Bicara soal consent, berarti juga berbicara soal hak. Namun sayangnya, tidak semua orang mampu memahami sebuah consent. Padahal tanpa adanya consent, suatu tindakan dapat dikategorikan sebagai kejahatan.
Kalau yang belum paham consent adalah laki-laki, okelah, saya cukup bisa memaklumi mengingat mereka adalah kaum yang diuntungkan dari patriaki. Tapi bagaimana jika perempuan yang belum paham dan justru menghakimi perempuan lain atas dasar consent? Rasanya kok agak miris ya. Terlebih ketika membaca sebuah cuitan kontroversial yang menganalogikan bahwa consent itu sama dengan “nilai mahar” dalam pernikahan.
Begini bunyi cuitannya.
Well, cuitan tersebut mengandung beberapa logical fallacy yang perlu diluruskan.
Pertama, pernyataan “Perempuan zaman dulu dilamar pake ratusan onta, dinikahin sah ada tanggung jawab di sana. Ibaratnya mau dipake ada harga” justru menjustifikasi diri perempuan sebagai sebuah objek yang layak diperjualbelikan. Perempuan seolah dituntut untuk harus selalu melayani kebutuhan/hasrat suami karena merasa sudah “dibeli” dengan sebuah mahar. Makna sakral ijab kabul jadi sebatas penentu apakah perempuan (harus) selalu setuju untuk melakukan hubungan seksual selama pernikahan itu berlangsung.
Padahal salah satu tujuan pernikahan adalah untuk menghalalkan hubungan seksualnya saja, bukan persetujuan untuk selalu melakukan seksnya. Perlu digarisbawahi juga kalau berhubungan itu harus didasari atas kasih sayang, which means, suami dan istri secara sukarela dan sukacita untuk melakukannya, bukan karena paksaan dari salah satu pihak.
Kedua, pernyataan “Zaman sekarang ditipu-tipu konsan-konsen sama modal kondom doang pada nyerah” kalau nggak jahat ya tolol. Yang namanya consent itu bukan tipu-tipu dong! Entah pakai kondom atau tidak, seksnya halal atau tidak, selama hubungan tersebut didasari oleh suka-sama-suka dan kerelaan bersama, maka itu adalah consent.
Sayangnya, sebagian orang masih sering mencampuradukkan consent dengan pembenaran melakukan seks bebas. Padahal dua hal ini merupakan konteks yang berbeda lho! Oleh karena itu, agar tidak menimbulkan kesalahpahaman lagi, ada baiknya kita memahami seluk-beluk consent terlebih dahulu.
Makna consent
Secara harfiah, consent merujuk pada keadaan ketika seseorang memberikan persetujuan atau izin kepada orang lain untuk melakukan sesuatu. Consent dilakukan secara aktif, bukan pasif. Apabila seseorang bersikap diam saat diminta persetujuan, maka itu bukan consent.
Consent dapat diberikan dengan kata-kata atau tindakan, selama kata-kata atau tindakan tersebut mampu menciptakan izin yang jelas dan dapat dimengerti bersama. Kesediaan seseorang untuk memberikan persetujuan adalah kunci apakah suatu tindakan sudah berdasarkan consent atau belum.
Mau dikasih mahar berapa pun jumlahnya, kalau pihak perempuannya tidak mau dan tidak berkenan, maka itu bukan consent. Suami istri yang berhubungan tanpa keikhlasan dari salah satu pihak pun bukan consent. Beda cerita jika seorang perempuan secara sukarela mengiyakan ajakan berhubungan intim dengan mengenakan pengaman, maka itu adalah consent.
Consent adalah tanda persetujuan yang didasari atas kerelaan, bukan keterpaksaan. Meskipun begitu, consent bukan pembenaran atas perilaku seks bebas yang tidak bertanggung jawab. Kalau merasa dirugikan dalam tindakan yang mengandung consent, berarti Anda tidak betul-betul memahami atas dasar apa consent itu diberikan. Itulah mengapa, penting juga untuk memahami risiko dan tanggung jawab seperti apa yang akan dihadapi setelah consent tersebut diberikan.
