*Setelah tulisan, lahirlah peradaban film*
Ini bukanlah sekedar hal yang rutin, tapi bentuk ekspresi semangat kebersamaan, produktif di kala situasi sulit menggelayut dalam keseharian.
Jogja NETPACK Asian Film Festifal bagi saya pribadi, sangat menggembirakan mengikuti aneka venue dan aktifitas di dalamnya.
Cinema, kine forum ini sekarang hadir lagi di tengah masa pandemi Covid-19 masih membuat banyak orang khawatir. Lebih banyak #dirumahsaja #jagakarak #pakaimasker adalah hal bijak yang sering disuarakan.
Urusan menonton film, berada di gedung bioskop, di ruang gelap itu, tentu ada kondisi yang mewajibkan kita patuh standar protokol kesehatan.
Saat menonton film itu membuat kita terisolasi atau secara sukarela mengisolasi diri di ruang gelap. Di bioskop, perlu dibatasi, agar tidak menjadi super spreader penyebar wabah penyakit.
Bersyukurlah, tahun ini JAFF juga menyediakan kanal digital untuk penonton, agar bisa akses film seni, film pendek dan film kompetisi yang telah dilakukan kurasi oleh juri.
Tahun lalu, JAFF hadir dengan tema disrupsi, merespon aktivitas digital, zaman serba digital dan sikap manusia atas situasi tersebut. Tahun ini, agaknya JAFF hendak mengingatkan hal dasar dari sinema, KINETIK.
Sebelum jauh membahas sejumlah aktivitas, film apa saja yang pantas jadi terbaik pilihan juri, pilihan komunitas, ada baiknya menengok balik sejarah perjalanan gelaran festifal film yang sudah berlangsung 15 tahun ini.
JAFF pertama kali hadir, di Yogyakarta, setelah ada bencana gempa besar pada 2006. Mengingat masa konsolidasi kepanitiaan penyelenggaraan festival pada tahun itu, rasanya sulit merealisasikan hal sepele, soal tontonan film.
Yogyakarta tengah sibuk merehabilitasi korban bencana gempa bumi, ada banyak agenda pembangunan fisik rumah dan pemulihan usaha perekonomian rakyat. Pendek kisah, rakyat sedang susah, apa sempat menonton film dan apa perlunya itu.
Garin Nugroho, Budi Irawanto, adalah duet sineas dan akademisi yang punya minat pada film alternatif, film pendek dan kesamaan sebagai cinephilia. Mereka ini bertemu dengan anak-anak muda yang punya semangat sama, memiliki ruang bertemu, ruang percakapan dan ruang tontonan bagi karya karya film yang inspiratif, reflektif dan film seni.
Semua bersepakat untuk mewujudkan, menghadirkan festival yang bisa jadi ruang pertemuan banyak komunitas, hobi, kreator film, mahasiswa, seniman, orang biasa, volunteer dll akhirnya benar benar hadirkan festival.
Garin Nugroho memberikan alasan sederhana. Orang susah butuh tontonan juga, tak sekedar yang bisa menghibur tapi sekaligus bisa belajar dari orang lain, komunitas lain, karya seni film dari negara lain. Sekaligus bagaimana mengapresiasi karya seni film pendek, persona yang berkontribusi dan memiliki jasa bagi pengembangan perfilman Indonesia terkini.
Semangat indie, independent dalam berkarya, produksi seni film yang puitis, yang reflektif, alternatif akhirnya hadir di layar perak titik penyelenggaraan festival. Di desa, digelar misbar nonton bareng film, selain itu digelar juga acara nonton film di Gedung Societet Militer. Digelar kelas diskusi bersama maestro seni dan aneka acara yang membahas film, sinema dari beragam perspektif sesuai tema.
Kalau di masa lalu, layar perak digelar untuk rakyat di desa kini layar JAFF ke-15, hadir di 15 kota di Indonesia. Jelas, ada kemajuan besar soal pilihan lokasi pemutaran film festival ini.
Sudah banyak kreator film lulusan JAFF yang kini punya karya film pendek dan feature film moncer, dikenal oleh dunia luas. Mereka ini, generasi perfilman yang akrab dengan digital, mudah adatif terhadap perubahan zaman.
Semakin meluasnya titik layar festival JAFF, bagian dari energi baik untuk menumbuhkan perfilman nasional, mendorong lahirnya kreator industri perfilman baru.
HIDUPKAN LAYAR BIOSKOP DI DAERAH
Apresiasi karya seni penting untuk selalu dihadirkan. Di tengah bising dan riuhnya pemilihan kepala daerah, dengan pro kontranya, rakyat Indonesia butuh oase, butuh hiburan yang bergizi bagi alam pikir warga negara yang sehat.
Menonton film, kini tak lagi harus ke bioskop. Di 15 tahun penyelenggaraannya, festival film ala JAFF, bisa membuka selubung kreatif. JAFF hadir di 15 kota.
Hal yang menggembirakan adalah akan lebih banyak layar bioskop, layar perak di daerah yang bisa segera hidup lagi. Kapan kira-kira bisa mewujud?
Selamat menonton, selamat jadi bagian sejarah penyelenggaraan festival film. Layar perak di bioskop, termasuk gedung bioskop di nusantara ini sudah lama mati. Semoga bisa hidup lagi dan menghadirkan tontonan film berkelas.
Di era digital, semua orang bisa jadi pembuat film. Begitu mudahnya. Asal mau sedikit repot editing, shoot pakai kamera HP, bisa jadi tontonan. Meski untuk hasilkan film seni, tak semudah itu. Nah, forum film model JAFF, adalah ruang tempat belajar. Di titik inilah, patut dicatat betapa berharga dan pentingnya JAFF hadir, jadi sejarah dinamika festival sinema tanah air.
#ceritapinggirjalan
#JAFF
#JogjaNETPACK