Aku sedang berdiri di MRT yang berangkat dari stasiun Changi Airport menuju ke stasiun Tanah Merah, di Singapura. Cukup lama aku memandangi deretan bangunan tinggi perkantoran dan permukiman, yang di dalam dunia arsitektur disebut sebagai amplop. Kemudian mataku tertuju pada sebuah kata di salah satu satu sudut tembok MRT ini. Sebuah kata petunjuk. Kata itu ditulis dalam 4 bahasa: Inggris, Melayu, Mandarin, dan Tamil (Emergency, Kecemasan, 紧急, நெருக்கடி நிலை). Pemilihan kata “kecemasan” menarik perhatianku. Bagiku, pemilihan kata ini sebagai padanan Emergency lebih pas daripada kata “darurat” yang dipakai oleh orang Indonesia. Keesokan harinya, ketika aku sudah sampai di Kuala Lumpur, aku mendapati hal yang sama di ruang-ruang publik. Emergency = kecemasan.
Dalam keadaan emergency, ada suatu kondisi mental yang dialami sebuah subjek, yaitu rasa cemas. Ini terjadi pada individu, keluarga, maupun organisasi. Rasa cemas tidak menyenangkan. Ketika kita mengalaminya, ingin sekali kita menyudahinya. Keputusan mesti diambil cepat, bahkan meski itu adalah tindakan yang ekstrem. Seorang laki-laki bisa sampai memukul pacarnya saat sang pacar bilang ingin memutus hubungan. Dalam kondisi non-emergency, laki-laki ini mungkin juga tahu bahwa memukul pacar justru akan membuatnya pergi, alih-alih bertahan. Tapi, ini adalah emergency bagi si laki-laki. Ia ingin cepat terlepas dari rasa cemas. Ia pikir, memukul pacarnya akan membuat si pacar nurut dan tidak jadi putus.
Keluarga akan mengalami keadaan emergency pada saat sumber utama penghasilan lenyap. Misalnya, tanpa sama sekali ia duga sebelumnya, seorang suami yang menjadi tempat bergantung bagi istri dan anak-anaknya, tiba-tiba tidak diperpanjang kontrak kerjanya di instansi pemerintah, karena program efisiensi. Sementara mencari pekerjaan baru juga tidak mudah. Ia mesti memaksa kualitas kehidupan keluarganya menurun, seperti pindah ke kontrakan yang lebih murah, tidak membeli makanan yang cukup mewah (padahal sebelumnya pun jarang), dan bahkan mengurangi uang saku anaknya. Kecemasan dalam situasi emergency memang tidak hanya berbuah pada keputusan yang buruk (seperti laki-laki yang menampar pacarnya), tapi juga bisa membuat orang mengambil tindakan yang masuk akal.
Dalam konteks organisasi, kita bisa mengambil contoh negara Indonesia di tahun 2020. Waktu itu hari Senin, tanggal 2 Maret 2020. Negara resmi mengumumkan kasus pertama Covid-19 di Indonesia. Setelah sebelumnya beberapa pejabat yakin Covid-19 tidak akan masuk ke Indonesia, sambil melontarkan lelucon yang tidak lucu, akhirnya pada bulan April 2020, Indonesia menerapkan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB), sebuah pembatasan aktivitas masyarakat yang di negara lain disebut dengan lockdown.
Lockdown adalah sebuah keputusan untuk mengatasi rasa cemas. Lelucon pejabat di tahun 2019 tentang Covid-19 semakin terasa tidak lucu di tahun 2021, bahkan menjijikkan, saat kasus kematian akibat Covid-19 meningkat sangat tajam hingga totalnya mencapai 142.026 orang di tanggal 1 Oktober 2021. Lockdown adalah rem. Situasi normal ditangguhkan. Ada yang menyebutnya New Normal, ada juga yang memberi istilah Protokol Kesehatan. Setelah kecemasan hilang karena kasus kematian akibat Covid-19 tak lagi ada, aktivitas sosial dikembalikan seperti sedia kala.
Pada tanggal 26 Maret 2020, aku menulis artikel berjudul “Covid-19: Akhirnya Kita Terbangun dari Ilusi”. Di artikel ini, aku menggambarkan terjadinya perubahan batas antara ruang privat dan ruang publik. Sebelum Covid-19, keputusan dalam sebuah keluarga adalah urusan privat. Pemerintah dan masyarakat tidak boleh ikut campur. Begitu juga perpindahan orang di dalam negara ini. Terserah orang mau ke mana. Tapi, pada masa Covid-19, aturan ini berubah. Orang-orang marah kenapa ada keluarga di Sulawesi Tenggara membawa pulang jenazah PDP (pasien dalam pemantauan) Covid-19, membuka plastik pembungkus jenazah, memandikannya, lalu menguburkannya secara biasa. Banyak orang juga marah, kok bisa di tengah situasi darurat nasional, ribuan perantau Wonogori malah mudik dari Jakarta ke kampung halaman. Waktu itu, kita tiba-tiba menjadi peduli pada kesehatan orang lain. Ini karena kita sadar, saat orang-orang di sekitar kita terinfeksi Covid-19, kita juga terancam. Kita menjadi begitu cemas.
