikologis. Saat kiamat terjadi, memang semua benda akan musnah: manusia, hewan, tanaman, desa, kota, negara, benua, gunung, laut, dst. Kiamat adalah titik akhir dari seluruh cerita perjalanan benda organik dan anorganik. Kiamat memusnahkan seluruh tubuh manusia. Namun, manusia tidak perlu khawatir. Seperti yang sudah saya singgung di awal tulisan ini, manusia akan bangkit lagi. Yang bangkit ini tentu bukanlah wujud manusia yang ada sekarang. Tetapi manusia secara konsepsi. Seluruh nilai, norma, dan etika yang terbentuk selama perjalanan hidup manusia di bumi tidak akan hilang akibat kiamat. Sebab, seluruh nilai-nilai tersebut akan dipertanggungjawabkan. Dan tidak hanya orang-orang yang dianggap berbuat ‘baik’ selama di bumi yang senang dan tenang karena segala usahanya, pengorbanannya, dan pengabdiannya akan dikompensasi di era setelah Hari Akhir dengan nikmat surga, tetapi juga orang-orang yang berbuat ‘jahat’. Orang-orang ‘jahat’ ini juga akan mendapatkan respon di masa pasca-kiamat, berupa siksaan atas segala dosa-dosanya. Walaupun secara normal ini bukan kabar baik, tetapi rasa percaya bahwa ada yang memperhatikan aksi-aksi kejahatanmu sungguh menyenangkan secara psikologis. Kejahatanmu ada yang notice. Bukankah sangat tidak menyenangkan ketika kau sudah bersusah payah berbuat jahat tetapi tidak ada yang peduli dengan aksi jahatmu?
“The sense of ending” dengan demikian hanyalah akhir bagi tubuh, tetapi bukan akhir bagi hasrat.
Sebaliknya, konsep kepunahan manusia benar-benar menganggap serius ancaman the ending of sense. Artinya, tidak hanya tubuh manusia yang musnah, tetapi juga segala nilai dan etika yang dikreasi oleh manusia sepanjang sejarahnya akan ikutan lenyap. Jika engkau adalah seorang manusia yang telah musnah, seluruh perbuatanmu, mulai dari perbuatan yang paling ‘baik’ sampai dengan perbuatan yang paling ‘buruk’ tidak ada artinya. Karena, yang bisa bilang itu perbuatan ‘baik’ atau ‘buruk’ adalah manusia. Sementara manusianya sudah musnah. Tikus tidak akan bilang perbuatan korupsimu yang dulu kerap kau lakukan sebagai perbuatan buruk. Gunung tidak akan mengecammu sebagai manusia yang buruk karena kau dulu sering meninggalkan ibadah wajibmu. Bumi tidak peduli dan tidak terpengaruh dengan hati baikmu semasa hidup. Tak akan ada lagi perdebatan agama mana yang paling benar. Klaim gagah bahwa ‘semua agama salah’ juga sudah tidak ada artinya. Bahkan, pernyataan “Tuhan tidak ada” pun sudah tidak memungkinkan lagi, karena spesies yang berdebat soal Tuhan sudah musnah. Cinta dan kedengkian ala manusia tidak abadi. Keberlangsungannya bergantung pada eksistensi tubuh manusia.
Sampai di sini jelas, kepunahan lebih menakutkan daripada kiamat. Setelah kiamat, masih ada harapan. Sementara setelah kepunahan, keputusasaan pun tidak ada.
Tidak Ada Kepunahan Hari Ini
Krisis iklim kini sudah menjadi perhatian sebagian besar orang. Dampaknya sudah mulai sangat terasa: cuaca ekstrem di berbagai belahan dunia. Berbagai langkah sudah dilakukan, baik yang di level individu sampai dengan level negara. Mulai dari yang memang benar-benar menyasar sumber masalah, sampai dengan aksi-aksi simbolis yang hanya mendamaikan kegelisahan hati. Apapun itu, setidaknya sudah mulai ada kesadaran bahwa manusia bisa punah tanpa harus terjadi kiamat. Karena, jika patokannya adalah konsep kiamat, usaha-usaha mengatasi krisis iklim menjadi tidak berarti. Mending diam saja. Toh, manusia akan terus hidup sampai takdir Hari Akhir itu datang.
Kesadaran pada adanya ancaman kepunahan manusia yang dimulai sejak masa Renaissance adalah pencapaian yang tak ternilai. Bisa jadi manusia adalah satu-satunya spesies yang sudah menyadari bahwa dirinya bisa punah. Oleh sebab itu, tujuan kolektif manusia yang paling ‘mulia’ adalah mencegah spesiesnya punah, karena dengan itulah seluruh moralitas ala manusia tidak hilang. Segala usaha mesti dilakukan agar tidak terjadi the ending of sense. Tubuh manusia boleh berubah dan termodifikasi, tetapi kemampuannya untuk mempertahankan nilai-nilai ala manusia harus tetap eksis.
Usaha mencegah kepunahan manusia harus diperjuangkan hingga ke titik ekstrem sekalipun. Meskipun harus berhadapan dengan sesuatu yang kita sebut sebagai ‘alam’. Asumsi yang menyatakan bahwa alam itu suci, harmonis, alam tidak pernah salah, yang salah itu manusia, perlu diperiksa kembali. Apa salah dinosaurus? Mereka tidak mentransformasi ‘alam’ secara masif seperti yang dilakukan manusia hari ini. Tetapi toh ‘alam’ berlaku tidak adil bagi mereka. Mereka punah.
Kutipan manifesto Xenofeminisme ini menggambarkannya dengan baik: “if nature is unjust, change nature!“ Implikasinya praktisnya, jika Homo sapiens tidak bisa terus eksis dengan iklim yang seperti saat ini, maka climate change bukan sesuatu yang harus dicegah, tapi justru peristiwa yang perlu dipercepat prosesnya.
Kepunahan manusia tidak boleh terjadi. Tidak boleh ada kepunahan hari ini, esok, lusa, selamanya. Kepunahan manusia itu amoral.