Hubungan consent dengan aktivitas seksual
Secara spesifik, consent adalah kesepakatan antara dua belah pihak untuk melakukan aktivitas seksual. Apapun. Entah itu kissing, cuddling atau intercourse sekalipun.
Kesepakatan ini harus dilakukan secara sadar dan sukarela. Apabila salah satu pihak sedang mabuk atau berada di bawah tekanan/ancaman, maka kesepakatan itu bukanlah sebuah consent. Karena itulah, sebelum melakukan aktivitas seksual, harus diperjelas lagi apakah Anda dan pasangan sama-sama bersedia, nyaman, dan setuju untuk melakukannya.
Consent juga tidak bersifat mutlak, melainkan dinamis. Ia bisa ditarik kapan saja dan tidak selalu ditunjukkan dengan kata-kata atau tindakan. Mungkin pada awalnya Anda dan pasangan sama-sama menyetujui untuk melakukan aktivitas seksual. Namun, tiba-tiba pasanganmu merasa ragu dan berubah pikiran untuk melanjutkan. Maka, aktivitas seksual harus dihentikan.
Ini bukan masalah pasanganmu plin-plan atau tidak bisa berkata “tidak” sedari awal, tapi bukankah consent juga harus didasarkan pada kenyamanan bersama? Kalau salah satunya tidak merasa nyaman tapi aktivitas seksual terus berjalan dan dipaksakan tanpa persetujuan, maka Anda telah melakukan kekerasan seksual kepada pasangan Anda.
Jika seseorang setuju untuk melakukan satu bentuk aktivitas seksual, bukan berarti ia juga setuju untuk melakukan aktivitas seksual lainnya. Misalnya, pasanganmu setuju untuk kissing, tapi belum tentu ia juga setuju untuk melakukan intercourse. Bahkan jika hari ini pasanganmu setuju untuk melakukan intercourse, tidak berarti esok ia juga akan nyaman melakukannya kembali.
Selain itu, consent juga tidak bisa tercipta jika salah satu pihak masih berada di bawah umur. Dalam konteks Indonesia, merujuk pada UU Perlindungan Anak, usia yang dimaksud adalah kurang dari 18 tahun. Jadi, apabila ada laki-laki 25 tahun mengajak berhubungan perempuan 15 tahun, maka itu bukan consent. Meski perempuannya mengatakan “mau”, tapi persetujuan tersebut tidak valid karena ia dianggap belum mampu untuk memberikan consent.
Lagi pula, anak usia ABG kan masih labil emosinya. Mereka bahkan belum bisa mempertimbangkan risiko dan tanggung jawab yang akan dihadapi setelah memberikan consent. Itulah kenapa kematangan emosional dan pikiran menjadi faktor utama dalam penentuan age of consent.
Pentingnya memahami consent
Pada dasarnya, setiap orang menginginkan komunikasi yang baik, kejujuran, dan rasa hormat saat berhubungan dengan orang lain. Dengan meminta dan mendapatkan persetujuan saat hendak melakukan sesuatu, ini justru menunjukkan rasa hormat untuk diri sendiri dan orang lain.
Setiap orang harus benar-benar memastikan apakah tindakannya sudah memenuhi consent atau belum. Dan ini hanya bisa ditanyakan dan dikonfirmasi ulang kepada orang yang bersangkutan. Dengan kata lain, consent tidak bisa didapatkan hanya dari asumsi saja.
Baik laki-laki maupun perempuan, memang harus sama-sama belajar mengenai consent. Yang laki-laki belajar untuk selalu mengonfirmasi atau menanyakan kembali ketika hendak melakukan sesuatu. Yang perempuan juga belajar untuk tidak ragu atau takut untuk berkata “tidak” ketika merasa tidak nyaman. Toh, jika semua dikomunikasikan dengan baik, pasti nggak akan ada lagi tuh spill yang muncul di beranda Twittermu. 🙂