Menggunakan kata “darurat” untuk menyebut situasi emergency bukan berarti keliru. Hanya saja, menurutku, kurang pas. Kata “darurat” tidak cukup menggambarkan kondisi mental dari seseorang, keluarga, masyarakat, atau negara yang mengalami emergency. Kata “kecemasan” lebih menggambarkan kebutuhan mendesak untuk kembali ke situasi normal (status quo). Yang dibutuhkan orang cemas tepat seperti yang tertulis di dinding kaca bus di Singapura: pintu kecemasan (emergency exit). Sebuah pintu yang meloloskan orang dari rasa cemas.
Jika dilihat dari kacamata kecemasan, dengungan New Normal selama Covid-19 di Indonesia sebetulnya bukanlah semangat untuk memperbaiki tata kelola sosial, infrastruktur kesehatan, dan perbaikan sensor kota terhadap persebaran virus. Itu lebih terasa sebagai ajakan kepada semua orang untuk sama-sama ikut berpartisipasi menahan kebiasaan-kebiasaan lama, mematuhi protokol kesehatan, memprioritaskan anggaran goverment untuk penanganan pandemi Covid-19, agar virus ini bisa cepat terkontrol penyebarannya. Sehabis itu, apa? Kota-kota hidup lagi seperti biasa. Hari ini, sudah sulit untuk melihat aksi-aksi yang dilakukan atas dasar mengambil pelajaran-pelajaran berharga selama pandemi Covid-19 menerpa kita. Ke mana perginya New Normal?
Emergence
Jika pandemi semacam Covid-19 datang lagi, akankah kita bisa menghadapinya dengan lebih baik dan secara signifikan meminimalisir jumlah kematian atau tetap sama buruknya? Aku pesimis pada yang pertama. Karena, dari kacamata tata kelola (governance), kita baru sampai pada tahap mempersiapkan respon pada emergency (penanggulangan bencana), tetapi belum pada aksi memperbaiki tata kelola yang berangkat dari hasil belajar pada pengalaman traumatis seperti pandemi Covid-19.
Nuansa New Normal di Indonesia juga baru sampai tahap penanganan emergency. New Normal hanya diartikan sebagai sebuah tindakan masing-masing individu di dalam masyarakat agar tidak terjangkit Covid-19, dengan cara melakukan 5M (mencuci tangan, menggunakan masker, menjaga jarak, menjauhi kerumunan, dan mengurangi mobilitas). Tak heran ketika pandemi usai, 5M bukan lagi sesuatu yang jamak dilakukan oleh orang-orang. Sebab fungsinya memang hanya untuk emergency.
Makna dari frasa New Normal berbeda di Moskow, Rusia, khususnya di Strelka Institue for Media, Architecture and Design. Salah satu direktur programnya, Benjamin Bratton, menulis artikel berjudul 18 Lessons of Quarantine Urbanism. Ia menjelaskan secara singkat 18 hal yang bisa menjadi pelajaran dari pengalaman menghadapi pandemi Covid-19. Inilah suatu Emergence dari pandemi Covid-19 versi Bratton.
Aku tidak akan menguraikan seluruh poin yang ditulis Bratton di sini. Aku hanya akan mengulas 1 poin saja sebagai gambaran.
Bratton berpendapat, Covid-19 mendedah secara benderang sebuah fakta tentang kota dan otomatisasi. Pada saat banyak restoran dan tempat belanja tutup, kantor tutup, dan jalanan sepi, hidup masih tetap berjalan. Banyak orang yang mesti mengurung diri di rumah akhirnya harus bergantung pada jasa pemesanan makanan. Perusahaan aplikasi dan para kurir adalah aktor penting yang membuat kota tetap hidup pada saat goverment tidak bisa. Otomatisasi pemesanan makanan semacam ini tidak membutuhkan perdebatan dulu untuk membuat suatu kebijakan. Seluruh operasinya sudah otomatis. Menurut Bratton, sistem otomatisasi seperti ini bukanlah sistem rentan yang bergantung pada kota yang kokoh, seperti banyak dikira oleh orang-orang. Malah sebaliknya. Ketahanan kota sungguh sangat bergantung pada kualitas otomatisasi di berbagai aspek layanannya. Contohnya, layanan persediaan air bersih. Sistem distribusi air bersih dari instalasi pengolahan air ke para pengguna penuh dengan otomatisasi keputusan. Tidak perlu lagi para pihak yang punya wewenang dalam urusan layanan air bersih untuk berdebat setiap hari ke mana air harus mengalir.
Setelah 4 tahun pascapandemi Covid-19, apakah tata kelola kehidupan kita pada sektor esensial di Indonesia ini mengarah pada otomatisasi? Belakangan AI (artificial intelligence) semakin populer. Tetapi untuk layanan esensial, AI hanya berakhir menjadi mbak-mbak chatbot. Jika terus begini, kita akan terus berada pada ancaman emergency. Selamanya terancam cemas.
