Menyoal tren yang cukup ramai belakangan, banyak orang yang merasa bijaksana lagi terbuka dengan pandangannya mengenai kebebasan, bebas berpendapat, bebas berkarir, bebas menentukan. Saya sih bukan mau menyalahkan atau menghalang-halangi kehendak orang sebagai bagian dari apa yang disebut manusia bebas itu, cuma sepertinya ada yang perlu kita perdebatkan perihal arti kebebasan bagi mereka yang mengklaim diri sebagai libertarian.
Apa yang saya mau coba bicarakan adalah pandangan soal otoritas tiap individu dikatakan sebagai dorongan murni dari dirinya, atas dirinya dan untuk dirinya, atau kata lainnya kehendak bebas, lah. Sehingga, pemenuhan atas dorongan tersebut adalah sah, dan bukan hanya sah, tetapi juga jalan paling sejati sebagai manusia. Pandangan ini menempatkan tanggung jawab dan hak dari pilihan bebas individu sudah selesai pada dirinya sendiri, sehingga tidaklah ada dan tidaklah boleh ada otoritas juga konsekuensi dari luar tubuh mengintervensi kehendaknya itu. Tidak ada dan tidak boleh ada itu urusannya agak beda, kita mungkin lebih membicarakan anggapan pertama bahwa tidak ada otoritas di luar individu yang mengambil alih sebagian atau keseluruhan dari kehendaknya.
[mks_pullquote align=”right” width=”350″ size=”25″ bg_color=”#ffffff” txt_color=”#1e73be”]”Otoritas jangan cuma dianggap sebagai instruksi atau larangan yang langsung, tertulis, terujar dengan jelas, melampaui itu, otoritas bisa jadi adalah sesuatu yang diam-diam dan tak terlihat sudah membentuk pikiran dan kesadaran kita, yang dari pikiran dan kesadaran itu kita mengambil pilihan-pilihan tertentu seolah-olah itu adalah kehendak bebas”[/mks_pullquote]
Pandangan yang demikian bagi saya naif saja, seolah manusia hanya berputar-putar dalam dirinya sendiri, dan sudah menjadi manusia tanpa ada rantai-rantai yang mengikat dirinya dengan keberadaan di luarnya. Otoritas jangan cuma dianggap sebagai instruksi atau larangan yang langsung, tertulis, terujar dengan jelas, melampaui itu, otoritas bisa jadi adalah sesuatu yang diam-diam dan tak terlihat sudah membentuk pikiran dan kesadaran kita, yang dari pikiran dan kesadaran itu kita mengambil pilihan-pilihan tertentu seolah-olah itu adalah kehendak bebas. Bukan tanpa sengaja otoritas bisa mengintervensi individu. Bukan tanpa sengaja artinya ada tujuannya? Ya iyalah. Bahwa yang demikian itu adalah sistem dan terstruktur? Sudah tentu begitu upaya mencapai tujuan tadi.
Ini yang kalau kulihat-lihat menyebabkan kritisisme berhenti pada klarifikasi dari orang-orang yang dianggap menggunakan pilihan bebasnya. Cukup dengan interview guna memastikan apakah seseorang mengambil satu pilihan atas dirinya benar-benar dari dirinya sendiri? Kalau tidak, aktiflah itu mode libertarian die hard cuap-cuap soal kebebasan. Tapi kalau iya, “oh, oke, good job, lanjutkan terus! Itu pilhanmu kok” lalu pergi meninggalkan situasi itu tanpa berpikir masalah apa yang ada di baliknya. Akhirnya semua masalah akan dikembalikan ke urusan individu lantaran tak tau akan adanya sistem yang mengelola situasi tadi, ini yang disebut sebagai kebutaan ontologis, bahwa ketidaktahuan akan keberadaan sistem itu, akan membawa kita pergi dari masalah inti, kemudian kembali kepada individu untuk meletakkan penilaian.
Ambil contoh kasus prostitusi. Bagi orang yang menggebu-gebu mengedepankan kehendak bebas, ia tak akan melihat masalah ketika perempuan atas kehendaknya sendiri berkenan melacurkan tubuhnya. Yang penting atas dasar kemauan sendiri. Kritiknya apa? Ya sudah jelas, prostitusi itu berangkat dari sistem yang membentuk ketimpangan kelas sosial dan gender, itu yang mendorong sebagian dari golongan terdampak untuk mengambil pilihan itu, meskipun golongan tersebut tidak punya kesadaran akan dorongan tersebut, sehingga bagi mereka, ya ini pilihan bebas. Bagi yang sadar dan punya pandangan akan hal ini, tidak jarang dianggap malah merendahkan individu si pelacur, atau menyalahkan individunya. Ini anggapan yang keliru.
Kasus lain lagi. Di kampung saya banyak orang yang masih beranggapan kalau mau sukses, katakanlah menjadi pegawai perusahaan atau jadi PNS, maka harus sekolah sampai sarjana. Ya memang, tindakannya dia ambil sendiri, tapi apa tidak naif kita menganggap itu dorongan murni? Apa iya memang fitrah-nya manusia itu bekerja? Lagi-lagi bukan merendahkan individu, tapi ya karena kurikulum sebagai suatu sistem yang bekerja dengan tujuan demikian. Lapangan perkerjaan meletakkan standard rekrutmen berdasarkan tingkat pendidikan untuk memenuhi kebutuhan sumber daya manusia mereka. Sementara itu, dikonstruk suatu situasi dimana manusia hanya bisa hidup atau diakui kemanusiaanya ketika dia bekerja. Tercipta rantai sistem yang bisa menggiring banyak individu ke dalam situasi itu, apa yang bisa menjalankan itu kalau bukan dikatakan otoritas?
Belum lagi kalau berbicara perihal privilese, dianggap bahwa semua orang atau institusi yang punya pencapaian besar itu atas dasar dorongan murni. Tidak, penjalasannya sama, sistem. Bagi orang yang punya keistimewaan ini, tindakan bisa saja muncul dari dorongan keluarga, kemampuan bisa berhubungan dengan kekuatan silsilahnya. Ini bukan menyalahkan takdir, tapi ya kondisi ini nyata. Bagi industri, kemenangan di pasar bebas sudah ditentukan sejak awal, dari besaran modal, kepemilikan infrastruktur dan alat produksi. Jadi omong kosong lah itu kalau istilah pasar bebas, kompetisi bebas itu menempatkan semua pihak dalam potensi yang sama.
Intinya adalah apapun yang menjadi kecenderungan gerak tubuh kita, adalah memang kita yang mengatur. Apapun pilihan yang dihadapkan pada kita, ya kita lah yang mengambil sikap. Tetapi, apa yang menjadi esensi manusia di belakangnya? Istilah kehendak bebas itu tak lantas menjadi klaim bahwa manusia bebas secara esensi. Sebab nyatanya kecenderungan kita boleh jadi berasal dari dorongan status quo atau beban tradisi, atau ada skenario lain dari luar yang meletakkan esensi pada diri kita sehingga sebagaimana contoh kasus, seolah-olah kehendak bebas kita adalah diri kita yang sejati. Kalau memang itu sebuah keniscayaan, saya tak akan menyangkal. Tapi ketika, kebebasan hanya dimaknai kehendak atau pilihan, saya rasa cukup aman untuk bilang ini omong kosong.